Setelah bertahun-tahun melewati pelatihan yang berat dan misi percobaan yang nyaris merenggut nyawa, keduanya akhirnya diterima sebagai anggota resmi NOX pada usia dua puluh tujuh tahun.
Bagi orang lain mungkin pencapaian ini tidak berarti apa-apa, tapi bagi mereka— yang datang dengan membawa luka dan dendam— ini adalah pencapaian luar biasa yang didapatkan bukan hanya menggunakan hasil keringat, tapi juga darah dan air mata. Saat ini mereka ditugaskan sebuah area gudang tua terbengkalai untuk mengambil kembali dokumen internal NOX yang telah dicuri bersama dengan agen bernama Erico. Berbeda dengan si kembar yang datang karena balas dendam, Erico datang dari kehidupan yang nyaman dan berkecukupan. Namun rutinitas itu memicu rasa bosan di dalam dirinya hingga membuatnya memilih dunia bayangan yang penuh adrenalin—sesuatu yang tidak bisa dibeli dengan uang. Malam yang pekat dan dinginnya udara yang menusuk menemani mereka dalam menjalankan misi ini. Di sana, di dalam gudang tua itu langkah kaki mereka bertiga bergema samar di sepanjang koridor yang gelap gulita. Aroma dari karat besi dan debu yang tak tersentuh dalam waktu yang lama memenuhi indra penciuman mereka. Joylin bergerak dengan lincah menyusuri sisi kiri koridor sementara Jayden di sisi kanan. Erico dengan langkah santai yang penuh rasa percaya diri menjaga jarak aman di belakang kedua kakak beradik itu. Joylin melirik sekilas ke arah Erico yang berjalan santai di belakang mereka dengan satu tangan yang dimasukkan ke dalam saku celananya seolah ini bukan misi berbahaya. “Apa dia pikir kita sedang piknik disini?” gumam Joylin pelan melalui earpiece. Jayden mendengus pelan, “Biarkan saja, selama dia bisa menutupi punggung kita saat diperlukan,” balas Jayden tidak peduli. Tapi dari nada bicaranya, terdengar jelas bahwa ia tak sepenuhnya percaya pada pria itu. Bermodalkan cahaya remang-remang dari rembulan yang menerobos masuk dari celah bangunan, “Seseorang sudah ada disini lebih dulu,” bisik Joylin sambil menunjuk sarang laba-laba yang rusak di arah pintu yang menghubungkan ke ruangan lain. Saat perhatian Jayden dan Erico sedang terfokus pada Joylin, tiba-tiba saja terdengar suara benda jatuh dari arah rak logam yang tak jauh dari posisi mereka saat ini. Jayden refleks menunduk dan mengisyaratkan untuk bersiap. Dari balik bayangan dua pria bersenjata keluar dan melepaskan tembakan ke arah mereka. Beberapa peluru menghantam kontainer tua dibelakang mereka dan menyebarkan serpihan logam berkarat yang beterbangan di udara. Joylin segera berpindah ke pilar beton terdekat dan melepaskan beberapa tembakan balasan. Jayden memanfaatkan kesempatan itu dengan melompat ke sisi lain membuat fokus musuh terpecah. Salah satu pria maju terlalu terbuka menciptakan timing yang pas bagi Jayden untuk meluncur ke arahnya dan menghantam perut pria itu dengan lututnya serta memelintir pergelangan tangannya hingga senjatanya terjatuh. Di sisi lain, Joylin melesatkan pelurunya ke kaki pria kedua dan berhasil membuatnya tersungkur. Tetapi ada kejadian tak terduga, tiba-tiba tiga pria muncul dari kegelapan yang mengejutkan Joylin. “Back up mereka datang!” seru Joylin. Erico akhirnya beraksi, melemparkan dua pisau lipat ke arah tiga pria itu, tapi hanya satu yang tepat sasaran, menancap dipundak musuh. “Kalian membuang-buang waktu,” ujar Erico sambil melepaskan beberapa tembakan. Jayden bergerak dengan presisi menuju tumpukan palet di dekatnya dan memanfaatkan ketinggian itu untuk satu musuh dari atas dan menjatuhkan tubuh pria itu dengan hantaman keras. Salah seorang dari mereka mencoba kabur dengan membawa tas di punggungnya yang diduga berisi dokumen yang mereka cari. “Dokumennya!” teriak Joylin. Tanpa aba-aba, Jayden mengejar pria itu melewati lorong yang minim cahaya. Pria itu menjatuhkan beberapa rak logam untuk menghambat Jayden yang sedang mengejarnya. Namun usahanya sia-sia. Jayden berhasil melewati rintangan itu dan menendang punggung musuh hingga jatuh terjerembab. Dengan panik pria itu meraih senjatanya tapi Jayden mendahuluinya. Ia membanting tubuh pria itu ke dinding dan mengunci tangan di belakang yang membuatnya tidak bisa bergerak. “Aku mendapatkan mu,” bisik Jayden sambil menyentakkan tangan pria itu hingga senjatanya terjatuh. Jayden berhasil melumpuhkan musuh dengan cekatan sebelum mengikatnya agar tidak memberikan celah untuk kabur. “Katakan bagaimana kau bisa mencuri dokumen ini tanpa terdeteksi oleh sistem keamanan?” tanya Jayden berusaha menginterogasi musuh. Nafas musuhnya terdengar saling memburu dengan keringat yang mengucur deras membasahi wajahnya. “Jawab atau kubuat kau diam untuk selamanya!” gertak Jayden mengeluarkan pisau lipat dari sakunya dan menempelkannya ke bawah dagu orang itu. Orang itu menelan ludah dengan kasar. Dirinya enggan untuk memberikan jawaban. “Masih tidak ingin menjawab?” tanya Jayden lagi dengan suara yang tenang namun ada bahaya dalam nada bicaranya. “S–Seseorang telah menjualnya pada kami!” akunya dengan nafas yang terengah-engah. “Heh, Seseorang telah mengkhianati kalian,” lanjutnya sambil meludah darah. Rahang Jayden menegang, “Sebutkan siapa orang itu sekarang atau aku akan …,” ancamnya sedikit menekan pisaunya ke leher musuh. “Apa yang membuat kalian begitu lama menyelesaikan ini?” tanya Erico dengan suaranya yang berat membuat si kembar terkejut. Melihat sosok Erico yang tiba-tiba muncul membuat orang asing itu ingin mengakui sesuatu. Pria itu melirik ke arah Erico, bersiap untuk membuka mulutnya. Namun sebelum mengucapkan sepatah kata, tiba-tiba saja terdengar suara tembakan yang berasal dari pistol Erico.Joylin tersentak kebelakang mendengar suara tembakan itu lalu menatap ke arah Erico sebelum akhirnya berlutut untuk mengecek kondisi pria itu. "Meninggal," batin Joylin dengan mata yang membelalak setelah memeriksa denyut nadi orang itu. Gadis itu menggeleng pelan, sorot matanya suram.Tak ada denyut nadi. Melihat isyarat Joylin, Jayden seolah tak percaya. Padahal tinggal sedikit lagi dan sebuah fakta akan terkuak. Hal itu menyulut amarah Jayden. “Sial! Apa yang baru saja kau lakukan?! Kita hampir mengetahui siapa pengkhianatnya!” bentak Jayden menarik kerah baju Erico. Urat di dahinya cukup untuk menjelaskan seberapa murka dirinya saat ini.“Kalian terlalu membuang-buang waktu!” bentak Erico dengan pistol yang masih berasap di genggamannya melepaskan genggaman Jayden dengan kasar, lalu berjalan dengan santai menuju mobil.Jayden mengepalkan tinjunya dengan Erat hingga urat di tangannya timbul karena kejadian barusan. Baginya, tindakan Erico sangat mencurigakan. “Bedebah sialan! Apa s
Setelah bertahun-tahun melewati pelatihan yang berat dan misi percobaan yang nyaris merenggut nyawa, keduanya akhirnya diterima sebagai anggota resmi NOX pada usia dua puluh tujuh tahun.Bagi orang lain mungkin pencapaian ini tidak berarti apa-apa, tapi bagi mereka— yang datang dengan membawa luka dan dendam— ini adalah pencapaian luar biasa yang didapatkan bukan hanya menggunakan hasil keringat, tapi juga darah dan air mata.Saat ini mereka ditugaskan sebuah area gudang tua terbengkalai untuk mengambil kembali dokumen internal NOX yang telah dicuri bersama dengan agen bernama Erico.Berbeda dengan si kembar yang datang karena balas dendam, Erico datang dari kehidupan yang nyaman dan berkecukupan.Namun rutinitas itu memicu rasa bosan di dalam dirinya hingga membuatnya memilih dunia bayangan yang penuh adrenalin—sesuatu yang tidak bisa dibeli dengan uang.Malam yang pekat dan dinginnya udara yang menusuk menemani mereka dalam menjalankan misi ini. Di sana, di dalam gudang tua itu lang
Setelah beberapa jam berlalu, akhirnya bel yang menandakan usainya kegiatan di sekolah berbunyi. Suasana senja hari itu indah seperti biasanya, daun-daun berguguran suara angin, serta kicauan burung menambahkan kesan yang damai.Joylin mengajak Jay pulang jalan kaki melewati pinggiran sungai dan membahas ini dengan santai sebelum tiba dirumah. Informasi yang mereka temukan masih mengganjal dipikiran Jayden. “Joy, Aku akan mengambil jalan yang sama dengan Papa dan Mama,” ucap Jayden langsung ke intinya.“Kalau begitu aku jug—” perkataan Joylin terpotong oleh sorot mata Jayden yang tajam. “Tidak … Jangan bercanda seperti itu! Aku tak menyukai candaan mu itu, Jay!” bentak Joylin sambil mengguncang kasar tubuh Jayden. Tangannya mencengkram erat kerah baju Jayden dan menatapnya dengan mata yang memerah. Nafasnya saling memburu hingga akhirnya air matanya mengalir membasahi pipinya, “Kau benar-benar keterlaluan!” desis Joylin sambil menyeka air matanya.Gadis itu menutupi wajahnya dengan
Jayden menatap dalam adiknya, “Kau mimpi tentang Papa dan Mama lagi?” tanya Jayden khawatir. Pemuda itu memberikan segelas air untuk Joylin yang masih duduk di sofa dengan napas yang tersengal.“Aku …,” ucap Joylin, tangannya sedikit gemetar saat menerima gelas itu. “Merindukan Papa dan Mama,” lanjutnya dengan suara bergetar sambil menggigit bibir bawahnya.“Cerita padaku. Jangan menyimpannya sendirian,” ucap Jayden memeluk Joylin, dahinya berkerut. Ia tahu persis bagaimana beratnya mereka melewati hari-hari setelah kejadian itu terlebih lagi untuk Joylin yang selalu menunggu kepulangan Ethan dan Hana yang kala itu telah meninggalkan mereka berdua selamanya.Joylin meletakkan gelas yang dipegangnya di sebuah meja kecil yang berada tak jauh dari posisinya saat ini. Pandangannya tiba-tiba saja tertuju pada frame foto yang ada di meja itu. “Foto ulang tahun kita yang ke sepuluh, sekaligus ulang tahun terakhir kita bersama Papa dan Mama,” gumam Joylin meraih foto itu.“Sudah bertahun-tah
Sarah melangkahkan kakinya ke arah pintu depan setelah mendengar nada ketukan yang tidak asing baginya. Jantungnya berdegup tidak karuan, hatinya terus menerka-nerka apakah suami dan iparnya berhasil pulang dengan selamat atau justru malah sebaliknya.Matanya terbelalak ketika melihat sosok suaminya yang penuh debu dan beberapa bercak darah di beberapa bagian tubuh kekar itu. “Nathan! Apa yang terjadi? Dimana Hana dan Ethan?” tanya Sarah sambil mengguncangkan tubuh suaminya. Tanpa aba-aba, Nathan memerangkap Sarah dalam pelukannya, tangis yang sedari tadi ditahan oleh Nathan akhirnya pecah juga.Tanpa bertanya lebih lanjut, Sarah seolah mengetahui apa yang terjadi namun hatinya seakan menolak mempercayainya. Dadanya kembang kempis seolah jantungnya sebentar lagi akan meledak, pupil matanya terlihat bergetar, “Tidak … tidak mungkin,” lirih Sarah, kepalanya menggeleng pelan.Nathan memeluk tubuh Sarah dengan erat, “Aku gagal, Sarah. Ethan dan Hana … Aku tak dapat menyelamatkan mereka,”
Dunia Hana seakan hancur, wanita itu jatuh terduduk dengan tatapan kosong. “Tidak … Ethan … tidak mungkin,” gumamnya sambil mengacak-acak rambutnya. Air matanya jatuh dengan derasnya, dadanya yang sesak membuat nafasnya tersengal-sengal.Dengan cepat Hana mengambil beberapa barang dan membangunkan kedua anaknya. “Joy, Jay, kita akan ke rumah Paman Nathan dan Bibi Sarah. Mama harus ke kantor sekarang,” ucap Hana berusaha tetap tenang dan menyembunyikan kesedihannya.Joylin dan Jayden yang kala itu sudah menginjak usia sepuluh tahun telah terbiasa dengan hal ini. Ketika ayah dan ibu mereka mendapat panggilan dari kantor, mereka akan dititipkan di rumah paman dan bibinya.Perjalanan mereka menuju rumah Nathan dan Sarah diselimuti keheningan. Hanya suara mesin mobil yang menemani perjalanan. Joylin dan Jayden yang masih mengantuk tertidur di kursi belakang.Hana berusaha tetap fokus dalam menyetir, dadanya masih sesak. Sesekali kristal bening itu jatuh dari sudut matanya. Ia berusaha mena