Home / Romansa / Upah Satu Liter Beras / Bab 2. Kedatangan Esih

Share

Bab 2. Kedatangan Esih

Author: Ananda Aisha
last update Huling Na-update: 2023-11-16 16:34:02

"Apa aku tidak salah dengar? Bibi hanya memberi Ibu satu liter beras, setelah begitu banyak pekerjaan yang dilakukannya?” Tiara kembali bertanya, kali ini dengan intonasi meninggi.

“Memang kamu berharap, aku membayar ibumu dengan apa? Syukur aku masih berempati pada ibumu, dan bersedia memberinya upah.” jawab Esih, pongah. “Asal kamu tahu. Seharusnya aku tidak memberikan upah pada ibumu, karena ayahmu sudah berutang banyak padaku.” ujarnya, sambil berkacak pinggang.

Tiara mengepal.”Sudah, cukup Bi! Ini hari terakhir Ibu kerja pada Bibi. Terima kasih sudah memberi Ibu pekerjaan. Aku tidak akan ambil upahnya. Anggap saja hari ini aku dengan suka rela membantu Bibi.” ucapnya, seraya meletakkan satu plastik beras di tangan Esih.

Terang saja, apa yang dilakukan Tiara membuat Esih meradang.”Dasar anak tidak tahu diuntung. Sudah miskin, belagu pula!” umpatnya.

Kemudian ia meneriaki Tiara, dan menyumpahi ibunya tidak mendapatkan pekerjaan di tempat lain.

Tiara tidak peduli. Ia terus melangkah, meninggalkan rumah besar milik Parman, adik kandung bapaknya yang jarang sekali pulang karena bekerja di luar daerah.

***

“Ibu masih sakit pinggang?” tanya Tiara, saat mendapati ibunya masih terbaring di atas kasur lusuh yang tergelar di kamarnya.

“Sudah agak mendingan, Ra. Tapi masih terasa sakit kalau mengangkat beban berat.” jawab Nurma, berusaha bangun dari pembaringannya.

“Ibu berbaring saja dulu.” Tiara menahan tubuh Nurma. “Kalau ibu butuh sesuatu, panggil saja Tiara.” ujarnya, kemudian gegas menuju dapur.

Diletakkannya dua liter beras yang baru saja dibelinya dari warung bu Rodiah.

Beruntung dua hari lalu, Tiara baru saja mendapat gaji dari mengajar di TPA sebesar 220 ribu rupiah. Tidak besar, memang. Tapi setidaknya cukup untuk membeli beras satu bulan ke depan.

Seberapa pun sulit kondisinya. Tiara bertekad untuk tidak menerima bantuan apa pun dari keluarga bapaknya. Ia juga tidak akan lagi mengizinkan ibunya bekerja pada bibinya.

'Aku harus mencari cara bagaimana bisa mendapatkan penghasilan lebih dari mengajar di TPA. Tapi apa yang bisa aku lakukan, dengan hanya bermodalkan ijazah SMA?’ batin Tiara.

Ia terus mencari cara agar bisa mencukupi kebutuhannya, ibu, dan kedua adiknya.

Tiara berjanji akan membawa keluarganya keluar dari keterbatasan, yang membuat mereka harus menerima perlakuan tidak adil dari keluarga bapaknya.

‘Andai saja Ibu masih memiliki keluarga, mungkin kondisinya akan berbeda.’ Tiara kembali membatin.

Menurutnya, keluarga dari ibunya akan lebih tulus dan perhatian dengan keluarganya.

Sayangnya, Nurma sebatang kara. Itulah sebabnya, orang tua Muhammad tidak pernah menyetujui pernikahannya.

Tapi entah kenapa. Tiara tidak yakin dengan pengakuan Nurma tentang keluarganya. Nalurinya mengatakan, bahwa sebenarnya kedua orang tua dari ibunya masih hidup.

Hal itu diyakininya, karena sempat mendengar ucapan Nurma yang mengancam akan pulang ke rumah orang tuanya. Saat terjadi pertengkaran di antara keduanya.

“Assalamu’alaikum.”

Suara salam, membuyarkan lamunan Tiara.

Hasan, adik bungsu Tiara yang duduk di kelas satu SMP. Baru saja pulang dari sekolah.

Dengan langkah lemas, Hasan menuju dapur. Bersiap membersihkan badannya ke kamar mandi.

Wajahnya terlihat kusut, berkeringat.

Setelah berjalan kaki kurang lebih sejauh lima kilometer. Tenaganya seperti terkuras habis. Dan hal itu dilakukannya setiap hari saat pergi dan pulang dari sekolahnya.

“Bagiamana sekolahnya, San?” tanya Tiara, begitu Hasan sudah selesai membersihkan diri.

“Capek, Teh.” jawab Hasan, kemudian duduk di dekat Tiara.”Rasanya Hasan mau berhenti sekolah saja.”

Mendengar jawaban hasan. Sontak membuat kedua mata Tiara mendelik,“Kamu ini anak laki-laki satu-satunya di keluarga kita. Tidak boleh patah semangat seperti itu, San!” ujarnya, tajam menatap adik laki-lakinya yang baru berusia 13 tahun itu.

Hasan menundukkan wajahnya.“Coba ada sepeda, mungkin nggak terlalu capek seperti sekarang, Teh.” keluhannya.

Tiara terdiam sejenak, menatap lurus pada dinding bilik yang sudah bolong-bolong besar di hadapannya. Ada sesal di hatinya, karena telah menjual sepeda tua, satu-satunya warisan yang ditinggalkan bapaknya.

Tapi, jika Tiara tidak menjualnya. Bagiamana bisa kedua adiknya tetap bersekolah. Terlebih Cahaya, adik Keduanya. Yang harus mengeluarkan ongkos untuk angkutan umum sebesar empat ribu setiap harinya.

Tiara bukan tidak mengerti apa yang menjadi keluhan adiknya. Tapi apa mau dikata. Jangankan untuk beli sepeda baru, untuk makan sehari-hari saja seringnya mereka hanya mengandalkan nasi dan sayur asem yang bahannya mereka dapat dari kebun kecil di belakang rumah mereka.

“Kamu lihat Teteh, San.” ujar Tiara, menetap lekat pada Hasan.”Apa selama bersekolah, Teteh pernah mengeluh?” tanyanya kemudian.

Hasan bergeming.

“Kamu anak laki-laki. Harusnya jauh lebih kuat dari Teteh.” sambung Tiara, menepuk pundak Hasan.

Dan Hasan, masih bergeming. Dari sudut matanya menggenang bulir bening yang hampir saja luruh.

Beruntung. Kedatangan Cahaya, kakak perempuan keduanya. Mengalihkan fokus Tiara. Sehingga ia memiliki kesempatan untuk mengusap sudut matanya dengan cepat.

Cahaya Maulida. Gadis yang baru duduk di kelas sepuluh itu, tampak terlihat lelah. Setelah menempuh jarak kurang lebih empat kilometer dari rumahnya. Sebelum akhirnya tiba di jalan besar, dan melanjutkan perjalanannya menuju sekolah dengan menggunakan angkutan umum.

“Mulai senin depan aku ikut ekskul paskibra, Teh.” ucapnya, sambil meletakkan tasnya di atas meja dapur yang sudah usang.”Apa aku terima tawaran bi Risna saja ya, Teh? Biar tidak perlu mengeluarkan ongkos lagi.” lanjutnya, memilih duduk di samping Tiara.

“Tidak, Aya! Sekali Teteh bilang tidak, ya tidak!” tegas Tiara, menatap tajam pada adik perempuannya.

“Tapi Teh. Aku capek.” ujar cahaya. “Dari sejak SMP waktuku habis di jalan. Pulang pergi hampir tiga jam setiap hari itu, sangat melelahkan, Teh.”

“Kamu dan Hasan tidak melihat Teteh?” tanya Tiara, menatap pada kedua adiknya bergantian. “Waktu sekolah, Teteh juga sama seperti kalian. Tapi apa kalian pernah dengar Teteh mengeluh?”

“Teteh enak, masih ada Bapak. Masih ada uang saku lebih. Nah aku, setiap hari Teteh jatah lima ribu. Empat ribu untuk ongkos naik angkutan umum di jalan besar, serubunya cuma buat beli permen.”jawab Cahaya, menyampaikan keluhannya.”Aku malu loh, Teh. Setiap kali di ajak ke kantin, yang ku beli cuma permen lima biji.” sambunganya, berkaca-kaca.

Tiara membuang muka. Menyembunyikan kedua matanya yang terlihat mengembun.”Ya sudah, nanti Teteh pikiran lagi. Kalian makanlah saja dulu.” ucapnya, kemudian bergegas menuju kamarnya.

***

Hari baru saja meninggalkan petang. Jam dinding yang sebagian kacanya sudah retak itu, baru menunjukkan pukul 18.30.

Nurma yang baru saja selesai melipat mukena. Dikejutkan suara ketukan pintu, lebih tepatnya gedoran di pintu depan rumahnya.

“Tunggu sebentar!” seru Tiara dari dalam kamarnya.

Pintu dengan kunci yang terbuat dari kayu itu pun, perlahan Tiara buka.”Bi Esih! Ada perlu apa datang di jam sandekala seperti ini?” tanyanya.

“Aku perlu bertemu dengan ibumu.” jawab Esih, memalingkan wajahnya.”Panggilkan ibumu!” perintahnya, layaknya bos terhadap anak buahnya.

Ia tampaknya masih tersinggung dan marah dengan Tiara, karena keputusannya untuk tidak menerima upah darinya.

“Maaf, Bi. Ibu sedang sakit, jadi tidak bisa menemui Bibi.” Tolak Tiara, tampak enggan memanggilkan Nurma.”Kalau Bibi berkenan memasuki rumah gubuk kami, silakan temui Ibu di kamarnya.”

Esih mendengus kesal. Kemudian terpaksa mengikuti langkah Tiara menuju kamar Nurma, yang hanya berpintukan gorden lusuh.

“Ada apa Teh?” tanya Nurma, mendekat ke arah pintu kamarnya.”Tumben sekali bela-belain datang ke rumah.” lanjutnya, ramah.

Sekilas, Esih menoleh pada Tiara.”Memangnya Tiara tidak mengatakan apa-apa sama teh Nurma?” tanyanya, kemudian.

Nurma menggeleng. Lalu menoleh pada Tiara.”Ada apa, Ra?”

Tiara mematung. Ia tampak enggan menceritakan kejadian di rumah Esih sore tadi, saat dirinya memutuskan untuk tidak menerima upah satu liter beras yang diberikan bibinya itu kepadanya.

Bersambung...

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Upah Satu Liter Beras    47. Selesai

    “Baiklah, Bibi setuju menggadaikan tanah beserta tokonya sama kamu, Ra.” putus Esih. Untuk kebebasan Anjani, juga keamanan dirinya dari kejaran makelar tanah, Esih rela melepas hartanya. “Berapa yang Bibi butuhkan?” tanya Tiara, mengarah pada Esih. “Bibi butuh 200 juta, Ra.” jawab Esih. Tiara membuatkan kedua matanya.“Yang benar saja, Bi? Kalau 200 juta mah bukan digadaikan, tapi dijual.” protesnya. “Tapi bibi perlunya segutu, Ra.” Tiara menggelengkan kepala.”Maaf, Bi. Kalau 200 juta, aku dan Kakek tidak bisa.” “Lalu, berapa yang kamu bisa bantu untuk bibi, Ra?” tanya Esih, terpaksa mengalah. “100 juta. Aku rasa itu harga yang pantas.” jawab Tiara, memberikan penawaran. “Tlong melebihkan, Ra.” Esih masih berupaya mengubah keputusan Tiara. “Baiklah, aku akan minta Kakek untuk membantu Bibi 120 juta. Tidak ada lagi tawar menawar!” tegas Tiara, mengukuhkan keputusannya. Dengan terpaksa, Esih mengangguk setuju. Lalu kemudian, ia bergegas mengambil surat-surat kepemilikan tanah

  • Upah Satu Liter Beras    46. Melepas Aset

    “Silakan diminum, Pak.” Ratih meletakkan dua gelas yang dibawanya di atas meja. “Terima kasih, bu Lurah.” balas pak Azhari, seraya meraih minuman yang disajikan untuknya. Tidak banyak berbasa-basi, pak Azhari pun kemudian mengutarakan maksud kedatangannya menemui Ratih.”Tiara sudah menceritakan semuanya pada saya. Dan saya sangat berterima kasih sekali, bu Lurah sudah berkenan membantu cucu saya dengan menerima sertifikat tanah miliknya untuk dijaminkan atas sejumlah uang yang dipinjamnya.” ucapanya, tertuju pada Ratih. “Sama-sama, Pak. Saya hanya melakukan apa yang semestinya saya lakukan.” balas Ratih, terlihat tulus. “Tunggu sebentar, saya ambilkan Sertifikatnya.” sambungnya. Kemudian bergegas menuju kamarnya, untuk mengambil sertifikat tanah milik Tiara yang dititipkan padanya. Tak lama, Ratih kembali menemui Tiara dan kakeknya di ruang tamu. “Ini sertifikatnya, Ra.” ucap Ratih, menyodorkan dokumen kepemilikan tanah milik Tiara. “Terima kasih banyak untuk kebaikan yang suda

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 45. Bertemu dengan Masa Lalu

    Bu Ratna mematung di depan pintu saat mendapati pak Azhari dan Tiara berdiri tepat di depannya.”Kang Azhari?” gumamnya, nyaris tidak terdengar. “Ya, saya Azhari.” ucap pak Azhari, terdengar gugup. “Bagaimana kang Azhari bisa ada di sini? Lalu, Tiara? Bagaimana kalian berdua bisa bertemu?” tanya bu Ratna, masih berdiri di ambang pintu. “Izinkan saya dan Tiara, masuk. Kita bicara di dalam.” Bu Ratna bergeser, lalu mundur beberapa langkah.”Silakan.” ucapnya pelan. “Siapa, Bu?” Parman yang sejak tadi bersembunyi di kamar, turut menemui Tiara dan pak Azahari. Sebelumnya ia mengira Esih yang datang, makanya memilih mengunci diri di kamar bersama Fatma, istri barunya. Bu Ratna tidak menyahut. “Saya Azhari, kakeknya Tiara.” Pak Azhari memperkenalkan diri pada Parman. “Maksudnya?” Parman menautkan kedua alisnya, lalu mengambil posisi duduk di samping bu Ratna. “Saya papanya Ika Nurmala, ibunya Tiara.” jawab pak Azhari, menoleh pada Tiara. Keduanya bersegera duduk, bersisian. Parma

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 44. Memelas

    "Maaf, selesaikan dulu urusan bu Esih dengan kami. Baru urus yang lain!” Sadim menyela pembicaraan. “Kalau boleh tahu, memangnya Bapak berdua ini ada urusan apa dengan bi Esih?” tanya Tiara, tertuju pada Sadim dan pak Usep. Sejenak, Dua pria dewasa di hadapan Tiara saling berpandangan.”Bu Esih sudah mengambil uang DP pembelian tanah dari kami, tapi dia tidak jadi menjual tanahnya.” ujar pak Usep, mewakili Sadim. “Kami sudah memberi waktu banyak pada bu Esih untuk segera mengembalikan uang yang sudah diterimanya, tapi sampai sekarang belum juga ia kembalikan!” sambung Sadim, kembali emosi. “Benar yang dikatakan mereka berdua, Bi?” tanya Tiara pada Esih. “Bukan hanya aku yang menerima uangnya, tapi Ibu juga.” sanggah Esih, tidak terima jika hanya ia yang ditagih dua makelar tanah itu. “Itu bukan urusan kami, yang kami tahu bu Esih yang menerima uangnya.” ucap Sadim, tidak peduli dengan sanggahan yang dilontarkannya Esih. “Apakah tanah yang dimaksud dua Bapak ini, tanah alamrhumah

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 43. Ditagih Utang

    Pak Agung mengembuskan napas.”Tenang, Teh. Saya tentu akan berupaya untuk kebebasan teh Anjani. Tapi semua yang saya ikhtiarkan tergantung fakta-fakta yang terungkap di persidangan nanti. Apakah akan meringankan atau malah memperberatkan dakwaan. Berdo’a saja, semoga fakta di persidangan nanti bisa membebaskan teh Anjani dari tuduhan.”“Tapi harus menunggu berapa lama lagi, Pak?”“Bersabarlah, Teh. Kita tinggal menunggu pelimpahan berkas perkara ke kejaksaan, lalu dinyatakan P21, yang artinya berkas perkara telah lengkap dan dinyatakan selesai dan siap dipersidangkan.”“Berapa lama prosesnya, Pak?” tanya Anjani, tampak sudah tidak sabar ingin kembali menghirup udara bebas.“In syaa Allah, paling lama dua sampai tiga Minggu, Teh.”“Apa?” Anjani meninggikan suaranya. “Itu lama sekali, Pak. Beberapa hari di sini saja saya sudah stress, apa lagi harus menunggu selama itu.”Pak Agung menghela napas panjang, melihat tingkah Anjani.“Bu, Tolong lakukan sesuatu. Aku tidak mau lama-lama di sin

  • Upah Satu Liter Beras    Bab 42. Tes DNA

    Tiara menundukkan wajah. Ia tidak berani menatap mata pak Azhar yang terlihat menyimpan duka.“Saya masih ingat dengan baik, tulisan tangan Nurma, sama persis dengan tulisan tangan di surat yang ditinggalkannya saat dia memutuskan pergi.” ujar pak Azhari, masih memandangi surat dari Nurma. “Dan foto ini diambil saat Nurma masih duduk di bangku SMA.” lanjutnya kembali teringat dengan anak semata wayangnya yang dinyatakan hilang.Hening.Untuk beberapa saat, pak Azhari tampak mengamati ketiga kakak beradik di hadapannya.Tatapan matanya yang sudah meredup, tampak berkaca-kaca.”Benarkah kalian bertiga anaknya Nurma? Cucu saya?”Ragu, Tiara mengangguk. Disusul Cahaya dan Hasan.Sementara itu. Pria yang memanggil pak Azhari dengan sebutan Papa, sadari tadi hanya berdiam diri di sampingnya.Pak Azhari menitikkan air mata.”Garis wajahmu mewarisi Nurma.” ucapnya, seraya mengulurkan kedua tangannya.Tiara bangkit, diikuti cahaya juga Hasan.“Mendekatlah.” Pak Azhari berdiri, kemudian merangkul

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status