Seindah apapun hidup seseorang, pasti memiliki masa kejam yang membuat orang lain terkena imbas
–
"Mama!"
Fiona tidak sanggup lagi mendengar lontaran kejam bagai belati mendarat mulus melalui bibir wanita paling dia sayang. Mungkin terdengar konyol kalau sifat lemah lembut Prisha selama enam belas tahun ini berubah sekejap mata menjadi seperti kerasukan setan. Antara mustahil terjadi dengan meragukan kasih sayang yang terus dia dapatkan.
Beban pikirannya bertambah. Tak lagi mencakup perihal dunia remaja, melainkan menyebar hingga pertengkaran keluarga. Lingkup terlampau jauh baginya mengingat belum genap memasuki masa penuh pilihan. Namun, dia dituntut lebih dewasa dalam menangani kasus yang melibatkan saudaranya ini. Entah sanggup atau tidak, harapan tinggi menjulang selalu terulur kepada Tuhan. Melibatkan seluruh pihak sebagai bahan tambahan guna memperlancarkan serentetan doa.
Tangan Prisha yang sudah mengambang tertahan oleh cekalan kuat Fiona. Anak sulung Wijaksana gesit mempertunjukkan aksi melindungi sang adik atas penganiayaan sengaja. Merekatkan pegangan, tatapan menghunus bak pedang pun tak bisa lagi terelakkan. Saling beradu tatap dengan masing-maaih melempar bola mata berbentuk ala kobaran api.
"Stop, Ma!" bentak Fiona frustrasi. Gagal menetralkan deru napas dengan tubuh gemetar hebat. Kali pertama menentang sosok kebanggaan adalah hal mendebarkan dalam sejarahnya. "Fiona bilang stop! Berhenti!"
"Nggak! Adikmu mau mati! Anak sialan ini bilang sendiri ke mama!" berang sang wanita paruh baya ganti memandang penuh murka ratusan helai cewek yang masih dalam pegangan tangan satunya.
"Dia anak mama! Bukan anak sialan!" Fiona masih berupaya menyadarkan meski dengan seruan bernada tinggi juga.
Selang beberapa menit, roh Prisha seperti kembali. Kondisinya mendadak linglung. Jeritan menggelegar memekakkan telinga dibarengi adegan menutup mata berikut menghalau udara memasuki gendang telinga sontak mengejutkan dua manusia di sana. Flora turut gelagapan memandangi gelagat aneh mamanya meski nyeri enggan menghilang merambati kepala. Begitu pula Fiona yang berganti menyadarkan Prisha dengan menepuk-nepuk histeris bagian wajah.
"Ma! Mama! Jangan bercanda dong." Cewek berpipi basah kuyup kelimpungan mencari cara menormalkan gerak-gerik wanita di depan. Berlaku hal sama dengan cewek berwajah tak jauh berbeda.
Bukan sadar yang terjadi, melainkan jatuhnya badan padat berisi Prisha menjawab segala usaha Fiona dan Flora. Mereka kompak meneriakkan sang mama sebelum bekerja sama membawa tubuh wanita tercinta menuju tempat peraduan. Flora menghubungi dokter kepercayaan keluarga Wijaksana dengan raga menggigil hebat. Sementara Fiona masih berhasrat diberi anugerah oleh Tuhan untuk menyadarkan Prisha. Namun, hasilnya nihil hingga sosok pria berjas putih datang tergopoh.
Flora sama-sama shock dan terpukul, tetapi dia mampu mengimbangi dengan menenangkan sang kakak. Drama anak tiri dikesampingkan secara alami, mempersatukan putri penerus Wijaksana dalam keadaan nestapa. Mereka saling menguatkan, memberi tenaga ketenangan seolah menyatakan diri baik-baik saja. Terlihat munafik memang, mereka pun kompak memanfaatkan situasi agar bisa mengontrol diri andai kejadian lebih buruk menimpa keluarganya lagi.
"Nyonya Prisha mengalami stres berat. Butuh istirahat cukup serta tidak membebani terlalu banyak pikiran," tutur dokter Gunawan memberi penjelasan kepada dua gadis menginjak remaja. Dia juga memberitahu sudah menginformasi hal ini kepada Prabu.
Usai mendapat petunjuk penggunaan obat, Flora mengantar dokter Gunawan pergi. Lain halnya Fiona yang duduk samping wanita terbujur lemah. Merapalkan beragam doa seraya menggenggam erat tangan hangat sang mama. Rasa bersalah hadir membuncah manakala memori adu mulut beberapa waktu lalu terputar bagai kaset rusak. Dia merasa seperti manusia paling berdosa, melontarkan ungkapan maaf berulang kali sembari terisak pilu. Diam-diam Flora mencuri dengar, ulu hati ikut remuk redam melihat begitu kakaknya bisa lebih leluasa menunjukkan cinta kepada Prisha. Sedangkan dia? Memberi pelukan atau sekadar mengucap rayuan saja harus berpikir-pikir terlebih dahulu.
Melalui itu, dia dirundung ketidakadilan untuk kesekian kali.
***
Ternyata Prabu datang beberapa jam kemudian. Segera menghampiri istri yang betah memejamkan mata. Fiona setia mendampingi, tak bergerak sejengkal pun kecuali menunaikan kewajiban seorang muslimah. Flora seringkali mengintip, mengisi kekosongan manakala sang kakak keluar tergesa. Mereka masing-masing membagi tugas tanpa diberi komando.
"Prisha," panggil pria berbalut jas kebesaran yang tampak gagah walau hampir menginjak kepala lima.
Fiona terperanjat menangkap suara serak sosok paling dirindukan, termasuk Flora. Dia bahkan langsung memasuki kamar orang tuanya, mengindahkan omelan Prisha nanti karena berani memasuki ruang pribadi. Iya, wanita itu pernah memberi perintah agar anak keduanya tidak sembarangan masuk ke dalam tempat berdominasi warna pastel kegemaran Prisha.
Prabu setia meratapi nasib tubuh sang istri yang enggan membuka kelopak mata. Fiona menjelaskan penuturan dokter Gunawan sedetail mungkin. Ditanggapi anggukan lemah diiringi pergerakan semula—berdiri tegap menghadap kasur king size dihuni raga Prisha.
"Flora?" Panggilan lembut bercampur tegas mengisi kesunyian sesaat. Jelas ditangkap semua orang di sana termasuk sang pemilik asma.
"Papa ...."
Cewek berpenampilan rumahan segera berhamburan ke dalam dekapan sosok paling berharga baginya di dunia. Prabu jarang memijakkan kaki ke dalam rumah, apa lagi memberi kasih sayang pada dua anak gadisnya. Namun, kepastian Prabu dalam menyalurkan tugas sebagai orang tua baik selalu dijalankan sebaik mungkin.
"Fiona?"
Cewek yang sedari tadi bungkam akibat terlalu larut mendalami Flora yang seolah melimpahkan segala kerinduan terpendam kepada sosok Prabu. Dia sadar terlalu keterlaluan mengambil kasih sayang sepenuhnya Prisha, meski kenyataan pihak bersalah tentu bukanlah dirinya. Namun, dia juga ingin bersikap egois memperjuangkan hak anak. Perlu diimbangi dengan sentuhan lembut Prabu.
Maka, panggilan itu seketika mengejutkan Fiona. Dia pun mengembangkan senyum seketika, lalu lekas melakukan hal sama seperti adiknya.
"Flora rindu papa," ungkap cewek sebelah kanan Prabu manja, semakin menelungkupkan muka dalam dada terbilang bidang.
"Fiona juga. Miss you so much, Dad."
Prabu tersenyum memunculkan kerutan menghiasi wajah yang tak lagi muda. "Papa juga rindu kalian. Long time no see, little princess and queen Wijaksana."
Mereka melampiaskan kerinduan mendalam melalui pelukan super erat. Prabu sampai terbatuk akibat kebrutalan aksi dua anak gadisnya. Kemudian, berakhir menggelar gelak, membiarkan bahagia menyapa sejenak setelah dirundung kesedihan teramat dalam.
"Papa ...."
Suara tak asing hinggap menyapa indra pendengaran semua orang di sana. Kompak saling memindahkan atensi ke arah wanita yang sudah menyunggingkan senyum terindah bagai mentari pagi. Prabu sontak menghamburkan dekapan penuh haru kepada sang istri, tentu saja setelah acara melempar rindu dengan anak-anaknya.
Mereka tampak layaknya keluarga bahagia. Namun, ternyata hal itu tak berlangsung lama. Mata Prisha kembali berkilat marah usai menangkap keberadaan Flora di samping anak kesayangannya. Sungguh, bukan niatan cewek itu membuat sang mama kembali menjerit histeris. Prabu bahkan kewalahan mengatasi Prisha yang terkena gangguan, lagi. Fiona buru-buru tanggap mengambil obat, lalu membisikkan sesuatu menenangkan, berupaya sesuai interupsi dokter Gunawan.
Melihat kondisi sang istri berangsur membaik, Prabu pun pergi seraya membawa anak keduanya. Saling melempar tatapan beberapa detik sebelum melontarkan pernyataan yang mengakibatkan hatinya terasa terkoyak belati.
"Nak, maafkan Papa karena mengatakan ini ke kamu. Tapi, Mama butuh waktu untuk menerima kamu. Sabarlah sedikit, tolong bantu Papa dan kakakmu mengobati penyakit Mama. Bisa, kan, little princess?"
Waktu seolah terhenti bagi Flora. Dia tidak bisa menolak walau ada suara hati menggumamkan ketidakrelaan. Mengangguk pelan, uluran tangan bangga Prabu menutup kisah pilunya hari ini.
Bersambung
Syukuri orang-orang sekitar yang memedulikanmu–Begadang membantu mengurus wanita tersayang membuat mata teramat berat sekadar terbuka guna memperhatikan pelajaran. Gerakan menguap berulang kali mengambil perhatian dua temannya. Anaya pun mendukung aksi tiduran Flora yang berujung terlelap pulas, tertinggal beberapa materi penting seputar pelajaran favorit. Sangat tidak beruntung dirinya gagal mendapat kesempatan menjadi anak teladan.Berhubung kelas bukanlah tempat paling ampuh untuk menuju alam mimpi, Flora berjalan ogah-ogahan memasuki perpustakaan. Hawa dingin langsung menghampiri, menyergap tubuh melalui celah seragam. Benar-benar ruangan ternyaman di seluruh sekolah. Dia hanya baru menyadari saja betapa nikmat mendekam lama-lama di dalam tempat berbau buku.Indra penglihatan melebar menemukan tempat kesukaan terang-terangan menyambut bahagia. Kaki bergerak cepat menghampiri bangku pojokan. Duduk tegap sepersekian detik sembari mengedarkan pan
Kamu tidak sendirian. Aku selalu bersamamu – "Bimbel kamu jadi gimana?" Flora menolehkan kepala, mengganti perhatian dari pemandangan jalanan menuju wajah tampan sang kekasih. Beruntung pikiran mengajak berdamai sejenak, menghalau beragam teka-teki maupun beban yang hendak mendekam. Akan tetapi, hal itu agaknya tidak berlangsung lama. Sebab, laki-laki mengemudikan kendaraan ini menyulut masalah baru, menggali sesuatu yang membuat otak berputar guna mencari jawaban paling tepat. Tak lekas mendapat sahutan, Rizal mencoba menggerakkan bola mata sekilas disela kesibukan memutar-mutar setir. Tampaknya cewek berambut kecokelatan itu dilahap lamunan panjang. Tentu saja tatapan kosong tercipta ditunjang dengan badan yang enggan bergerak bak patung. Menghela napas kasar, Rizal bingung menanggapi sifat kekasihnya akhir-akhir ini. Flora terlihat
Tanpa disadari, banyak orang sekitar yang menyayangimu sepenuh hati–Pertanyaan gamblang kala sibuk merenung mengakibatkan waktu setengah jam istirahat terbuang sia-sia. Perut yang sedari pagi mengomel minta diberi asupan, nyatanya harus mengkerut menahan nyeri mati-matian. Flora tidak berbohong tentang jawaban sudah sarapan. Iya, makan roti pakai selai strawberry satu biji. Lalu meneguk separuh susu sajian sendiri. Sarapan praktis nan kurang mengenyangkan.Mengaduh terus-menerus sepanjang pembelajaran, Jihan memutuskan meminta izin untuk mengantar teman sebangkunya pergi ke UKS. Sekalian juga menabung tidur sebentar biar nanti malam puas maraton drama baru, ungkapnya jujur manakala kaki menyusuri koridor sunyi. Melewati banyak ruangan memicu rasa penasaran dua manusia berseliweran itu, meski sesekali Flora mencengkeram rok bagian bawah, merasakan gejolak perih mengoyak habis perutnya.Cewek i
Rasa iri normal terjadi. Yang tidak wajar ketika dibiarkan menguasai diri–Tak lagi melewati pekarangan rumah adalah rutinitas baru anak bungsu Wijaksana. Kehadiran yang justru dianggap bakteri menimbulkan lara menganga teramat pilu. Amanah Prabu terpaksa dilakoni demi mengharapkan kepulihan sosok kesayangan. Flora memandang miris tiap kali melirik bangunan megah menjulang indah. Dia seperti orang asing yang numpang hidup di sana. Tiga hari berlalu begitu berat. Pijakan kaki terkulai lemah acap kali memasukkan badan melalui pintu belakang. Prisha selalu menunggu kepulangan anak tercinta, mustahil dapat menghindari sorot nyalang ketika leluasa melewati pintu utama.Flora ingin cepat-cepat melihat senyum merekah penuh pesona di bibir Prisha, walau itu tidak diperuntukkan baginya. Sudah cukup hanya lewat perantara saja. Efek bahagia dapat menular begitu saja. Sederhana, tetapi sulit terlaksana. Apa lagi dia gagal tur
Seindah apapun hidup seseorang, pasti memiliki masa kejam yang membuat orang lain terkena imbas–"Mama!"Fiona tidak sanggup lagi mendengar lontaran kejam bagai belati mendarat mulus melalui bibir wanita paling dia sayang. Mungkin terdengar konyol kalau sifat lemah lembut Prisha selama enam belas tahun ini berubah sekejap mata menjadi seperti kerasukan setan. Antara mustahil terjadi dengan meragukan kasih sayang yang terus dia dapatkan.Beban pikirannya bertambah. Tak lagi mencakup perihal dunia remaja, melainkan menyebar hingga pertengkaran keluarga. Lingkup terlampau jauh baginya mengingat belum genap memasuki masa penuh pilihan. Namun, dia dituntut lebih dewasa dalam menangani kasus yang melibatkan saudaranya ini. Entah sanggup atau tidak, harapan tinggi menjulang selalu terulur kepada Tuhan. Melibatkan seluruh pihak sebagai bahan tambahan guna memperlancarkan serentetan doa.
Keadilan perlu ditegakkan demi menciptakan keharmonisan–Hawa sekitaran mulai memanas. Dua manusia berstatus sebagai ibu dan anak saling melemparkan pancaran berbeda. Keheningan meluap bebas tanpa ada seorang pun menghancurkan dengan seuntai kalimat penenang. Bagai penonton gratisan, Fiona tampak terkejut mengetahui kesalahpahaman itu. Namun, belum berani menengahi amarah Prisha yang membludak drastis.Berbanding jauh oleh Flora. Cewek itu amat terkesiap mendapat reaksi spontan berupa sentuhan fisik yang sebenarnya diidam-idamkan. Nahas, bukan seperti harapan yang dipenuhi kasih sayang, justru berbentuk luka kepalang dalam. Memunculkan nyeri sampai ke ulu hati. Tak bisa berkata banyak—sekadar menyalahkan tuduhan—karena terlanjur diredam kekecewaan."Ma ....