Share

07 | Kesalahpahaman Membesar

Keadilan perlu ditegakkan demi menciptakan keharmonisan

Hawa sekitaran mulai memanas. Dua manusia berstatus sebagai ibu dan anak saling melemparkan pancaran berbeda. Keheningan meluap bebas tanpa ada seorang pun menghancurkan dengan seuntai kalimat penenang. Bagai penonton gratisan, Fiona tampak terkejut mengetahui kesalahpahaman itu. Namun, belum berani menengahi amarah Prisha yang membludak drastis.

Berbanding jauh oleh Flora. Cewek itu amat terkesiap mendapat reaksi spontan berupa sentuhan fisik yang sebenarnya diidam-idamkan. Nahas, bukan seperti harapan yang dipenuhi kasih sayang, justru berbentuk luka kepalang dalam. Memunculkan nyeri sampai ke ulu hati. Tak bisa berkata banyak—sekadar menyalahkan tuduhan—karena terlanjur diredam kekecewaan.

"Ma ...." Fiona membuka obrolan, mencoba mencairkan keadaan. Berjalan perlahan mendekati raga yang naik-turun beraturan, terlalu jelas sedang menetralkan deru napas.

Tatapan nyalang Prisha tidak lepas begitu saja dari iris kecokelatan anak kedua seolah memutus kesempatan Flora untuk membuka suara.

"Ma, adik nggak salah. Dia nggak salah apa-apa," beo cewek berparas menawan tertutup bekas lebam. Menggapai pundak sang wanita paruh baya, memberi elusan lembut berupaya menghentikan perdebatan sarat kesalahpahaman.

"Nggak, Fi. Semuanya memang salah dia. Anak itu sudah berjanji pada Papa dan Mama untuk menjaga kamu di sekolah baru. Nyatanya apa?" kelakar Prisha mengenyahkan nada lembut seperti biasa. Amarah meletup-letup kontras akan sorot membara terus tertuju ke arah cewek bermata sayu. "Pendusta!"

"Mama ...." Fiona merengek tatkala ungkapan kasar yang pasti menimbulkan luka teramat pedih bagi sang adik keluar mulus melalui wanita paling berharga.

Dia tidak sanggup lagi memperhatikan air muka Flora yang semakin nyata memunculkan nestapa. Amukan dahsyat dari Prisha menyadarkan satu hal bahwa tindakan adiknya selama ini pasti ada sangkut paut terhadap perlakuan wanita itu. Selagi bisa membuka mata batin untuk menilai, peristiwa ini juga menciptakan rona baru dalam keluarga. Tak lagi seharmonis dahulu kala. Ketidakberadaan Prabu menambah kesan pilu mendera sekumpulan makhluk berjenis kelamin perempuan ini.

Fiona harap-harap cemas menatap iba cewek berparas secantik dirinya berjarak lima langkah. Dia ingin Flora mengungkapkan keluh kesah yang sudah lama mendekam rapat dalam hatinya. Akan tetapi, menyadari kebisuan nan kepasifan cewek itu menanggapi celetukan pedas Prisha melenyapkan setumpuk harapan.

Daripada berlama-lama menyatukan dua makhluk yang berseteru, Fiona memutuskan menarik lembut badan berisi sang mama, membawa pergi dari hadapan Flora. Tidak ada ambisi tercipta manakala menangkap pandangan kosong cewek itu. Fiona paham betul bagaimana remuknya batin nan raga si kembaran. Maka, inilah pilihan paling tepat alih-alih menyuruh Flora menghilang dari hadapan Prisha.

"Kita ke kamar saja, ya, Ma?"

Tanpa menunggu persetujuan, Fiona terus menarik pergelangan sang mama. Meski butuh beberapa waktu karena Prisha masih mengobarkan api melalui pancaran netra, kedua kaki pun akhirnya turut mengikuti ajakan putri sulungnya. Membiarkan tubuh dibawa menaiki anak tangga menuju ruang pribadi bersama sang suami.

Sementara Flora masih betah terjun ke dalam dunia imajinasi. Enggan mempercayai kenyataan pahit mengenai kebengisan Prisha terhadap dirinya.

***

Jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Fiona mondar-mandir di dalam kamar memikirkan nasib tragis sang adik. Terakhir kali dia ke dapur guna mengambil segelas air, menemukan Flora betah berdiri membeku persis patung. Di tempat sama seperti tidak ada pergerakan terjadi selama dirinya berhasil menenangkan Prisha. Ketika azan maghrib menggema, saat itulah mata lumayan lebarnya tak lagi menemukan keberadaan sang adik.

Beragam pikiran buruk bermunculan, paling membuat debaran menggila ada kemungkinan bunuh diri. Tidak! Fiona mengusir dugaan kotor. Mengupayakan otak menerima lontaran positif saja. Namun, selalu menghasilkan kegagalan. Dia ditikam penasaran yang betulan mengambil alih ketenangan.

"Flora ... Di mana kamu sekarang ...," gumamnya gusar.

Ketika akal berkelana bebas, indra pendengaran menangkap derit pintu tertutup. Jelas sekali bahwa suara itu berpusat dari ruang depan, yaitu kamar Flora. Fiona pun bergegas keluar, mengecek langsung keberadaan sang adik di dalam ruangan. Hampir menggerakkan gagang sebelum pemikiran tentang dirinya yang begitu menyebalkan hadir memenuhi isi kepala.

Fiona sadar keberadaannya di mata Prisha jauh berbeda. Dia pun mulai menerima risiko atas segala perlakuan yang diberikan adiknya nanti, sampai kapan pun. Bertekad dalam hati, berusaha memperjuangkan hak sama antara anak dari Prisha dan Prabu.

Niatan masuk ke dalam seketika pudar, perlahan-lahan kembali memasuki kamar sebelum panggilan sang mama terdengar.

"Belum tidur, Nak?"

Fiona menerbitkan senyum tipis sembari menggeleng lemah. Pandangannya sempat mengarah ke samping, tempat sang adik menyembunyikan kepedihan seorang diri. Hal itu tak lepas dari pengawasan mata tajam Prisha. Dia mengeluarkan decak, mengulurkan tangan guna memberi elusan sayang di puncak kepala anak sulungnya.

"Tidur, yuk? Sudah malam, lho. Besok mama anterin kamu ke sekolah," tutur Prisha tanpa menghentikan aktivitas mengabsen surai legam Fiona, membuat lawan bicara mendadak membulatkan mata.

"Kenapa mama ke sekolah?"

Prisha menjauhkan tangan, mengubah ekspresi kembali garang. "Tentu saja untuk meminta pertanggung jawaban dari pihak sekolah karena ada yang melukai putri mama."

"Apakah Mama akan melakukan hal sama saat Flora terluka seperti aku?"

Wanita paruh baya itu sempat terkejut mendengar pertanyaan sarkas dari anak kebanggaannya. Air muka garang berganti datar serupa keramik lantai. "Ya," balasnya singkat.

Fiona menghela napas panjang, tidak mengerti alasan dibalik sifat buruk sang mama dalam menghadapi dua anak. Padahal, orang tuanya dikaruniai dua putri saja, tetapi mengapa sangat senang membuat bencana dalam keharmonisan keluarga?

"Mama tidak adil dengan kami," ungkap Fiona memunculkan sorot kecewa.

"Apa maksudmu? Mama sudah berusaha maksimal memberikan kasih sayang kepada kalian," sanggah Prisha mulai tersulut amarah.

"Tapi, Ma—"

Bunyi pintu terbuka mengalihkan perhatian dua manusia yang berdebat di sana, memotong bentuk protes Fiona kepada wanita di depannya. Tampak Flora berdiri dengan tatapan kosong. Sekilas cewek itu mirip seperti makhluk kekurangan asupan energi, amat mengenaskan.

"Flora—"

"Belum tidur juga? Ngapain aja di dalam?" Prisha lagi-lagi memotong suara Fiona.

Bukankah jelas berbeda perlakuan Prisha terhadap dua anaknya? Bandingkan saja ketika menanyakan kondisi anak yang hingga saat ini masih terjaga. Nada Prisha cenderung ketus saat berbicara kepada anak kedua.

"Lo." Flora menunjuk Fiona melalui sorot mata yang sedikit menajam, mengabaikan pertanyaan wanita paruh baya di depan. "Nggak perlu belain gue," imbuhnya setenang air di lautan tak berpenghuni.

Cewek itu hendak berjalan menjauh, tetapi gagal karena cengkeraman kuat dari Prisha menimbulkan sakit luar biasa di sekujur kepala. Wanita berperan antagonis begitu profesional menarik surai kecokelatan Flora yang menjuntai bebas.

"Mama!" pekik Fiona seraya mencoba melepaskan cekalan wanita itu dari ratusan rambut sang adik.

"Anak tidak tahu diri! Berani sekali kamu mengabaikan mama!" sembur Prisha berbalut kemurkaan.

"Mama ... please ... stop!"

Racauan Fiona tak menghasilkan apa-apa, malah memperkuat kepalan yang hampir saja bisa merontokkan seluruh helai rambut Flora.

"Aku pasrah, Ma. Mau mati sekarang pun aku sanggup," ujar Flora yang kini terpejam seolah meresapi pedih teramat sangat yang menghujam kepala.

"Kamu mau mati? Baiklah."

"Mama!"

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status