“Apa maksudmu?” tanya Caraline dengan nada marah. Selera makan siangnya seketika hilang setelah mendengar ucapan Deric barusan. Kedua tangannya refleks menyilang di depan dada.
“Nona, aku tahu kalau skenario ini sangat menarik, terlebih tim yang menyiapkan ini semua sangat profesional. Aku bahkan sempat mengira jika pernikahan ini benar-benar sungguhan, dan aku sangat berterima kasih atas semua hal ini,” jawab Deric dengan seuntai senyum.
Caraline merespons dengan mata melebar. Kedua tangannya langsung turun dari depan dada, kemudian mendarat di atas meja. Saat akan menyela, Deric lebih dahulu berbicara.
“Nona, bisakah kita akhiri permainan ini?” Deric menunduk sesaat, lalu kembali menatap Caraline. “Aku rasa ini sudah cukup. Aku yakin Nona sudah mendapat hiburan dari skenario yang Nona susun.”
“Apa maksudmu?” ulang Caraline. Kedua tangannya menggebrak meja agak keras. Matanya menajam seakan ingin menguliti pria di kursi roda itu.
Apa pria cacat di depannya sedang membuat lelucon? Ini sama sekali tidak lucu. Tak bisakah pria itu lihat pengorbanan yang sudah ia lakukan untuk sampai di detik ini? pikir Caraline.
“Apa kau pikir aku sedang mempermainkanmu?” Caraline bertanya dengan wajah semerah buah ceri. Urat lehernya tampak menyembul dari kulit mulusnya. Kepalan tangannya mengeras sampai kain penutup meja mengerut. “Dengarkan aku!”
Deric tersenyum, dan hal itu membuat konsentrasi Caraline dan kalimat yang sudah ia susun buyar seketika. Oleh karena itu, ia membutuhkan sedikit waktu untuk menyusun ulang redaksi kata yang cocok. Tak ingin konsentrasinya kembali terganggu, Caraline memutuskan untuk menolehkan wajah ke samping. Tubuhnya ikut menghadap arah yang sama dengan netranya.
“Nona,” panggil Deric.
“Diamlah! Suaramu benar-benar membuat konsentrasiku lenyap!” ketus Caraline. Tangan kanannya masih mencengkeram kain meja.
Untuk beberapa waktu, suara musik menginterupsi obrolan keduanya. Baik Caraline maupun Deric sama-sama memilih diam. Helen, Jeremy dan kedua adiknya baru saja pergi meninggalkan ruangan. Tempat dan waktu seakan membiarkan Caraline dan Deric menikmati momen tanpa ada gangguan dari siapa pun.
“Nona.”
Caraline mengembus napas panjang. Tatapannya kini tertuju pada air mancur yang tengah menari. Suara cipratan air menjadi suara pendukung dari musik yang mengalun di ruangan ini.
“Baiklah, Nona, sebaiknya aku pergi agar membuatmu nyaman.” Deric mulai mendorong kursi roda, lalu berputar arah untuk merenggangkan jarak dengan Caraline.
“Aku hanya memintamu diam, bukan menyuruhmu untuk pergi. Jadi kembalilah seperti sedia kala,” kata Caraline pada akhirnya.
Deric menyungging senyum tipis, kemudian memosikan diri menghadap Caraline kembali.
“Apa kau benar-benar menganggap semua ini permainan?” tanya Caraline yang masih menoleh ke samping.
“Tentu,” jawab Deric jujur, “sepanjang malam, aku tak bisa tidur karena memikirkan ucapan Nona yang ingin menikah denganku. Kak Jeremy sempat mengatakan kalau apa yang dikatakan Nona adalah kenyataan. Dia juga memberitahuku tentang uang yang dikirimkan Nona sesaat setelah aku mengatakan syarat itu. Tapi ... semua itu belum cukup membuatku percaya jika ini benar-benar sungguhan. Jadi, aku putuskan untuk mengikuti permainan ini.”
“Ini sungguhan dan kau harus tanamkan hal itu di kepalamu!” balas Caraline yang mulai memaksakan diri untuk melihat Deric melalui ekor mata.
Deric membuka setengah mulut, kemudian menyahut, “Bukan maksudku menghina Kak Jeremy karena setuju dengan perkataannya, tapi kalaupun ini sungguhan, rasanya sangat tidak masuk akal jika wanita sempurna seperti Nona mau menikah dengan pria cacat sepertiku. Siapa pun pasti setuju dengan pendapatku.”
“Dunia ini memang dipenuhi hal tidak masuk akal. Jadi biasakan dirimu dengan semua itu,” balas Caraline, “kau bisa berbicara denganku saja itu sudah termasuk hal yang amat mustahil.”
Mendengar balasan Caraline, Deric sontak tertawa hingga matanya berubah menjadi satu garis lurus. “Anda benar, Nona. Bagaimana mungkin aku bisa lupa dengan hal itu.”
“Diamlah!” Caraline memukul meja. “Tidak ada yang lucu dari perkataanku. Lagi pula, aku tidak punya niatan untuk menghiburmu.”
Caraline masih bisa mendengar suara tawa Deric. Meski terganggu, tetapi ia cukup menyukainya. Saat ia memutuskan untuk mengubah posisi duduk untuk kembali berhadap-hadapan dengan pria itu, ia malah disambut senyuman.
“Berhentilah tersenyum!” pinta Caraline sembari kembali menghantam meja. “Kau benar-benar menakutiku!”
Deric lantas mengambil gelas, kemudian meneguk isinya hingga tandas. Caraline tanpa sadar memperhatikan bagaimana pria itu melakukan aksi barusan. Hanya sebatas kegiatan normal yang dilakukan orang, tetapi entah mengapa ia tertarik untuk melihatnya.
Merasa dirinya bodoh atas tindakan barusan, Caraline memutuskan untuk meninggalkan meja. Ia berjalan menuju ke ujung ruangan untuk mengamati pemandangan pantai dan laut. Rasanya tidak lengkap kalau hanya menikmati ragam bunga yang tertanam di taman ini.
Deric melakukan hal yang sama. Kursi rodanya kini berada tak jauh dari posisi Caraline berdiri. Caraline menyadarinya, tetapi ia tak mengatakan apa pun.
“Aku pikir Nona sangat terobsesi dengan salah satu serial dongeng terkenal,” ujar Deric yang tak beralih dari pemandangan hamparan pasir putih di pantai.
“Apa maksudmu?” Alis Caraline menekuk bersamaan. Kedua tangannya yang menyilang di depan dada turun sesaat. Wanita itu kontan menoleh ke arah Deric. Namun, saat pria itu melirik ke arahnya, ia dengan cepat kembali menjadikan ombak sebagai pelarian.
“Peristiwa ini benar-benar membuatku seperti berada dalam cerita dongeng tentang sosok mahluk mengerikan yang hidup dengan seorang wanita cantik.”
Caraline berdecak saat mengetahui cerita yang dimaksud. “Aku sama sekali tidak menyukai dongeng anak-anak. Bahkan sejak usiaku lima tahun, aku sudah tahu kalau hal itu hanya bualan pengantar tidur.”
Caraline melanjutkan, “Berhentilah berbicara omong kosong.”
“Entahlah, Nona. Setiap kali aku memikirkan alasan di balik semua tindakan Nona, pikiranku selalu bermuara pada dongeng itu.”
“Kalau begitu, berhentilah berpikir untuk sesuatu yang tak bisa kau selesaikan,” respons Caraline. Wanita itu kemudian menjauh dari dinding kaca, meninggalkan Deric tanpa kata.
“Nona,” panggil Deric sembari memutar arah kursi roda.
“Berhentilah memanggilku dengan sebutan nona.” Caraline berhenti, tak memiliki niatan untuk memutar tubuh. Jujur saja, ia merasa terganggu. “Aku tak ingin mendengar hal itu darimu.”
“Baiklah, Nona.”
Caraline yang mendengarnya sontak berbalik. Kedua tangannya kembali menyilang di depan dada. Meski begitu, pandangannya menoleh ke samping. “Apa kau tidak dengar ucapanku barusan?”
“Aku akan berhenti melakukannya asal Nona menjawab pertanyaanku.” Deric mendorong kursi roda ke depan.
“Katakan dan jangan buat aku terjebak lebih lama dengan pria sepertimu!” pinta Caraline.
Deric diam sejenak sebelum mulai bertanya, “Sampai kapan kita harus berada dalam situasi ini?”
Caraline seketika terdiam saat mendapat pertanyaan itu. Kedua tangannya yang menyilang kini menjuntai bebas di samping tubuh. Wanita itu terpejam, berharap bila jawaban akan datang secara tiba-tiba saat dirinya mulai membuka mata.
“Aku ... tidak tahu,” jawab Caraline akhirnya. Wajahnya tenggelam saat ucapan itu hadir ke permukaan.
“Baiklah.” Deric menyahut. “Aku harus memanggil dengan sebutan apa?”
Caraline refleks menoleh ke arah Deric dengan raut bingung “Apa yang terjadi denganmu? Aku yakin pendengaranmu masih normal.”
“Ketidaktahuan merupakan sebuah jawaban,” jelas Deric.
“Panggil aku ... Caraline,” ujar sang pemilik nama setelah menjeda selama satu detik.
“Satu hal lagi, No ... maksudku Caraline. Apa rencanamu setelah ini?”
Jeremy, Jonathan dan James tampak tegang saat mengikuti seorang pengawal menuju pinggiran taman. Deburan ombak menjadi musik pengiring degup jantung mereka yang menggila. Ketiganya mendadak terdiam ketika melihat Deric tengah memunggungi mereka di dekat pagar. Tak lama setelahnya, pengawal tadi memilih pamit. Untuk beberapa detik lamanya hanya ada keheningan yang meruang di antara keempat pria itu. Jeremy, Jonathan dan James saling melempar tatapan satu sama lain, bingung dengan tindakan apa yang akan mereka ambil saat ini. Haruskah mereka pamit? Deric perlahan berbalik, tersenyum menyambut ketiga saudara tirinya. Ia berjalan mendekat, tetapi Jeremy, Jonathan dan James sama sekali tidak bergerak dari tempat mereka atau bahkan menoleh ke arahnya. “Aku sudah menunggu kedatangan kalian,” kata Deric. Jeremy, Jonathan dan James sama sekali belum menggubris pertanyaan Deric. Wajah mereka juga belum sepenuhnya terangkat. “Bukankah kau sangat merinduk
Enam bulan kemudian Kabar pernikahan Presiden Universe Corporation membuat satu negara menjadi heboh. Banyak para wanita yang memimpikannya menjadi pasangan tiba-tiba merasakan patah hati dan kesedihan mendalam. Tak sedikit yang menjadikan hari itu sebagai hari patah hati nasional.Desas-desus beredar bak jamur di musim hujan mengenai siapa wanita beruntung yang akan menjadi pasangan seorang Jacob Balderic. Setelah enam bulan lalu sosok Presiden Universe Corporation itu muncul di publik dan memperkenalkan dirinya, pria itu sama sekali tidak pernah muncul kembali di hadapan media. Namun, beritanya terus memenuhi lini berita dan tayangan televisi.Kemudian setelah seminggu kabar penikahan itu terdengar, media berhasil membongkar siapa wanita beruntung tersebut yang tak lain adalah Caraline. Banyak pihak yang setuju dengan hal itu, berpendapat jika kedua sangat cocok. Akan tetapi, tak sedikit yang justru mencibir dan merundung Caraline di
Hampir semua mata tertuju pada seorang pria tampan bermanik biru yang baru saja mengakui dirinya sebagai pemilik perusahaan nomor satu di negara ini. Suasana acara seketika sunyi senyap, begitupun dengan orang-orang yang melihat berita dari saluran televisi dan internet. Tak lama setelahnya, decak kagum penuh pujian bersahutan dengan tepuk tangan yang bergemuruh.“Astaga, Nona.” Helen yang terkejut tanpa sadar mengguncang tubuh Caraline. “Bukankah itu Tuan Deric? Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Dia bisa berjalan dengan kedua kakinya dan saat ini dia berada di depan Nona.”Helen menoleh pada Caraline yang tengah menunduk dengan wajah diliputi senyuman. Saat menyadari sesuatu, Helen dengan cepat mengendalikan diri. Kini, ia tahu alasan di balik perubahan Caraline selama dua minggu ini.“Nona Caraline,” panggil Helen dengan senyum merekah. Meski ada retakan di hatinya, ia ikut berbahagia ketika melihat Caraline saat ini.
Seminggu berlalu setelah pertemuan Caraline dengan Deric di rooftop gedung. Namun, senyum bahagianya tak kunjung juga reda. Helen, Stevan serta seluruh maid dibuat tak mengerti akan sikap wanita itu. Jika beberapa bulan yang lalu Caraline dirundung kesedihan, maka selama seminggu terakhir, ia justru diliputi kebahagiaan.Caraline mengunjungi sebuah acara yang diselenggerakan oleh salah satu anak perusahaan Universe Coporation di sebuah taman luas. Banyak pejabat dan pengusaha terkenal ikut hadir dalam acara, termasuk Henry Hulbert.Caraline benar-benar tak bisa duduk dengan tenang ketika melihat Henry Hulbert tampil di atas panggung. Pandangannya seringkali tertuju ke sekeliling. Besar kemungkinan jika Deric juga berada di acara ini, pikirnya.Caraline sama sekali tidak menerima pesan apa pun dari Deric selama seminggu ini. Ia juga sengaja tidak menghubungi pria itu. Jika dahulu rindu sangat menyiksa, maka kerinduaan ini justru kian membesarkan rasa cin
Caraline dan Deric saling memandang satu sama lain selama beberapa waktu, ternggelam dalam perasaan masing-masing. Cahaya lampu di sekeliling rooftop tampak berganti warna seiring waktu berjalan.“Aku hanya takut jika kau tidak sadarkan diri lagi seperti waktu itu,” ujar Deric tiba-tiba.“Apa maksudmu?” tanya Caraline dengan pipi merona merah.“Kau tahu, kau tiba-tiba pingsan saat kita akan melakukan ... ‘itu’ di kamarmu.” Deric tertawa, mengelus lembut rambut Caraline.“Pingsan?” Caraline menaikkan satu alis. “Bukankah kita memang pernah melakukannya?”“Sama sekali tidak,” ungkap Deric, “kau sepertinya sangat gugup sampai kau tak sadarkan diri, terlebih selama tertidur kau tidak berhenti tersenyum.”Caraline tiba-tiba saja membelakangi Deric, menutup mata dengan wajah yang sudah sangat merah. Ia benar-benar malu ketika mendengarnya. Jadi
Sekujur tubuh Caraline kian bergetar ketika melihat sosok Deric tengah berdiri di depannya. Ponselnya sampai terjatuh saking tak bisa menahan keterkejutan. Untuk beberapa saat, ia hanya bisa menahan napas dengan tatapan tak berkedip.Caraline serasa ditimpa keterkejutan di atas keterkejutan. Ia memang sangat menginginkan Deric kembali berjalan, tetapi saat melihat hal itu secara langsung, Caraline justru hanya bisa tercenung tanpa bisa melakukan apa pun. Bibirnya setengah terbuka, tetapi dengan cepat kembali tertutup.Bukankah Deric tampak sempurna dengan penampilannya saat ini?Caraline mencubit lengan kirinya kuat-kuat. Ia merasakan sakit yang luar biasa di sana. Hal itu menandakan bahwa dirinya tengah berada di alam nyata. Meski demikian, Caraline masih merasa tersesat di alam mimpi. Deric yang selama ini ia anggap pria yang sudah kehilangan mimpi-mimpinya justru adalah sosok misterius yang selama ini orang-orang ingin ketahui. Deric tak lain adalah sosok pri
“Deric.”Untuk beberapa detik lamanya Caraline hanya bisa terdiam dengan mata membulat lebar. Mulutnya setengah terbuka dengan tatapan penuh ketidakpercayaan. Semua bayangan kebersamaannya dengan Deric seketika menyergap, membuat tubuhnya hampir saja ambruk di lantai. Tetesan air mata tanpa bisa dibendung kian membanjiri pipi.Caraline tahu bahwa dirinya sangat merindukan Deric lebih dari apa pun. Akan tetapi, ketika pria itu sudah berada di depannya saat ini, ia hanya bisa diam tanpa ada keinginan untuk mendekat atau bahkan memeluknya erat.Waktu terasa berhenti bagi Caraline. Semua pemandangan di sekelilingnya mendadak berubah menjadi hitam dan putih, kecuali Deric seorang. Di saat yang bersamaan, dunia menjadi menjadi sunyi senyap.Apa mungkin kerinduannya yang sangat besar pada Deric justru membawa pria itu kembali ke hadapannya?Apa mungkin ini semua khayalan?Apa mungkin saat ini ia berada di alam mimpi?Caraline mas
Dua bulan kemudian Acara pencarian bakat yang diselenggarakan salah satu anak perusahan Universe Corporation mendapat sambutan yang sangat luar biasa dari masyarakat. Acara tersebut menduduki peringkat tertinggi selama beberapa minggu acara tersebut berlangsung. Puncaknya pada laga final yang ditayangkan kemarin malam. Para peserta menampilkan hiburan sekaligus penampilan yang sangat luar biasa. Acara tersebut bahkan sampai ditayangkan di beberapa negara tetangga. Antusiasme masyarakat dan warganet pada program tersebut sangat tinggi hingga pihak penyelenggaran berniat untuk kembali menyelenggarakan acara serupa dengan konsep segar dan baru. Sebagai bentuk apresiasi pencapaian dan keberhasilan, diadakan penjamuan makan mewah untuk seluruh mitra yang bergabung dalam program tersebut. Beberapa petinggi Universe Corporation ikut hadir di mana salah satunya adalah Henry Hulbert. Caraline nyatanya masih berada di dalam kama
Satu bulan berlalu dengan cepat. Caraline kembali menata hidupnya yang baru. Diego dijatuhi hukuman sepuluh tahun penjara untuk semua kejahatan yang sudah diperbuatnya. Meski tak sebanding, tetapi hal itu cukup membuat dirinya merasa lega. Di sisi lain, Wilson juga ikut terseret ke dalam jeruji besi. Meski keluarga Wattson berusaha untuk membebaskannya, tetapi pria itu tetap mendapat hukuman tiga tahun penjara.Kehidupan Caraline lmabat laun kembali ke sedia kala seperti sebelum mengenal Deric. Wanita itu disibukkan dengan pekerjaan kantor. Akan tetapi, kerinduan dan rasa cintanya pada pria itu justru kian tak dapat dibendung.Caraline memiliki kebiasan baru saat ini. Ketika dirinya sangat merindukan Deric, ia akan pergi ke bekas kediaman pria itu, lalu bermalam di sana. Caraline akan tersenyum saat melihat deretan foto yang terpampang di dinding dan tak lama setelahnya menangis.Pencarian Deric, Lucy dan Thomas masih terus berlangsung hingga saat ini. Namun, be