Share

Bab 2. Kedatangan Esih

"Apa aku tidak salah dengar? Bibi hanya memberi Ibu satu liter beras, setelah begitu banyak pekerjaan yang dilakukannya?” Tiara kembali bertanya, kali ini dengan intonasi meninggi.

“Memang kamu berharap, aku membayar ibumu dengan apa? Syukur aku masih berempati pada ibumu, dan bersedia memberinya upah.” jawab Esih, pongah. “Asal kamu tahu. Seharusnya aku tidak memberikan upah pada ibumu, karena ayahmu sudah berutang banyak padaku.” ujarnya, sambil berkacak pinggang.

Tiara mengepal.”Sudah, cukup Bi! Ini hari terakhir Ibu kerja pada Bibi. Terima kasih sudah memberi Ibu pekerjaan. Aku tidak akan ambil upahnya. Anggap saja hari ini aku dengan suka rela membantu Bibi.” ucapnya, seraya meletakkan satu plastik beras di tangan Esih.

Terang saja, apa yang dilakukan Tiara membuat Esih meradang.”Dasar anak tidak tahu diuntung. Sudah miskin, belagu pula!” umpatnya.

Kemudian ia meneriaki Tiara, dan menyumpahi ibunya tidak mendapatkan pekerjaan di tempat lain.

Tiara tidak peduli. Ia terus melangkah, meninggalkan rumah besar milik Parman, adik kandung bapaknya yang jarang sekali pulang karena bekerja di luar daerah.

***

“Ibu masih sakit pinggang?” tanya Tiara, saat mendapati ibunya masih terbaring di atas kasur lusuh yang tergelar di kamarnya.

“Sudah agak mendingan, Ra. Tapi masih terasa sakit kalau mengangkat beban berat.” jawab Nurma, berusaha bangun dari pembaringannya.

“Ibu berbaring saja dulu.” Tiara menahan tubuh Nurma. “Kalau ibu butuh sesuatu, panggil saja Tiara.” ujarnya, kemudian gegas menuju dapur.

Diletakkannya dua liter beras yang baru saja dibelinya dari warung bu Rodiah.

Beruntung dua hari lalu, Tiara baru saja mendapat gaji dari mengajar di TPA sebesar 220 ribu rupiah. Tidak besar, memang. Tapi setidaknya cukup untuk membeli beras satu bulan ke depan.

Seberapa pun sulit kondisinya. Tiara bertekad untuk tidak menerima bantuan apa pun dari keluarga bapaknya. Ia juga tidak akan lagi mengizinkan ibunya bekerja pada bibinya.

'Aku harus mencari cara bagaimana bisa mendapatkan penghasilan lebih dari mengajar di TPA. Tapi apa yang bisa aku lakukan, dengan hanya bermodalkan ijazah SMA?’ batin Tiara.

Ia terus mencari cara agar bisa mencukupi kebutuhannya, ibu, dan kedua adiknya.

Tiara berjanji akan membawa keluarganya keluar dari keterbatasan, yang membuat mereka harus menerima perlakuan tidak adil dari keluarga bapaknya.

‘Andai saja Ibu masih memiliki keluarga, mungkin kondisinya akan berbeda.’ Tiara kembali membatin.

Menurutnya, keluarga dari ibunya akan lebih tulus dan perhatian dengan keluarganya.

Sayangnya, Nurma sebatang kara. Itulah sebabnya, orang tua Muhammad tidak pernah menyetujui pernikahannya.

Tapi entah kenapa. Tiara tidak yakin dengan pengakuan Nurma tentang keluarganya. Nalurinya mengatakan, bahwa sebenarnya kedua orang tua dari ibunya masih hidup.

Hal itu diyakininya, karena sempat mendengar ucapan Nurma yang mengancam akan pulang ke rumah orang tuanya. Saat terjadi pertengkaran di antara keduanya.

“Assalamu’alaikum.”

Suara salam, membuyarkan lamunan Tiara.

Hasan, adik bungsu Tiara yang duduk di kelas satu SMP. Baru saja pulang dari sekolah.

Dengan langkah lemas, Hasan menuju dapur. Bersiap membersihkan badannya ke kamar mandi.

Wajahnya terlihat kusut, berkeringat.

Setelah berjalan kaki kurang lebih sejauh lima kilometer. Tenaganya seperti terkuras habis. Dan hal itu dilakukannya setiap hari saat pergi dan pulang dari sekolahnya.

“Bagiamana sekolahnya, San?” tanya Tiara, begitu Hasan sudah selesai membersihkan diri.

“Capek, Teh.” jawab Hasan, kemudian duduk di dekat Tiara.”Rasanya Hasan mau berhenti sekolah saja.”

Mendengar jawaban hasan. Sontak membuat kedua mata Tiara mendelik,“Kamu ini anak laki-laki satu-satunya di keluarga kita. Tidak boleh patah semangat seperti itu, San!” ujarnya, tajam menatap adik laki-lakinya yang baru berusia 13 tahun itu.

Hasan menundukkan wajahnya.“Coba ada sepeda, mungkin nggak terlalu capek seperti sekarang, Teh.” keluhannya.

Tiara terdiam sejenak, menatap lurus pada dinding bilik yang sudah bolong-bolong besar di hadapannya. Ada sesal di hatinya, karena telah menjual sepeda tua, satu-satunya warisan yang ditinggalkan bapaknya.

Tapi, jika Tiara tidak menjualnya. Bagiamana bisa kedua adiknya tetap bersekolah. Terlebih Cahaya, adik Keduanya. Yang harus mengeluarkan ongkos untuk angkutan umum sebesar empat ribu setiap harinya.

Tiara bukan tidak mengerti apa yang menjadi keluhan adiknya. Tapi apa mau dikata. Jangankan untuk beli sepeda baru, untuk makan sehari-hari saja seringnya mereka hanya mengandalkan nasi dan sayur asem yang bahannya mereka dapat dari kebun kecil di belakang rumah mereka.

“Kamu lihat Teteh, San.” ujar Tiara, menetap lekat pada Hasan.”Apa selama bersekolah, Teteh pernah mengeluh?” tanyanya kemudian.

Hasan bergeming.

“Kamu anak laki-laki. Harusnya jauh lebih kuat dari Teteh.” sambung Tiara, menepuk pundak Hasan.

Dan Hasan, masih bergeming. Dari sudut matanya menggenang bulir bening yang hampir saja luruh.

Beruntung. Kedatangan Cahaya, kakak perempuan keduanya. Mengalihkan fokus Tiara. Sehingga ia memiliki kesempatan untuk mengusap sudut matanya dengan cepat.

Cahaya Maulida. Gadis yang baru duduk di kelas sepuluh itu, tampak terlihat lelah. Setelah menempuh jarak kurang lebih empat kilometer dari rumahnya. Sebelum akhirnya tiba di jalan besar, dan melanjutkan perjalanannya menuju sekolah dengan menggunakan angkutan umum.

“Mulai senin depan aku ikut ekskul paskibra, Teh.” ucapnya, sambil meletakkan tasnya di atas meja dapur yang sudah usang.”Apa aku terima tawaran bi Risna saja ya, Teh? Biar tidak perlu mengeluarkan ongkos lagi.” lanjutnya, memilih duduk di samping Tiara.

“Tidak, Aya! Sekali Teteh bilang tidak, ya tidak!” tegas Tiara, menatap tajam pada adik perempuannya.

“Tapi Teh. Aku capek.” ujar cahaya. “Dari sejak SMP waktuku habis di jalan. Pulang pergi hampir tiga jam setiap hari itu, sangat melelahkan, Teh.”

“Kamu dan Hasan tidak melihat Teteh?” tanya Tiara, menatap pada kedua adiknya bergantian. “Waktu sekolah, Teteh juga sama seperti kalian. Tapi apa kalian pernah dengar Teteh mengeluh?”

“Teteh enak, masih ada Bapak. Masih ada uang saku lebih. Nah aku, setiap hari Teteh jatah lima ribu. Empat ribu untuk ongkos naik angkutan umum di jalan besar, serubunya cuma buat beli permen.”jawab Cahaya, menyampaikan keluhannya.”Aku malu loh, Teh. Setiap kali di ajak ke kantin, yang ku beli cuma permen lima biji.” sambunganya, berkaca-kaca.

Tiara membuang muka. Menyembunyikan kedua matanya yang terlihat mengembun.”Ya sudah, nanti Teteh pikiran lagi. Kalian makanlah saja dulu.” ucapnya, kemudian bergegas menuju kamarnya.

***

Hari baru saja meninggalkan petang. Jam dinding yang sebagian kacanya sudah retak itu, baru menunjukkan pukul 18.30.

Nurma yang baru saja selesai melipat mukena. Dikejutkan suara ketukan pintu, lebih tepatnya gedoran di pintu depan rumahnya.

“Tunggu sebentar!” seru Tiara dari dalam kamarnya.

Pintu dengan kunci yang terbuat dari kayu itu pun, perlahan Tiara buka.”Bi Esih! Ada perlu apa datang di jam sandekala seperti ini?” tanyanya.

“Aku perlu bertemu dengan ibumu.” jawab Esih, memalingkan wajahnya.”Panggilkan ibumu!” perintahnya, layaknya bos terhadap anak buahnya.

Ia tampaknya masih tersinggung dan marah dengan Tiara, karena keputusannya untuk tidak menerima upah darinya.

“Maaf, Bi. Ibu sedang sakit, jadi tidak bisa menemui Bibi.” Tolak Tiara, tampak enggan memanggilkan Nurma.”Kalau Bibi berkenan memasuki rumah gubuk kami, silakan temui Ibu di kamarnya.”

Esih mendengus kesal. Kemudian terpaksa mengikuti langkah Tiara menuju kamar Nurma, yang hanya berpintukan gorden lusuh.

“Ada apa Teh?” tanya Nurma, mendekat ke arah pintu kamarnya.”Tumben sekali bela-belain datang ke rumah.” lanjutnya, ramah.

Sekilas, Esih menoleh pada Tiara.”Memangnya Tiara tidak mengatakan apa-apa sama teh Nurma?” tanyanya, kemudian.

Nurma menggeleng. Lalu menoleh pada Tiara.”Ada apa, Ra?”

Tiara mematung. Ia tampak enggan menceritakan kejadian di rumah Esih sore tadi, saat dirinya memutuskan untuk tidak menerima upah satu liter beras yang diberikan bibinya itu kepadanya.

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status