Dua bulan kemudian Lily terus memegangi perutnya yang sedari malam terus merasakan kontraksi yang berlebihan. Teriakannya yang terakhir membuat Tya, sahabatnya terbangun. Ia berlari masuk ke dalam kamar Lily. Matanya membelalak melihat air ketuban yang keluar dan melewati kaki Lily. "Tya, aku mau melahirkan," rengek Lily mengaduh kesakitan. Tya membantu menenangkan Lily dan memanggil Bagas melalui ponselnya. Tak sampai lima belas menit, Bagas datang dan langsung menggendong Lily masuk ke dalam mobilnya. Sementara Tya duduk di samping Lily sambil terus memegangi tangannya. "Tahan ya. Sebentar lagi sampai rumah sakit," bisik Tya. Lily mengangguk. Bibirnya digigit untuk menahan sakit yang menguat. Rasanya, tulangnya bagaikan dipatahkan ribuan kali. Sesampainya di rumah sakit, Lily langsung dibawa ke ruangan bersalin. Tya dan Bagas berharap-harap cemas. Keduanya duduk sambil menunduk dan berdoa dalam hati masing-masing untuk Lily yang sedang berjuang di dalam sana. "Aku belum pernah
Rayyan masuk tanpa permisi ke dalam ruangan kerja Abi. Matanya memandang sekeliling ruangan sebelum berhenti tepat pada sosok Abi yang sedang sibuk bekerja. Abi mengangkat wajahnya, menatap bingung pada sepupunya yang nampak diam tanpa kata. Dia pun bertanya,"Kamu kenapa?" "Aku bertemu dengan Bagas di rumah sakit," ujar Rayyan dengan tatapan bingung. Abi hampir mendelik kaget. Untung saja ia segera mengubahnya datar. Ia ingat, tadi pagi Bagas mengirimkan kabar bahwa Lily baru saja melahirkan. Tentunya hanya dirinya saja yang tahu. "Oh, ya? Lalu?" tanya Abi berpura-pura tidak tahu. Ia melanjutkan lagi pekerjaannya sambil mendengarkan ocehan Rayyan. "Dia masuk ke ruangan bersalin. Dia membawa perlengkapan bayi. Aku hampir saja memergokinya kalau saja papa tidak menghubungiku," sesal Rayyan. Abi bernapas lega. Perlahan ia melirik Rayyan yang masih berdiri di hadapannya dan mengusap dagunya. Nampaknya ia masih penasaran dengan apa yang tadi dilihatnya di rumah sakit. Rayyan itu licik,
Berjalan cepat menuju ruangan yang dimaksud oleh Rayyan, Abi diam-diam mengirimkan pesan pada Bagas untuk segera keluar dari rumah sakit sesegera mungkin. Beruntung Rayyan mengulur waktunya hingga dua jam hanya untuk mengelabui istrinya yang ternyata mengikutinya dari belakang. "Itu dia," tunjuk Rayyan. Di ujung selasar ruangan khusus bersalin ada sebuah kamar, Rayyan percaya diri sekali jika itu adalah ruangan tempat Lily dirawat. Tangan Abi mulai gemetar. Pesan yang ia kirimkan ke Bagas baru saja dibacanya. Ia hanya bisa berdoa dalam hati agar Lily dan Bagas sudah pergi dari kamar itu. Rayyan membuka kamar yang ia tunjuk, berharap Lily ada di dalam dan ia bisa melihat wujud anaknya yang sudah lahir ke dunia. Namun, amat terkejutlah ia saat melihat ruangan itu telah kosong. Hanya ada perawat yang sedang membersihkan ruangan. "Ada yang bisa dibantu, Pak?" tanya si perawat. Rayyan terdiam sejenak. Ia melangkah masuk ke dalam ruangan memeriksa setiap jengkalnya. Barangkali Lily masih
Lily tidak bodoh saat Tya memberitahunya tentang tawaran Rayyan untuk menghadiri rapat besar di perusahaannya. Meski nama ayahnya menjadi salah satu pemegang saham terbesar, tetap saja namanya tak masuk hitungan. Ia memutar otak sejenak, berpikir jernih apakah rencananya harus dijalankan atau tidak. “Rumit,” ucap Lily dengan tatapan yang sangat sulit diartikan. Bagas mengerutkan dahinya, begitupun dengan Tya. Mereka memang tak mengerti dengan alur kehidupan di keluarga Ardiwira yang katanya berliku dan penuh aturan. Kakak Rayyan pernah terlibat cinta segitiga dengan salah satu karyawan ayahnya hingga akhirnya dinikahkan paksa dengan anak tunggal keluarga terpandang di Surabaya. Rayyan pun sama. Pria pengecut yang memilih menceraikan istrinya demi wanita problematik yang paling dibenci seantero negeri. Sungguh perpaduan yang sempurna. “Keluarga Rayyan memang mengerikan. Bagaimana dulu kamu bisa terlibat di dalamnya?” ujar Tya tiba-tiba. Ia mendapatkan delikan dari Bagas karena ucap
Rayyan berdiri tegak di depan kafe milik Tya yang pernah ia sambangi beberapa bulan yang lalu. Tangannya disilangkan ke dada dengan picingan mata yang tajam seakan ingin melubangi tempat itu. Ia berjalan bolak-balik hingga kafe itu buka. Ia segera masuk ke dalam tanpa bertanya apakah kafenya sudah buka atau belum. Rayyan duduk di salah satu kursi dengan tatapan mengarah ke sebuah ruangan yang ia yakini pemiliknya belum datang hingga saat ini. “Maaf, Pak. Kafe kami belum buka sepenuhnya. Ada yang ingin dipesan sembari menunggu menu yang lainnya?” tanya salah satu pegawai yang mendekati Rayyan. “Saya pesan cappucino dan waffle,” ucap Rayyan tanpa melihat si pegawai. Sepuluh menit menunggu, minuman yang ia pesan pun datang. Rayyan mengecek arlojinya lalu bertanya pada salah satu pegawai yang sedang membersihkan meja. “Hari ini bos kalian datang atau tidak?” Pegawai yang ditanya terdiam sambil mencari jawaban yang tepat. “Biasanya Bu Tya datang sebelum makan siang,” jawabnya. Rayyan
Pengintaian Nayya selama dua Minggu tak membuahkan hasil sama sekali. Tak ada tanda-tanda seorang wanita muda memasuki kafe yang terletak di ujung jalan dekat mall dengan ciri-ciri sama dengan Lily. Tak ada sama sekali. Nayya pun geram. Akhirnya, ia masuk ke dalam kafe tersebut dengan niat ingin mencari informasi lebih akurat. Siapa tahu saja Lily sedang menyamar di sana. Hampir satu jam Nayya duduk sambil menunduk memperhatikan setiap pengunjung yang datang. Berkali-kali ia mendesah kesal saat melihat ke arah pintu, bukan seseorang diharapkannya yang muncul. Tak patah semangat, ia akhirnya mencari sebuah ruangan yang pastinya itu adalah ruangan rahasia pemilik kafe ini. Bibirnya tersenyum saat menemukan tempat yang dimaksud olehnya. "Ah, instingku tepat kali ini." Nayya pun membuka pintu ruangan yang ia temukan tadi. Perlahan ia masuk lalu kemudian duduk di sofa sebelah pintu. Ruangan nyaman ini penuh dengan aneka foto dan lukisan dinding. Mata Nayya menelusur sekeliling hingga
Berkat informasi yang diberikan oleh salah satu temannya, Nayya berhasil mendapatkan alamat rumah sahabat Tya. Rumah sederhana yang cukup besar dengan lingkungan asri. Nayya tersenyum licik saat memandangi rumah itu. Satu langkah lagi, ia berhasil menemukan Lily yang bersembunyi di dalam sana. "Tidak sabar melihat reaksi Lily. Apakah dia akan melotot atau kebingungan? Rayyan, suamiku yang malang. Kenapa kamu tidak cerdas sih? Kalah sama aku yang hanya lulusan SMA," gumam Nayya dengan suara pelan. Ia pun turun dari mobil mewahnya dan masuk ke halaman rumah Tya tanpa permisi. Kebetulan, pagar rumah Tya tidak terkunci dan Nayya menyelinap masuk tanpa ada yang tahu. Nayya melepas kacamatanya dan berdiri angkuh di depan pintu rumah bergaya minimalis itu. Bibirnya tersungging ke atas mengejek si pemilik rumah dalam angannya. "Rumah seperti ini, pasti sangat mudah dibeli oleh mas Rayyan." Nayya mengetuk pintu rumah Tya dua kali. Ketukan yang ketiga, seseorang membukanya dari dalam. Nayy
Bagas berjalan mondar-mandir di pekarangan rumah Tya sambil bergumam sendiri. Alisnya berkerut, dahinya pun sama meninggalkan bekas parut tanda ia memikirkan sesuatu. Peristiwa tadi pagi membuatnya tersadar, Lily terancam bahaya. "Tidak bisa, dia harus segera pindah dari sini. Malam ini juga." Bagas pun kembali masuk ke dalam rumah mencari keberadaan Lily. "Lily mana?" Bagas mencari ke sekeliling rumah dan tak menemukan siapa-siapa di sana. "Kemana dia?" Bagas mencari lagi ke belakang rumah. Ia pun bernafas lega saat melihat sosok Lily yang sedang menggendong anaknya. "Lily..." Mendengar panggilan Bagas, Lily pun menoleh. Bagas segera berlari ke arahnya. Ia membungkuk di hadapan Lily sambil memegang kedua tangannya. Lily yang sedang menggendong bayinya sedikit tersentak kaget karena perlakuan Bagas yang tiba-tiba. "Ada apa?" "Pindah ke rumahku untuk sementara. Aku—" belum selesai bicara, Lily menginterupsi kalimat Bagas dengan gelengan kepala. "—kenapa?" "Aku bisa hadapi. Kamu