Leandro datang ke bangunan tempat persembunyian Elora. Dia sedikit beruntung karena ada serangan dari kelompok manusia serigala yang mendekat. Dengan begini, dia bisa mendekat ke jendela, tepat di mana ruangan Elora berada. Dia berniat untuk memecah jendela itu, lalu masuk.Akan tetapi, sebelum niatnya terpenuhi, Haervis sudah terlebih dahulu menghampirinya, lalu berniat menendangnya.Leandro berhasil menghindar sehingga tendangan Haervis hanya mengenai udara."Serigala sialan," umpatnya.Haervis bersiap untuk menyerang lagi. Mimik wajahnya terlihat serius, tapi sebenarnya dia juga sedikit lelah. Dia sudah bertarung terus menerus, wajar saja kehabisan tenaga.Dia tidak yakin bisa menahan vampire itu lebih lama, jadi berharap agar Fionnan segera membereskan para manusia serigala yang mengamuk.Leandro tersenyum. Dia sudah tahu kalau Haervis sudah mencapai batasnya. "Kamu pasti mati kalau melawanku begini.""Aku tidak peduli.""Kenapa kalian sangat protektif pada Elora? Aku cuma ingin m
Api menjalar sangat cepat di bangunan tempat persembunyian. Elora mulai panik merasakan Hawa panas yang familiar. Kenapa setiap kali pergi selalu saja ada yang membakar tempat yang dia jadikan persembunyian?Ini memuakkan.Dia berlari di bersama si kembar untuk mengungsi ke area bangunan yang belum terbakar. Mereka menunggu kedatangan Fionnan dulu.Bagaimana pun, di luar juga cukup darurat, di mana para manusia serigala menyerang dari berbagai arah.Leandro pun masih dihadang oleh Haervis yang sudah ngos-ngosan. Sedangkan, Fionnan sibuk di belakang dengan para manusia serigala.Elora menjadi khawatir dengan mereka berdua. Dia juga khawatir terhadap Damio. Tak berselang lama dari itu, dia merasakan kehadiran yang familiar pula.Langkahnya pun terhenti.Ini membuat pelayan kembar menjadi panik dan menoleh. Mita bertanya, "nona kenapa berhenti? Ayo kita tetap berlari."Mina ikut mengatakan, "iya, Nona. Area ini sudah terbakar. Kita harus ke belakang. Di sana ada Sir Fionnan.""Damio ...
Pertarungan puncak sudah berlangsung berjam-jam, pasukan kerajaan yang dipimpin oleh sang raja Bernardo II dan jenderal perangnya telah mendominasi peperangan itu.Saat jenderal perang menghabisi seluruh pasukan yang bukan manusia biasa dan penyihir-penyihir kuat, Bardo dibantu oleh Hanter berhasil memojokkan Tordes.Pada dasarnya Tordes memiliki kemampuan sihir yang luar biasa, tapi fisiknya cukup lemah. Lama kelamaan, dia tidak bisa mengimbangi kecepatan dari hanter. Semua orang sudah tumbang, menyisakan dirinya dan beberapa penyihir saja.Sementara itu, para pendeta yang juga merupakan anggota dari bangsawan yang ikut berperang menetralisir efek dari ritual dengan berbagai barang suci. Beruntung, mereka tidak terlalu terlambat untuk menutup lagi gerbang menuju ke neraka.Kejadian ini mengingatkan Bardo akan deskripsi di buku semasa perang ratusan tahun silam yang menghilangkan banyak nyawa penyihir. Seperti inilah wujud dari peperangan itu.Hampir separuh pasukannya harus tiada, te
'Jangan ... Damio ... Cepat pergi, tinggalkan aku di sini. Jangan mati bersamaku.'Itu adalah kata yang seharusnya diucapkan Elora, tapi tak bisa keluar. Dia hanyalah sisa jiwa yang masih bersemayam di tubuh Elora si vampire. Suara Damio pun semakin lirih, membuktikan bahwa sebentar lagi dia benar-benar akan menghilang.Tetapi, dia tidak mau Damio ikut pergi bersamanya. Ini sangat tidak masuk akal. Kenapa pria ini mau mati bersamanya, orang yang hanya bisa menjadi beban.Dia ingin menangis.Damio membelai pipi Elora, bibirnya tersenyum. Entah mengapa dia seperti bisa mengetahui perasaan Elora yang masih tertinggal.Dia berkata, "aku tahu kamu pasti memintaku untuk pergi dari sini, tapi tidak bisa. Kakiku terluka. Aku akan menemanimu sebentar lagi. Aku sudah tidak ingin berada di dunia ini, Sayang. Jika kehidupan lain itu memang ada ... Aku ingin hidup bersamamu."Usai mendengar itu, Elora benar-benar terharu. Dia tak lagi bisa mendengarkan apapun, yang bisa dia lakukan adalah pasrah s
Elora bangun dari tidur panjangnya. Dia mengerjap-ngerjapkan mata, melihat langit-langit yang familiar.Ah, kamar tidurnya yang biasa saja.Dia bangun sambil memijat keningnya. "Bangun tidur bukannya tubuh membaik, tapi malah sakit kepala. Apa aku kebanyakan kerja? Untung saja sekarang Minggu ... Minggu 'kan?"Dia meraih ponselnya yang ada di meja nakas samping ranjang, dan memang benar sekarang adalah Minggu jam tujuh pagi.Dia tertegun sejenak, melihat kamarnya yang berantakan seperti biasa. Entah mengapa dia merasa sangat sedih.Dia menyentuh dadanya, air mata mendadak keluar dari kedua matanya. Ini membuatnya makin bingung.Dia mengusap air mata itu, lalu bergumam, "ada apa denganku? Aku menangis? Rasanya seperti sudah bermimpi lama sekali ... Apa ini alasan kenapa tubuhku kaku?"Tak mau membuang-buang waktu, dia turun dari ranjangnya, lalu melihat diri sendiri di depan cermin meja rias. Untuk sejenak, dia memperhatikan wajah sendiri."Aneh ... Aku seperti bermimpi sangat aneh, ta
Elora membuka mata, lalu bangun perlahan. Dia merintih kesakitan ketika sadar lengan atasnya terdapat goresan yang membuatnya berdarah. Dia melihat diri sendiri yang menggunakan pakaian kusut terselimut jubah coklat penuh lumpur kering serta daun-daun basah. Semua itu karena dia berulang kali jatuh di hutan ini."Di mana ..." Elora bingung.Sejauh mata memandang hanya ada pepohonan dan burung gagak yang berterbangan di langit. Mereka berputar-putar di atas seolah memberi tanda kalau dirinya di sini.Elora menahan napas, sadar sedang berada dimana. "Mustahil, hutan ... gagak ... bagaimana mungkin aku di sini? Aku tidak ingat apa-apa. Ini ..."Iya, suasana itu adalah narasi prolog di novel yang baru saja selesai dia baca."ITU DIA! ITU DIA VAMPIRE-NYA!" Teriakan seorang pria menggema di seisi hutan. Setelah itu disusul oleh suara tapal kuda yang menginjak tanah basah."Jika aku yang dikejar, berarti aku mati sebentar lagi!" Elora memeriksa gigi taringnya yang masih muncul, seorang vamp
Elora menenangkan diri agar tidak ketakutan. Kalau saja jantungnya berdetak, mungkin sangat berdebat tidak karuhan.Dia menjelaskan, "Tanda kutukan di dada kamu akan menyebar, dan kamu akan mati dalam tiga bulan lagi."Damio mengerutkan dahi, curiga. "Bagaimana kamu tahu aku punya tanda kutukan di dada? Tidak ada yang tahu.""Aku ... aku punya kenalan penyihir juga, tapi dia tidak jelas ada dimana. ""Kenalan penyihir?""Iya...""Siapa namanya?""Namanya Diosa." Elora hanya bicara ngawur, kenalan yang dimaksud adalah nama pena orang yang menulis novel ini. Sosok misterius yang belum dia ketahui. Entah bagaimana rupa penulis itu, sekarang malah terjebak di dalam ceritanya. Jadi, dia menyamakan penulis itu sebagai penyihir. Apa mungkin bukunya mengandung sihir?Dia menambahkan, "Penyihir itu berkata aku harus memberitahumu kalau cara untuk menanggulangi kematianmu adalah dengan membunuh orang yang mengutuk kamu sejak kecil, dia adalah penyihir hitam.""Siapa?""Aku belum yakin, tapi ak
"Waw, ini pertama kalinya aku melihat mansion di tengah hutan."Sebagai orang biasa, hidup di kehidupan normal bermasyarakat modern, Elora terus dibuat takjub dengan apa yang dilihatnya, terutama mansion Grim, rumah besar yang dihuni oleh Duke. Bangunan megah itu memiliki dua pilar utama yang dirambati oleh tanaman benalu dengan bunga-bunga ungu kecil, di lantai atas terdapat balkon yang juga penuh oleh tanaman merambat. Sebenarnya, hampir seluruh tembok telah dirambati tanaman serta lumut, nyaris seperti menyatu dengan alam. Jadi, tidak jelas apa warna asli tembok luar mansion itu.Di depan pintu, terlihat ada dua orang, satunya pemuda berambut coklat keemasan, satunya pria tua yang memakai seragam pelayan lengkap dengan bros perak berbentuk lambang keluarga Grim di dadanya.Damio memperkenalkan mereka. Dia lebih dahulu menunjuk ke si pria tua, "Elora, ini kepala pelayan di rumah ini, namanya Haervis." Kemudian dia beralih menuding ke pemuda dengan sorot mata datar tadi. "... ini p