Share

Risau

Penulis: Pratiwi
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-28 08:41:24

Keesokan paginya, suasana rumah masih dipenuhi keheningan. Delina menyiapkan sarapan seadanya, sementara Vano duduk di meja makan dengan wajah pucat, matanya kosong. Surat Maya yang mereka baca semalam tergeletak di sampingnya, seakan menjadi tamu tak diundang yang membelah hati mereka.

“Van,” Delina membuka suara hati-hati, “aku tahu surat itu berat buat kamu. Tapi kita nggak bisa berpura-pura lagi.”

Vano menatap surat itu, lalu mengalihkan pandangannya pada Delina. “Aku bahkan nggak tahu harus marah atau lega. Maya tahu… dan tetap mencintaiku. Itu membuat aku merasa lebih kecil dari apa pun. Seharusnya aku yang melindunginya, bukan dia yang menutup mata.”

Delina menghela napas. “Maya memilih mencintaimu dengan caranya. Itu bukan salahmu, Van. Tapi sekarang, kamu harus tentukan: mau terus hidup dalam rasa bersalah, atau belajar lepas.”

Vano menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, suaranya parau. “Aku takut, Din. Kalau aku lepas, berarti aku benar-benar kehilangan dia. Aku takut ak
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Turun Ranjang   Cinta Yang Dipilih

    Hari itu langit berwarna keemasan, matahari sore perlahan tenggelam di balik bukit. Angin berhembus lembut, membawa aroma dedaunan kering. Delina berdiri di tepi taman, mengawasi anaknya yang berlarian riang dengan sepeda kecil.Sudah berbulan-bulan sejak perceraiannya resmi. Proses panjang yang penuh air mata akhirnya selesai, meninggalkan luka yang perlahan berubah jadi bekas. Delina tak lagi istri Vano. Ia tak lagi bayangan Maya. Ia berdiri sebagai dirinya sendiri, dengan semua rapuh dan kekuatannya.Vano hadir sore itu. Ia datang untuk menjemput anak mereka. Wajahnya terlihat lebih damai dibanding dulu. Ada keteguhan yang baru, seakan ia benar-benar belajar menerima.“Din,” ucapnya pelan setelah mereka duduk sebentar di bangku taman. “Aku ingin bilang terima kasih. Kamu sudah ajari aku arti ikhlas. Aku nggak lagi berharap kita kembali, tapi aku akan selalu ada untuk anak kita. Itu janjiku.”Delina tersenyum tipis, matanya berkaca-kaca. “Aku juga berterima kasih, Van. Kamu bagian d

  • Turun Ranjang   Bayangan Baru

    Pagi itu udara terasa berbeda. Langit cerah, angin bertiup lembut, dan aroma tanah basah tersisa dari hujan semalam. Delina berdiri di depan jendela kamar, menatap keluar dengan mata yang masih sembab tapi lebih tenang.Sudah beberapa minggu sejak sidang pertama perceraiannya dengan Vano. Proses hukum masih berjalan, tapi di hatinya keputusan sudah final: ia tidak lagi menjadi istri, tidak lagi bayangan siapa pun.Hari-hari Delina kini dipenuhi dengan rutinitas baru. Ia mulai kembali bekerja lebih giat, menyibukkan diri dengan proyek kantor yang sempat ia abaikan. Ia juga mendaftarkan anaknya ke kursus menggambar, sesuatu yang pernah ia impikan tapi selalu tertunda.Ada rasa lelah, tentu saja, tapi juga ada kebanggaan kecil—bahwa ia bisa mengambil keputusan sendiri, bukan karena dorongan orang lain.---Bayu tetap hadir. Tidak setiap hari, tidak setiap waktu, tapi cukup sering untuk membuat Delina merasa ditemani. Ia kadang mengantar Delina ke kantor, kadang membantu menjemput anaknya

  • Turun Ranjang   Luka yang Terbuka

    Langkah kaki Delina terdengar pelan di koridor gedung pengadilan. Aroma khas ruangan penuh berkas dan kayu tua bercampur dengan ketegangan yang tak bisa ia sembunyikan. Bayu berjalan di sampingnya, membawa map berisi dokumen perceraian.“Din, kamu yakin siap?” tanya Bayu, suaranya pelan namun mantap.Delina menarik napas panjang. “Aku nggak tahu kalau siap atau nggak. Tapi aku tahu ini harus kulakukan. Kalau tidak, aku akan terus terjebak.”Mereka masuk ke ruang sidang kecil. Vano sudah duduk di sana, wajahnya pucat tapi tetap tenang. Tatapannya bertemu dengan Delina, dan sejenak waktu seakan berhenti. Ada begitu banyak kenangan, begitu banyak luka, yang mengikat mereka berdua.---Proses sidang berlangsung singkat. Hakim membacakan berkas-berkas, menanyakan beberapa hal, dan menetapkan jadwal sidang lanjutan. Tak ada teriakan, tak ada drama. Hanya keheningan berat yang menekan dada Delina.Saat keluar dari ruang sidang, Vano menghampirinya. “Din…” suaranya lirih, hampir bergetar. “Ak

  • Turun Ranjang   Keputusan Yang Tertunda

    Hujan turun deras malam itu. Suara gemericik air di atap seperti simfoni tak berkesudahan, mengisi ruang tamu rumah dengan ketegangan yang tak kasat mata. Delina duduk di kursi, tatapannya kosong pada jendela yang basah oleh air hujan. Di dalam dadanya, ada pertempuran yang tak kunjung usai.Vano duduk di seberang, wajahnya letih. Surat Maya tergeletak di meja, seakan menolak untuk disimpan, seakan ingin terus mengingatkan mereka berdua bahwa bayangan itu belum sepenuhnya pudar.“Din…” suara Vano pelan, nyaris tenggelam oleh hujan. “Aku tahu aku sudah banyak salah. Aku terlalu lama hidup dalam kenangan. Aku nggak bisa janji akan langsung berubah, tapi aku ingin belajar. Aku ingin kita coba lagi. Demi anak kita.”Delina menutup mata. Kata-kata itu menusuk, membuat hatinya berdenyut nyeri. “Van, kita sudah coba berkali-kali. Setiap kali, aku tetap jadi bayangan. Kamu bilang ingin berubah, tapi begitu lihat aku, kamu kembali ingat Maya. Aku nggak bisa hidup seperti itu.”Vano menunduk, j

  • Turun Ranjang   Risau

    Keesokan paginya, suasana rumah masih dipenuhi keheningan. Delina menyiapkan sarapan seadanya, sementara Vano duduk di meja makan dengan wajah pucat, matanya kosong. Surat Maya yang mereka baca semalam tergeletak di sampingnya, seakan menjadi tamu tak diundang yang membelah hati mereka.“Van,” Delina membuka suara hati-hati, “aku tahu surat itu berat buat kamu. Tapi kita nggak bisa berpura-pura lagi.”Vano menatap surat itu, lalu mengalihkan pandangannya pada Delina. “Aku bahkan nggak tahu harus marah atau lega. Maya tahu… dan tetap mencintaiku. Itu membuat aku merasa lebih kecil dari apa pun. Seharusnya aku yang melindunginya, bukan dia yang menutup mata.”Delina menghela napas. “Maya memilih mencintaimu dengan caranya. Itu bukan salahmu, Van. Tapi sekarang, kamu harus tentukan: mau terus hidup dalam rasa bersalah, atau belajar lepas.”Vano menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, suaranya parau. “Aku takut, Din. Kalau aku lepas, berarti aku benar-benar kehilangan dia. Aku takut ak

  • Turun Ranjang   Retak

    Pagi itu, Delina duduk di kursi ruang tamu dengan mata sayu. Telepon semalam masih terngiang jelas di telinganya. Dokumen dari Maya… sesuatu yang bisa mengubah semuanya. Kata-kata itu membuat tidurnya hancur, pikirannya tak henti-henti berputar.Saat ia menatap kosong ke arah jendela, Vano turun dari lantai atas. Rambutnya kusut, wajahnya masih lelah. “Kamu nggak tidur?” tanyanya.Delina menggeleng. “Ada yang harus aku cek hari ini. Penting.”Vano hendak bertanya lebih jauh, tapi menahan diri. Ia tahu belakangan Delina terlalu mudah tersulut, dan setiap pertanyaan hanya memperparah suasana.---Di kantor Bayu, suasana sudah tegang sejak Delina masuk. Bayu berdiri, wajahnya tampak serius. Di tangannya ada sebuah map cokelat lusuh.“Aku sengaja nggak ngomong lewat telepon,” kata Bayu sambil duduk. “Aku ingin kamu dengar langsung.”Delina menelan ludah. “Jadi benar… dokumen itu dari Maya?”Bayu mengangguk. Ia membuka map dan mengeluarkan beberapa lembar kertas dengan tulisan tangan. “Ini

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status