Share

Dua - Tentang Kia

“Ngapain kamu nyuruh aku ke sini?” 

Kia menerbitkan senyumnya ketika melihat Astri mau datang ke kamarnya. Sebenarnya, Astri datang ke kamarnya pun berkat bi Tari yang memanggilnya. 

“Ngapain kamu senyum-senyum? Udah buruan, ada apa? Aku mau ke sekolah nih, memangnya kamu gak sekolah? Masih tiduran gitu.” Nada bicara Astri terkesan dingin, namun tidak melunturkan senyuman di bibir pucat Kia. 

“Aku hari ini gak masuk sekolah, kepala aku pusing, badan aku meriang. Jadi, tolong titipin surat izin ini ke bu Sandra ya.” Kia menyerahkan sebuah amplop berwarna putih kepada Astri. 

“Oh, bisa sakit juga kamu.” 

“Bisa lah, Tri. Aku kan juga kayak kamu dan yang lainnya, hanya sebatas manusia biasa.” Kia tersenyum mengakhiri ucapannya. ‘Enggak, kita berbeda, Tri. Kamu yang cantik, dan aku yang jauh dari kata cantik. Kamu yang selalu membanggakan, dan aku yang selalu mempermalukan.’

“Ya udah, aku keluar dulu. Mau berangkat sekolah, takut telat.”

Kia mengangguk, lalu berkata, “Jangan lupa kasi surat itu ke bu Sandra ya. Kalau kamu gak kasi, nanti aku akan dialpakan.”

“Iya, bawel.” Astri melenggok keluar dari kamar Kia, lalu menutup pintu kamar Kia dengan sedikit keras. 

“Astri, walaupun kamu bersikap dingin begitu, pasti dalam hati kamu, kamu juga khawatir sama aku. Aku akan selalu berusaha untuk bersikap baik sama kamu, sampai pada akhirnya kamu mau mengakui aku sebagai kakak kembar kamu ke teman-teman di sekolah. Kemudian, kita akan selalu berjalan bersama menuju sekolah, dan menjadi saudara paling goals di sekolah.” Kia mengakhiri ucapannya, setelah pusing kembali mendatangi kepalanya. Gadis itu menidurkan kembali tubuhnya. Hari ini ia harus istirahat total, supaya besok ia dapat kembali bersekolah. 

***

“Ya ampun ini anak, ternyata gak sekolah. Kia bangun!” 

Kia lantas terbangun ketika mendengar suara menggelegar dari mamanya. Gadis itu mengucek matanya, sambil berkata, “ Ada apa, Ma?”

“Ada apa kamu bilang? Kenapa kamu gak sekolah?”

“Iya, Ma. Kia sakit, mungkin karena hujan semalam. Jadi, hari ini Kia gak masuk sekolah dulu.”

“Sakit? Trus karena kamu sakit, kamu gak sekolah, jadi kamu bisa enak-enakan tidur di sini?” 

“Jadi, Kia harus ngapain, Ma? Kia kan butuh istirahat untuk memulihkan kondisi Kia.”

“Gak ada yang namanya istirahat, sekarang mending kamu bantuin bibi masak. Nanti malam saya kedatangan tamu para pengusaha terkenal, jadi harus buat makanan yang banyak. Udah, sana pergi ke dapur!” 

Kia menghela napasnya, kemudian gadis itu membuka selimut yang membungkus tubuhnya tadi, dan berjalan keluar dari kamarnya. Dengan jalan yang sempoyongan, gadis itu berjalan menuju dapur. 

“Loh, non Kia, kenapa di sini? Seharusnya non Kia itu istirahat, kan masih sakit.” Terselip nada khawatir yang terdengar di ucapan bi Tari. Ya, selama ini tidak ada yang peduli dengan Kia di rumahnya, kecuali bi Tari. 

“Kia udah gak apa-apa kok, Bi. Kia mau bantu bibi masak, katanya nanti malam ada banyak tamu yang bakalan datang ya, Bi? Makanya, bibi kelihatan sibuk banget.”

“Eh iya non, nanti itu ada tamu nyonya yang datang.”

“Kalau gitu, biar Kia bantu ya, Bi.” Kia mulai mengambil beberapa suing bawang putih dan bawang merah, kemudian mengupas kulitnya. Setelah mengupas bawang, gadis itu menyalakan api kompor, dan memasak bawang itu hingga aromanya tercium wangi. Gadis itu memang berbakat dalam memasak. Mungkin efek sering membantu bi Tari memasak sedari kecil, jadi sekarang jemarinya sudah lihai memegang berbagai macam alat dapur. 

Kia memegang kepalanya, lalu memejamkan matanya sejenak. Kepalanya masih teramat pusing, namun Kia berusaha untuk tidak kehilangan konsentrasinya dalam memasak. 

“Non, kepalanya pusing, ya?” tanya bi Tari yang khawatir dengan kondisi Kia. 

“Sedikit pusing, Bi,” jujur Kia. 

“Ya sudah, kalau masih pusing, mending non Kia istirahat aja di dalam kamar. Biar bibi yang masak.”

“Gak usah, Bi. Kasihan bibinya nanti kerepotan masak sebanyak itu, yang ada nanti bibi kecapekan. Kia gak apa-apa kok, Bi. Pusingnya juga udah lewat, jadi Kia udah bisa fokus masak lagi.” Kia berusaha meyakinkan bi Tari. Namun, sebagai seseorang yang sudah merawat Kia sedari kecil, bi Tari tentunya mengetahui bahwa anak majikannya itu tengah berbohong. 

“Kalau memang benar begitu, non Kia boleh kok bantu bibi masak. Tapi, dengan catatan, kalau non Kia merasa pusing lagi. Non Kia harus segera istirahat, bibi gak mau non Kia nanti makin sakit.” Kia mengangguk menanggapi ucapan bi Tari yang menyiratkan kekhawatirannya. Gadis itu kembali melanjutkan masaknya yang tertunda, sesekali gadis itu memegang kepalanya yang berdenyut, namun Kia masih berusaha untuk kuat. 

Ngomong-ngomong perihal  Kia. Kita belum berkenalan lebih lanjut dengan gadis itu. Nama lengkap gadis itu Kiavara Gauri Auguristha. Nama panggilannya ialah Kia. Kia adalah anak pertama dari Aristide Javario dan Geavani Inshira. Siapa yang tidak mengenal Aris dan Gea? Pasangan suami istri yang berprofesi sebagai pengusaha terkenal dengan kekayaan yang melimpah. Kia bangga akan kerja keras papa dan mamanya itu. Namun, satu hal yang tidak membuat Kia bangga ialah karena papa dan mamanya hanya dikenal memiliki seorang anak saja. Dan anak yang dianggap itu ialah Kealina Danastri Septiola, atau Astri. 

Terkadang, Kia iri dengan adik kembarnya itu, bisa dikenal di kalangan teman seprofesi papa dan mama. Namun, saat rasa iri itu menyerang dirinya, Kia selalu tersadar, bahwa dirinya memang tidak pantas di posisi Astri. Wajah Kia yang cacat, dengan beberapa goresan di wajahnya itu membuat Kia sadar bahwa dirinya tidak secantik Astri. Wajar jika papa dan mamanya malu mengakuinya sebagai anak mereka. Mungkin, dengan berita bahwa Kia adalah anak mereka, akan menurunkan eksistensi mereka secara drastis. 

Menjadi anak pengusaha terkenal itu membahagiakan, mungkin itu yang ada di pikiran orang-orang, terkecuali Kia. Bisa hidup di rumah super mewah, mempunyai harta berlimpah, bisa membeli barang dengan seenaknya, ya mungkin itu semua memang benar. Kehidupan anak pengusaha memang begitu, termasuk bagi Astri yang benar-benar diperlakukan dengan istimewa. Lain halnya dengan Kia, gadis itu tidak diberi kesempatan untuk merasakan harta dari kedua orang tuanya. Bisa tinggal di rumah mewah dan dibiayai uang sekolah saja, Kia sudah sangat bersyukur. Apalagi untuk mendapat kesempatan membeli barang seenaknya. 

Papa dan mamanya hanya memberikan Kia uang ketika jadwalnya membayar biaya sekolah, selebihnya tidak. Oleh karena itu, Kia mati-matian mempertahankan beasiswa di sekolahnya supaya ia tidak perlu membayar uang sekolah. Uang yang diberi oleh papa dan mamanya bisa ia gunakan untuk hal lain, seperti membeli buku, alat tulis dan keperluan Kia yang lain. 

Jangan lupakan satu hal lagi yang cukup menyakitkan bagi Kia. Selain tidak dianggap di kehidupan papa dan mamanya, Kia juga harus menahan perih di sekolah karena selalu dikatai anak pembantu. Papa dan mamanya yang membuat semuanya seperti itu, mereka tidak pernah mau mengakui keberadaan mereka sebagai orang tua Kia. Dan sebagai penggantinya, bi Tari lah yang diminta untuk menjadi orang tua Kia. 

Semenyedihkan itu kehidupan Kia, namun gadis itu tidak pernah lupa untuk bersyukur. Atas kehidupannya yang bisa sampai sekarang ini, gadis itu sudah sangat bersyukur tidak ditelantarkan kedua orang tuanya di jalanan. Baginya, kehidupannya yang sekarang ialah sebuah ujian untuk mendewasakan dirinya. 

***

Bergelimang harta tak selalu menjadi titik kebahagiaan seseorang. Akan tetapi, bergelimang kasih sayang lah yang menjadikan seseorang merasa lebih dari sekadar bahagia.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status