Share

11. Unperfect Husband

“Apa rencanamu setelah ini, Caraline?” tanya Deric.           

Alih-alih menjawab, Caralie malah sibuk memperhatikan pria di depannya dari atas hingga bawah melalui ekor mata. “Kenapa aku harus menjawab pertanyaanmu? Bisakah kau mengerti posisimu sekarang?”

Jujur saja, Caraline agak tersinggung saat pria itu memanggil namanya secara langsung. Wanita itu mengakui kalau dirinya aneh karena ia yang meminta Deric untuk meninggalkan embel-embel sebutan nona.

“Posisiku sekarang sebagai seseorang yang menunggu jawaban darimu,” jawab Deric sembari mendorong kursinya ke arah Caraline.

Melihat Deric mendekati, Caraline refleks mundur tanpa melihat kondisi jalan. Alhasil, kakinya tak sengaja tersandung rok panjangnya hingga tubuhnya harus terjerembap ke rerumputan. “Aw!” pekiknya.

Untuk sesaat, Caraline hanya diam sembari menatap langit di balik kubah transparan ruangan ini. Matanya seketika membeliak begitu menyadari apa yang baru saja terjadi. Saat menoleh ke samping kiri dan kanan, Caraline mendapati pemandangan hijaunya rerumputan yang mendominasi.

Wajah Caraline seketika memerah bak kepiting rebus. Didorong amarah, ia buru-buru bangkit untuk mendudukkan tubuhnya. “Apa yang baru saja kau lakukan padaku? Dasar pria cacat!” maki Caraline dengan mata yang hendak menyembul keluar.

Caraline kemudian menepuk-nepuk gaunnya yang sama sekali tak kotor. “Apa kau—”

“Kau pasti baik-baik saja, Caraline,” sela Deric sembari mengulurkan tangan.

Caraline yang akan bangkit kembali duduk. Ia menatap wajah dan tangan Deric secara bergantian. Butuh beberapa detik baginya untuk mengambil sikap, dan pilihannya jatuh pada aksi menepis kasar tangan pria itu.

“Lihatlah dirimu! Jika kau ingin membantu, bantulah dirimu sendiri lebih dahulu.” Caraline berdiri dengan raut kesal. “Lagi pula apa maksudmu dengan aku pasti baik-baik saja? Tak bisakah kau bertanggungjawab atas apa yang baru saja terjadi padaku?”

“Dibanding bertanya, aku lebih memilih menguatkan dirimu dengan kata-kataku,” sahut Deric dengan segaris senyum.

Caraline tercenung sesaat, lalu berujar tanpa menoleh pada pria yang tengah bicara dengannya, “Berhentilah bicara omong kosong! Kau bukan penyihir yang bisa mendatangkan keajaiban hanya dengan kata-kata. Karena jika itu benar, kau tidak mungkin berada di kursi roda.”

“Di beberapa kesempatan, kata-kata justru memiliki kekuatan dibanding sebuah tindakan.” Deric berkata.

Caraline kembali dibuat diam meski sesaat. “Diamlah! Aku tidak ingin mendengar kata-kata itu dari pria sepertimu.”

Caraline memutar tubuh, lalu berjalan meninggalkan Deric. Saat ekor matanya melihat pria itu mengikutinya, ia tiba-tiba berhenti berjalan. “Jangan mengikutiku!”

“Aku masih membutuhkan jawaban,” ujar Deric.

Caraline mengambil napas panjang, kemudian mengembuskannya perlahan. Pria itu benar-benar cerewet dibanding dugaannya.

“Apa yang akan kau lakukan setelah ini?” Deric mengulang pertanyaannya.

“Bisakah kau diam dan menikmati kemewahan yang kuberikan tanpa banyak bertanya?” Caraline menyentuh keningnya, lalu bergegas menuju pintu keluar. Saat sebuah ide terlintas, ia memutar arah dan kembali berhadapan dengan Deric.

Deric mengamati Caraline yang masih dalam posisinya. “Apa kau sudah menemukan jawabannya?”

“Aku ... akan menjawabnya saat aku kembali dari suatu tempat.” Caraline memutar bola mata, lalu tersenyum tipis. “Jadi selama aku belum kembali, tetaplah di sini dan renungkanlah kehidupanmu yang menyedihkan.”

“Baiklah.” Deric tersenyum. Ia hendak mengajukan pertanyaan tambahan, tetapi Caraline sudah kembali melumat jalan dengan langkah lebar.

Caraline tersenyum lebar begitu keluar dari ruangan. Ia sempat menoleh ke arah pintu dengan tatapan sinis, kemudian kembali berjalan dengan sedikit mengangkat rok. Ketika sudah berada di ruang pribadinya, wanita itu segera mengganti busana dengan gaun hitam berikat pinggang emas. Ia mengecek penampilannya di cermin, lantas berjalan ke arah tasnya berada. Rambut panjangnya yang dibiarkan terurai bergoyang seiring langkah yang cepat mencabik lantai ruangan.

Caraline berjalan ke arah balkon sembari menunggu sahutan dari Helen melalui ponsel. Wanita itu melirik rooftop, kemudian mengerlingkan mata sebal.   

“Nona Caraline,” panggil Helen yang baru saja memasuki ruangan.

Caraline mendekatkan ponselnya ke telinga, tetapi saat melihat pantulan Helen di kaca jendela, sontak ia tersadar kalau yang memanggilnya barusan adalah wanita yang akan dihubunginya. Wanita itu segera menyambar tasnya yang berada di meja. Saat melewati Helen, ia berkata, “Helen, aku akan pergi ke suatu tempat. Jangan ikuti aku.”

“Bagaimana dengan ...” Helen menunduk. Pipinya tiba-tiba bersemu merah. “ ... Tuan Jacob?”

Caraline yang baru saja meraih kenop pintu seketika berbalik. “Dia ... sudah pergi karena sedang ada urusan mendesak.” Wanita itu kemudian membuka pintu lebih lebar, lantas melanjutkan, “Kau bisa pulang lebih awal, Helen. Tugasmu hari ini sudah selesai.”

“Nona,” panggil Helen dengan tangan yang seakan ingin menghentikan langkah Caraline. Raganya yang condong ke depan kembali diposisikan seperti semula.

“Katakan,” pinta Caraline tanpa menoleh.

“Selamat ... atas pernikahan Anda, Nona,” ucap Helen sembari tertunduk.

Caraline mengembus napas panjang, lantas menyugar rambut panjangnya beberapa kali. “Anggap saja pernikahan itu tidak benar-benar terjadi.”

Setelah mengatakan hal itu, Caraline bergegas menuju elevator. Ia kembali mengembus napas panjang saat kilasan memori mengenai perisitiwa hari ini bergulir satu per satu. Caraline segera meninggalkan gedung Mililine Tower 2 dengan mobil. Kendaraan itu melahap jalanan dengan cepat, kemudian melambat saat berada di jalan sepanjang garis pantai. Dari tempatnya sekarang, wanita itu bisa melihat kantornya perlahan mengecil, kemudian menghilang karena tergerus jarak.

Di saat yang sama, Deric tengah mengamati pemandangan pantai saat tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Saat berbalik, ia menemukan ketiga saudaranya datang mendekat.

“Selamat atas pernikahanmu,” ujar James dengan senyum yang tampak dipaksakan. Kedua tangannya berada di belakang, memegang sebuah benda yang sengaja disembunyikan.

“James, kelakuanmu sangat tidak sopan,” sahut Jonathan, “di hari istimewa ini, tak sopan jika kau hanya memberikan ucapan selamat pada saudara teristimewa kita.”

Jeremy terkikik geli, lalu duduk di kursi seraya meneguk minumannya. Setelah menahan kesal hampir sepanjang hari, ia tentu akan sangat senang karena sesaat lagi akan mendapat hiburan dari James dan Jonathan.

“Kau benar, Kak,” jawab James seraya terkekeh.   

“Saudara Deric, kami punya hadiah untukmu,” lanjut Jonathan.

James berjongkok, lalu memberikan sebuah boks pada Deric. “Ini sangat cocok untukmu.”

James dan Jonathan sebisa mungkin tak tertawa, meski keduanya tahu kalau hal itu teramat mustahil.

Deric tahu apa yang tengah dilakukan ketiga saudaranya sekarang. Ini bukan pertama kali baginya mendapat perlakuaan serupa, dan ia tahu akhir dari tindakan mereka. Meski begitu, ia berusaha tenang  dan sebisa mungkin bersikap seperti biasa.

“Aku sangat berterima kasih,” ujar Deric yang berpura-pura antusias, memperhatikan kotak di pangkuannya secara saksama. Ia tidak akan terkejut kalau di dalam boks ini terdapat mainan tinju yang akan memukul wajahnya dengan keras atau bom sekalipun.

“Bukalah.” Jeremy ikut berbicara dari kursinya.

Deric mengangkat segaris senyum, lantas melakukan seperti yang diminta. Saat penutup kotak itu terbuka, ia mendapati sepasang sepatu usang. Setelahnya, gelak tawa dari James dan Jonathan terdengar hingga seisi ruangan. Saat menoleh pada Jeremy, Deric mendapati kalau pria itu tengah tertawa tanpa suara.

“Apa kau suka?” tanya James yang kemudian berjalan mengitari kursi roda Deric. Masih terdengar sisa tawa darinya ketika berbicara.

“Aku dan James sengaja mencarikan hadiah ini untukmu. Kami tahu kalau kau sangat suka berlari dengan kakimu,” sambung Jonathan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status