Kutatap Adelia yang masih menangis,bahkan tangisannya semakin keras. Kubanting piring kedinding, membuat pecahannya berserakan. Seketika Adelia berhenti menangis, kulirik Bang Azlan yang menunduk tak berani membela diri ataupun membela gundiknya.
"Tak jadi aku melunasi semua hutangmu! Jadi sebagai gantinya, aku akan memotong gajihmu setiap bulan untuk melunasi hutang-hutangmu," Bang Azlan terkejut. "Lho kenapa, dik?" Tanyanya. Aku berdecih. "Kalian sudah melanggar semua persyaratanku, rumah bukannya di beresin malah asyik bergumul!" Ketusku. "Dzolim kamu, mbak!" Teriak Adelia. Aku tersenyum sinis. "Kalian yang dzolim padaku sedari awal, terus sekarang merasa terdzolimi? Ini balasan untuk pengkhianat seperti kalian!" Bang Azlan mengusap wajahnya kasar. "Dik Nay, belum puaskah menurunkan jabatan abang? Terus kenapa sekarang gajih harus dipotong lagi?" Ucap dan tanyanya dengan wajah memelas. Sepertinya dia masih merasa tak bersalah telah mengambil uang perusahaan untuk menyenangkan gundiknya ini."Maaf ya, Bang, kamu sudah terlalu banyak memakai uang perusahaan, anggap saja kemarin aku meminjamkan uang itu pada kalian dan sekarang kalian harus melunasinya!" Jawabku panjang lebar. Bang Azlan mengacak rambutnya frustasi."Oh iya, mulai sekarang jangan pernah memakai mobilku lagi, abang kerja pakai motor butut abang yang dulu saja ya," ucapku lagi semakin membuat wajah Bang Azlan dan gundiknya nelangsa. Jangan harap kalian hidup nyaman setelah menikah, akan kuciptakan neraka untuk kalian. "Suruh gundikmu itu membereskan semua ini, saat aku kembali rumah harus sudah bersih dan rapi," ucapku seraya meninggalkan mereka berdua. Kurebahkan tubuh di ranjang, hari ini begitu banyak rencana yang tersusun di otak. Hari ini juga aku menyuruh pengacara keluarga untuk menguruskan perceraianku dengan Bang Azlan. Tak ada lagi yang bisa diselamatkan dari rumahtanggaku, kepercayaanku pada Bang Azlan hilang tak berbekas. Rasa cinta yang dulu menggebu kini berubah menjadi jijik, membayangkan berbagi suami dengan Adelia membuatku bergidik geli. Bisa-bisanya Bang Hilman pernah mencintai perempuan seperti Adelia. Setelah berpisah dengan Bang Azlan, aku tetap menuntut ganti rugi uang perusahaan yang telah dia pakai untuk memanjakan Adelia. Aku juga akan menyita barang-barang mahal milik Adelia, karena barang itu dibeli pakai uang perusahaanku. Aku bangkit dari pembaringan, lebih baik aku berendam sejenak dibath up, untuk menenangkan fikiran. Dari kemarin emosiku terkuras menghadapi Bang Azlan beserta gundiknya, membuat tubuhku terasa letih. Setelah hampir setengah jam berendam, bergegas aku menyelesaikan urusan mandiku. Setelah ini aku mau memantau kerjaan Adelia. ___Selesai mandi aku memakai baju terbaikku tak lupa kalung berlian yang melekat di leherku membuatku semakin terlihat seperti sosialita papan atas. Jika disandingkan dengan Adelia, jelas dia tak ada apa-apanya, dia hanya menang tubuh montok dan pintar bergoyang di ranjang. Saat aku keluar kamar Bang Azlan sedang membantu Adelia mengepel lantai. Padahal dulu saat kami susah, Bang Azlan tak pernah membantuku menyapu atau mengepel lantai, bahkan dia bersikap semena-mena padaku. "Siapa yang nyuruh abang beresin rumah?!" Gertakku. Biarlah aku dibilang kejam, yang penting aku bahagia melihat gundik dan suamiku menderita. Bang Azlan menggaruk tengkuknya salah tingkah, kurebut alat pel ditangan Bang Azlan dan ember berisi air kuhampiri Adelia yang sedang bersantai sambil memainkan gawainya di teras paviliun. Enak sekali dia bersantai! Dengan langkah cepat kuhampiri dia, kusiramkan air bekas pel lantai yang berwarna hitam itu kewajahnya. "Mbaaaak!!" Jeritnya. "Ngapain kamu santai disini?! " Bentakku. Bukannya menjawab dia malah menjerit histeris. Tak kupedulikan jeritannya, kurebut ponsel ditangannya, ponsel merk apel digigit bermata tiga. Ponselnya lebih canggih daripada milikku, dan parahnya ponsel ini dibelikan Bang Azlan dua minggu yang lalu dengan mengambil uang perusahaan. Aku sudah tahu kemana saja uang Bang Azlan mengalir, selain membeli ponsel mahal ini emas dan uang jujuran Bang Azlan pun pakai uang perusahaan. Benar-benar benalu, memakai uang milikku untuk kesenangan mereka sendiri. Kumasuki paviliun dan membongkar koper milik Adelia, pakaiannya yang masih bagus beserta emas dan uang yang diberikan Bang Azlan kuambil lagi. Adelia tak ada hak untuk menikmati semua ini. "Mbak itu punyaku!" Jeritnya saat melihatku menggeledah semua barangnya di koper. Baju-baju baru yang barcodenya belum dilepas pun kuambil. "Ini memang punyamu, tapi dibeli pakai uangku! Jadi sekarang kuambil lagi, kalau mau punya barang bagus dan mahal itu kerja bukannya morotin harta suami orang!" Cercaku seraya berdiri menenteng satu kantong plastik besar berisi barang-barang mahal beserta emas dan uang mahar yang diberikan Bang Azlan pada Adelia. Adelia berusaha merebutnya tapi dengan cepat kudorong tubuhnya hingga terjengkang."Jangan mimpi menjadi orang kaya dengan cara merebut suami orang!" Ucapku sinis. Kulewati Bang Azlan yang masih mematung ditempat, mungkin dia tak menyangka istrinya yang biasa lemah lembut, tak pernah berkata kasar, kini bertindak begitu beringas kepada istri mudanya. Maaf saja aku bukan perempuan lemah yang menerima begitu saja suamiku menikah lagi, kecuali maduku memiliki akhlak dan pengetahuan agama yang lebih baik, baru aku mau menerima. Memiliki madu seperti Adelia harus dikerasin, kalau aku welcome dengan kehadiran dia yang ada aku malah jadi babu di istanaku sendiri. Berani merusak mahligai rumah tanggaku, maka harus siap menerima resiko kedepannya. Tak ada surga dunia untuk Adelia, yang ada neraka kuciptakan untuk rumahtangganya dan Bang Azlan. Setelah menyimpan barang-barang berharga ini ditempat yang aman, aku kembali keluar kamar tak lupa kukunci. Kuhampiri Adelia dan Bang Azlan yang bertengkar dibelakang. "Bang harusnya kamu tegas sama Mba Nayra!" Teriaknya. "Semua barangku diambil, itu milikku bang!" Teriaknya lagi seraya menghentakkan kakinya. "BERISIK! Nikah denganmu aku terus-terusan ketiban sial!" Maki Bang Azlan seraya menendang tubuh Adelia. Aku terkejut melihatnya, hampir tujuh tahun menikah dengan Bang Azlan aku tak pernah dipukul apalagi ditendang olehnya. Tapi ada yang aneh, Adelia hari ini sering terjatuh, tapi kenapa kandungannya baik-baik saja? Sebenarnya dia ini hamil beneran atau hanya bohongan? Tapi surat rumah sakit yang dibawa Bang Hilman kemarin menyatakan Adelia hamil jalan empat bulan, kenapa perutnya terlihat rata? "Hei! Jangan berisik di rumahku bisa?!" Tegurku seraya melipat tangan di dada. Bang Azlan menatapku dengan sorot penuh emosi dengan perlahan dia mendekatiku, matanya menatapku tajam. Sepertinya ada yang mengajakku duel, apa dia lupa bahwa aku ini mantan pelatih taekwondo? Benar saja, Bang Azlan hendak melayangkan tamparan kearahku tapi dengan sigap kutangkap tangannya dan kupelintir kebelakang, walaupun aku perempuan tenagaku jauh lebih kuat dari Bang Azlan yang klemer-klemer. "Apa abang lupa dulu aku seorang pelatih taekwondo? Bahkan aku bisa mematahkan tulang-tulangmu sekarang," bisikku. Tubuhnya menegang. "To-tolong jangan, dik!" Ucapnya mengiba. Bukannga berhenti aku semakin memulas tangan Bang Azlan, membuatnya semakin menjerit. Kulirik Adelia yang meringkuk ketakutan. Setelah itu kuhempaskan tubuh Bang Azlan ketanah yang penuh batu kerikil. Tak kupedulikan jeritan histeris Bang Azlan, kuhampiri Adelia lalu mencengkram wajahnya dengan kuat. "Jangan harap kamu bisa lolos dariku, aku akan mencari tahu semua tentangmu!" Gertakku seraya melepaskan wajahnya dengan kasar. "Cepat bereskan rumahku, jangan kau fikir hidup disini gratis!" Dengan baju yang masih basah, Adelia melangkah gontai masuk kedalam rumahku. Kutatap Bang Azlan tajam. "Jangan sampai kulihat kau membantu gundikmu itu!" Tegasku seraya meninggalkan Bang Azlan yang terlihat frustasi. ___Kuawasi semua pekerjaan Adelia, jika kutinggalkan yang ada dia malah bersantai-santai. Kulihat bahunya bergetar sambil mencuci piring, sepertinya dia sedang di rundung penyesalan karena memilih menjadi istri kedua. "Yang cepat cuci piringnya, setelah ini masak, aku lapar!" Ketusku. Adelia mengangguk. Aku melangkah kekulkas mengeluarkan bahan makanan."Aku kepingin sup sayur dan ayam tepung, cepat bikinkan jangan lelet!" Ucapku setelah melihatnya selesai mencuci piring. Aku duduk di meja makan memperhatikan Adelia yang dengan cekatan menyiapkan bahan makanan, pintar juga ternyata dia urusan masak memasak. Semua bahan yang dia masukkan tak luput dari tatapanku, aku takut dia berniat memasukkan racun untuk membunuhku. Hampir satu jam menunggu akhirnya Adelia kelar juga masak, alisku naik sebelah saat melihat Bang Azlan juga Adelia ikut duduk di meja makan. "Siapa yang nyuruh kalian makan disini?" Ketusku. Bang Azlan dan Adelia saling bertatapan, membuatku jengah. "Kalian makannya nunggu aku selesai, dan makan dibawah sana jangan disini!" Tegasku seraya mengibaskan tangan menyuruh mereka pergi. Akhirnya mereka pergi dari hadapanku sambil meneguk ludah, sempat kudengar suara perut Adelia yang merongrong meminta makan. Kasihan, maduku ternyata lapar. Ah, tapi aku tak peduli! Bang Azlan dan Adel duduk dipojokan dapur, sedangkan aku menikmati makananku penuh kenikmatan, enak juga ternyata masakannya, apalagi diluar hujan pas sekali dengan menu makananku hari ini.Kusisakan makanan di meja makan sedikit, ayam sepotong dan sayur sup yang hanya tinggal kuahnya. Cukuplah untuk mereka makan berdua, toh selama sebulan lebih kemarin mereka sudah puas makan enak. Sekarang harus belajar hidup perihatin. "Adel! Beresin meja makannya!" Teriakku. Tak lama Adel datang dengan wajah sayu dan rambut lepek. Bahkan cat kukunya sudah mengelupas. "Ingat, jangan makan disini! Dulu awal menikah dengan Bang Azlan saya makan di lantai!" Ucapku tegas. Adel mengangguk seraya membawa piring bekasku kebelakang, lalu tak lama dia kembali lagi mengambil sayur dan ayam sepotong. Kuperhatikan mereka makan dibawah dengan lahap, ayam sepotong mereka bagi dua, padahal dulu saat bersamaku Bang Azlan tak pernah mau mengalah. Jika ada ayam sepotong diberi tetangga pasti dia yang menguasai tak mau berbagi denganku. Aku dibiarkannya makan dengan sayur yang hanya bersisa kuahnya.Aku menghampiri mereka yang sedang makan. "Kalian berdua jangan ada ngambil makanan di kulkas! Kalau mau makan enak, beli sendiri!" Ucapku. Bang Azlan dan Adelia mengangguk dengan wajah melas. Tapi tak ada rasa kasihan di hatiku.Setelah ini aku akan pergi kerumah Bang Hilman untuk menuntut penjelasan tentang Adelia. ___Jangan lupa kritik dan sarannya ya, guys 😊Kutatap Adelia yang masih menangis,bahkan tangisannya semakin keras. Kubanting piring kedinding, membuat pecahannya berserakan. Seketika Adelia berhenti menangis, kulirik Bang Azlan yang menunduk tak berani membela diri ataupun membela gundiknya.Kuhembuskan nafas kasar ketika mendengar pintu rumahku digedor dengan brutal. Tak ada sopan santunnya bertamu di rumah orang, apalagi malam-malam begini. Waktunya orang istirahat, malah datang bertamu!Saat kubuka pintu, ternyata dua perempuanparuh baya dengan penampilan seperti sosialita menatapku dengan sinis dari atas sampai bawah. Mungkin karena penampilanku hanya memakai daster yang sudah berlubang ini, jadi mereka menganggapku rendahan."Minggir! Pembokat gak tahu sopan santun!" Ketusnya seraya menerobos masuk kedalam rumah tanpa kupersilahkan.Aku melongo menatap mereka yang teriak-teriak memanggil nama maduku."Adelnya mati!" Celetukku asal.Mereka serentak menatapku dengan tatapan tajam."Lancang kamu ya, nyumpahin anak saya mati!"Oh, jadi ini Ibunya Adel. Tapi kenapa dia tak hadir saat pernikahan kemarin."Kita aduin nanti sama Adel dan A
Kutatap sekiling rumah terlihat sangat berantakan, televisi menyala tapi tak ada yang menonton. Kepalaku terasa berdenyut melihat dapur sudah seperti kapal pecah, sepertinya Adelia ingin bermain-main denganku.Kudengar suara tawa dari arah paviliun, dengan perlahan aku menuju kesana. Mataku membelalak melihat Adelia memakai pakaian kurang bahan bersama lelaki lain, mereka begitu mesra layaknya sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara. Bahkan lelaki itu dengan mudahnya menyentuh area sensitif Adel, benar-benar perempuan murahan!Kukeluarkan ponselku, dengan penuh hati-hati kufoto mereka setelah itu kukirim kewhatsapp Bang Azlan. Aku kembali masuk kedalam rumah, pintu dapur kukunci. Aku tak sabar menyaksikan Bang Azlan dan istri mudanya bertengkar.Sepertinya Adel dan selingkuhannya masih tak sadar kalau pintu dapur sudah kukunci. Baguslah, ini akan jadi kejutan untuk Bang Azlan. Pengkhianat yang dikhianati, sungguh malang na
Jeritan Adelia sudah tak terdengar lagi, hanya terdengar isakan lirih. Aku masih penasaran kelanjutan ucapannya tadi, sebenarnya apa salah Mamaku? Setahuku orangtuaku tak pernah ada masalah dengan orang lain, sebenarnya siapa Adelia ini?Aku masuk kedalam rumah dengan penuh tanda tanya, ah sepertinya aku harus mencari tahu semua ini. Adelia, Bang Hilman, dan Mama, semua harus kumintai penjelasan.Kurebahkn tubuhku di sofa, fikiranku berkecamuk, begitu banyak fakta yang terkuak. Kehamilan palsu Adel, dan balas dendam. Entah apa salahku sehingga dia tega masuk kedalam mahligai rumahtanggaku.Tapi, jika kehamilan Adel palsu untuk apa Bang Hilman menyerahkan surat keterangan hamil Adel dari rumah sakit? Apa Bang Hilman juga ikut andil dalam retaknya rumah tanggaku? Tapi, kenapa?Argh.Sepertinya aku harus menyelidiki semua ini satu persatu.Kudengar suara langkah kaki di dapur, aku beranjak dari so
Aku tetap bersikap santai meskipun bahaya selalu mengintai, jika aku gegabah dalam melangkah bisa jadi boomerang dalam hidupku sendiri. Bang Heru sudah mengabariku untuk bertemu di Vila besok malam. Akan ada orang suruhannya yang menjemputku. Sebelum aku berangkat, aku harus memberi pelajaran dulu kepada Adelia yang sudah mengobrak abrik rumahku.Saat sampai rumah, Mama masih ada sedang menikmati teh di depan televisi. Aku bersikap biasa saja, seolah tak tahu apa yang sudah terjadi di rumah ini. Mama pun masih bersikap manis, dan menyapaku seperti biasa."Mana maduku?" Tanyaku seraya ikut duduk di samping Mama."Gundik suamimu itu malas-malasan aja kerjaannya,"Wow, hebat sekali. Padahal sebelum aku pulang, kulihat dari rekaman mereka sedang asyik tertawa dan menonton bersama. Sungguh aku tak sadar jika selama ini di rawat oleh perempuan bermuka dua seperti beliau.Hilang sudah rasa hormatku mengingat pen
Setelah perjalanan yang memakan waktu hampir enam jam, akhirnya kami sampai di rumah minimalis bertingkat dua dengan halaman yang cukup luas. Suasanya cukup asri dan segar karena ditumbuhi macam-macam bunga dan pohon buah.Kuangkat tangan kiriku melihat jam, waktu sudah menunjukkan jam sembilan pagi. Saat masuk kedalam rumah aku disambut Papa dan bang Heru yang sudah terlihat segar sepertinya mereka baru selesai mandi."Bagaimana, nyenyak tidurnya di jalan?" tanya bang Heru seraya mengusap rambutku.Aku menggeleng. "Gak bisa tidur," jawabku."Istirahatlah, nanti setelah makan siang kita bicara di ruangan Papa," ucap Papa seraya beranjak dari duduknya."Bang, kok gak ke vila yang biasanya?" Tanyaku.Bang Heru tersenyum. "Hilman dan antek-anteknya sudah berjaga disana, dan kita memilih jalan aman bersembunyi disini. Rumah ini peninggalan almarhum Kakek dari Mama, sudah abang renovasi
Aku terkejut saat sadar kalau ponsel lamaku menyala, pantas saja ada pesan masuk dari Bang Azlan. Sepertinya ponsel lamaku dengan yang baru tertukar dikamar tadi, ada banyak pesan masuk dari Bang Azlan juga Bang Hilman. Mereka mempertanyakan keberadaanku."Bang, kalau location, Nay matikan gak bakal terlacak kan?" Tanyaku pada Bang Heru.Bang Heru mengernyit bingung. "Kurang paham, nanti abang tanyakan teman abang ya, untuk sementara matikan saja ponselmu dulu," jelas Bang Heru.Aku kembali mematikan ponselku. Semoga saja keberadaan kami tak terlacak, aku membuka laptop untuk mengecek pekerjaanku, ada beberapa laporan dari sekretarisku bahwa Bang Azlan berusaha masuk keruanganku untungnya dapat dicegah oleh satpam, hari ini juga dia tak masuk kerja.Aku kembali mengecek kamera CCTV di rumah, untungnya tekhnologi sudah sangat canggih. Walaupun jauh, aku bisa memantau apapun yang mereka lakukan. Kulihat Tante Ira masih ada di rum
Seminggu sudah aku berada ditempat persembunyian, tak ada tanda-tanda mencurigakan dari Bang Heru dan Papa. Sudah jelas, pengkhianat dalam keluarga ini adalah, Bang Hilman dan Tante Ira. Bodohnya aku mencurigai Papa dan Abangku sendiri."Bang, sampai kapan kita disini?" Tanyaku.Jujur saja, aku mulai jenuh berada disini. Aku tak bisa mengakses sosial mediaku seperti biasa, aku tak bisa jalan-jalan. Aku bagai burung dalam sangkar, tak tahu kapan akan dilepaskan untuk terbang bebas."Besok kita pulang," jawabnya tanpa menatapku.Aku mendesah lega, jadi penasaran bagaimana keadaan rumahku setelah kutinggal seminggu. Apa mereka masih betah disana? Atau sudah pergi, karena tak mendapatkan apa yang mereka mau.Bang Heru menatapku. "Sertifikat rumah, gak kamu tinggal 'kan?" Tanyanya.Aku menggeleng. "Ada kubawa," jawabku.Bang Heru menunjukkan pesan dari temannya, rumahku
Jantungku berdebar ketika mobil sudah berhenti didepan rumahku sendiri, ada perasaan tak nyaman menelusup dihati. Rumah terlihat sepi, padahal setengah jam sebelum kami sampai, mereka masih ada di rumah. Sekarang kemana mereka? Kamera CCTV mendadak rusak, hanya menampilkan layar hitam, sepertinya ada yang tak beres. Mereka sudah mengetahui bahwa aku memakai kamera tersembunyi.Apa sekarang mereka sedang menyusun rencana untuk menjebakku?"Kita tunggu polisi dulu, baru turun," ucap bang Heru.Aku bergeming, menatap rumahku dari jendela mobil. Halamannya begitu kumuh tak terawat, padahal baru seminggu aku pergi. Rumahku sudah seperti tak berpenghuni, mereka manusia-manusia jorok!Lima menit kemudian ada mobil honda jazz berhenti dibelakang mobil kami, sepertinya itu polisi yang melakukan penyamaran, mereka keluar dari mobil tanpa seragam. Hanya memakai kaos biasa."Mereka akan menyamar jadi pembeli rumahmu,