Share

Bab 3

Judul: Undangan pernikahan suamiku

Part: 3

***

Malam pun tiba, Mas Arifin benar-benar tidak tidur dengan Nia. Karena saat ini ia sudah mendengkur di dalam kamarku.

Ada perasaan lega di hatiku. Namun, tetap saja aku tak bisa tenang. 

Biar bagaimanapun Nia juga istri Mas Arifin. Lama kelamaan, tentunya Nia menuntut haknya.

.

Pagi harinya, aku bangun seperti biasa. Lebih awal dari Mas Arifin dan Salman. 

Semua sarapan sudah kusediakan. Bahkan Nia belum terlihat batang hidungnya. 

"Dasar anak orang kaya yang manja. Bisa-bisanya masih molor di rumah orang," gumaku.

"Siapa yang molor, Mbak?" 

Aku berlonjak kaget saat menoleh ke arah suara. Ternyata Nia sudah berdiri di belakangku.

Matanya melototiku, berbeda saat ada Mas Arifin. Nia bahkan tak berani mengangkat wajahnya. Lalu pagi ini?

"Mbak aku lapar," ucap Nia melengos ingin mengambil makanan yang sudah aku siapkan.

"Hus! Gak sopan kamu! Tunggu sampai Mas Arifin bangun. Pantas saja calon suamimu pergi kabur, mungkin dia ilfeel dengan sikapmu yang seperti ini. Baru bangun tidur, langsung mau makan. Dasar jorok," cibirku.

Wajah Nia memerah menahan marah. Aku sengaja memancingnya. Sudah dari semalam aku menahan geram. 

Lihat saja, aku akan memberi pelajaran pada laki-laki yang bernama Ridwan itu. Berani-beraninya dia meminta Mas Arifin menikahi putrinya.

Nia berlalu masuk ke dalam kamarnya kembali. Kakinya berjalan menghentak-hentak lantai. Aku hanya tersenyum melihat kekesalannya.

Waktu berjalan ....

Kini sudah terlihat tampan dan rapi suamiku itu. Disuguhkannya senyum termanis untukku. Tak lama muncul pula Salman.

Namun, tak kusangka, Salman menuju ruang makan bersama Nia. Bahkan mereka tampak begitu akrab.

"Salman, sini Nak! Jangan dekat-dekat dengan orang asing," ujarku.

Salman menurut, tapi sorot matanya menoleh sekilas ke arah Nia. 

10 tahun usia Salman, harusnya anak itu tak mudah termakan ucapan manis seseorang. 

"Lit, hari ini Mas pulangnya sedikit telat. Ada pertemuan penting setelah selesai karja nanti." 

"Iya. Semoga saja memang menghadiri pertemuan ya, Mas. Jangan pulang-pulang malah membawa istri ketiga," sindirku.

"Uhuk ...." Mas Arifin tersedak.

Entah kenapa aku malah jadi puas.

Astagfirullah.

Berdosa sudah diriku ini. Akan tetapi mau bagaimana lagi, aku juga kesal dengan sikap tak tegas Mas Arifin. Harusnya dia bisa menolak permintaan bosnya itu.

***

Kini Mas Arifin sudah berangkat, dan Salman juga sudah ke sekolah. 

Sekarang di rumah hanya ada aku dan Nia. 

"Mbak, mau tahu siapa yang ngirim undangan kemarin?" tanya Nia menghampiriku.

Aku yang sedang menghias kue-kue buatanku, menjadi berhenti sejenak.

"Pasti kamu, kan?!" 

Aku hanya asal menebak. 

"Mbak ternyata cukup pintar," ucapnya pula.

Nia ini tak selemah yang kukira. Di depan Mas Arifin sikapnya memang berbeda. Aku semakin tak suka padanya.

"Entah apa tujuanmu, tapi yang jelas aku tidak akan membiarkan siapa pun merusak kebahagiaan di rumahku ini! Dapat kupastikan, tak lama lagi kau akan keluar dari sini. Apa lagi suamiku menikahimu hanya untuk menutupi aib pernikahanmu yang batal itu!" 

"Mulut Mbak Lita memang beracun. Namun, apakah masih sepedas ini jika suatu hari kemungkinan yang tak disangka terjadi? Misalnya, Mas Arifin jatuh cinta padaku?"

Mengepal tanganku di dada, ingin rasanya kujambak rambut panjang Nia. Maduku ini sungguh tak bisa diremehkan. Tercium sudah niat liciknya. 

"Jangan mimpi!" bentakku sembari melemparkan mentega yang tadi kupegang.

Nia tersenyum, kemudian berlalu. 

Hari ini hiasan kue yang kubuat dengan tanganku, semuanya tak maksimal. Hatiku kacau, bahkan pelangganku pun jadi komplain.

"Gimana sih, Mbak Lita. Saya kan pesannya warna hijau, kenapa dihias jadi warna merah?" protes salah satu pemesan kue ulang tahunku.

"Maaf, Mbak. Saya lupa, atau mau saya ganti saja?"

"Mana sempat, Mbak. Ya, sudahlah! Lain kali kerjakan yang bener, dong, Mbak!" ketusnya.

Aku menarik napas dalam-dalam. Perkara rumah tanggaku jadi beban untuk pekerjaanku sendiri.

Aku tak bisa bersabar lagi. Sepulangnya Mas Arifin nanti, aku akan meminta ketegasan padanya untuk memilih. 

Pilih mempertahankan pernikahan sandiwaranya itu, atau melepaskan pernikahan yang sudah dibangun bersamaku selama 12 tahun.

Ya, aku bukan istri lemah yang hanya menangisi meratapi takdir. Kemudian berusaha ikhlas menerima. 

Aku tak bisa berbagi suami. Tak menutup kemungkinan Mas Arifin akan jatuh cinta kelak pada Nia. Seperti yang Nia ancamkan padaku itu.

Sebelum hal tersebut terjadi, maka aku tak mau mengambil risiko. 

Barsambung.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status