Jejak Cinta Sang Presiden Mahasiswa

Jejak Cinta Sang Presiden Mahasiswa

last updateLast Updated : 2025-02-01
By:  Perempuan SenjaOngoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
13Chapters
270views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Ryan Ramadhani, Presiden Mahasiswa Kampus Nusantara, adalah pemimpin berkarisma yang gigih memperjuangkan keadilan dan memberantas korupsi. Namun, perjuangannya penuh risiko—ancaman, penculikan, hingga kekerasan harus ia hadapi. Di tengah perjuangan itu, Ryan bertemu Hana Zarifa, mahasiswi sederhana yang diam-diam memikat hatinya. Tapi kisah cinta mereka tak berjalan mulus. Alvin, musuh bebuyutan Ryan, berusaha menghancurkan segalanya, baik karier Ryan maupun cintanya pada Hana. "Jejak Cinta Sang Presiden Mahasiswa" adalah kisah inspiratif tentang keberanian, pengorbanan, dan cinta yang tumbuh di tengah badai perjuangan.

View More

Chapter 1

Bara dan Teduh (Prolog)

Matahari pagi mulai merangkak naik, mengusir sisa-sisa embun yang menempel di dedaunan kampus Universitas Nusantara. Di tengah hiruk pikuk mahasiswa yang berlalu-lalang, Ryan Ramadhani berjalan cepat menuju aula diskusi, wajahnya serius, membawa setumpuk dokumen di tangannya. Bagi sebagian orang, Ryan adalah pahlawan. Presiden Mahasiswa yang karismatik, pintar, dan selalu tahu cara menghadapi setiap persoalan. Namun, bagi dirinya sendiri, hidup adalah perjuangan tanpa akhir.

Lahir di keluarga sederhana, Ryan sudah terbiasa dengan kerasnya hidup. Ayahnya sudah meninggal sejak ia masih SD. Ibunya guru PNS sekolah dasar yang gajinya hanya cukup untuk bertahan hidup. Dia tumbuh dengan kesadaran bahwa pendidikan adalah satu-satunya jalan keluar. Ketekunan membawa Ryan ke Universitas Nusantara sebagai penerima beasiswa penuh. Namun, meski telah berada di sini, perjuangannya tidak berhenti.

Ia juga bekerja separuh waktu sebagai asisten dosen Teknik Sipil, jurusannya, dan biasanya diikutsertakan dalam proyek pembangunan yang dinaungi oleh dosen karena semua dosen Teknik Sipil paham kemampuan Ryan di atas rata-rata. Tak lupa, setiap malam dia meluangkan waktu untuk belajar atau menyusun strategi demi memperjuangkan hak-hak mahasiswa.

Di aula diskusi, Ryan memulai hari dengan rapat bersama tim BEM. Matanya fokus pada layar laptop, jemarinya lincah mengetik poin-poin penting. Sesekali dia mengangkat pandangan, memperhatikan setiap anggota tim yang sedang berbicara.

“Kita harus memastikan aksi pekan depan mendapat izin dari rektorat,” ujar Luthfi, wakil presiden mahasiswa.

Ryan mengangguk. “Aku akan urus itu. Tapi kita juga harus bersiap jika mereka mencoba memblokir akses. Jangan lupa hubungi tim hukum untuk berjaga-jaga.”

Rapat berlangsung tanpa hambatan, namun pikiran Ryan terus terbelah. Di satu sisi, dia tahu bahwa perjuangan ini penting. Tapi di sisi lain, ada rasa lelah yang tidak bisa diabaikan. Hanya saja, bagi Ryan, menyerah bukan pilihan. Hidup sudah cukup sulit, dan dia tidak akan membiarkan ketidakadilan menguasai kampus.

Setelah rapat, Ryan mengambil beberapa dokumen penting untuk disimpan di ruangannya. Sebuah pesan masuk ke ponselnya dari seorang teman lama, mengingatkannya tentang janji untuk berbicara di seminar mahasiswa baru minggu depan. Ryan menghela napas panjang. Agenda harian yang sudah penuh kini harus menyesuaikan lagi. Tapi, seperti biasa, dia mengesampingkan rasa lelahnya dan menambahkan seminar itu ke dalam daftar kegiatannya.

Sambil berjalan menuju ruang sekretariat, Ryan melirik sejenak ke arah taman kampus. Beberapa mahasiswa terlihat sedang duduk bersantai, tertawa dan bercanda tanpa beban. Ada keinginan kecil di hatinya untuk bisa menikmati momen seperti itu, tapi dia tahu hidupnya tidak seperti mereka. Tugas dan tanggung jawab selalu datang lebih dulu.

---

Di sudut lain kampus, Hana Zarifa berjalan santai di antara koridor gedung FKIP. Tas kanvas berwarna krem tersampir di bahunya, penuh dengan buku dan alat tulis. Berbeda dengan Ryan yang hidup dalam pusaran aksi dan politik kampus, Hana adalah sosok yang tenang. Dia lebih suka menghabiskan waktu di perpustakaan atau taman kecil di belakang gedung fakultasnya, tempat dia bisa menulis atau membaca dengan damai.

Sebagai mahasiswa FKIP yang bercita-cita menjadi guru, Hana punya pandangan yang sederhana tapi mendalam tentang hidup. Baginya, pendidikan adalah alat untuk membangun masa depan yang lebih baik, tapi bukan hanya melalui angka-angka di atas kertas. “Manusia lebih dari sekadar nilai ujian,” adalah prinsip yang selalu dia pegang.

Pagi itu, Hana menuju ruang seminar untuk mengikuti kelas Pendidikan Inklusif. Di tangannya, ada buku catatan yang penuh dengan tulisan rapi dan coretan inspirasi. Dia menyukai topik-topik yang berhubungan dengan kesetaraan dan pemberdayaan, hal yang membawanya menjadi sukarelawan di beberapa komunitas anak-anak kurang mampu.

Ketika kelas dimulai, Hana duduk di barisan depan, memperhatikan dosen dengan penuh antusias. Dia tidak pernah ragu untuk mengajukan pertanyaan atau memberikan pendapat. Ketenangan Hana mungkin terlihat sederhana, tapi di balik itu ada keberanian yang sering tidak disadari orang lain. Dalam diamnya, dia selalu memikirkan bagaimana membuat perubahan kecil yang bermakna.

Saat jam kuliah selesai, Hana memutuskan untuk mampir ke taman belakang gedung FKIP. Itu adalah tempat favoritnya, di mana dia bisa merenung atau sekadar menikmati suara burung yang bernyanyi. Di bawah pohon besar yang rindang, Hana membuka buku catatannya dan mulai menulis. Dia sedang mencoba menuangkan pikirannya tentang bagaimana pendidikan yang inklusif dapat memberikan kesempatan yang lebih adil bagi semua orang.

Tiba-tiba, sebuah bola kecil melayang dan jatuh tepat di dekat kakinya. Seorang anak kecil yang sepertinya sedang bermain di taman mendekat dengan malu-malu.

“Maaf, Kak. Bolanya nyasar,” ujar anak itu.

Hana tersenyum lembut, mengambil bola itu dan menyerahkannya kembali. “Tidak apa-apa. Kamu bermain dengan siapa?”

“Sama kakakku di sana,” anak itu menunjuk ke arah seorang remaja yang duduk tidak jauh.

Hana memperhatikan sejenak, lalu melanjutkan menulis. Pertemuan kecil seperti ini selalu mengingatkannya pada alasan dia memilih jalan hidupnya. Dia ingin menjadi seseorang yang membawa perubahan, sekecil apa pun itu.

Sore harinya, Ryan dan Hana melanjutkan rutinitas masing-masing. Ryan terlihat di ruang sekretariat BEM, membolak-balik dokumen proposal aksi, sementara Hana masih berada di taman, menyelesaikan tulisannya.

Di ruang sekretariat, Luthfi kembali mendekati Ryan dengan beberapa kabar baru. “Aku dengar rektorat sedang mencoba membatasi jumlah peserta aksi kita minggu depan. Mereka bilang ini soal keamanan.”

Ryan mendengus. “Keamanan? Itu hanya alasan untuk membungkam kita. Kita harus mencari cara agar suara mahasiswa tetap didengar, apa pun yang terjadi.”

Luthfi mengangguk, memahami kekhawatiran Ryan. “Aku akan pastikan semua persiapan teknis berjalan lancar. Kamu fokus saja ke pertemuan dengan tim hukum besok.”

“Makasih, ya. Kita tidak boleh kalah sebelum bertarung,” ujar Ryan tegas.

Di taman belakang, Hana menyimpan buku catatannya dan memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar sebelum pulang. Langit mulai berubah warna menjadi jingga keemasan, memberikan suasana yang hangat. Dia berhenti sejenak di depan gedung utama kampus, tempat sebuah spanduk besar tentang seminar mahasiswa baru tergantung dengan nama Ryan Ramadhani terpampang di sana.

Hana membaca sekilas, mengingat nama itu sebagai seseorang yang sering disebut-sebut oleh teman-temannya. “Presiden Mahasiswa yang selalu sibuk memperjuangkan perubahan,” begitu mereka menggambarkannya. Tapi Hana sendiri belum pernah melihat sosok Ryan secara langsung. Dia penasaran, seperti apa orang yang mampu memimpin ribuan mahasiswa dengan begitu tegas.

Di sisi lain kampus, Ryan berjalan menuju gerbang utama. Hari itu panjang, tapi dia merasa puas dengan hasil kerja timnya. Namun, rasa lelah tetap mengintai. Saat dia melewati taman belakang, pandangannya secara tidak sengaja tertuju pada sosok perempuan yang duduk di bangku. Dia tidak mengenalnya, tapi ada sesuatu dalam ketenangan perempuan itu yang menarik perhatiannya.

Ryan tidak berhenti, tapi langkahnya melambat. Dia tidak tahu bahwa perempuan itu adalah Hana Zarifa, mahasiswi FKIP yang pandangannya tentang dunia akan memberikan warna baru dalam hidupnya. Dan Hana juga tidak menyadari bahwa laki-laki yang melintasinya adalah Ryan Ramadhani, Presiden Mahasiswa yang nantinya akan mengubah jalan hidupnya.

Malam itu, mereka kembali ke kehidupan masing-masing, tidak menyadari bahwa takdir perlahan-lahan sedang menyusun jalannya. Di tengah hiruk pikuk perjuangan Ryan yang penuh gejolak, dan ketenangan Hana yang selalu mencari harmoni, dua jalan yang berbeda ini perlahan akan saling bersinggungan.

Mungkin bukan hari ini, atau esok. Tapi saat itu akan datang — ketika bara dan teduh akhirnya bertemu, membawa cerita yang belum pernah mereka bayangkan sebelumnya.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
13 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status