Share

Permintaan Shan

Sore itu Naura sedang asyik mewarnai kukunya sendiri dengan kuteks berwarna peach. Dengan kaki berselonjor di antara karpet bulu abu-abu yang terdapat di dalam kamarnya.

Rambut panjangnya ia gelung sampai atas dengan balutan kaos dan celana pendek sepaha. Saking antengnya, gadis itu seolah tidak menyadari bahwa Shan sudah berdiri  menyandarkan separuh bahunya di pintu yang sedikit terbuka.

"Bagusan warna merah." Shan berseru mengejutkan Naura. Otomatis itu membuat kuas yang ia oles di antara kuku-kuku lentik kesayangannya menjadi keluar dari batas garis seharusnya.

Mata Naura langsung berpisat tajam ke arah Shan yang menunjukkan wajah innocent. Tidak takut sama sekali dengan tatapan dari istrinya yang seperti menaruh dendam tujuh turunan karena telah mengganggu dirinya.

"APA SIH? SENGAJA YA!" gerutu Naura.

"Loh, gue cuma ngasih pendapat. Kok sewot," tukas Shan.

"Pendapat, pendapat bibir-bibirmu. Lihat kuteknya jadi kena kulit," cibir wanita itu kesal.

"Ya elaaah, padahal tinggal dibersihin pake tisu apa susahnya sih," timpal Shan meremehkan.

Sambil berjalan masuk, pria itu menaruh laptop di meja kerjanya, lalu tangannya meraih tali dasi yang menjerat lehernya seharian ini. Ia membuka kedua sisi kancing kemeja dan menggulungnya sampai siku, lantas duduk bersila di depan Naura yang masih manyun. Tak lupa kotak tisu yang terletak di atas nakas ia bawa dengan berniat menghapus noda kuteks yang sedikit melenceng.

"Mana tangan, Lo. Biar gue bersihin," tawar Shan.

"Nih!" sodor Naura dengan mimik wajah masih terlihat ngambek.

Shan meraih jari-jemari Naura dan terdapat dua cincin menempel disana. Pertama, cincin lamarannya tempo hari ketika di kantor, kedua saat ia usai melaksanakan ijab dan qobul pernikahan sejak satu minggu lalu. 

Sebelum mengusap cairan beraroma lembut itu. Shan menatap pada Naura silih berganti dan benda bulat yang tersemat di jemari sang istri. Dalam benaknya, Shan berpikir apakah ini betul-betul terjadi dan Naura si cengeng, cerewet dan punya sifat nggak sabaran itu telah menjadi bagian dari hidupnya.

Secara disadari atau tidak, Shan tiba-tiba menggeleng kan kepala. Dengan senyum masih terbit di bibirnya.

"Dih, gila Lo pake senyam-senyum sendiri!" Ejek Naura membuat angan Shan mengabur. Lantas melanjutkan niatnya untuk membantu menghapus kuteks di kulit Naura. Meski pada akhirnya, Naura tetap mengomel karena Shan kian membuat kuteksnya berantakan.

.

***

Usai makan malam bersama, ayah Naura segera masuk ke dalam kamar karena harus beristirahat dan bang Adi lebih memilih keluar untuk menemui teman-temannya di Cafe. Sementara Shan dan Naura, memasuki kamar dengan aktifitasnya masing-masing.

Naura mengambil ponsel yang tergeletak di atas kasur. Tangannya ligat membuka aplikasi belanja dan melihat-lihat online shop. Sedangkan Shan kembali ke meja kerja untuk mengecek beberapa berkas yang bisa saja masih terdapat kekeliruan.

Suasana hening ketika Naura dan suaminya seolah tenggelam di antara dunianya. Hingga suara khas Naura berhasil memecah sunyi ketika matanya menemukan barang yang menarik minat perhatiannya.

"Woey." Panggil Naura tertuju untuk Shan. Pria itu diam, tidak bereaksi.

Naura memicingkan mata, ia mengulangi seruannya pada Shan dengan kata yang sama. 

"Woey!" 

Shan masih diam, bukan tidak mendengar. Ia sengaja tidak menyahut karena ingin Naura memanggilnya dengan sedikit sopan.

Mungkin sebelumnya ia tidak masalah saat Naura memanggil dirinya semaunya. Tapi sekarang situasinya berbeda, Naura sudah menikah dengannya, setidaknya harus ada etika dan panggilan yang lebih enak di dengar.

Merasa diabaikan, Naura mulai jengkel. Ia menyibak selimut dan melangkah mendekati Shan dengan tatapan kesal.

"Lo tuh dengar nggak sih, gue manggil dari tadi?" Rungkut Naura.

Shan menaikkan pandangan ke Naura  tanpa dosa. "Kenapa?" 

Naura mengentakkan kedua kaki, lalu menyodorkan ponselnya untuk menunjukkan sesuatu.

"Gue mau ini," tukasnya.

Shan mencondongkan kepalanya mendekati layar ponsel milik Naura. Sebuah tas dengan harga fantastis terpampang di sana. Sesudah itu, ia menegakkan badannya lagi dan mengarahkan dua bola matanya ke Naura yang sedang berharap. 

"Ekheeem," Shan berdekhem terlebih dahulu, "Mau itu?"tanyanya.

"Maulah, kalo nggak ngapain nunjukin ke Lo segala," tukasnya.

Shan mengangguk. "Boleh!" ujar pria itu dengan tenang.

Naura langsung semringah mendengarnya. Wajahnya berseri dan tersenyum senang.

"Tapi ada syaratnya," ucap Shan melanjutkan kalimatnya yang tadi.

"Pake Syarat segala sih!" protes Naura agak keberatan.

"Nggak mau? Ya sudah," timpal Shan tersenyum licik.

"Heuh! Apa syaratnya?" sahut Naura.

Shan langsung berdiri dari kursi yang ia duduki setelah mematikan laptop terlebih dahulu. Ia mendekati Naura dan melipat kedua tangannya ke dalam dada.

"Syaratnya mudah, kamu hanya harus mengubah cara panggil kamu ke aku," jawab Shan.

"Ih, kok geli sih bahasanya aku-kamu," potong Naura.

"Ra, dengar kita sekarang sudah suami istri. Jadi mulai sekarang tolong ganti kebiasaan kamu ketika memanggil aku," jelas Shan.

"Nggak mau, jadi aneh!" gerutunya.

"Apanya yang aneh sih? Ya, udah kalo nggak mau tas itu." Shan terdengar mengancam.

Merasa sadar diri kalau dia sudah tidak punya pemasukan dari ayahnya, Naura jadi berpikir kembali kalau ingin mendapatkan sesuatu.

Mata wanita itu menyipit, lalu kembali bertanya sebutan apa yang diinginkan oleh Shan.

"Oke, deal! Mau dipanggil apa sama gue?" tukasnya.

"Apa aja, terserah. Mau manggil sayang pun boleh," seloroh Shan lalu berjalan memutar dan merebahkan diri ke atas ranjang.

"Itu sih mau Lo!" cetus Naura yang memang keberatan dengan permintaan Shan.

Bukan apa. Ia tidak terbiasa melakukan itu bersama Shan. Meski ia pernah melakukannya sekali, itu pun pas Naura lagi nekat-nekatnya melamar Shan tempo hari. Ia memaniskan nada bicara ke Shan supaya Shan mau mengabulkan keinginannya.

Kendati begitu, jika dipikirkan memang sudah seharusnya ia membiasakan diri akan segala hal yang berkaitan dengan pernikahannya. Shan bukan lagi kakaknya yang bisa ia jahili atau ia omeli sesuka hati ketika pria itu selalu saja menentang kemauannya. 

Dia sekarang sudah mendapatkan title istri. Jadi, ia harus mau menerima perubahan sedikit demi sedikit.

.

***

"Ra, aku mau ngajak kamu ke suatu tempat," ucap Shan ketika ia sedang memakai kemejanya dengan begitu santai. Mengabaikan wajah kemerahan Naura yang tertutupi oleh buku yang terbaca secara terbalik.

"Kemana?" sahut Naura.

"Pokoknya ini kejutan. Ganti baju dulu sana," titahnya.

"Hmmm, oke!" jawab Naura lantas melarikan diri ke kamar mandi.

.

Tiga puluh menit perjalanan. Naura  duduk di kursi penumpang dengan tangan sibuk mengetikkan aksara demi aksara di layar ponselnya. Tak jarang, wanita itu terkikik geli dengan  tingkah beberapa orang yang isinya adalah geng dari teman-teman dekat Naura sendiri.

Mengabaikan Shan yang mengemudi tepat di samping Naura.

.

"Loh ini bukan arah ke kantor kamu," ucap Naura heran.

"Memang," sahut Shan sekilas.

"Mau nyulik gue, ya?" tuding Naura seenak jidat.

"Mana mau nyulik perempuan cerewet macam kamu," tukas Shan tenang.

"Terus ini mau kemana?"

"Ke rumah kita!" jawab Shan asal.

"WHAT?" decak Naura, kaget.

.

Benar saja, setelah menempuh waktu sekitar tujuh puluh lima menit. Kendaraan Shan berhenti tepat di sebuah halaman luas dengan design bangunan minimalis berukuran sederhana. Untuk dua orang, Naura rasa itu cukup.

"Lo abis beli rumah?"

"Nggak!"

"Terus ini rumah siapa?"

"Rumah kita,"

"Ih, serius!"

"Ini juga serius, Ra,"

"Dapet dari mana? Dari papa, ya?" 

"Ini rumah peninggalan alm kedua orang tua aku," jelas Shan.

"Tapi kan kamu udah lama nggak tinggal disini?"

"Ada yang ngurus, kok,"

"Siapa?" 

"Bi Rani,"

"Siapa bi Rani?"

"Orang sini, rumahnya di komplek belakang sana!" Papar Shan.

"Ooh. Terus rumah ini mau diapain?"

"Minggu depan kita pindah ke sini,"

"Heh! Kok maen pindah-pindah tanpa konfirmasi dulu sih!" Gerutu Naura kurang setuju.

"Aku udah bilang ini ke papa, kok. Beliau setuju,"

"Kenapa pindah sih?"

"Kita harus mandiri, Ra. Masa mau bergantung ke orang tua terus,"

"Kan di sana juga kita bisa mandiri," 

"Yang namanya mandiri itu bisa lepas tanpa embel-embel orang tua. Ayo kita belajar berumah tangga yang baik dan benar." timpal Shan memberi pengertian pada Naura.

.

Naura masih nampak tidak setuju dengan rencana pindah ke rumah Shan. Ia masih belum siap untuk berpisah dari ayahnya.

Wanita itu selama belasan tahun berpisah dari ayahnya, sekarang harus berpisah lagi karena harus ikut pada ketentuan suaminya. Ia tidak mau, benar-benar tidak mau.

Sepulangnya dari rumah Shan. Naura langsung murung dan sulit diajak bicara. Bahkan ketika memasuki rumah, Naura sedikit berlari lalu melenyapkan die ke atas dan menangis di dalam kamarnya. Bukan di kamar yang dihuni setelah ia menikah dengan Shan.

Naura tidak berpikir sejauh ini. Ia pikir bahwa cukup hanya mewujudkan keinginan sang ayah semuanya selesai dan tidak akan ada drama-drama lain yang bisa saja membuat alur hidupnya berbanding terbalik. Ia mengira bahwa semuanya akan tetap berjalan seperti biasa, saat Naura menjadi Naura dan Shan tetap menjadi Shan. Akan tetapi rupanya ia salah.

Setelah menikah, ia harus menyesuaikan diri dengan Shan dan pria itu mengajaknya keluar dari kediaman yang baru enam bulan ia pijaki.

Merasakan ucapan dan kelembutan hangat dari sang ayah. Keakraban bersama kakak sulungnya dan banyak hal yang belum ia lalui. Naura pikir pilihannya adalah langkah terbaik. Tapi kini, ia merasa menyesal jika pada akhirnya harus ada yang ia tinggalkan.

.

Naura masih menangis di balik pintu. Ia menahan tangisnya yang cukup pilu. Terlintas, ia mengingat bagaimana dulu hidup bersama sang ibu dan ia merindukan itu. Sangat-sangat rindu.

"Ra." suara Shan menyeru dari luar. Pun ketukan dari pintu turut menyertai panggilan dari suaminya.

"Ra buka pintunya." pinta Shan sekali lagi dengan nada kelewat lirih.

Ia mengerti akan perasaan Naura yang berat meninggalkan rumah ini. Tetapi, keputusan ini pun atas permintaan dari papanya sendiri.

Sedang dilanda kebingungan, tepukan di bahu Shan membuat pria itu mengalihkan perhatiannya dari membujuk Naura agar bersedia bicara dengannya.

"Biar papa saja, Shan." 

Shan mengangguk, lalu ia mundur dan membalikkan badan. Berjalan beberapa langkah dan berhenti tepat di depan pintu kamarnya sendiri.

Pria itu meraih handle pintu dan menutupnya kembali. Membiarkan ayah dan anak itu berbicara dari hati ke hati, tanpa ia perlu ikut campur meski ada sebagian halnya di sana untuk tahu.

Shan percaya bahwa ayah angkatnya itu akan lebih bisa memberi pengertian pada Naura dan Naura akan lebih bisa menerima keputusan dari yang sudah ia utarakan beberapa jam lalu pada sang istri yang berujung dengan aksi marah, cemberut dan akhirnya menangis demi menumpahkan dari rasa ketidaksetujuan yang Naura rasa memang akan percuma saja jika diperdebatkan.

.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status