Share

Tiga - Absen

"Kia." 

Mendengar namanya terpanggil, Kia menoleh ke belakang. Ada Karen di belakang sana yang sedang melambaikan tangannya sambil tersenyum ke arah Kia. 

"Hai, Karen." Kia menyapa Karen balik. 

"Kamu kemana aja kemarin? Kok gak masuk?" Pertanyaan Karen membuat Kia mengernyitkan dahinya. Bukannya kemarin Kia sudah menuliskan surat izin? Apa Karen tidak mengetahuinya? 

"Aku sakit, Ren. Kemarin kan aku ada tulis surat izin, kamu gak tahu?"

"Surat izin? Kamu ada kirim surat?"

Kia menganggukkan kepalanya. "Iya, aku titipkan ke Astri, minta kasikan ke wali kelas kita."

"Enggak ada, Kia. Malah di buku absen, kamu dialpakan karena gak ada izin. Maka dari itu, sekarang aku tanya sama kamu, kemarin kamu kemana aja."

Kia membelalakkan matanya. "Apa? Alpa?" 

Ternodai sudah absen Kia dengan tinta merah bertuliskan huruf A. 

"Iya, kan gak ada surat izin. Tapi, beneran kemarin kamu tulis surat izin? Trus kamu titipin ke Astri?"

"Iya, beneran Ren. Aku masih ingat, kemarin pagi aku minta bi Tari panggilkan Astri ke kamarku karena aku lagi pusing. Jadi, Astri datang ke kamar aku, dan aku titipin surat itu." Dari penjelasan Kia, Karen merasa ada yang janggal. Jika memang benar Kia menitipkan surat kepada Astri, dan surat tersebut tidak sampai ke tangan wali kelasnya, berarti .... 

"Jangan-jangan, Astri lupa kasi suratnya ke bu Sandra?" Karen berspekulasi. "Atau, yang lebih parahnya, Astri sengaja gak mau ngasi?" 

Kia menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar dugaan kedua dari Karen. "Enggak, enggak mungkin Astri sengaja. Lagian, kalau dia memang  sengaja gak ngasi surat itu ke bu Sandra, apa untungnya buat dia?"

"Ya, kamu tahu sendiri kalau Astri memang gak suka sama kamu. Jadi, mungkin aja dia sengaja gak ngasi surat itu, supaya kamu alpa."

Kia terdiam mendengar ucapan Karen. Bisa jadi, ucapan sahabatnya itu benar. Selama ini, memang Astri kurang suka dengan Kia. 

'Ah, gak mungkinlah Astri kayak begitu. Aku gak boleh berpikiran negatif sama Astri.'

"Ehm, ya udah deh. Biarin aja, nanti biar aku ketemu bu Sandra untuk konfirmasi ke dia aja."

"Oke deh, semoga Bu Sandra mau dengar penjelasan kamu dan ngubah keterangan alpa kamu menjadi izin sakit."

Kia mengamini ucapan Karen di dalam hatinya. 

"Yuk, masuk kelas." Karen merangkul Kia yang sedikit lebih rendah darinya, berjalan masuk ke dalam kelas. Persahabatan mereka yang terjalin semenjak SMP,  membuat mereka terlihat semakin dekat setiap harinya. Karenina Agastya, gadis yang akrab dipanggil Karen itulah satu-satunya sahabat Kia di sekolahnya. Selain dari Karen, tidak ada satupun teman di sekolah, ataupun teman sekelasnya yang mau berteman dengan Kia, mengingat wajahnya yang sedikit cacat. Oleh karena itu, Kia merasa sangat bersyukur ketika dipertemukan dengan gadis sebaik Karen. 

***

“Karen, aku mau ke ruang guru dulu ya, mau ketemu bu Sandra.”

Karen menganggukkan kepalanya. “Iya, Kia. Semoga ibu mau dengarkan penjelasan kamu trus keterangan alpa kamu diganti ya.”

Kia tersenyum, kemudian mengangkat dua jempolnya kepada Karen. 

Gadis itu melangkah keluar dari dalam kelasnya. Kia menyusuri koridor kelas, lalu menuruni tangga satu per satu. Ruangan kelas XI Ipa 1 yang sekarang tengah diduduki oleh Kia dan teman-temannya berada di lantai ketiga. Sementara, ruang guru berada di lantai pertama. 

‘Kenapa tadi pas mau ke kelas, aku gak singgah dulu aja ke ruang guru? Kalau kayak gini, bolak-balik dong,’ batin Kia. Terkadang, ia mengutuki kebodohan dirinya sendiri akan hal ini.

Kia mengetuk pintu ruangan itu sebanyak tiga ketika sebelum ia membukanya. “Permisi.”

Kia lantas menutup kembali pintu itu

“Selamat pagi, Bu.” 

“Iya, silakan duduk, Kia.” Kia mengangguk, lalu mengambil posisi duduk di kursi yang disediakan. Bu Sandra, wali kelasnya itu merangkap menjadi wakil kepala sekolah bidang kesiswaan. Oleh karena itu, tak heran jika beliau memiliki bagian dari ruangannya tersendiri. 

“Kebetulan kamu datang ke sini, ada yang mau ibu tanyakan sama kamu, Kia.”

“Tanya soal apa ya, Bu?”

“Soal absen, kemarin kenapa kamu tidak masuk?” Sudah dapat Kia duga, pertanyaan inilah yang akan dilontarkan bu Sandra.

“Kemarin saya sakit, Bu. Jadi, saya tidak masuk sekolah.”

“Kalau kamu sakit, kenapa tidak mengirimkan surat izin? Kamu kan bisa titip ke Astri surat izinnya.” Bu Sandra memang sudah mengetahui hubungan persaudaraan antara Kia dan Astri, mengingat beliau memegang data anak kelasnya. Hanya saja, ia diminta untuk menjaga rahasia bahwa Kia ialah saudara Astri. 

“Maaf, Bu. Saya sudah titipin surat kepada Astri, namun, ternyata dia tidak menyampaikannya.”

“Jadi, begitu ya.” Bu Sandra menganggukkan kepalanya, tanda ia paham akan kondisi Kia. 

“Kalau begitu, nanti saya akan rubah keterangan alpa kamu menjadi izin sakit, ya. Ibu tahu, kamu gak mungkin alpa, kamu itu murid berprestasi di sekolah ini.” Mendengar ucapan bu Sandra, mata Kia sontak berbinar-binar. 

“Ibu mau ubah absen saya?” tanya Kia yang masih tidak percaya.

“Iya, kali ini ibu ubahkan. Akan tetapi, untuk hari-hari kedepannya, ibu tidak akan berlaku yang sama lagi. Kamu harus benar-benar memastikan surat izin kamu sampai kepada Ibu, atau kepada sekretaris kelas.”

“Iya, Bu. Saya janji, lain kali saya gak akan teledor dalam mengirimkan surat izin lagi. Terima kasih banyak, Bu. Kalau begitu, saya permisi, Bu.”

Kia berjalan keluar dari ruang guru dengan wajah yang berseri. “Akhirnya, aku gak jadi alpa. Dengan begini, aku bisa lebih tenang, deh.” 

‘Kurang ajar, rencana aku buat ngehancurin Kia gagal. Tapi, tenang aja. Kia, ini baru awal, dan untuk kedepannya aku akan buat kamu jauh lebih hancur.’

***

“Gimana absen kamu? Udah bicara sama bu Sandra?”

“Udah, Ren. Bu Sandra itu emang orangnya baik banget, ya. Dia mau dengarin penjelasan aku, dan mau ubahkan alpa aku menjadi izin sakit,” ucap Kia dengan rasa bahagia yang meliputi hatinya.

“Aku turut senang deh kalau gitu. Jadi, beasiswa kamu gak bakal terancam dicabut.” 

Kia tersenyum miris. Karena papa dan mamanya yang tidak mempedulikannya, ia jadi harus mati-matian mempertahankan beasiswa yang ia pegang. Terkadang, gadis itu merasa dirinya terlalu ambisius dalam hal ini. Akan tetapi, Kia tidak bisa memungkiri, bahwa semua ambisinya ini adalah yang terbaik untuknya. 

“Iya. Kalau aku sampai alpa sehari, aku gak tau deh gimana jadinya beasiswa aku.” 

“Kamu tenang aja, Kia. Beasiswa kamu gak akan  dicabut, secara kamu kan penyumbang piala terbanyak di sekolah ini.” 

Ucapan Karen tentang Kia itu benar adanya, dan tidak melebih-lebihkan. Selama hampir 50 tahun sekolah ini berdiri, Kia lah yang memegang rekor penyumbang piala terbanyak. Sudah 15 perlombaan yang berhasil Kia juarai, satu diantaranya yang paling memuaskan ialah lomba sains internasional yang baru Kia juarai sebulan yang lalu. Tidak alang-alang, gadis itu menduduki peringkat nomor 1 di antara puluhan tim dari negara lain. 

Itulah alasan Kia selalu dielu-elukan oleh guru di sekolahnya, dan alasan mengapa Kia selalu dibenci oleh teman-teman di sekolahnya. Mereka menganggap Kia terlalu berambisi hingga semua lomba ia ikuti, terlebih dengan wajah pas-pasan Kia, membuat teman sekolahnya semakin muak melihat wajah Kia selalu terpampang di madding sekolah. 

***

Selamat datang di kehidupan. Suatu tempat dimana kamu akan merasa dibanggakan, juga dibenci dalam waktu bersamaan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status