"Gue itu sudah sarapan, Ver, nggak usah ke sini ah." tolak Dinda saat mobil itu sudah terparkir rapi.
"Gue belum sarapan, kalau perut gue bunyi di tengah jalan, lo nggak malu? Udah lo disini tinggal nurut, diam, dan gue yang bayar!" Verdi menarik tangan Dinda untuk segera masuk bersamanya.
"Iya gue tau." ambeknya melirik malas.
"Masih nggak mau masuk? Gue tinggal nih, atau lo mau pulang?" tanya Verdi yang melihat perubahan mimik dari gadis sebelahnya.
"Nggak." Dinda pun segera masuk dalam kafe itu bersama Verdi.
Dinda begitu tercengang ketika melihat meja yang mereka tuju berbeda dari biasanya. Dimana terdapat bunga warna-warni di pinggir meja, serta hiasan pelengkap lainnya yang membuat
"Mau kemana lagi, Ver? Capek gue udah. Pulang aja yuk!" ajak Dinda yang sudah terlalu kecapekkan karena seharian bersama Verdi.Mulai dari mentari condong ke timur hingga sekarang sudah mau condong ke barat, Verdi terus mengajak Dinda berkeliling seenaknya. Apa energinya masih akan bisa stabil jika terus begini?"Ngikut aja lah." kata Verdi santai. Dinda hanya berdecak kesal menurut tak melawan."Eeee—Ver, btw tadi filmnya bagus ya, gue tadi sampai merinding banget lho, ngeri gue!" kata Dinda histeris sambil memperagakan seperti orang ketakutan."Dan lo tau nggak, Ver, gue tadi juga ngerasa, ada yang duduk di belakang kita, padahal tadi gue lihat sepi nggak ada orang. Sumpah itu film horror banget, kebawa terus gue.""Lo nggak ngerasa sama kayak gue, Ver?"Verdi tak menggubris sama sekali, ia masih asyik melajukan mobilnya dengan k
"Gue... Gue mau jadi pacar lo!" putus Dinda mengagetkan dengan senyum lebarnya. Verdi yang awalnya nampak menciut sekarang malah menatap Dinda dengan mata yang sangat berbinar namun ragu."Demi apa?" tanya Verdi mendapat anggukan dari Dinda."Gue mau jadi pacar lo.""Makasih, Din, makasih." lanjut Verdi sambil berteriak bangga."Apa sih Ver, mulai deh tuh gilanya." Dinda memukul lengan cowok ini dengan senyuman yang masih merekah di bibirnya."Apaan sih gimana? Kan gue cuma berbagi kebahagiaan, emang nggak boleh?" ucap Verdi yang masih menampakkan senyum lebarnya."Jangan gitu juga kalik.""Biarin.""DINDA GUE SAYANG SAMA LO!" teriak Verdi menatap padang rumput yang membentang luas diikuti tatapan menuju manik mata gadis yang tertawa itu."Jangan malu-maluin."
"Ya ampun! Gila nggak sih—gue bisa jadian sama Verdi." teriak Dinda histeris sambil meremas boneka kecil yang ia letakkan di pangkuannya."Gue seneng banget ya Tuhan, akhirnya ... akhirnya masa kejombloan gue udah berakhir, yash!" pekik Dinda lagi-lagi dengan sangat histeris."Gila! Gila! Gila!"Berada di zona nyaman disertai perasaan yang campur aduk sangatlah nikmat menurut gadis yang sedang jatuh cinta ini. Merasakan semuanya tanpa ada kebimbangan, membuatnya semakin tak bisa mengungkapkan semua dengan kata-kata.Sudah cukup dirinya kelelahan, karena mengekspektasikan hal yang terlalu tinggi.Kini ia mulai membaringkan tubuh mungilnya dengan seulas senyuman yang terbit di sudut bibirnya, lama-kelamaan mata indah itu mulai menutup dan menuju ke alam mimpi.'nggak usah ngucapin malam ke pacar, ngapain juga! Itu
"Kak Veeer!!" gadis kecil yang kini tengah memakai sepatu hitam bertali itu berteriak memanggil nama Verdi setelah melihatnya beranjak keluar dari rumah.Vanya langsung memakai sepatu dengan cepat kemudian menyusul keberadaan kakaknya. Dengan rambut yang masih acak-acakan, serta tas gendong yang hanya tersampir di bahu kanan. Membuat Vanya seperti tidak begitu terurus."Kak tungguin bentar, gue lupa bawa uang jajan!!" mendengar ucapan itu, Verdi mendengus kesal. Bisa-bisa ia terlambat mengikuti ujian terakhirnya hari ini."Dasar. Cepetan!!" bentak Verdi setelah Vanya pergi ke kamarnya untuk mengambil uang saku."Siap, ayo kak!"Verdi segera memainkan motor ninjanya setelah meli
Malam ini di kafe blacksweat, kafe yang biasa dikunjungi oleh Verdi dan teman-temannya ramai oleh keluarga besar Verdi serta teman kelas dari Vanya.Tak lupa sahabat Verdi pun ikut meramaikan suasana kali ini. Ada Otong, Regal, Alex, Rendra, Galih, Radit, dan Paul. Mereka memakai pakaian jass abu bersamaan.Vanya tak mengetahui sedikitpun bahwa akan ada surprise dari keluarganya. Di perjalanan Vanya masih bingung dengan ajakan Verdi yang tiba-tiba."Mau kemana sih, kak? Kok gue disuruh pakai baju pesta, nggak betah ini." ucap Vanya bingung ketika berada di mobil Verdi, mereka hanya berdua. Orangtua dan kerabat kecil mereka sudah berada di sana terlebih dahulu dan Vanya tidak mengetahui."Kak Dinda." balasnya singkat."Kakak mau nikah sama kak Dinda? Sejak kapan kalian pacaran? Tunangan malam ini ya? Demi apa kak, gue bakal ada kakak baru buat bisa diaj
Ujian Nasional sudah berakhir dua bulan yang lalu dengan diselimuti perasaan campur aduk, mereka tinggal menunggu hasil dan menantikan kertas bertuliskan lulus atau tidak lulus. Kelulusan sudah di depan mata. Satu langkah menuju ujian masuk perguruan tinggi.Sudah dua bulan juga Verdi menjadi kekasih Dinda. Hari-harinya, selalu diisi dengan gurauan yang berhasil mereka buat. Tidak ada satu pun air mata yang jatuh sia-sia dari mata mereka.Mentari pagi datang menampakkan diri, sinarnya pun dapat menembus gorden putih hingga membuat seorang pria yang tengah tertidur lelapkian terbangun.Ia mengerjapkan mata seketika lalu mengecek jam weker yang ada di atas nakas. Mata itu terbelalak saat jam sudah menunjukkan pukul enam lebih dua puluh menit. Ia langsung bergegas untuk pergi ke kemar mandi, ia buru-buru.Setengah jam kemudian, ia rapi dengan setelan seragam osis yang membalut di tubu
"Maaf, nggak jemput lo tadi."Dinda masih menampakkan senyum lebarnya. Tak ada sedikitpun wajah kecewa yang ia perlihatkan, walaupun sebenarnya rasa itu sudah menyelinap di hatinya saat ini.Bukan apa, hanya saja Dinda juga hampir terlambat karena menunggu Verdi cukup lama, serta ban motor yang kempes semakin membuatnya sial hari ini."Nggak pa-pa kok," katanya dengan senyum yang masih bisa terlihat, "lo, kenapa bisa telat? Tidur jam berapa emang?" lanjutnya sambil menatap spion, ia mendapati wajah Verdi yang juga menatapnya."Kepagian." ucapan itu berhasil membuat satu pukulan ringan melayang di punggungnya. Verdi sedikit kaget akan pukulan itu. Tapi Dinda, ia malah meringis menatapnya dari kaca spion."Gue udah bilang kan, Verdi. Jangan tidur larut malam. Tuh jadinya telat kan, untung kita tinggal nunggu kelulusan, kalau enggak? Dihukum lo." sambungnya dengan
"Din ... Dindaa!" teriak Yustin dengan wajah yang cukup serius. Tangannya terus-terusan mengetuk pintu berwarna cokelat itu tanpa ada henti. Kakinya ia hentakkan cukup malas tetapi bertempo cepat.Merasa pintu itu sudah terbuka lebar, Yustin langsung meraba dan meraih tangan yang berhasil membuka pintu."Ayo Din, buruan. Lo harus tau tentang ini, lo pasti ka,-" ucapnya terpotong saat melihat ke arah belakang. Langkahnya terhenti. Tubuhnya bergidik ngeri. Jantungnya serasa mau copot, bahkan hatinya menciut tak tahan untuk menatapnya balik.Yustin menatap ujung sepatunya seketika, bergumam dan mendapat tatapan.'Pantesan tangannya berbulu' batin Yustin lalu menyungir ke arah Andre. Ia masih takut akan tatapan itu hingga ia kesusahan untuk meneguk salivanya."Bang Andre. Maaf, Bang, aku nggak tau dan nggak sengaja," ralatnya malu. Ia langsung menarik tang