Bab 19
Aku menaruh Alea pada baby stroller dan merapikan bajunya. Dia terlihat memainkan mulutnya sendiri dan menggenggam ujung bajunya, menggemaskan sekali kamu Nak, pikirku.
"Anak mama tiduran di sini dulu ya, Mama mau makan sebentar ya, Nak," ucapku sambil mendorong baby stroller mendekati meja makan.
Aku mendudukkan diriku di kursi lalu mulai memakan nasi yang tadi sudah aku ambil. Satu suapan, dua suapan masuk dalam mulut tapi aku termenung memikirkan Mas Vano lagi. Beberapa waktu lalu sudah teralihkan tapi malah sekarang kepikiran lagi saat aku menyantap masakanku yang harusnya ini juga dinikmati oleh lidah Mas Vano.
"Kenapa Mas? Kenapa kamu tidak bisa menghargai usahaku sedikit saja," ucapku sendirian dengan terus menyuap nasi pada mulutku.
Beberapa saat kemudian ponsel yang aku kantongi be
Bab 20“Alea mandi dulu ya, Nak. Biar makin cantik,” ucapku pada Alea yang terlihat menghisap jempolnya.Pukul 08.30 aku telah selesai memandikan Alea dan aku sendiri juga sudah mandi. Aku membawa Alea ke teras dengan baby strollernya, bibir mungilnya terlihat mengecap-ngecap sesuatu. Aroma khas bayi pun menguar ketika aku mendorong baby strollernya.Sampai teras aku menaruh baby stroller di dekat kursi dan aku mengambil selang air, beberapa tanaman tanpa hampir mengering. Mungkin Mas Vano tidak sempat melakukan ini semua, pikirku. Dengan telaten tanganku mulai membersihkan daun-daun yang rontok dan aku menyapunya.“Wah, rajin sekali, Bu,” ucap seorang ibu yang mengagetkanku. Aku menoleh ke arah sumber suara ternyata Bu Sri yang aku temui di tempat penjual sayur tadi pagi.“Iya Bu S
Bab 1Panorama langit senja selalu memanjakan setiap mata yang menikmatinya. Begitu pula dengan aku, sepulang mengajar dari salah satu SMA swasta di kotaku, tanpa sadar aku menyunggingkan senyum melihat warna senja di atas sana. Kepenatan yang aku lalui siang hari tadi sudah sedikit terbayarkan oleh sinar hangat sang Surya.Aku membelokkan motor menuju halaman rumah milik orang tuaku. Di sisi kanan rumah ada kebun mungil yang ditanami aneka macam bunga. Berkat tangan ajaib seorang ibu setiap rumah pasti selalu menjadi surga bagi setiap penghuninya.“Assalamu’alaikum," aku berseru seraya membuka pintu rumah.“Wa’alaikum salam Del, sudah pulang?” mama menjawab salamku sambil tersenyum.Bukan karena aku sudah pulang dari kerja, tetapi mungkin ada sesuatu hal yang bisa m
Bab 2Terhitung enam bulan semenjak kabar bahagia itu. Kami menjalani hidup yang tentunya lebih berwarna. Mama yang hampir setiap hari melakukan panggilan video dengan kak maya, dan papa yang sudah mulai luluh hatinya untuk berdamai dengan sang menantu laki-lakinya. Tak terkecuali aku, bayangan akan mendapatkan keponakan yang lucu sudah memenuhi hampir seluruh isi memori otakku.Aku menjalani hari-hari seperti biasa, pagi berangkat untuk mengajar murid-murid di SMA dan pulang menjelang sore. Tak ada yang terlalu istimewa di lingkunganku mengajar, kecuali para murid-murid kesayanganku di kelas 12IPA. Seluruh kesibukanku selama ini menyita perhatianku tanpa memikirkan cinta ala-ala remaja. Ya, di usiaku yang sudah hampir menginjak angka dua puluh empat tahun ini aku masih saja setia menyendiri. Hahaha jomblo sejati !!! Eh, tapi bukan berarti aku gak laku ya, hanya saja memang aku belum merasa tertarik untuk hubungan yang mengarah kesana. Aku masih ingin menik
Bab 3Semua anggota keluarga menunjukkan raut wajah yang sama, cemas. Cemas akan keadaan kak maya didalam sana. Aku duduk di bangku tunggu panjang rumah sakit ditemani papa. Sedangkan mama dan kak vano sedang gelisah terlihat dari cara mereka mondar-mandir di depan ruangan kak maya di tangani. Ya, di depan ruang ICU kami semua menunggu dengan harap yang tinggi bahwa kak maya dan calon bayinya baik-baik saja. Aku menoleh ke arah papa, bagi sebagian orang sosok papa dalam keluarga adalah sosok yang terlampaui gengsi dalam mengungkapkan kasih sayang kepada anaknya tapi aku sangat yakin jauh dalam lubuk hatinya tersimpan cinta yang sangat besar untuk anak-anaknya. Itu terbukti saat aku mengamati sorot mata papa, ada gambaran kasih sayang yang luar biasa, kesedihan, kerinduan untuk memeluk anaknya yang sekarang sedang berjuang di dalam ruangan
Bab 4Semua yang berada di depan ruangan kak maya lemas seketika. Bagaimana tidak, kak maya yang selama ini bisa dibilang sehat walafiat tiba-tiba di vonis dokter sakit kanker getah bening.Aku hampir limbung kalau saja pak fikri tidak sigap menahan tubuhku. Aku melirik mama, keadaannya sama menangis tergugu di pelukan bu firda. Tak beda jauh dari mama, papa tubuhnya pun merosot ke lantai rumah sakit. Dan kak vano, untuk pertama kalinya aku melihatnya sesedih ini. Dia terduduk lemas di depan pintu kaca dengan tangan berada diatas kepala sambil meremas rambutnya sendiri. Menandakan bahwa dia sangat terpukul.Kak vano bangkit dari duduknya dan berjalan gontai kearah mama. Dia menjatuhkan diri dihadapan mama, bersimpuh di kaki mama. Dengan suara bergetar dia berkata.“Maafkan vano ma, vano yang salah. Andai saja vano lebih memperha
Bab 5Mama memeluk papa dengan erat, sambil mencoba menetralisir perasaan dalam dadanya yang kelihatan semakin menyesakkan. Beberapa kali mengatur nafas akhirnya mama mulai bicara.“Maya pa..,” mama mengulangi ucapannya dalam dekapan papa.“Iya ma, maya kenapa? Bilang sama papa pelan-pelan,” sahut papa dengan penuh kelembutan.“Maya minta semuanya mengikhlaskan maya, dan membiarkan anaknya hidup pa. Hu..hu..hu..” Tangis mama semakin menjadi.“Maya..,” gumam papa dengan nada lemas.Ya Allah kak maya, kenapa kamu mengambil keputusan ini kak? Kedua bahuku serasa ditimpa batu besar, ini berat sekali ujianMU Ya Allah. Mama menenggelamkan wajahnya dibahu papa, dan papa beberapa kali terlihat mengusap sudut matanya. Begitu pun tante indri dan om surya, mereka
Bab 6Aura ketegangan masih menyelimuti kami, dengan di dominasi kecemasan. Salah satu suster membuka pintu, dan melangkah ke arah kami mungkin akan memberikan informasi mengenai kak maya.“Mohon maaf, disini ada yang bernama Delina?” ucap suster tadi.Dahiku mengernyit, kenapa suster menanyakan aku?“Iya, saya sus. Ada apa ya?” jawabku.“Bu maya ingin bertemu dengan anda bu," ucapnya.“Baik sus.”Aku berpamitan pada mama dan papa, dan lansung mengikuti langkah suster masuk ke dalam ruangan, tapi batinku bertanya ada apa kak maya ingin bertemu denganku?Hatiku mencelus ketika melihat kondisi kak maya, inikah kakak cantikku? Raut wajah lemas dengan selang oksigen bersarang di hidungnya. Hatiku rasanya tak kuasa melihatnya, sakitnya sungguh luar
Bab 7Keesokan harinya aku meminta izin kepada dokter untuk pulang ditemani oleh pak fikri karena pemakaman kak maya dilaksanakan pagi ini. Hatiku tersentuh ketika pak fikri selalu ada untukku, memberi perhatian, menenangkan dan juga rela menemaniku semalaman di rumah sakit demi perkembangan si kecil yang ada di ruangan bayi.Setelah aku mendapatkan izin dari dokter dan beliau mengatakan bahwa kalau perkembangan sekecil apapun mengenai putri kak maya akan segera beliau informasikan. Aku berjalan beriringan dengan pak fikri menuju parkir di area basement rumah sakit. Keheningan menyelimuti kami, karena aku ingin segera pulang dan membantu mengurus pemakaman kak maya.Sesampainya di mobil, pak fikri segera menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang. Aku lebih memilih berkonsentrasi melihat jalanan, tapi aku bi