Share

Bab 3. Kejanggalan Rincian Utang Bapak

"Ada apa, Ra? Jawab Ibu!” ulang Nurma.

“Tadi sore saja sok bertingkah. Sekarang melempem!” ujar Esih.” Kalau kamu tidak berani bicara dengan ibumu, biar aku saja yang bicara padanya.” lanjut Esih, menatap rendah pada Tiara dan ibunya.

“Katakan saja, Teh. Memangnya apa yang Tiara lakukan?” tanya Nurma, beralih pada Sukaesih.

Esih mendengus kasar.”Tadi sore, anak perempuanmu yang sombong ini, menolak menerima upah dariku. Terus dia juga bilang, teh Nurma tidak akan lagi bekerja di tokoku.” ujarnya, menatap benci pada Tiara.

Nurma tersentak. Tiara memang mirip dirinya waktu masih muda. Keras pendirian, pantang menyerah, dan tidak mudah menerima bantuan dari orang lain. Tapi, sepengetahuan dirinya. Anak sulungnya itu selalu bersikap hormat dengan orang yang lebih tua darinya. Terlebih bibinya sendiri. Lalu bagaimana mungkin, Tiara menyombongkan dirinya pada Esih.

“Benar yang dikatakan bi Esih, Ra?” tanya Nurma, menatap lekat pada Tiara.

Tiara mengangkat wajahnya. Ia tidak ingin terlihat lemah di depan wanita yang selalu melemahkan keluarganya itu.”Betul, Bu. Tiara tidak mau melihat Ibu dipekerjakan layaknya babu, dan diberi upah hanya dengan satu liter beras yang jika diuangkan tidak lebih dari sepuluh ribu.” ucapnya, lantang.

Melihat sikap Tiara yang tidak gentar di hadapannya. Esih merasa gadis 19 tahun itu tengah menantang diirinya.”Tuh. Teh Nurma dengar sendiri ‘kan, bagaimana kelakuan anak perempuannya?”

Nurma menundukkan wajahnya. Menyembunyikan kedua matanya yang memerah.”Maafkan Tiara, Sih.” ucapnya.

“Kenapa Ibu harus minta maaf pada bi Esih?” tanya Tiara, tidak terima melihat ketidak berdayaan yang diperlihatkan ibunya di depan Esih. “Ibu berhak menolak tawaran bi Esih. Ibu tidak boleh lemah dan mau begitu saja menerima perlakuan buruknya terhadap keluarga kita.”

“Cukup, Ra. Kamu tidak tahu apa-apa. Kamu tidak boleh bicara seperti itu pada bibimu.” ujar Nurma, berkaca-kaca.

“Bu. Tiara bukan anak kecil lagi. Upah yang Ibu dapatkan dari bi Esih, itu tidak sebanding dengan pekerjaan yang Ibu lakukan.” pekik Tiara, tertahan.”Bi Esih tidak sedang membantu kita dengan mempekerjakan Ibu di tokonya, tapi dia sedang menghinakan Ibu!”

Mendengar ucapan pedas Tiara, Esih terbakar Emosi.”Benar-benar anak tidak tahu diuntung. Sudah ditolong, bukannya berterima kasih malah menuduh yang tidak-tidak.” ucapnya, seraya menyodorkan buku kecil ke hadapan Tiara.

Sejenak Tiara menoleh pada Nurma, lalu meraih buku kecil dari Esih.

‘Buku utang kang Muh’

Tiara membaca tulisan besar di bagian depan Buku.

”Kamu lihat sendiri catatan utang bapakmu!” ujar Esih. “Aku mau lihat, apa yang bisa kamu lakukan setelah melihatnya. Apa kamu masih bisa menyombongkan diri di hadapanku?” tantang Esih.

Tiara membuka dan meneliti lembar demi lembar tulisan tangan yang merinci nominal utang atas nama bapaknya, dengan total keseluruhan 32 juta tertera di sana.

Sontak, Tiara membulatkan kedua bola matanya.”Bi Esih yakin, Bapak berutang sebanyak ini?” tanyanya, meragukan tulisan tangan Sukaesih.

“Kamu sudah membaca sendiri rinciannya, ‘kan? Kenapa masih bertanya padaku?” Esih balik bertanya.

Tiara kembali fokus dengan catatan angka yang tertera di buku kecil yang ada di tangannya. Ia mengerenyit, merasa ada yang janggal di sana.

Selain tulisan yang terlihat baru, dan jumlah nominal merata dengan barang yang itu-itu saja. Terkesan catatan itu sengaja dibuat.

Dan yang membuat Tiara curiga, bapaknya jarang sekali membawa jajanan warung dalam jumlah banyak seperti yang tertera di catatan Esih.

Belum lagi utang rokok yang jumlah nominalnya paling besar. Padahal setahunya, bapaknya sudah berhenti merokok sejak dari satu tahun yang lalu.

Tiara menyerahkan kembali buku kecil yang diberikan Esih kepadanya.”Itu bukan utang Bapak!” tegasnya, menolak rincian tagihan utang atas nama bapaknya itu.

Esih melotot.”Apa maksudmu bicara seperti itu?” tanya Esih kian emosi.

“Kalau Bibi mau berbuat curang, lihat-lihat dulu orangnya.” ujar Tiara, tajam mengarah pada Esih. “Perlu bi Esih tahu. Bapak hampir tidak pernah membawa pulang barang-barang yang ada dalam catatan itu. Dan perlu bi Esih tahu juga, Bapak sudah tidak merokok sejak setahun lalu. Bagaimana bisa, Bapak berutang rokok sebanyak itu?”

Wajah Esih seketika berwana merah. Ia tidak mengira akan mendapat serangan dari Tiara, yang ia anggap masih bau kencur itu.

Nurma yang sejak tadi terdiam. Menoleh pada Esih.”Tolong perlihatkan catatan utangnya padaku, Sih.” pintanya.

“Teh Nurma tidak percaya padaku, dan menganggap aku berbohong mengenai catatan ini?” tanya Esih, sembari mengangkat buku kecil di tangannya.”Kang Muh mungkin tidak membawa barang-barang yang diambilnya dari tokoku ke rumah ini. Tapi Bisa saja ’kan, dia menjualnya untuk biaya sekolah anak-anak?”

“Tapi Tidak mungkin sebanyak itu, Bi! Itu tidak masuk akal!” sanggah Tiara.

“Jadi kamu tidak mau mengakui utang bapakmu ini, Tiara?”

Tiara menggeleng.”Tidak! Kecuali ada bukti jelas, dan meyakinkan bahwa betul itu utang Bapak.”

Kedua tangan Esih mengepal, geram.”Bagaimana caranya bisa membuktikannya. Bapakmu ‘kan, sudah tidak ada?”

“Semasa Bapak masih hidup, kenapa bi Esih tidak meminta cap tangan dari Bapak?” Jawab Tiara, tetap dengan keyakinannya bahwa yang diperlihatkan Esih padanya itu bukan utang bapaknya.

“Bagaimana ini, Teh? Utang sebanyak ini, tidak mungkin aku ikhkaskan begitu saja. Ini bukan jumlah yang sedikit, loh.” Esih beralih pada Nurma.”Aku tidak mau tahu, pokoknya teh Nurma harus membayar utang yang ditinggalkan alamrhum kang Muh!” tegasnya.

“Berhenti mendesak Ibu, Bi!” sergah Tiara. “Ibu tidak tahu apa-apa, dan Ibu juga tidak ikut menikmati utang Bapak. Itu juga kalau Bapak benar berutang.”

“Sudah, Ra. Biarkan Ibu yang bicara.” ujar Nurma, menahan Tiara yang hendak meneruskan kalimatnya. “Jika betul yang ada di buku itu catatan utang kang Muh. Lalu apa yang kamu inginkan dari kami, Sih?” tanyanya kemudian, tertuju pada Esih.

“Ya, bayar lah.” Jawab Esih, “Dari tadi mulutku berbusa minta teh Nurma membayar utang kang Muh. Masih saja bertanya apa mauku.”

“Tapi, kamu tahu kondisi kami sekarang seperti apa, Sih? Dari mana bisa mendapatkan uang sebanyak itu?” tanya Nurma, memelas.

Esih menurunkan kedua sudut bibirnya bersamaan.“Kalau saja Tiara tidak sok, dan teh Nurma tetap bekerja padaku seperti kesepakatan kita di awal. Masalahnya tidak akan rumit. Karena sebagian upah yang didapat teh Nurma, bisa untuk mencicil utang almarhum.”

Mendengar penuturan Esih. Tiara menoleh pada ibunya.”Jangan mau Bu, Tiara mohon!”

Esih mencebik.”Sudah miskin, sok tidak mau menerima bantuan dari orang lain.”

“Apa tidak ada cara lain, Sih?” Nurma kembali bertanya.

“Ada.” Jawab Esih, menyeringai licik.

“Apa?”

“Aku mau tanah dekat sawah pak Lurah Saman, teh Nurma berikan padaku!” jawab Esih, membuka negosiasi.

Nurma menggeleng.”Jangan, Sih! Tanah itu satu-satunya harta yang aku miliki, yang aku beli dari hasil jualan, dan bekerja di sawah bu lurah.” tolak Nurma.

“Kalau begitu, teh Nurma bekerja lagi di tokoku. Dengan begitu bisa kembali mencicil utang kang Muh dari upah yang kuberikan setiap hari pada teh Nurma.” ucap Esih, kembali merasa di atas angin.

Ia tidak akan membiarkan Nurma ke luar dengan mudah dari tokonya. Sebelum dirinya merasa puas menghinakannya, sebagai balasan atas kegagalan dirinya menikah dengan alamrhum suaminya.

“Tidak bisa. Ibu tidak akan kembali bekerja pada bi Esih!” tegas Tiara.”Kalau bi Esih bersikeras menuntut Ibu untuk cepat membayar utang almarhum Bapak. Gali saja lagi kuburannya, mumpung masih belum kering. Minta jasad Bapak melunasi utangnya pada Bibi!”

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status