Share

06 - Membingungkan

Tawa Raline pecah saat ia teringat kembali ucapan Gara beberapa detik yang lalu. Tentu. Pria itu pasti hanya bercanda, kan? Tidak mungkin ada orang yang bisa memutuskan soal pernikahan secepat itu.

“Kamu tertawa?” bingung Gara.

“Ya iya lah, Pak. Habisnya bercanda Bapak lucu banget. Saya sampai sudah mau percaya loh, Pak. Untung saya masih waras, jadi-“

“Tapi saya serius, Raline. Saya mau menikahi kamu,” potong Gara, membuat tawa Raline terhenti seketika.

“Bapak ini nggak bisa serius sedikit, ya? Saya nggak lagi ngajakin Bapak bercanda loh. Saya jauh-jauh bawa Bapak ke sini buat jelasin ke Bapak kalau nggak seharusnya Bapak bicara seperti itu pada orangtua saya. Gini deh. Pokoknya habis ini, Bapak ngantar saya pulang, lalu habis itu kita nggak usah ketemu lagi! Bapak lupain aja kalau Bapak pernah bertemu orang seperti saya dan saya pun akan melakukan hal yang sama. Lupakan saja permintaan bodoh saya sebelumnya. Saya sudah sadar kok kalau itu salah, dan saya bis acari jalan lain buat menghindari perjodohan itu,” terang Raline panjang lebar. Ia masih beranggapan jika Gara hanya bercanda.

“Setelah kamu membuat anak saya tersenyum bahagia setelah sekian lama, kamu tega pergi begitu saja?” ujar Gara.

Raline menatap manik mata pria di hadapannya. Dari pancaran mat aitu, Raline bisa melihat kekecewaan yang sangat besar di sana. Namun, kenapa? Mereka bahkan baru kenal satu hari. Seharusnya tidak sulit bagi Gara untuk melupakan jika ia pernah bertemu Raline, kan?

“Kalau menurut Bapak itu salah saya, saya mohon maaf. Tapi-“

“Raline, menikahlah dengan saya! Kamu butuh saya untuk menghindari perjodohan itu, kan? Dan saya juga butuh kamu untuk membuat putri saya bahagia.” Lagi-lagi, Gara memotong ucapan Raline. Pria itu tetap kekeuh mengatakan jika ia serius ingin memperistri Raline. Dan tentunya, hal itu membuat Raline merasa bingung sekaligus kesal sekarang.

“Bapak sudah gila, ya? Bisa-bisanya ngajak orang yang baru ketemu sehari buat nikah?” kesal Raline. Ia merasa Gara seolah sedang merendahkannya. Ingin sekali rasanya Raline menampar pria itu, jika ia sudah tak ingat sopan santun yang sudah ditanamkan kedua orangtuanya sejak ia kecil.

“Mungkin menurut kamu ini tidak wajar. Tapi, sebagai seorang ayah tunggal, saya hanya ingin yang terbaik untuk putri saya. Dan selama enam tahun saya bersama Cinta, saya belum pernah melihatnya bahagia seperti saat ia bersamamu. Dia butuh figure seorang ibu, tapi selama ini dia sulit dekat dengan orang lain. Maka dari itu, saya sangat senang saat akhirnya dia mau dekat dan tersenyum saat bersama kamu. Saya berharap banyak sama kamu, Raline. Ini demi Cinta,” ucap Gara dengan nada lembut, seolah menunjukkan jika apa yang ia katakan berasal langsung dari hatinya yang terdalam.

“Tapi nggak harus saya, kan, Pak? Kita baru aja kenal. Baru tadi siang. Saya bahkan belum tahu apa-apa soal Bapak. Bisa-bisanya Bapak ngajak saya nikah gitu aja?! Nggak! Saya nggak bisa!” tegas Raline.

Raline menghela napas panjang guna menetralkan kembali emosinya, sebelum ia meluapkannya di depan pria yang lebih tua darinya itu. Ia masih ingin menjaga sopan santunnya mengingat sikap Gara yang juga terkesan baik padanya.

“Tapi kenyataannya hanya kamu yang bisa membuat Cinta bahagia, Raline. Dan ingatlah, ini bukan hanya akan menguntungkan untuk saya dan Cinta. Tapi kamu juga. Yang perlu kamu lakukan hanya menjadi istri saya sekaligus ibu untuk Cinta. Saya juga janji nggak akan batasi kehidupan pribadi kamu,” desak Gara.

Raline terdiam. Ia merenung cukup lama. Ia memang tidak mau menikah dengan Lucas. Namun, bukan berarti ia mau menikah dengan pria lain begitu saja. Pada dasarnya, Raline memang tidak siap untuk menikah. Ini bukan perkara soal siapa yang akan menjadi suaminya saja, tapi Raline memang belum siap terikat.

“Bapak tahu, kan, apa yang menjadi alasan awal saya minta Bapak jadi pacar pura-pura saya? Itu karena saya nggak mau nikah secepat ini, Pak. Kalau urusan nikah, Bapak cari saja yang lain! Keputusan saya tetap sama. Saya tidak ingin menikah, apalagi sampai melahirkan anak. Saya sudah bahagia kok, dengan kehidupan saya yang seperti ini,” tegas Raline pada pria yang baru saja meminangnya itu.

“Tapi, kalau kamu menolak pinangan saya, bisa saya pastikan ibu kamu akan kembali menjodohkanmu dengan pria bernama Lucas itu. Kamu yakin, akan lebih memilih untuk menikah dengannya, dibanding aku yang bisa kamu ajak membuat kesepakatan pra-nikah? Setidaknya saya lebih bisa kamu ajak bekerjasama dan bisa lebih memahami kamu yang tidak ingin hidup serba terkekang, dibanding pria lain yang pasti akan langsung menuntut haknya sebagai suami pada kamu,” terang Gara.

Raline mengacak-acak rambutnya frustrasi. Ia benar-benar belum ingin menikah. Namun, Gara ada benarnya juga. Meskipun Raline tidak akan menikah dengan Gara, pada akhirnya orangtuanya pasti akan kembali memaksanya untuk segera menerima pinangan Lucas.

“Pikirkan baik-baik, Raline! Saya tidak mau kamu terlalu terburu-buru dalam membuat keputusan. Saya bisa menunggu, tapi entah dengan kedua orangtua kamu dan juga pria bernama Lucas itu,” imbuh Gara, sebelum akhirnya kembali diam untuk memberi waktu bagi Raline untuk memikirkan keputusannya.

***

Raline kembali dengan wajah kusut yang langsung menarik perhatian ibunya. Namun, wanita paruh baya itu memilih untuk memberi waktu pada Raline, hingga anak gadisnya tersebut mau untuk mengatakannya sendiri. Beliau memilih berpura-pura tidak melihat, dan kembali melanjutkan pekerjaannya menyiapkan makan malam untuk keluarganya.

Raline membanting tubuhnya dalam keadaan tengkurap di kamar. Bibirnya masih terkunci rapat. Suasana hatinya masih kacau balau memikirkan setiap ucapan yang Gara katakan beberapa saat yang lalu.

Raline merasa, usianya masih terlalu muda. Namun sesekali ia juga ingat jika teman-temannya memang sudah menikah. Hanya saja, apa yang salah dengan keputusannya untuk ingin lebih menikmati hidup lebih lama sebagai seorang single? Sejujurnya, ia hanya takut akan kecewa. Ia takut, cinta dan kehidupan berumah tangga justru akan menjadi alasan kehancurannya suatu hari nanti. Raline tidak mau, hidup yang sudah ia tata dengan begitu rapi dan menyenangkan akan menjadi kacau balau saat ia terlanjur membiarkan seseorang untuk masuk terlalu dalam dan memberi pengaruh yang terlalu besar bagi hidupnya – seperti peran seorang suami.

“Aku cuma nggak mau ada di fase itu lagi. Fase di mana aku hancur hanya karena seorang laki-laki, yang akhirnya membuat hidupku stuck selama bertahun-tahun,” gumam Raline.

Yup. Ia pernah dikecewakan sebelumnya. Bisa dibilang, hal itulah yang membuat Raline trauma untuk memulai hubungan yang baru – apalagi menuju jenjang yang lebih serius. Dulu saja, saat pria yang bahkan belum resmi menjadi kekasihnya itu mengecewakannya, Raline sampai harus mengurung diri selama berbulan-bulan dan kehilangan banyak momen dalam hidupnya. Apalagi jika dia sampai merasakan luka yang sama, tetapi orang yang melakukannya adalah orang yang telah resmi menjadi suaminya? Ia pasti akan jauh lebih hancur daripada saat itu.

“Raline, buruan mandi! Habis ini kita makan malam!” seru Bu Arum dari depan kamar putri semata wayangnya.

Raline menghela napas panjang. Ia pun segera mengambil pakaian ganti dan bergegas ke kamar mandi seperti yang dititahkan nyonya rumah. Selang dua puluh menit, ia keluar dari kamar mandi yang ada di kamarnya dengan keadaan yang lebih segar. Ia pun segera keluar untuk membantu ibunya menyiapkan alat makan dan memindahkan masakan dari dapur ke meja makan.

“Sudah, kan? Bunda panggil Ayah dulu,” ucap Bu Arum. Raline hanya menganggukkan kepalanya, kemudian duduk di sebuah kursi. Petang ini, ia memang tidak berselera untuk terlalu banyak bicara. Dan entah hal itu akan disadari oleh kedua orangtuanya atau tidak nantinya.

Kegiatan makan malam dikediaman Pak Edi berjalan dengan lancar seperti biasa. Hanya saja, ada satu hal kecil yang membedakan makan malam kali ini dengan yang sebelum-sebelumnya. Raline – anak gadis Pak Edi dan Bu Arum itu tampak lebih pendiam malam ini. Dan hal itu pun disadari oleh sang kepala keluarga.

“Kenapa? Marahan lagi sama cowok kamu itu?” tanya Pak Edi, setelah melihat putrinya baru saja menelan suapan terakhir miliknya.

Raline hanya diam tak menanggapi. Ia bahkan tidak tahu harus mengatakan apa pada kedua orangtuanya. Soal obrolannya dengan Gara di taman, mereka masih belum menemukan kesepakatan, karena Gara yang memilih untuk memberi waktu bagi Raline untuk berpikir terlebih dahulu sebelum akhirnya mengambil keputusan.

“Umur kamu sudah berapa, Raline? Masih mau menjalani hubungan yang isinya cuma ngambek-ngambekan aja? Kalau memang tidak cocok, ya sudah lepaskan saja! Jujur, Ayah senang dengar anak Ayah sudah punya pacar. Setidaknya itu membuktikan kalau anak Ayah ini masih normal, bisa suka sama laki-laki. Namun, kamu harus ingat di usia kamu yang sekarang sudah bukan waktunya lagi buat kamu galau-galauan! Kalau memang tidak cocok, CUT! Jangan buang-buang waktu!” imbuh Pak Edi.

Raline menghela napas panjang. Ia masih tidak tahu harus mengatakan apa pada kedua orangtuanya. Namun, sempat terbesit di benaknya untuk mengatakan yang sebenarnya pada kedua orangtuanya. Hanya saja, ia ragu. Karena itu mungkin akan membuat kedua orangtua Raline semakin mendesaknya untuk segera menikah dengan Lucas.

“Ibu sendiri juga masih lebih suka sama Nak Lucas. Setidaknya kita sudah lebih jauh kenal keluarganya. Jadi, kalau mau serius, ya bisa secepatnya. Ibu bahkan juga nggak yakin kalau pacar kamu tadi benar-benar mau serius sama kamu. Sekilas saja, kelihatan loh kalau dia itu orang kaya. Nggak mungkin dia mau seriusin anak bau kencur kayak kamu. Ibu curiga dia mau main-main doang sama kamu,” sambung Bu Arum.

Raline menatap ibunya tidak terima. Memangnya, ia setidak layak itu untuk pria seperti Gara? Walau Raline tidak punya perasaan terhadap Gara, tapi tetap saja ia tidak suka saat ada yang mengatakan hal yang seakan-akan Raline adalah sesuatu yang buruk seperti itu.

“Bun, dia serius, kok. Sampai tadi kami ngobrol berdua pun, dia masih kekeuh ngajak Raline nikah,” ujar Raline, yang membuat kedua orangtuanya saling pandang.

“Terus kamu gimana?” tanya Bu Arum.

“Ya Raline masih nggak siap. Kalian kan tahu, intinya Raline belum mau nikah. Dengan siapa pun calonnya, entah itu Pak Gara atau Lucas, intinya Raline memang belum mau,” jawab Raline mantab.

“Ck, meyakinkan kamu saja dia belum bisa, gimana Ayah sama Bunda bisa coba mempercayai dia? Sudahlah, kamu nggak usah coba-coba lagi, Raline! Mending sama Nak Lucas yang bibit bebet bobotnya kami juga sudah paham. Kalian cocok, kok,” putus Pak Edi.

“Yah, Raline nggak siap. Dan Raline juga nggak suka sama Lucas,” tolak Raline.

“Kamu itu cuma butuh waktu. Cinta itu gampang kalau nanti kalian sudah menikah. Pikirkan, Raline! Umur kamu kamu terus jalan. Umur Ayah sama Bunda juga entah sampai kapan. Kami cuma mau ingin melihat kamu sudah berada dalam penjagaan orang yang tepat di usia kami yang sudah menua ini,” balas Bu Arum yang membuat Raline terdiam.

Apakah ia terlalu egois jika masih terus keras kepala menentang keinginan kedua orangtuanya untuk menikah? Ia seakan jika dirinya telah menjadi beban yang sangat berat bagi pikiran kedua orangtuanya selama ini. Hanya saja, untuk menuju ke jenjang pernikahan dan mendapat limpahan tanggungjawab sebagai istri dan juga ibu, Raline benar-benar merasa tidak siap.

***

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status