Azam. Laki-laki itu mengerti akhirnya bahwa apa yang dikatakan Sufian itu bukan semata canda. Permata yang dipinjam sudah dikembalikan ialah Sifa. Sifa yang pernah menjadi permatanya dan tak disangka akan diijab kabul oleh guru sendiri. Azam hendak melangsungkan pernikahan karena keinginannya untuk melupakan Sifa. Deretan nama perempuan yang disuguhkan oleh orang tuanya di rumah membuat Azam bingung memilih karena yang dicari bukan lagi soal cantik tapi soal seberapa pandai ia membuatnya tertarik.Ketika seorang perempuan yang dikiranya akan mampu membuat hati Azam tertarik telah hadir, yang didapat justru adalah peluang untuk mendapatkan kembali versi asli dari yang diinginkan. Sifa Nurul Azizah. Sejak lama Azam dan Sifa selalu berbalas surat karena amat tertarik satu sama lain. Namun, surat yang terbalas rupanya tak menjamin akan membawa mereka ke pernikahan. Keduanya terpisah oleh perjodohan kala itu.Azam sebenarnya pernah beranikan diri meminta Sifa pada kiai, tapi belum sempat m
Sifa menunduk selama turun dari tangga, ia sangat sadar kalau sekarang dirinya sedang dijadikan satu-satunya objek pandang bagi laki-laki bukan mahram yang sedang duduk di sofa. Tak perlu waktu lama, Sifa segera berdiri dan menatap laki-laki itu dengan berani. Sebenarnya ia terpaksa memberanikan diri.Azam ikut berdiri kala itu lantas menyerahkan sebuah amplop putih yang tak Sifa ketahui isinya. Namun, dalam benaknya langsung terpikir bahwa sepertinya ia dapat undangan pernikahan yang spesial. Ekslusif khusus untuknya seorang. "Aku tidak akan banyak bicara di sini, aku cukup tahu diri, aku juga tidak yakin kamu akan datang memenuhi undanganku itu, tapi aku harap kamu tidak terburu-buru dan melihatnya secara dengan pandangan yang baik. Jangan buang surat itu, aku mohon, sekali ini saja penuhi keinginanku walau untuk yang terakhir kalinya atau walau kamu tidak ikhlas. Sekali ini. Aku pamit sekarang, sudah terlanjur malam, istirahatlah."Ketika langkah laki-laki itu sudah memunggungi Si
"Aku yang salah, aku yang salah, Sifa ... aku yang salah!" Azam menunduk dengan kedua tangan memegangi kepala. Betapa menyesal Azam sudah berusaha mempercayakan kehidupan perempuan tercintanya kepada seorang yang ternyata justru tidak berniat sungguh-sungguh membangun rumah tangga dengan baik. Azam kira Sufian ingin menjadi panutan terbaik tapi nyatanya harapan itu tiada."Seharusnya aku ikuti apa kata hatiku dulu, Sifa, seharusnya aku berusaha keras merebutmu dari tangan Ustaz Sufi, seharusnya aku percaya pada hatiku, seharusnya begitu!" Kedua mata laki-laki itu menyorot tajam ke arah meja, tiada objek yang ia sedang pandang sebab pandangannya ialah kosong. Amarah begitu tampak di kedua bola matanya.Azam tidak ingin mendengar Sifa bicara walau sebuah pembelaan atas pernikahan yang terjadi. Perempuan itu masih ada dalam hatinya, masih menjadi belahan jiwanya, maka saat ini yang diinginkan Azam hanya mencarikan jalan keluar agar masalah yang sedang menerpa Sifa segera menemukan akhir.
Pemuda dengan kain sorban menyampir di sebelah pundaknya itu beranjak dari sofa dan bergegas menaiki anak tangga dengan raut wajah muram. Dia adalah Sufian atau para santri menyebutnya dengan Ustaz Sufi. Sufian sangat marah ketika mendengar Abi dan Umi hendak menjodohkannya dengan seorang gadis. Selama ini ia selalu berusaha menuruti apa keinginan orangtuanya itu termasuk menjadi guru di pesantren milik Abinya padahal Sufian memiliki cita-cita sebagai seorang abdi negara. Mendapat kabar perjodohan maka ia seketika merasa terhina."Yan, umi perlu bicara!" Suara umi terdengar menekan sehingga Sufian yang sedang merebahkan tubuh di kasurnya segera beranjak, membuka pintu.Kini mereka duduk bersebelahan di tepi dipan, tanpa saling tatap. Masih terlihat jelas kecewa di wajah Sufian tetapi Umi tak memiliki pilihan lain selain bicara baik-baik. Umi yakin putranya tidak akan membantah apalagi membentak marah."Umi paham kondisi kamu sekarang, sangat sulit. Tapi ... coba sesekali renungkan, sek
Keluarga kiai tengah sarapan bersama di meja makan. Umi terlihat senang karena Sufian mau makan bersama setelah pembicaraan semalam. Melihat hal itu abinya juga berpikiran sama mengenai perasaan putranya. Mereka mengira Sufian menerima perjodohan itu dengan lapang dada."Bener kan kata Umi kemarin?" goda Umi dengan seulas senyum."Bener apanya, Umi?" tanya Sufian terus mengunyah."Semalam kamu lihat sendiri kan calon menantu bungsu keluarga kita? Dia pasti berhasil membuat putra Umi jatuh hati, 'kan?" tebak Umi."Semalam aku sudah melihatnya." Jawaban tersebut dilontarkan dengan ekspresi wajah yang datar."Terus gimana tanggepan kamu? Kamu bersedia nikahi dia dalam waktu dekat?" tanya Abi.Sufian tidak menjawab lagi, ia memasukkan tangannya ke saku baju dan mengeluarkan secarik kertas yang didapatnya semalam. Itu ia tunjukkan kepada Abi dan Umi. Setelah membaca isinya secara bergantian, Abi dan Umi beradu pandang sebentar sebelum akhirnya tertawa bersama."Jadi bagaimana, Yan? Kamu suk
"Fa, kamu kayaknya demam deh." Vina merasa cemas sebab sepulang dari madrasah sehabis setoran hafalan pada ustazah, Sifa agak pucat.Sifa juga merasakan hal yang dimaksud temannya. Ia cukup rawan terkena demam apalagi sakit kepala karena memiliki tekanan darah rendah. Untuk mengistirahatkan diri, Sifa dituntun berbaring di kasur asrama. Teman-temannya yang lain ada yang sudah terlelap dan ada juga yang masih sibuk menghafal."Aku ya kok ngerasa kalo sikap Ustaz Sufi jadi beda sama kamu? Bahkan dia waktu pelajaran di madras malam itu waktu kamu dihukum beliau kayak sengaja nyari-nyari nama kamu. Apa jangan-jangan dia udah ngebet nikah dan minta petunjuk istikharah dan nemu kamu di mimpinya?" Vina tiada henti mengoceh disaat Sifa merasakan perasaan buruk di dirinya."Aku mau cerita, tapi kamu jangan ember ke siapa-siapa ya!" pinta Sifa. Vina mengangguk serta antusias memokuskan pandang. "Aku mau dijodohin sama bapak setelah lulus sekolah, aku gak bisa nolak karena aku harus bantu mereka
Umi memerintah Sufian agar membawa Sifa ke kamar saja. Namun, Abi melarang dan meminta Sufian membaringkannya di sofa ruang tengah. Itu karena Abi tidak ingin Sifa curiga mengenai perjodohannya. Mau bagaimanapun Sifa masih terlalu belia memikirkan perjodohan sehingga Abi mewanti-wanti keluarganya untuk tidak memberitahu anak gadis mereka mengenai hal itu."Ambilkan minyak angin di lemari obat, Yan!" titah Umi setelah menyelimuti tubuh Sifa dengan selimut."Kenapa dia bisa pingsan, Yan? Kamu bicara apa padanya?" Abi tak kalah cemas melihat Sifa tak sadarkan diri.Sufian duduk di sebelah Abinya dengan raut cemas dan tidak bisa dimengerti. Ia begitu tidak menyukai Sifa walau sedikit tetapi beberapa hari ke belakang takdir seolah selalu menuntunnya untuk mendekat dengan Sifa. Lalu sekarang, ia merasa masih gugup sebab baru saja mengangkat tubuh Sifa dari mobil menuju rumah yang secara tak langsung membuat kedua tangannya sudah memeluk gadis itu."Sufian!""Astaghfirullah, Abi. Iya, Abi?" t
Sifa mengantarkan minuman untuk tamu di rumah Sufian bersama dengan Umi. Ia terus menunduk karena yang duduk di ruang tamu adalah dua pemuda bukan mahramnya. Ketika ia hendak pergi, salah seorang di antara pemuda itu memanggil namanya. Kali ini bukan suara Sufian melainkan suara temannya Sufian.Sifa merasa deg-degan hebat sampai ketika berbalik ia masih terus menunduk. Pikirannya bertanya hal salah apa yang sudah diperbuat hingga harus berurusan dengan tamunya Sufian. Ketika ia memberanikan diri mengangkat wajah untuk melihat ke arah pemuda yang memanggilnya, Sifa lantas membulatkan mata tak percaya."Kang Taufik!" seru Sifa segera bergegas ke hadapan tamu Sufian yang ternyata ialah kakaknya sendiri. Bukan hanya Sufian yang terkejut melihat Sifa mengenal teman lamanya, melainkan Umi juga. Mereka saling tatap sejenak lalu selanjutnya hanya menonton apa yang dilakukan Sifa."Kakang kapan ke sini? Kok bisa aku baru sadar kalo yang datang itu Kakang!" Tak disadari air mata gadis itu luru