Share

05 - Ajakan Gila!

Raline sudah sangat yakin jika Gara pasti akan langsung mundur. Belum apa-apa saja, kedua orangtuanya sudah terang-teranagan menunjukkan ketidak tertarikan mereka pada Gara, karena sudah ada Lucas yang lebih mereka restui bersama Raline. Walau Raline pun tidak akan menerima Lucas, tetapi setidaknya itu akan membuat Raline bebas dari Gara setelah ini. Soal Lucas, bisa ia pikirkan lagi lain waktu.

“Saya tahu kok, Om. Raline juga sudah bercerita pada saya, kalau dia dijodohkan dengan anak sahabat ibunya,” ucap Gara. Raline mengangguk membenarkan.

“Dan kamu masih melanjutkan hubungan kalian meski tahu kamu dan Raline tidak akan bisa bersama?” heran Pak Edi.

Gara tersenyum penuh arti. “Soalnya saya juga tahu, kalau Raline tidak setuju dengan perjodohan itu. Dan saya pun tidak mau menyerah begitu saja, melihat masih adanya peluang untuk saya dan Raline bisa bersama.”

Pak Edi berdehem kaku. Sedangkan Bu Arum mulai menyapukan pandangannya ke segala penjuru ruangan, ke mana saja asal netranya tak bersitatap dengan manik hitam legam milik Gara. 

“Ah iya. Nak Gara mau minum apa? Biar Tante buatkan,” tawar Bu Arum, berniat untuk secepatnya kabur dari ruang tamu.

“Tidak usah, Tante. Saya lebih membutuhkan Tante untuk ikut mengobrol di sini, dibanding segelas minuman. Sebab, saya juga ingin mengenal kedua orangtua kekasih saya dengan lebih baik,” tolak Gara.

“Pak Gara, apa nggak sebaiknya Bapak pulang aja? Kasihan loh Cinta. Gimana kalau nanti dia bangun terus nyariin Bapak?” bujuk Raline. Ia hanya ingin Gara segera pergi dari rumahnya, sebelum pria itu membahas hal yang lebih serius dengan kedua orangtuanya.

“Pasti dia akan mengerti. Dia bukan anak yang rewel kok,” balas Gara.

‘Dasar, pria tidak peka!’ umpat Raline dalam hati.

Kembali ke percakapan serius antara Gara dengan kedua orangtua Raline. Setelah terdiam cukup lama, Pak Edi pun mulai kembali bersuara. “Begini, Nak Gara. Bukan kami tidak menyukaimu. Hanya saja, perjodohan Raline dengan Lucas sudah terjadi sebelum kamu datang. Dan kami tidak bisa membatalkannya begitu saja hanya karena kedatangan kamu yang tiba-tiba seperti ini.”

“Jadi, meski Om dan Tante tahu jika Raline tidak suka pada pria itu, kalian tetap akan memaksa Raline menikah dengannya?” tanya Gara.

“Raline hanya belum. Tapi Nak Lucas adalah anak yang baik. Jadi Tante rasa, hanya butuh waktu bagi Raline untuk bisa menerima Lucas menjadi calon suaminya. Apalagi, umur Raline sudah tidak muda lagi. Bukan saatnya bagi dia untuk main-main soal cinta,” sambung Bu Arum.

“Oh, jadi ini juga soal Om dan Tante yang ingin Raline segera menikah, dan tidak sekadar bermain-main?” tanya Gara, yang diangguki kedua orangtua Raline.

Melihat reaksi kedua orangtuanya, Raline hanya menghela napas panjang. Ia sudah tahu ke arah mana pemikiran kedua orangtuanya itu. Meski sudah ratusan kali Raline jelaskan jika ia memang masih ingin sendiri, tetapi kenyataannya kedua orangtuanya itu masih saja mendesaknya untuk segera menikah. Memang, salah satu alasan terbesar Raline dijodohkan adalah karena Raline masih tampak melajang di usianya yang sudah matang. Padahal, Raline memutuskan untuk sendiri karena memang ia masih ingin menikmati kehidupan masa mudanya.

Gara terdiam, tampak seperti merenung sebentar, sebelum akhirnya mendongak agar bisa bersitatap dengan manik sendu Raline yang memasang raut memelas. Gara seakan bisa merasakan kesedihan dari pancaran mata gadis itu. Amat jelas terlihat jikaa Raline tidak sependapat dengan kedua orangtuanya. Ia sangat tidak setuju dengan perjodohan itu.

Dan tiba-tiba saja, bayangan senyum cerah Cinta siang tadi kembali masuk ke dalam ingatan Gara. Belum pernah ia melihat putri kesayangannya itu sebahagia saat bersama Raline tadi, bahkan meski semua keinginannya telah Gara turuti. Bisa dibilang, mungkin Raline lah kunci kebahagiaan Cinta – sesuatu yang Cinta butuhkan agar gadis kecil itu bisa tumbuh dengan riang layaknya anak seusianya yang lain.

Gara berdehem, membuat atensi Raline beralih padanya. Ia mendadak gugup saat menyadari tatapan Gara yang begitu dalam terarah padanya.

“Usia saya saat ini 33 tahun, dan saya menjabat sebagai wakil direktur perencanaan di salah satu cabang Mahawira Group yang merupakan milik keluarga saya. Secara finansial dan usia, saya sudah cukup mapan. Saya juga pernah berumah tangga, dan semua berjalan baik-baik saja. Saya juga berhasil membesarkan putri saya seorang diri hingga kini usianya menginjak 6 tahun,” ungkap Gara, membuat tiga orang di hadapannya mengerutkan keningnya. Mereka sama-sama bingung kenapa tiba-tiba Gara menjelaskan begitu banyak tentang dirinya tanpa ada yang meminta.

“Pak-“

“Iya, lalu?” Pak Edi memotong ucapan putrinya.

“Dengan keadaan saya yang seperti ini, saya rasa saya sudah lebih dari mampu untuk membahagiakan Raline, lebih dari yang pria bernama Lucas itu berikan. Jadi, apa Om dan Tante masih akan melepaskan saya begitu saja, dan membiarkan Raline dengan lelaki yang tidak ia cintai itu?” tanya Gara, dengan nada seperti menantang.

Raline tampak paling terkejut mendengar ucapan Gara itu. Ia langsung membulatkan matanya dan menatap Gara dengan penuh ancaman.

“Pak, nggak usah bercanda!” protes Raline.

“Saya yakin saya lebih mampu membahagiakan kamu dibandingkan dia,” balas Gara.

Raline menggeleng kuat. Melihat kedua orangtuanya yang masih tak bereaksi, Raline pun segera menyeret tangan Gara keluar dari sana. Sempat terdengar panggilan dari sang ibu sekali, tetapai Raline mengabaikannya.

“Raline, saya belum selesai bicara dengan kedua orangtua kamu,” protes Gara.

“Kita juga perlu bicara! Empat mata, tanpa ada orangtua saya!” tegas Raline.

Gara menghentikan langkahnya hingga mau tak mau Raline pun harus ikut berhenti. Ia memutar tubuhnya menghadap ke arah Gara dan menatapnya kesal. “Nggak bisa di sini. Nanti orangtua saya nyamperin.”

“Ya sudah, kita keluar pakai mobil saya,” usul Gara. Raline tampak keberatan. Gara mengembuskan napas panjang, berusaha bersabar. “Lalu bagaimana? Kamu lebih suka saya ikut kamu berjalan tanpa tujuan sampai sekiranya orangtua kamu nggak bisa ngejar?”

“Ya nggak gitu juga sih. Ya udah ayo! Tapi saya yang milih tempatnya,” putus Raline. Tentu, harus ia yang memilih tempatnya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya, seperti Gara yang akan menculiknya, mungkin?

Raline membawa Gara ke sebuah danau yang cukup ramai. Gara pun segera menepikan mobilnya sesuai intruksi Raline. Namun, saat Gara ingin keluar, Raline menahannya. “Kita bicara di sini saja! Di luar cukup ramai dan saya nggak mau ada yang dengar obrolan kita.”

“Di sini?” tanya Gara ragu. Raline mengangguk mantab.

“Baik. Tunggu sebentar! Saya beli minum buat kita dulu,” pamit Gara. Pria itu buru-buru keluar, menghampiri seorang pedagang minuman dingin dan membeli dua botol untuk dirinya dan Raline. Beberapa menit kemudian, ia kembali dan menyodorkan salah satu botol miliknya untuk Raline.

“Makasih. Nanti uangnya saya ganti,” ungkap Raline.

Gara terkekeh mendengarnya. “Nggak perlu. Mungkin sebaliknya saya akan minta tolong kamu buat gantian traktir Cinta saja. Dia pasti akan sangat senang,” balas Gara.

Raline berusaha mengabaikannya, karena ia ingin lebih dulu membasahi tenggorokannya yang terasa sangat kering. Keduanya sama-sama terdiam selama hampir lima menit, seolah berpikir harus dari mana pembicaraan itu dimulai. Hingga akhirnya, suara Raline sudah lebih dulu terdengar, dan Gara pun menyimak dengan raut wajah sabarnya.

“Pak, saya rasa apa yang Anda ucapkan di depan orangtua saya tadi sudah agak berlebihan deh. Anda nggak perlu mengatakan hal seperti itu. Saya takut mereka justru akan berharap lebih nantinya,” ungkap Raline.

“Di mana letak kesalahan ucapan saya?” bingung Gara. Raline mendengus kesal. Padahal ia sudah berusaha untuk mengatakannya sejelas mungkin, kan? Lagi pula, bisa-bisanya Gara tidak menyadari kesalahannya.

“Soal Anda yang bilang ingin membahagiakan saya. Kesannya Anda seperti mau menikahi saya. Dan saya yakin, orangtua saya pun pasti akan beranggapan demikian. Saya rasa itu hanya akan membuat mereka berharap berlebihan dan-“

“Tapi Raline, bagaimana kalau saya serius?” tanya Gara.

“Hah?!”

“Iya. Bagaimana kalau saya memang berniat menjalin hubungan yang lebih serius dengan kamu? Bagaimana kalau kita langsung menikah saja? Dengan begitu, perjodohan kamu dengan pria bernama Lucas itu juga pasti akan gagal, kan?” usul Gara, yang membuat Raline langsung bungkam dan kehabisan kata-kata.

Bagaimana ada lelaki yang bisa semudah itu mengatakan soal pernikahan? Apa Gara pikir pernikahan adalah sesuatu yang main-main? Bahkan, mereka saja baru bertemu hari ini. Dan sejak awal, Raline hanya meminta Gara untuk menjadi pacar pura-puranya agar orangtuanya berhenti mendesaknya untuk menikah dengan Lucas. Namun, kenapa sekarang justru Gara yang tiba-tiba mengajak Raline untuk  benar-benar menjalin hubungan seserius itu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status