Jayden menatap dalam adiknya, “Kau mimpi tentang Papa dan Mama lagi?” tanya Jayden khawatir. Pemuda itu memberikan segelas air untuk Joylin yang masih duduk di sofa dengan napas yang tersengal.
“Aku …,” ucap Joylin, tangannya sedikit gemetar saat menerima gelas itu. “Merindukan Papa dan Mama,” lanjutnya dengan suara bergetar sambil menggigit bibir bawahnya. “Cerita padaku. Jangan menyimpannya sendirian,” ucap Jayden memeluk Joylin, dahinya berkerut. Ia tahu persis bagaimana beratnya mereka melewati hari-hari setelah kejadian itu terlebih lagi untuk Joylin yang selalu menunggu kepulangan Ethan dan Hana yang kala itu telah meninggalkan mereka berdua selamanya. Joylin meletakkan gelas yang dipegangnya di sebuah meja kecil yang berada tak jauh dari posisinya saat ini. Pandangannya tiba-tiba saja tertuju pada frame foto yang ada di meja itu. “Foto ulang tahun kita yang ke sepuluh, sekaligus ulang tahun terakhir kita bersama Papa dan Mama,” gumam Joylin meraih foto itu. “Sudah bertahun-tahun, tapi rasanya luka itu belum mengering. Seperti hal itu baru saja terjadi kemarin. Kau tahu? Hatiku terasa sakit ketika membayangkan pembunuh Papa dan Mama masih hidup nyaman hingga saat ini,” jelas Joylin dengan air mata yang menetes pada foto itu. Gadis itu mengepal tangannya dengan sangat kuat hingga kukunya melukai telapak tangan. Dengan lembut Jayden meraih tangan adiknya, “Aku mengerti. Aku juga merasakannya,” balas Jayden sambil melepaskan cengkraman Joylin dan mengelap sedikit darah yang keluar dari luka itu. Malam itu, Joylin terbangun ditengah malam karena kehausan. Dengan lunglai ia berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas air lalu kembali ke kamar dan melanjutkan tidurnya. Namun, saat melewati kamar Nathan dan Sarah ia tak sengaja mendengar pembicaraan mengenai orang tuanya. “Sudah beberapa tahun sejak kematian Hana dan Ethan. Apa kau tak berniat memberitahu si kembar mengenai penyebabnya? Ku rasa mereka berhak untuk mengetahuinya,” Tanya Sarah. Awalnya perasaan ragu muncul dibenak gadis itu, apakah ia harus lanjut menguping pembicaraan atau tidak. Jantungnya berdebar, ia tahu ini salah tapi ia harus mengetahuinya. “Entahlah, Sarah. Apa mereka sudah siap? Andai saja aku mengetahui bahwa Ethan ditugaskan untuk menghadapi organisasi Helix, aku tidak akan membiarkannya pergi seorang diri,” ucap Nathan menyesal. “Helix? Jadi organisasi itu yang membunuh Ethan dan Hana?” tanya Sarah. Nathan mengangguk kemudian mengisyaratkan pada Sarah untuk diam. Mendengar hal itu membuat Joylin tersentak, tangannya yang sejak tadi bersandar di dinding untuk menopang tubuhnya tiba-tiba melemah. “Helix ….” batinnya berusaha mencerna nama itu. Matanya mulai memanas, gadis itu mulai menggigit bibirnya untuk menahan tangis. “Tidak, ku mohon jangan disini,” batin Joylin memejamkan mata dan berharap waktu berhenti sejenak. “Pelankan suaramu, ku rasa ada orang diluar,” bisik Nathan tiba-tiba menoleh kearah pintu kamar. Mendengar suara langkah Jayi yang mendekat dari dalam kamar berhasil memacu adrenalin Joylin, gadis itu bergegas menuju kamarnya tanpa membuat suara sedikit pun. Saat Nathan membuka pintu kamarnya, dia tidak menemukan siapa pun disana. **** Pagi ini Joylin berusaha bersikap seperti biasa, meskipun percakapan Nathan dan Sarah masih berputar-putar dalam pikirannya. “Joy, tunggu! Kaos kaki ku hilang!” teriak Jayden menuruni tangga dengan terburu-buru. “Pakai kaos kaki ku. Di laci sebelah meja belajarku, ada 1 kaos kaki yang masih bersih,” balas Joylin. Mendengar arahan Joylin, Jayden langsung kembali naik ke lantai 2 untuk mengambil kaos kaki. “Merah muda? Apa kau serius, Joy?!” keluh Jayden saat mengetahui kaos kaki. Namun, mendengar Joylin terus menggerutu karena takut ketinggalan bus membuatnya tak mempedulikan warna itu lagi. Ia bersiap secepat yang ia bisa. Setelah semuanya selesai, mereka berdua berpamitan dengan Nathan dan Sarah. “Jay? Kaos kakimu? Tunggu aku akan mengambilkan milik Pamanmu,” ujar Sarah yang tak sengaja menyadari hal itu saat kedua anak itu berpamitan. Jay menolaknya dengan halus dengan alasan tak ada waktu lagi. “Tidak masalah, Bibi. Ini tak akan terlihat jika aku memakai sepatu,” tambahnya lagi sebelum berangkat. Tak lupa Sarah mengingatkan mereka untuk memakai jaket dan syal mengingat udara mulai dingin. Di perjalanan menuju halte bus, dengan perasaan ragu Joylin menceritakan pada kakaknya tentang apa yang didengarnya semalam dari Paman dan Bibi mereka. Hal itu memancing rasa penasaran Jayden dan membuat suasana diantara mereka menjadi sedikit lebih tegang. Setelah mengetahui nama organisasi Helix, mereka memutuskan untuk mencari informasi sebanyak mungkin tentangnya. Jam istirahat pun tiba, mereka akhirnya memutuskan untuk menggunakan komputer di perpustakaan. Dilayar komputer terpampang banyak informasi tentang organisasi Helix namun semuanya seperti informasi umum yang telah disunting sedemikian rupa oleh media. “Mau coba untuk mengecek forum lama?” tanya Jayden menyeringai ke arah Joylin. Tentu saja Joylin menyetujui ajakan itu, mengingat dirinya sangat menyukai tantangan. “Jay, apa kau menyadari sesuatu?” bisik Joylin menatap ke arah Jayden. “Semua media besar yang kita lihat tadi menyebutkan Helix adalah organisasi yang berbahaya. Tapi disini ada seorang anonim yang mengatakan sebagian besar berita tentang mereka sengaja di manipulasi,” jelas Joylin. “Lihat tahunnya, hanya selisih satu tahun dari kematian Papa dan Mama,” lanjutnya sambil menunjuk layar komputer. Jayden mengamati informasi itu dengan saksama. Tapi ada yang membuatnya merasa janggal seperti tak asing dengan gaya bahasa itu. Tanpa mereka sadari, bel berbunyi tanda waktu istirahat telah habis. Sebelum pergi mereka membersihkan history pencarian mereka agar tak diketahui oleh orang lain. Pikiran Joylin masih terpaku pada informasi yang didapatkannya tadi, “Helix … sebenarnya apa yang sedang disembunyikan Paman dari kami?”Beberapa jam sebelum keberangkatan Joylin“Aiden, kau menyukainya, kan?” tanya Luna menyandarkan tubuhnya pada dinding ruangan tempat mereka melakukan rapat terakhir kali. Aiden yang sedang menyiapkan beberapa barang langsung menghentikan aktivitasnya, “Apa maksudmu, Luna?” tanya pemuda itu refleks menoleh pada Luna.“Joylin. Aku tahu kau punya perasaan padanya. Dia gadis yang melanggar misinya demi menyelamatkanmu, kan?” tanya Luna menyorot Aiden dengan tatapan yang menenangkan.Aiden tidak langsung memberikan jawaban, namun Luna seolah dapat menebak apa isi hati rekannya. “Aku benar, ya? Mengubur perasaanmu dalam-dalam hanya akan membuatmu menyesal, Aiden,” tambah gadis itu, lalu berjalan ke arah Aiden dan menyentuh bahunya.“Sebaiknya kita segera berangkat,” balas Aiden datar, mencoba untuk mengabaikan perkataan Luna. Namun di dalam hatinya, ia membenarkan apa yang Luna katakan. Samar-samar sudut bibirnya terangkat, tak dapat menyembunyikan perasaan aneh yang menggelayuti hatinya
Keduanya saling pandang beberapa saat, lalu mengangguk yakin. “Kami siap menerima konsekuensinya, Paman,” ucap Jayden, sorot matanya penuh dengan keyakinan.Nathan menarik napas panjang dan menghembuskannya lewat mulut. “Maaf, tapi paman tidak sanggup kalau harus kehilangan kalian berdua,” balas Nathan menutpi mata dengan jemarinya. Pria itu tertunduk, bahunya sedikit turun kali ini.Joylin berdiri dari duduknya, berjalan ke arah Nathan dan berjongkok tepat di hadapan pamannya. “Paman … Terima kasih sudah menerima kami menjadi bagian dari keluargamu dan maaf kalau kami sangat egois,” ujar Joylin menyunggingkan senyum tipis yang menenangkan.“Dulu paman pernah bilang, begitu masuk ke dunia ini kami tidak bisa mundur begitu saja. Ingat, kan?” tanya Jayden, berjalan dengan tenang mendekati Nathan yang masih tertunduk lesu. “Kami janji, akan pulang dengan selamat,” tambahnya di ikuti oleh anggukan Joylin di sampingnya.Nathan mengangkat kepalanya perlahan, matanya merah seperti menahan ta
Joylin melangkah keluar dari ruangan Edric dengan cepat, seakan ingin menjauh dari semua yang menyulut emosinya. Tangannya menggenggam dokumen yang Edric berikan, sementara tangan yang lain sibuk mengutak-atik ponselnya.Joylin: Dimana?Jayden: Di depan gedung, syukurlah kau sudah sadar. Tunggu di ruangan.Joylin: Terlambat. Aku sudah di lobi, aku segera kesa—Langkahnya terhenti ketika mendapati Erico sudah menghalangi jalannya. Gadis itu memutus sambungan telepon, lalu menatap Erico dengan tajam.“Hei, kau kelihatan terburu-buru. Bagaimana kalau kita sarapan bersama terlebih dahulu?” tanya Erico mencoba basa-basi dengan senyum memuakkan terukir di wajahnya.Joylin tidak mengatakan sepatah kata pun dan terus melangkah— tapi Erico terus menghalangi jalannya. “Minggir,” desis Joylin dingin, alisnya bertaut.“Lihat wajahmu ini, sebenarnya apa yang terj—” tangan pria itu bergerak, hendak menyentuh wajah Joylin yang masih pucat namun dihentikan oleh seseorang.“Edric menunggumu di ruang
Mata Luna membelalak, mulutnya sedikit terbuka berusaha mengeluarkan kata-kata yang tertahan di tenggorokannya. “Apa maksudmu, Jay?” “Saat di rooftop tadi aku mendengarmu menggumam,” balas Jayden. Luna terdiam, gadis itu terlihat menelan ludahnya dengan kasar. Pemuda itu mendecak, “Maaf. Lupakan saja,” ucap Jayden, lalu masuk ke dalam mobil disusul oleh Luna. “Jay, maaf sudah merepotkan,” ucap Luna, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi yang dingin. Hari ini benar-benar melelahkan. “Tidak masalah,” balas Jayden singkat. Ia menunduk, lagi-lagi pria itu tanpa sadar melakukan kebiasaannya dengan Joylin— memasangkan sabuk pengaman pada Luna. Gadis itu refleks menoleh membuat wajah mereka nyaris bersentuhan. Pipinya memerah seketika, lalu buru-buru mengalihkan pandangannya. “Aku bisa memakainya sendiri,” ucap Luna tergugup sambil memainkan ujung baju dengan jemarinya. Jayden yang tersadar langsung memperbaiki duduknya secepat kilat. “Ah! Haha, kita jalan sekarang. Tunjukkan jalan
Jayden tertegun, “Dia? Siapa yang dimaksud Luna?” batinnya bertanya-tanya. “Luna?” sahut Jayden pelan, dengan ragu-ragu ia mendekati Luna yang tengah terhanyut dalam lamunannya. Malam begitu tenang, hanya dihiasi oleh desir angin menambah hening dan tekanan diantara mereka.Luna menoleh perlahan, matanya masih basah oleh air mata yang ia coba sembunyikan. Suara Jayden yang lembut membuat jantungnya berdebar.Dengan tangan yang gemetar, Luna segera menghapus air matanya dengan terburu-buru, berharap Jayden tak melihat sisi lemahnya.Jayden menatap Luna, sorot matanya tak pernah lepas dari gadis di hadapannya. Dia bisa melihat adanya kesedihan yang terselubung meski gadis itu berusaha menyembunyikannya.“Kau menangis?” tanya Jayden dengan nada yang lebih lembut, seolah memberikan Luna kesempatan untuk membuka diri padanya.“Ah, sepertinya ada sesuatu yang masuk ke mataku. Haha,” ujar Luna mengucek kedua matanya seolah berusaha meyakinkan Jayden kalau dirinya baik-baik saja, kemudian te
Ketika mendapat laporan dari Joylin bahwa target telah berhasil dieksekusi Jayden dan Aiden langsung menghela napas lega, seolah segala beban yang ada di bahu mereka terangkat. Keduanya bergegas menuju ke titik kumpul dengan senyum samar di wajahnya.“Jay, Aiden … Joy, dia tidak sadarkan diri,” ucap Luna terdengar panik melalui earpice di telinganya. Senyumnya memudar, kegelisahan yang tadinya bersarang di hati Jayden yang perlahan hilang kini tergantikan oleh panik dan khawatir ketika mendengar ucapan Luna.Detak jantungnya tak beraturan, Jayden berusaha untuk tetap tenang. “Apa yang harus ku lakukan? Membawanya ke rumah sakit?” pikir Jayden sambil mencengkeram erat setir mobil.“Tidak. Itu terlalu berisiko, terlebih Joylin baru saja menyelesaikan misi. Seharusnya aku tidak membiarkannya pergi sendirian,” batinnya terus bergemuruh, penyesalan mulai menggerogoti hatinya, membentuk luka baru di antara rasa bersalah yang ia pendam.“Jay, Luna, tenangkan diri kalian. Bergegaslah ke marka