Bulan yang hampir mendekati satu lingkaran penuh serta banyaknya bintang sudah bertebaran di langit malam. Malam yang indah.
Dinda berada di balkon kamar, menatap kagum langit yang ada di atasnya. Beberapa kali ia tersenyum, menampakkan sedikit lesung pipi dan beberapa kali ia memeluk dirinya sendiri.
Terselip sebuah harapan yang begitu besar, seperti halnya ia ingin menapaki bulan di angkasa sana. Suasana hati berubah tak menentu setelah ia menatap benda kecil di tangannya itu.
"Gue ambil beasiswa ini atau nurutin yang udah ada di sekolah?" tanyanya pada diri sendiri. Ia mendengus kesal.
Tentu saja ia begitu bingung, di lain sisi ia ingin sekali mengambil beasiswa yang sangat membanggakan tentunya, tet
"Bang?" panggil Dinda sama sekali tak mendapat tatapan."Apa?""Apa gue harus ke luar negeri sendiri?" bingung Dinda terus terpikir akan kejadian beberapa minggu lagi."Sama gue juga nggak pa-pa." datar Andre membuat Dinda menungging senyum samar.Dinda semakin mendekatkan dirinya dengan Andre, mengambil jarak kurang lebih satu meter dari tempatnya duduk. "Gue bingung, Bang. Gue takut pilihan gue ini salah. Gue harus gimana dong?""Pikir sendiri." acuh Andre masih menatap layar."Gue tanya beneran ih!" dengus Dinda menyenggol."Sesuai kata ha
Pagi yang cerah? Sama sekali tidak, malah mengingkari ekspektasi malam tadi. Berharap cuaca bersahabat dengan datangnya sang surya di pagi hari.Langit kini kelam karena ditutupi awan mendung yang beberapa menit kemudian bisa diprediksi akan turun hujan.Dan benar, menit berganti menit hujan sudah turun meski tak begitu deras. Hujan mengguyur kota tua. Bisa dirasakan dinginnya pagi ketika suhu tubuh tiba-tiba turun beberapa derajat dari semula.Dinda berkesempatan untuk memakai jaket tebal pemberian Verdi yang mana keduanya memiliki—couple. Ia melenggang ke dapur dengan langkah santai sambil bergumam, niatnya hanya sekadar mengambil secangkir kopi panas buatannya.Pak Arif dan Bu Sella sud
Dinda sudah rapi dengan balutan jeans, sweater, tas kecil yang ia selempangkan serta sepatu putih yang melekat indah di kakinya. Cocok untuk tubuh mungilnya.Ia menuruni anak tangga dengan langkah cepat, kemudian berjalan dengan langkah panjang yang membuatnya mendapat lirikan dari Andre."Mau kemana lo, rapi bener?""Menurut lo, gue mau kemana?" tanya balik Dinda membuat Andre mengerdikkan bahu acuh."Main sama Verdi, izin dulu ya." lanjutnya berpamitan dan menghilang di balik pintu utama. Andre hanya menatap dan geleng-geleng."Jangan kemalaman." pesan Andre seraya memandang gadis yang sudah pergi jauh dari hadapannya."Anjir, gue sekarang dikalahin sama dia." gumamnya menyungir masam.**
"Yah, mendung, Ver.""Kita pulang aja." ucap Verdi menyudahi pertemuan di kafe tersebut, setelah melihat awan hitam menggumpal di atas sana.Dinda pun mengangguk. "Ayo, keburu hujan." balasnya menyetujui, membuat mereka berjalan keluar dari kafe itu, beriringan."Hujannya nggak ingat moment ya." celoteh Dinda disela jalannya."Kenapa?""Kan kita baru berduaan, kenapa sekarang malah hujan terus? Apa nggak ngerestui kita berdua?" katanya lalu memekik. "Ver, hujannya deres!!!" lanjutnya berlari bersama Verdi menuju parkiran mobil.Seketika hujan mengguyur lebih deras dari esok tadi. Untung saja mereka sudah sampai di dalam mobil, meskipun harus berlarian kecil dan terkena terpaan angin yang membawa derasnya hujan. Sedikit membasahi baju mereka sih!"Untung udah sampai." lega Dinda."Kamu kalau
Awan hitam sudah tidak betah berlama-lama, kini menampakkan kembali sederet awan cerah namun masih terdapat celah warna kelabu. Matahari sedikit nampak dari balik kelamnya awan, hujan sudah reda. Verdi berkesempatan untuk bergegas pergi dari sini.Bagaimana mereka bisa pulang dengan kondisi basah kuyup seperti ini?"Tunggu disini." kata Verdi kemudian melangkah pergi meninggalkan Dinda sendiri."Kamu mau kemana?""Bentar." balasnya membuat Dinda menurut pasrah, ia menunggu Verdi di tengah pepohonan yang cukup tinggi. Sendiri. Tubuh kecil itu sedikit menggigil kedinginan. Ia memutuskan untuk memeluk tubuhnya sendiri dan sesekali menggosokkan kedua telapak tangannya.Ia memandang kendaraan yang berlalu lalang di depannya, tubuhnya kadang terkena cipratan air hujan yang tergenang di sebuah lekukan karena mobil atau kendaraan lain. Gembel!"Ver
Dinginnya malam kembali menyelimuti, suasana hujan atau tidak tetap saja membuat malam gadis itu terasa dingin dan sepi.Dinda hanya mengisi waktu dengan menonton TV, memandang jendela kamar yang sedikit terbuka—membuat sepoi angin menyentuh permukaan wajahnya—ia beranjak menutupnya dengan sedikit mata menyipit, berusaha menutup wajah dengan satu tangan supaya angin tidak menerpanya.Telinga itu kini mendengar sebuah notifikasi pesan masuk di ponselnya, sesuatu yang menggugah hati Dinda untuk memandang ponsel tersebut. Hanya memandang awalnya, lalu berniat membukanya setelah beranjak menutup jendela.Meyza: Guys, gue lupa, gue mau ngasih tau kalian. Kakak gue Ammar, besok mau nikah, kalian dateng ya... Spesial undangan dari gue.Meyza mengirimkan pesan lumayan singkat ke grup pribadinya, grup yang berisikan Dinda, Zura, Yustin, Riska, dan Chae.
"Pagi om." sapa Verdi saat sudah dipersilahkan duduk oleh Bu Sella, ia menyapa Pak Arif yang berjalan mendekatinya. Pria paruh baya itu tersenyum menyapanya balik."Pagi."Sinar mentari berwarna orange sudah masuk melalui celah gorden yang menutupi sedikit jendela rumah Pak Arif, beberapa bagian rumah itu sedikit terkena cerahnya cahaya Ilahi yang sangat indah. Nampaknya cuaca sangat bersahabat pagi ini."Dinda baru sarapan itu." kata Pak Arif sambil memerlihatkan gigi yang sudah hilang satu bagian depannya. Senyum itu masih terlihat seperti kawanan anak muda."Kamu udah sarapan belum? Kalau belum gabung aja sama Dinda disana, Ver." lanjutnya seraya menunjuk arah dapur. Sedikit terlihat baju yang dikenakan puterinya disana. Verdi menggeleng cepat. Tak lama serentetan gigi itu terlihat."Iya, gabung aja sama Dinda. Kalau dia makan sendiri, pasti makannya lelet k
Semua penjuru berbalut kain dekorasi mewah nan indah, meskipun acara berlangsung di luar ruangan. Beberapa furniture menghiasi pesta pernikahan kali ini.Dinda dan Verdi pun mengambil duduk di bagian barisan belakang, dimana tepat berada di dekat keluarga pengantin yang berpakaian serba seragam. Mereka menikmati segala bentuk persembahan dan hiburan yang ada di pesta ini. Simple namun terkesan elegan.Mata Dinda tak henti-henti menatap Verdi dengan tatapan kagum, kagum akan ciptaan Tuhan yang hampir mendekati kata sempurna baginya.Ia juga menyadari bahwa kali ini ia bisa bersama pacarnya di acara pernikahan temannya. Untuk yang pertama. Bibirnya tertarik, mengulas senyum."Iya, aku emang ganteng." ucapan itu berhasil membuat Dinda mengalihkan pandangan, pipinya memanas. Ia tertangkap basah oleh pacarnya.Gadis itu akhirnya melempar pandangan