Raline sudah sangat yakin jika Gara pasti akan langsung mundur. Belum apa-apa saja, kedua orangtuanya sudah terang-teranagan menunjukkan ketidak tertarikan mereka pada Gara, karena sudah ada Lucas yang lebih mereka restui bersama Raline. Walau Raline pun tidak akan menerima Lucas, tetapi setidaknya itu akan membuat Raline bebas dari Gara setelah ini. Soal Lucas, bisa ia pikirkan lagi lain waktu.
“Saya tahu kok, Om. Raline juga sudah bercerita pada saya, kalau dia dijodohkan dengan anak sahabat ibunya,” ucap Gara. Raline mengangguk membenarkan.“Dan kamu masih melanjutkan hubungan kalian meski tahu kamu dan Raline tidak akan bisa bersama?” heran Pak Edi.Gara tersenyum penuh arti. “Soalnya saya juga tahu, kalau Raline tidak setuju dengan perjodohan itu. Dan saya pun tidak mau menyerah begitu saja, melihat masih adanya peluang untuk saya dan Raline bisa bersama.”Pak Edi berdehem kaku. Sedangkan Bu Arum mulai menyapukan pandangannya ke segala penjuru ruangan, ke mana saja asal netranya tak bersitatap dengan manik hitam legam milik Gara. “Ah iya. Nak Gara mau minum apa? Biar Tante buatkan,” tawar Bu Arum, berniat untuk secepatnya kabur dari ruang tamu.“Tidak usah, Tante. Saya lebih membutuhkan Tante untuk ikut mengobrol di sini, dibanding segelas minuman. Sebab, saya juga ingin mengenal kedua orangtua kekasih saya dengan lebih baik,” tolak Gara.“Pak Gara, apa nggak sebaiknya Bapak pulang aja? Kasihan loh Cinta. Gimana kalau nanti dia bangun terus nyariin Bapak?” bujuk Raline. Ia hanya ingin Gara segera pergi dari rumahnya, sebelum pria itu membahas hal yang lebih serius dengan kedua orangtuanya.“Pasti dia akan mengerti. Dia bukan anak yang rewel kok,” balas Gara.‘Dasar, pria tidak peka!’ umpat Raline dalam hati.Kembali ke percakapan serius antara Gara dengan kedua orangtua Raline. Setelah terdiam cukup lama, Pak Edi pun mulai kembali bersuara. “Begini, Nak Gara. Bukan kami tidak menyukaimu. Hanya saja, perjodohan Raline dengan Lucas sudah terjadi sebelum kamu datang. Dan kami tidak bisa membatalkannya begitu saja hanya karena kedatangan kamu yang tiba-tiba seperti ini.”“Jadi, meski Om dan Tante tahu jika Raline tidak suka pada pria itu, kalian tetap akan memaksa Raline menikah dengannya?” tanya Gara.“Raline hanya belum. Tapi Nak Lucas adalah anak yang baik. Jadi Tante rasa, hanya butuh waktu bagi Raline untuk bisa menerima Lucas menjadi calon suaminya. Apalagi, umur Raline sudah tidak muda lagi. Bukan saatnya bagi dia untuk main-main soal cinta,” sambung Bu Arum.“Oh, jadi ini juga soal Om dan Tante yang ingin Raline segera menikah, dan tidak sekadar bermain-main?” tanya Gara, yang diangguki kedua orangtua Raline.Melihat reaksi kedua orangtuanya, Raline hanya menghela napas panjang. Ia sudah tahu ke arah mana pemikiran kedua orangtuanya itu. Meski sudah ratusan kali Raline jelaskan jika ia memang masih ingin sendiri, tetapi kenyataannya kedua orangtuanya itu masih saja mendesaknya untuk segera menikah. Memang, salah satu alasan terbesar Raline dijodohkan adalah karena Raline masih tampak melajang di usianya yang sudah matang. Padahal, Raline memutuskan untuk sendiri karena memang ia masih ingin menikmati kehidupan masa mudanya.Gara terdiam, tampak seperti merenung sebentar, sebelum akhirnya mendongak agar bisa bersitatap dengan manik sendu Raline yang memasang raut memelas. Gara seakan bisa merasakan kesedihan dari pancaran mata gadis itu. Amat jelas terlihat jikaa Raline tidak sependapat dengan kedua orangtuanya. Ia sangat tidak setuju dengan perjodohan itu.Dan tiba-tiba saja, bayangan senyum cerah Cinta siang tadi kembali masuk ke dalam ingatan Gara. Belum pernah ia melihat putri kesayangannya itu sebahagia saat bersama Raline tadi, bahkan meski semua keinginannya telah Gara turuti. Bisa dibilang, mungkin Raline lah kunci kebahagiaan Cinta – sesuatu yang Cinta butuhkan agar gadis kecil itu bisa tumbuh dengan riang layaknya anak seusianya yang lain.Gara berdehem, membuat atensi Raline beralih padanya. Ia mendadak gugup saat menyadari tatapan Gara yang begitu dalam terarah padanya.“Usia saya saat ini 33 tahun, dan saya menjabat sebagai wakil direktur perencanaan di salah satu cabang Mahawira Group yang merupakan milik keluarga saya. Secara finansial dan usia, saya sudah cukup mapan. Saya juga pernah berumah tangga, dan semua berjalan baik-baik saja. Saya juga berhasil membesarkan putri saya seorang diri hingga kini usianya menginjak 6 tahun,” ungkap Gara, membuat tiga orang di hadapannya mengerutkan keningnya. Mereka sama-sama bingung kenapa tiba-tiba Gara menjelaskan begitu banyak tentang dirinya tanpa ada yang meminta.“Pak-““Iya, lalu?” Pak Edi memotong ucapan putrinya.“Dengan keadaan saya yang seperti ini, saya rasa saya sudah lebih dari mampu untuk membahagiakan Raline, lebih dari yang pria bernama Lucas itu berikan. Jadi, apa Om dan Tante masih akan melepaskan saya begitu saja, dan membiarkan Raline dengan lelaki yang tidak ia cintai itu?” tanya Gara, dengan nada seperti menantang.Raline tampak paling terkejut mendengar ucapan Gara itu. Ia langsung membulatkan matanya dan menatap Gara dengan penuh ancaman.“Pak, nggak usah bercanda!” protes Raline.“Saya yakin saya lebih mampu membahagiakan kamu dibandingkan dia,” balas Gara.Raline menggeleng kuat. Melihat kedua orangtuanya yang masih tak bereaksi, Raline pun segera menyeret tangan Gara keluar dari sana. Sempat terdengar panggilan dari sang ibu sekali, tetapai Raline mengabaikannya.“Raline, saya belum selesai bicara dengan kedua orangtua kamu,” protes Gara.“Kita juga perlu bicara! Empat mata, tanpa ada orangtua saya!” tegas Raline.Gara menghentikan langkahnya hingga mau tak mau Raline pun harus ikut berhenti. Ia memutar tubuhnya menghadap ke arah Gara dan menatapnya kesal. “Nggak bisa di sini. Nanti orangtua saya nyamperin.”“Ya sudah, kita keluar pakai mobil saya,” usul Gara. Raline tampak keberatan. Gara mengembuskan napas panjang, berusaha bersabar. “Lalu bagaimana? Kamu lebih suka saya ikut kamu berjalan tanpa tujuan sampai sekiranya orangtua kamu nggak bisa ngejar?”“Ya nggak gitu juga sih. Ya udah ayo! Tapi saya yang milih tempatnya,” putus Raline. Tentu, harus ia yang memilih tempatnya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya, seperti Gara yang akan menculiknya, mungkin?Raline membawa Gara ke sebuah danau yang cukup ramai. Gara pun segera menepikan mobilnya sesuai intruksi Raline. Namun, saat Gara ingin keluar, Raline menahannya. “Kita bicara di sini saja! Di luar cukup ramai dan saya nggak mau ada yang dengar obrolan kita.”“Di sini?” tanya Gara ragu. Raline mengangguk mantab.“Baik. Tunggu sebentar! Saya beli minum buat kita dulu,” pamit Gara. Pria itu buru-buru keluar, menghampiri seorang pedagang minuman dingin dan membeli dua botol untuk dirinya dan Raline. Beberapa menit kemudian, ia kembali dan menyodorkan salah satu botol miliknya untuk Raline.“Makasih. Nanti uangnya saya ganti,” ungkap Raline.Gara terkekeh mendengarnya. “Nggak perlu. Mungkin sebaliknya saya akan minta tolong kamu buat gantian traktir Cinta saja. Dia pasti akan sangat senang,” balas Gara.Raline berusaha mengabaikannya, karena ia ingin lebih dulu membasahi tenggorokannya yang terasa sangat kering. Keduanya sama-sama terdiam selama hampir lima menit, seolah berpikir harus dari mana pembicaraan itu dimulai. Hingga akhirnya, suara Raline sudah lebih dulu terdengar, dan Gara pun menyimak dengan raut wajah sabarnya.“Pak, saya rasa apa yang Anda ucapkan di depan orangtua saya tadi sudah agak berlebihan deh. Anda nggak perlu mengatakan hal seperti itu. Saya takut mereka justru akan berharap lebih nantinya,” ungkap Raline.“Di mana letak kesalahan ucapan saya?” bingung Gara. Raline mendengus kesal. Padahal ia sudah berusaha untuk mengatakannya sejelas mungkin, kan? Lagi pula, bisa-bisanya Gara tidak menyadari kesalahannya.“Soal Anda yang bilang ingin membahagiakan saya. Kesannya Anda seperti mau menikahi saya. Dan saya yakin, orangtua saya pun pasti akan beranggapan demikian. Saya rasa itu hanya akan membuat mereka berharap berlebihan dan-““Tapi Raline, bagaimana kalau saya serius?” tanya Gara.“Hah?!”“Iya. Bagaimana kalau saya memang berniat menjalin hubungan yang lebih serius dengan kamu? Bagaimana kalau kita langsung menikah saja? Dengan begitu, perjodohan kamu dengan pria bernama Lucas itu juga pasti akan gagal, kan?” usul Gara, yang membuat Raline langsung bungkam dan kehabisan kata-kata.Bagaimana ada lelaki yang bisa semudah itu mengatakan soal pernikahan? Apa Gara pikir pernikahan adalah sesuatu yang main-main? Bahkan, mereka saja baru bertemu hari ini. Dan sejak awal, Raline hanya meminta Gara untuk menjadi pacar pura-puranya agar orangtuanya berhenti mendesaknya untuk menikah dengan Lucas. Namun, kenapa sekarang justru Gara yang tiba-tiba mengajak Raline untuk benar-benar menjalin hubungan seserius itu?Raline berencana bangun lebih pagi. Saking kepikirannya, ia bahkan sampai tidak bisa benar-benar lelap dalam tidurnya. Tidur Raline mudah terusik. Begitu pun saat ia merasakan gerakan kecil dari sampingnya. Sebuah tangan terasa mendekapnya begitu erat selama beberapa detik, sebelum terlepas dan berganti menyentuh bagian-bagian wajah Raline. Saat Raline membuka matanya, hal pertama yang ia lihat adalah senyum Cinta. Gadis kecil itu masih tampak pucat, meski sudah tidak sepucat kemarin. Namun, ada yang aneh dengan gadis cilik itu. "Mama sudah bangun? Cinta gangguin Mama, ya? Maaf, ya, Ma," ungkap Cinta sambil kembali mendekap Raline. Saat Cinta kembali memeluknya, Raline merasa semakin yakin jika ada yang tidak beres dengan anak sambungnya itu. Raline segera mengurai pelukan Cinta dan memeriksanya. Ia tempelkan punggung tangannya ke kening Cinta. Dan benar saja ... "Cinta, kamu demam?" heboh Raline. Ia langsung menarik dirinya paksa untuk duduk. Ia memastikan sekali lagi suhu keni
Untuk mengusir rasa bosan, Raline membantu asisten rumah tangganya menyiapkan makan malam. Ia juga ikut menatanya di atas meja makan. Hingga saat Raline terlalu fokus dengan barang bawaannya, ia nyaris saja bertabrakan dengan seselorang. Raline mendongak lalu mundur satu langkah saat melihat kuah semur yang ia bawa nyaris saja mengenai Gara. Andai itu terjadi, Raline yakin, masalahnya dengan Gara pasti akan menjadi semakin runyam. "Ah iya. Ini makan malamnya sudah siap. Mas tunggu di meja makan saja! Oh iya. Cinta mana?" Gadis itu berusaha bersikap biasa saja. "Cinta di kamar. Aku ke sini cuma mau ambilin makan dan obat buat dia,'' jawab Gara seperlunya. Melihat Raline yang terlalu lama mengambilkan apa yang Gara buruhkan, lelaki itu pun segera mengambil inisiatif untuk mengambil alih makanan yang Raline pegang. "Mas, tunggu! Lebih baik Mas makan saja. Biar makanan dan obat Cinta aku yang urus," Raline dengan begitu tulus. "Tidak perlu. Aku masih bisa mengurusnya sendiri kok,"
Tiga hari berlalu pasca pernikahan Raline dengan Gara. Namun, semua masih terasa sama. Gara masih terkesan dingin pada Raline. Bahkan Raline merasa seolah Gara enggan menganggap keberadaannya. Saat ini, Raline masih mengerjakan tugas-tugas kantornya. Pekerjaannya cukup banyak karena memang kesibukan Gara di kantor sedang meningkat. Namun, waktu menunjukkan pukul setengah empat sore. Yang artinya sudah akan memasuki jam pulang kantor. "Tinggalkan saja pekerjaannya! Prioritas kamu sekarang kan ngurusin Cinta," ucap Gara. "Iya, sebentar lagi ini selesai kok. Lagi bantu merapikan bahan meeting besok soalnya," balas Raline. "Tinggal saja! Nanti Cinta nyariin," Gara memaksa. "Sebentar. Paling lima belas sampai dua puluh menit lagi selesai kok." Dan Raline masih kekeuh ingin menyelesaikan pekerjaannya dulu. Saking fokusnya Raline pada pekerjaannya, gadis itu sampai tidak sadar jika bos sekaligus suaminya itu sudah beberapa kali menghela napas panjang. "Raline, kamu masih ingin bekerj
Pukul sembilan malam, Raline, Gara dan Cinta telah sampai di rumah. Beberapa kali Cinta mengucek matanya sambil menguap - menandakan jika anak itu sudah mengantuk. "Mama," panggil Cinta. "Ya, Cinta? Mau Mama yang nemenin kamu gosok gigi sama cuci muka?" tawar Raline. Cinta mengangguk dengan raut wajah yang sangat lucu. "Tapi Cinta juga mau tidur sama Mama, dikelonin Mama," pinta Cinta. Raline refleks menoleh ke arah Gara, seolah meminta persetujuan. Sebenarnya, Raline tidak keberatan tidur di mana saja malam ini. Entah bersama Gara atau pun Cinta, bagi Raline sama saja selagi ia masih bisa tidur untuk mengusir rasa lelahnya. Namun, biar bagaimana pun Gara adalah suaminya. Raline perlu meminta pendapat pria itu walau sekadar hanya untuk formalitas. "Ya udah sana! Cinta boleh tidur sama Mama. Tapi janji, ya, besok pagi jangan susah bangunnya!" pesan Gara. Raline tersenyum mendengarnya. Ia juga sebenarnya lebih senang jika ia tidur bersama Cinta. Karena rasanya pasti sangat cang
16. SAH! (Hari Pernikahan)Raline menghela napas panjang berkali-kali. Ternyata benar. Semakin mendekati hari pernikahan, maka ujian yang datang akan semakin berat. Hari itu telah tiba, dan Raline tak bisa menghindarinya. Pagi ini, ia sudah didandani sedemikian rupa untuk acara pesta pernikahannya. "Mama cantik banget!" seru Cinta yang baru saja datang. Anak itu mengenakan pakaian berwarna pink pastel yang cantik. Cinta sendiri yang memilih model tersebut saat mereka datang ke butik Bu Almira. "Anak Mama juga cantik. Yang ngehias rambutnya siapa, sayang?" tanya Raline melihat rambut anak tirinya yang sudah ditata bak seorang princess negeri dongeng. "Oma," jawab Cinta dengan senyum lebar di bibirnya. Tak lama, Bu Almira muncul. Dia memberitahukan jika pestanya akan segera dimulai sebentar lagi. Maka dari itu, dia datang untuk menjemput Raline dan Cinta. Sebelumnya, Raline sudah berpesan agar pesta pernikahan dilangsungkan secara sederhana saja. Sebab ia bukanlah tipe orang yang
Raline sering uring-uringan akhir-akhir ini. Sebab, ia tidak menyangka jika keluarganya dan Gara akan merencanakan pernikahan secepat ini. Raline pikir, pernikahan mereka mungkin akan digelar setidaknya enam bulan lagi. Namun, ternyata jauh dari itu – Gara meminta pernikahan mereka dilaksanakan dua bulan lagi, dan gilanya hal itu disetujui oleh semua orang kecuali Raline. Tentu, Raline kalah suara. Akhirnya ia pun hanya bisa pasrah menerima keputusan itu.Tidak banyak yang berubah dengan hubungan Raline dan Gara selama satu setengah bulan terakhir. Gara masih sibuk dengan urusan kantor sekaligus sesekali meluangkan waktunya untuk menyiapkan pernikahannya dengan Raline. Sedangkan Raline masih berusaha menyesuaikan diri dengan kesibukan barunya sebagai ‘pengasuh’ Cinta sekaligus pekerja kantoran.Waktu menunjukkan pukul dua siang. Raline masih setia menunggu Gara di ruang kerjanya. Pria itu belum kembali juga sejak jam makan siang tadi. Yang Raline tahu, Gara pergi bersama sekretarisnya