ADNAN
Duka akibat perpisahan ini tenggelam oleh kebahagiaan sebab hasratku memiliki Ela tergapai. Yang melintas di benakku adalah bagaimana menikmati manisnya madu pengantin baru.
Gelora yang meledak-ledak hampir saja membelah dada. Aku telah kehilangan kewarasan karena seorang wanita. Ela itulah dia. Pemilik wajah secantik rembulan dipadu body sempurna. Kaki jenjang dengan kulit laksana porselen mampu menyihir mata batinku.
Aku kalah hanya karena kerling manjanya. Sungguh, semua kebaikanku sebagai pria terlibas oleh napsu menggila. Tak ada lagi idealisme mewujudkan rumah tangga sakinah bersama Rida dan anak-anak. Semua terempas oleh napsu durjana.
Persetan dengan janji sehidup semati bersama Rida. Semua hanya lintasan masa lalu yamg lekas-lekas harus kukubur di palung hati. Istriku sekarang adalah Ela, dialah yang akan membersamai dalam menjalani hidup ini.
Aku yakin bersama Ela hidup akan selalu berwarna. Tidak datar dan membosankan seperti saat bersama Rida. Wanita pasif yang hanya bisa mendengarkan dan tak mampu membawa letupan-letupan ceria.
“Mas udah gak sabar, ya?” bisik Ela saat tanganku merangkul pinggangnya. Tentu saja godaan itu kubalas dengan bisikan nakal yang membuatnya terkikik geli.
“Kuat emang?” ejeknya. Dan aku makin gemas hingga spontan kucolek pinggangnya. Dan sebagian tamu jadi melihat ke arah kami saat terdengar pekik kegelian dari mulut Ela.
“Maluuu,” ucap Ela sambil menutup matanya dengan dua tangan. Sebenarnya aku juga malu, tapi cuek sajalah.
“Ehmm, baru jam delapan udah teriak aja, nih, Penganten!” canda salah satu keluarga Ela. Terang saja itu membuat beberapa orang jadi tertawa.
Ela akhirnya mencubit tanganku kecil sebab ia kesal jadi bahan bully akibat ulahku. Kalau menurutku, justru hal ini menjadikan kami terlihat makin romantis.
Akad nikah dilaksanakan selepas Isya. Itu disesuaikan dengan permintaan keluarga Ela. Aku tak masalah mau kapan juga. Yang penting sah.
Tamu yang hadir hanya keluarga dan tetangga Ela. Tak satu pun keluargaku yang tahu akan pernikahan ini. Rencananya akan kusampaikan setelah waktunya pas.
Aku sudah siap dengan resiko buruk yang akan dihadapi. Tentu mama akan menentang pernikahan ini. Apalagi kalau tahu bahwa aku dan Rida sudah bercerai.
Perceraian ini memang kami rahasiakan. Alasannya agar tak ada rintangan penentangan. Baik itu dari orang tuaku atau orang tua Rida.
Mama pasti murka kalau tahu aku menceraikan Rida. Maklumlah dia itu menantu kesayangan mertua. Makanya aku minta mantan istriku itu tak bicara soal perceraian ini. Biar aku yang bicara kalau sudah waktunya tepat.
Untuk sementara, amanlah pernikahanku dengan Ela. Apalagi Rida dan anak-anak tetap ada di rumah itu. Aku sengaja menyuruh mereka tetap di sana agar sementara bisa jadi bukti bahwa tak ada apa-apa di antara kami. Dan Rida pun berjanji takkan mengatakan soal perceraian ini.
Kalaupun suatu saat ketahuan, aku akan bicara terus terang. Dan akan kuperkenalkan Ela sebagai istri baru Adnan Saputra.
*
Waktu terasa lambat saat ini. Rasanya aku ingin sekali mengusir tamu dan keluarga Ela. Apa mereka tak mengerti bagaimana mati-matiannya aku menahan gelora kelelakian ini? .
Aku yakin andai para lelaki itu di posisiku, sudah dipastikan mereka akan sama. Sangat ingin menerkam mangsa.
Apalagilah yang diinginkan lelaki di awal pernikahannya. Pastilah hal itu.
“Sabar, toh, Mas,” bisik Ela saat mendengarku berdecik kesal. Ia pastilah tahu apa yang membuat suaminya ini menjadi tak semringah.
Meski hanya akad, para tamu yang datang ternyata banyak juga. Itu membuat waktu kami melayani mereka makin panjang. Dan itu mengesalkan.
Sepertinya orang tua Ela sengaja ingin pamer menantu barunya. Mungkin karena jabatan dan kekayaanku yang membuat mereka merasa perlu unjuk gigi.
Pukul sepuluh malam barulah semua tamu pulang. Kini hanya ada aku, Ela dan orang tuanya di rumah ini. Orang yang membantu penyelenggaraan acara juga sudah pamitan.
Seolah mengerti keinginan pengantin baru, kedua orang tua Ela langsung beristirahat. Aku pun tak mau menunda lama, langsung saja memboyongnya ke dalam kamar.
Meski tak seluas kamarku, tempat ini masih tergolong nyaman untuk menggelar malam pertama. Kasurnya juga empuk dan cukup untuk berdua.
Dekorasi kamar pengantinnya juga cukup baguslah. Suasana romantisnya dapat. Apalagi ada wangi-wangian aneka bunga asli. Makinlah mewujudkan keinginan memadu kasih.
“Selama aku dandan, Mas gak boleh ganggu, ya. Mas di luar dulu. Nanti kalau sudah beres, aku panggil. Kalau ganggu, malam pertamanya diundur hayo!” pinta Ela.
Meski kesal sebab harus menunggu ritual dandan lagi, aku tetap menuruti perintahnya. Daripada tak jadi malam pertamanya, mending nunggu saja di ruang depan.
Sebenarnya aku tak butuh dandanan cetar di malam ini. Yang penting kebersamaan kami. Tapi, mungkin Ela ingin mempersembahkan yang terbaik. Jadi, tunggu sajalah!
Nasibmu, Adnan!
RIDA“Ela selalu bilang takut tobatnya tak diterima. Ia selalu berkata dosanya sangat besar, ia ingin menebusnya meski harus bertaruh nyawa. Ela, Ela...” Akhirnya tangisan Jim pecah. Ia menutup wajah dengan satu tangan.. Aku yang menyaksikannya pun tak kuat menahan jatuhnya air mata. “Setahun aku mendampinginya dalam sakit. Kupenuhi pintanya agar mewujudkan ketenangan. Rupanya Ela lebih ingin pergi menghadap- Nya daripada tetap di sisiku. Katanya ia tak mau menyusahkanku, ia ingin pulang saja pada Allah. Dia juga sering menyuruhku menikah lagi dan menceraikannya. Aku, aku tak bisa. Ela adalah separuh jiwaku. Kalau dia pergi aku bagaimana?” Tangisanku kini telah bersuara. Aku tak menyangka seperti itu nasib mereka. Ela, kau telah menebus dosamu sungguh. Aku akan bersaksi di hadapan-Nya nanti bahwa kau telah berada di jalan-Nya. Setelah ini aku dan Jim terjebak dalam kebisuan. Hanya tangisan yang memenuhi gendang telinga. Sunyi... * Aku diizinkan masuk ke ruang rawat Ela. Hati in
RIDA Awalnya aku tak percaya melihat perubahan penampilan Ela. Wanita itu menutup auratnya rapat, tak berhias seperti dahulu. Pancaran wajah tak menguarkan aura keangkuhan, malah bersinar dan makin menguatkan pesona keelokan parasnya. Aku kembali mencubit punggung tangan sebelah untuk memastikan bahwa yang terlihat bukan ilusi. Kenyataannya terasa sakit tangan yang dicubit. Artinya ini alam nyata bukanlah mimpi. Kekagetanku akan perubahan penampilan Ella ditambah dengan keterkejutan melihat sikapnya. Dia mengucapkan salam dengan santun dan penuh kelembutan. Sungguh jejaknya di masa lalu benar-benar telah tertutup oleh perubahan itu. Aku hanya bisa melafadzkan hamdalah tasbih dan tahlil ketika yakin bahwa Ela memang telah berubah. Tiada kata yang dapat melukis bahagia ini selain mengucap puja puji syukur ke hadirat Ilahi. Kuseka air mata yang tak bisa dicegah untuk jatuh. Kiranya melihat musuh tobat lebih membahagiakan daripada menyaksikan kehancurannya. Ela pun sama, pipinya tel
ELAAku menyerahkan pemesanan makanan pada Jim. Bingung juga harus memesan apa sebab yang ada dalam daftar menu serasa asing. Aneh memang sebab kata Jim dulu kami sering ke sini. Wah, dapat darimana uang untuk membayarnya. “Makanannya pasti mahal, apa kau punya uang untuk membayar harganya?” Aku ingin memastikan bahwa kami tidak akan malu pulang dari sini. Jadi perlu diselidiki soal keuangan yang ia miliki. “Insya Allah, ada. Aku juga akan membawamu ke hotel. Kita akan menginap di sana sampai kau ingat tujuan kita ke sini. Tadinya aku mau membawamu pulang, tapi dipikir lagi lebih baik dituntaskan sekarang!” Aku hanya bisa bengong mendengar penjelasannya. Selepas itu aku hanya perlu meyakini bahwa yang dikatakan Jim itu benaLalu, aku membayangkan seperti apa kamar sebuah hotel. Pastilah bagus sekali. Kasurnya empuk, ruangannya luas, dinding kokoh dan jendela besar. Mungkin! Aku jadi tak sabar ingin ke sana. Bukan apa-apa, penasaran saja. Benarkah kenyataannya sesuai hayalanku.
ELA Mataku terbuka saat aroma tajam menembus lubang hidung. Entah apa yang dioleskan di batang dan bawah hidung. Baunya tak menyenangkan. Meski sudah terbuka, aku belum otomatis menyadari ini sedang ada di mana? Maka dari itu kesibukan sekarang adalah menggerakkan bola mata ke kanan dan kiri. Karena tak juga menemukan jawaban, aku mencoba bangun. Ternyata untuk menggerakkan badan, tenaga ini sangatlah payah. Karena gagal, aku kembali rebahan. Mungkin butuh waktu beberapa saat lagi agar pulih. “Alhamdulilah kamu sudah sadar, Sayang!” Aku menoleh pada seseorang yang kini menghampiri. Jim ya dia Jim. Ya ampun kenapa harus ada jeda dulu baru mengingat. Hubunganku saat Ini dengannya apa? Mengapa dia mencium keningku? Oh, iya kami suami istri. Tapi, dari kapan kami menikah? Lalu, mas Adnan ke mana? Astagfirullah! Apa yang terjadi denganku? Mengapa tiba-tiba lupa ini dan itu? “Aku di mana?” tanyaku pada lelaki yang kini sedang mengelus pipi ini. “Kau tak ingat?” Jim malah balik ber
ADNAN Hari ini waktu yang kugunakan untuk membersamai keluarga. Kesempatan libur tak kusia-siakan sebab memang jarang punya waktu untuk mereka. Azka dan Azkia bukan jadwal di sini. Kemarin mereka baru dipulangkan pada Rida. Kadang, tak rela harus berpisah sementara dengan mereka. Namun, mau bagaimana lagi, hanya itu jalan nyaman agar anak-anak tetap mendapat kasih sayang orang tua kandungnya. Kurasa Rida pun sama. Meski tak diperlihatkan, aku bisa menduga ia tak rela kalau mereka dijemput. Dia akan mencium dan memeluk anak kami kalau waktu berpisah lagi. Meski saat ini sudah tak ada air mata, tetap saja di hati muncul denyut nyeri. Anak korban perceraian tetap tak bisa sama dengan anak yang hidup dalam naungan keluarga utuh. Mereka harus mengikuti ritme hidup orang tua yang telah tak satu rumah. Tak akan juga menyaksikan ayah dan ibunya bersama seiring sejalan lagi. Padahal, mungkin sangat ingin anak-anak itu melihat kembali kebersamaan tersebut. “Tuan, Nyonya maaf menganggu, ada
ADNAN“Ini adik kak Diva, kak Azkia dan ka Azka!” terangku saat ketiga bocah itu berkumpul mengelilingi adik bayinya. Mereka baru diijinkan menengok mama Lestari dan adik bayi. “Adik, adik?” celetuk Azkia. Mungkin dia bingung mengapa yang baru lahir pun di sebut adiknya. Selama ini yang Azkia tahu, adiknya adalah anak yang dilahirkan Rida. “Iya, dedek bayi ini adalah adik kak Azkia. Sama dengan adik Alfan” jawab Lestari. Setelah mengangguk, Azkia mulai memanggil bayi baru itu dengan kata Adik. Begitu juga Azka dan Diva. Mereka terlihat antusias mencandai adiknya. “Nah, sekarang adik bayi mau mimi dulu. Ayo kita bermain di luar!” Aku menggiring tiga bocah ini keluar untuk memberi kesempatan pada Lestari menidurkan putri kami. Bayi kecil itu baru berusia tujuh hari. Di ruang keluarga tak henti-hentinya tiga anak ini bertanya. Tentang bayi, tentang ingin mengajaknya bermain.. Bahkan Azkia ingin memberinya permen. Aku terangkan perlahan bahwa permen bukan makanan bayi. Kalau sampai