Setelah beberapa jam berlalu, akhirnya bel yang menandakan usainya kegiatan di sekolah berbunyi. Suasana senja hari itu indah seperti biasanya, daun-daun berguguran suara angin, serta kicauan burung menambahkan kesan yang damai.
Joylin mengajak Jay pulang jalan kaki melewati pinggiran sungai dan membahas ini dengan santai sebelum tiba dirumah. Informasi yang mereka temukan masih mengganjal dipikiran Jayden. “Joy, Aku akan mengambil jalan yang sama dengan Papa dan Mama,” ucap Jayden langsung ke intinya. “Kalau begitu aku jug—” perkataan Joylin terpotong oleh sorot mata Jayden yang tajam. “Tidak … Jangan bercanda seperti itu! Aku tak menyukai candaan mu itu, Jay!” bentak Joylin sambil mengguncang kasar tubuh Jayden. Tangannya mencengkram erat kerah baju Jayden dan menatapnya dengan mata yang memerah. Nafasnya saling memburu hingga akhirnya air matanya mengalir membasahi pipinya, “Kau benar-benar keterlaluan!” desis Joylin sambil menyeka air matanya. Gadis itu menutupi wajahnya dengan tangan lalu berjongkok dengan kasar hingga syalnya terjatuh. “Kau sudah berjanji pada Mama, bukan? Kau akan selalu mendengarkan apa kataku,” ujar Jayden sedikit meninggikan nada bicaranya berharap Joylin merubah pikirannya. Laki-laki itu perlahan ikut berjongkok, meraih syal yang terjatuh dan mengalungkannya di leher adiknya dengan lembut. “Aku hanya tidak ingin kau berada dalam bahaya, Joy,” lanjutnya lagi, kali ini terdengar lembut. “Aku ingin kau hidup normal dan bahagia seperti orang lain! Aku tidak sanggup melihatmu terus bersedih,” pinta Jayden mengusap puncak kepala adiknya dengan tangan yang gemetar. Sejujurnya, Jayden juga takut dan tidak siap kehilangan Joylin. Joylin menggelengkan kepalanya, “Apa artinya semua itu jika kau tidak ada? Kau satu-satunya keluargaku saat ini. Jika kau tidak ada dalam kehidupan damai itu, aku tidak akan bahagia,” balas Joylin dengan suara yang bergetar. Gadis itu bangkit dari posisinya, memperlihatkan hidung dan matanya yang memerah. “Aku lebih memilih berjalan di jalan yang berbahaya denganmu, Bodoh!” tegas Joylin mengusap hidungnya. Jayden sedikit mengangkat sudut bibirnya, “Aku tidak pernah bisa menghentikanmu, Joy,” ucapnya seraya mengusap puncak kepala adiknya. “Jika kau nekat pergi sendiri dan meninggalkanku, akan ku pastikan kau menjadi orang yang membawa peti matiku,” ancam Joylin menatap tajam ke arah kakaknya. **** Sesampainya di rumah, saat semuanya sedang berkumpul diruang tamu kedua kakak beradik itu memutuskan untuk memberitahu keinginan mereka pada Paman dan Bibinya. Jayden menelan ludah, “Paman, Bibi, kami memutuskan untuk mengikuti jejak Papa dan Mama,” Ia tahu keinginan mereka tidak akan mendapat persetujuan dari Sarah. Namun keduanya telah membulatkan tekad dan bersiap menanggung segala risikonya. “Apa?! Tidak! Bibi tidak menyetujui keinginan kalian. Silahkan minta hal yang lain, tapi jangan pernah minta persetujuan Bibi untuk hal ini!” tegas Sarah. Pasangan suami istri itu sangat menyayangi Jayden dan juga Joylin bahkan sudah menganggapnya seperti anak sendiri, mereka mengharapkan kedua anak itu dapat menjalani hidup normal seperti orang lain. “Itu sangat berbahaya! Bahkan orang tua kalian pun–” tolak Sarah namun perkataannya terpotong seakan tidak mau kembali membahas kenangan buruk itu. Napas wanita itu tercekat sesaat. Berbeda dengan Sarah, Nathan justru ingin mengetahui alasan mereka. “Agen yang hebat, bukan? Saat masih kecil aku juga sangat mengagumi Papa. Tapi maaf, Paman. Sebenarnya aku sedikit menguping pembicaraan kalian tadi malam,” ucap Joylin mengakui perbuatannya. “Bibi, menjauhkan kami dari semua ini tidak akan membuat kami lebih baik,” tambah Joylin dengan senyum getir. Tangannya mengepal dengan kuat disusul dengan tubuhnya yang bergetar. Gadis itu menunduk, menatap lantai ruang tamu dengan tatapan kosong. “Terima kasih untuk selama ini, Paman. Tapi, aku akan tetap belajar dengan giat. Sama seperti kalian, mungkin orang tuaku juga tidak ingin aku mengambil jalan yang sama seperti mereka. Namun, masih berat bagiku untuk menerima kepergian mereka berdua,” sahut Jayden mengepalkan tangannya. “Aku akan membalaskan kematian Mama dan Papa. Membayangkan pembunuh itu hidup dengan kenyamanan membuat hatiku sakit,” lanjutnya. “Aku juga akan ikut dengan Jay. Mungkin ini adalah harga yang harus dibayar oleh Papa dan Mama. Juga balas dendam ini mungkin hanya bagian dari egoku sebagai anak yang belum rela melepas kepergian orang tuanya,” ujar Joylin dengan tatapan kosong dan senyum getir diwajahnya. Nathan mendengus, mereka semua terjebak dalam keheningan selama beberapa menit. Melalui pertimbangan panjang akhirnya ia menyetujui permintaan kedua anak itu. “Baiklah,” jawab Nathan, sontak Sarah menoleh ke arahnya secepat kilat. “Nathan!” seru wanita itu meraih lengan baju suaminya. Nathan memberi isyarat agar Sarah menenangkan dirinya. Pria itu juga memberitahu apa yang harus mereka tingkatkan dan apa yang harus mereka pelajari. Sarah bersikeras menolak keinginan kakak beradik itu karena dianggap berbahaya terlebih lagi ia kehilangan dua orang sekaligus. Namun berkat pengertian dari Nathan, membuat dirinya akhirnya setuju meskipun hatinya berat. Joylin dan Jayden saling melempar pandangan, mata keduanya berbinar ketika telah mendapat izin dari orang yang telah dianggapnya sebagai orang tua kedua. “Tapi—” sahut Nathan membuat seluruh perhatian tertuju kepadanya. “Ingatlah beberapa hal. Begitu kalian masuk ke dunia ini, tidak akan ada jalan keluar. Kalian bahkan harus siap kehilangan satu sama lain,” pesan Nathan pada mereka berdua. Sorot matanya yang tajam seolah mengatakan bahwa ia tak bermain-main dengan ucapannya barusan.Beberapa jam sebelum keberangkatan Joylin“Aiden, kau menyukainya, kan?” tanya Luna menyandarkan tubuhnya pada dinding ruangan tempat mereka melakukan rapat terakhir kali. Aiden yang sedang menyiapkan beberapa barang langsung menghentikan aktivitasnya, “Apa maksudmu, Luna?” tanya pemuda itu refleks menoleh pada Luna.“Joylin. Aku tahu kau punya perasaan padanya. Dia gadis yang melanggar misinya demi menyelamatkanmu, kan?” tanya Luna menyorot Aiden dengan tatapan yang menenangkan.Aiden tidak langsung memberikan jawaban, namun Luna seolah dapat menebak apa isi hati rekannya. “Aku benar, ya? Mengubur perasaanmu dalam-dalam hanya akan membuatmu menyesal, Aiden,” tambah gadis itu, lalu berjalan ke arah Aiden dan menyentuh bahunya.“Sebaiknya kita segera berangkat,” balas Aiden datar, mencoba untuk mengabaikan perkataan Luna. Namun di dalam hatinya, ia membenarkan apa yang Luna katakan. Samar-samar sudut bibirnya terangkat, tak dapat menyembunyikan perasaan aneh yang menggelayuti hatinya
Keduanya saling pandang beberapa saat, lalu mengangguk yakin. “Kami siap menerima konsekuensinya, Paman,” ucap Jayden, sorot matanya penuh dengan keyakinan.Nathan menarik napas panjang dan menghembuskannya lewat mulut. “Maaf, tapi paman tidak sanggup kalau harus kehilangan kalian berdua,” balas Nathan menutpi mata dengan jemarinya. Pria itu tertunduk, bahunya sedikit turun kali ini.Joylin berdiri dari duduknya, berjalan ke arah Nathan dan berjongkok tepat di hadapan pamannya. “Paman … Terima kasih sudah menerima kami menjadi bagian dari keluargamu dan maaf kalau kami sangat egois,” ujar Joylin menyunggingkan senyum tipis yang menenangkan.“Dulu paman pernah bilang, begitu masuk ke dunia ini kami tidak bisa mundur begitu saja. Ingat, kan?” tanya Jayden, berjalan dengan tenang mendekati Nathan yang masih tertunduk lesu. “Kami janji, akan pulang dengan selamat,” tambahnya di ikuti oleh anggukan Joylin di sampingnya.Nathan mengangkat kepalanya perlahan, matanya merah seperti menahan ta
Joylin melangkah keluar dari ruangan Edric dengan cepat, seakan ingin menjauh dari semua yang menyulut emosinya. Tangannya menggenggam dokumen yang Edric berikan, sementara tangan yang lain sibuk mengutak-atik ponselnya.Joylin: Dimana?Jayden: Di depan gedung, syukurlah kau sudah sadar. Tunggu di ruangan.Joylin: Terlambat. Aku sudah di lobi, aku segera kesa—Langkahnya terhenti ketika mendapati Erico sudah menghalangi jalannya. Gadis itu memutus sambungan telepon, lalu menatap Erico dengan tajam.“Hei, kau kelihatan terburu-buru. Bagaimana kalau kita sarapan bersama terlebih dahulu?” tanya Erico mencoba basa-basi dengan senyum memuakkan terukir di wajahnya.Joylin tidak mengatakan sepatah kata pun dan terus melangkah— tapi Erico terus menghalangi jalannya. “Minggir,” desis Joylin dingin, alisnya bertaut.“Lihat wajahmu ini, sebenarnya apa yang terj—” tangan pria itu bergerak, hendak menyentuh wajah Joylin yang masih pucat namun dihentikan oleh seseorang.“Edric menunggumu di ruang
Mata Luna membelalak, mulutnya sedikit terbuka berusaha mengeluarkan kata-kata yang tertahan di tenggorokannya. “Apa maksudmu, Jay?” “Saat di rooftop tadi aku mendengarmu menggumam,” balas Jayden. Luna terdiam, gadis itu terlihat menelan ludahnya dengan kasar. Pemuda itu mendecak, “Maaf. Lupakan saja,” ucap Jayden, lalu masuk ke dalam mobil disusul oleh Luna. “Jay, maaf sudah merepotkan,” ucap Luna, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi yang dingin. Hari ini benar-benar melelahkan. “Tidak masalah,” balas Jayden singkat. Ia menunduk, lagi-lagi pria itu tanpa sadar melakukan kebiasaannya dengan Joylin— memasangkan sabuk pengaman pada Luna. Gadis itu refleks menoleh membuat wajah mereka nyaris bersentuhan. Pipinya memerah seketika, lalu buru-buru mengalihkan pandangannya. “Aku bisa memakainya sendiri,” ucap Luna tergugup sambil memainkan ujung baju dengan jemarinya. Jayden yang tersadar langsung memperbaiki duduknya secepat kilat. “Ah! Haha, kita jalan sekarang. Tunjukkan jalan
Jayden tertegun, “Dia? Siapa yang dimaksud Luna?” batinnya bertanya-tanya. “Luna?” sahut Jayden pelan, dengan ragu-ragu ia mendekati Luna yang tengah terhanyut dalam lamunannya. Malam begitu tenang, hanya dihiasi oleh desir angin menambah hening dan tekanan diantara mereka.Luna menoleh perlahan, matanya masih basah oleh air mata yang ia coba sembunyikan. Suara Jayden yang lembut membuat jantungnya berdebar.Dengan tangan yang gemetar, Luna segera menghapus air matanya dengan terburu-buru, berharap Jayden tak melihat sisi lemahnya.Jayden menatap Luna, sorot matanya tak pernah lepas dari gadis di hadapannya. Dia bisa melihat adanya kesedihan yang terselubung meski gadis itu berusaha menyembunyikannya.“Kau menangis?” tanya Jayden dengan nada yang lebih lembut, seolah memberikan Luna kesempatan untuk membuka diri padanya.“Ah, sepertinya ada sesuatu yang masuk ke mataku. Haha,” ujar Luna mengucek kedua matanya seolah berusaha meyakinkan Jayden kalau dirinya baik-baik saja, kemudian te
Ketika mendapat laporan dari Joylin bahwa target telah berhasil dieksekusi Jayden dan Aiden langsung menghela napas lega, seolah segala beban yang ada di bahu mereka terangkat. Keduanya bergegas menuju ke titik kumpul dengan senyum samar di wajahnya.“Jay, Aiden … Joy, dia tidak sadarkan diri,” ucap Luna terdengar panik melalui earpice di telinganya. Senyumnya memudar, kegelisahan yang tadinya bersarang di hati Jayden yang perlahan hilang kini tergantikan oleh panik dan khawatir ketika mendengar ucapan Luna.Detak jantungnya tak beraturan, Jayden berusaha untuk tetap tenang. “Apa yang harus ku lakukan? Membawanya ke rumah sakit?” pikir Jayden sambil mencengkeram erat setir mobil.“Tidak. Itu terlalu berisiko, terlebih Joylin baru saja menyelesaikan misi. Seharusnya aku tidak membiarkannya pergi sendirian,” batinnya terus bergemuruh, penyesalan mulai menggerogoti hatinya, membentuk luka baru di antara rasa bersalah yang ia pendam.“Jay, Luna, tenangkan diri kalian. Bergegaslah ke marka