Share

BAB 5

Kuhembuskan nafas kasar ketika mendengar pintu rumahku digedor dengan brutal. Tak ada sopan santunnya bertamu di rumah orang, apalagi malam-malam begini. Waktunya orang istirahat, malah datang bertamu! 

Saat kubuka pintu, ternyata dua perempuan paruh baya dengan penampilan seperti sosialita menatapku dengan sinis dari atas sampai bawah. Mungkin karena penampilanku hanya memakai daster yang sudah berlubang ini, jadi mereka menganggapku rendahan. 

"Minggir! Pembokat gak tahu sopan santun!" Ketusnya seraya menerobos masuk kedalam rumah tanpa kupersilahkan. 

Aku melongo menatap mereka yang teriak-teriak memanggil nama maduku. 

"Adelnya mati!" Celetukku asal. 

Mereka serentak menatapku dengan tatapan tajam. 

"Lancang kamu ya, nyumpahin anak saya mati!" 

Oh, jadi ini Ibunya Adel. Tapi kenapa dia tak hadir saat pernikahan kemarin.

"Kita aduin nanti sama Adel dan Azlan, biar dipecat dia!" Ucap perempuan satunya yang memakai sanggul besar. 

Aku berdecih pelan. "Apa kalian tak tahu siapa saya?" Tanyaku sinis. 

"Halah gak penting! Kamu itu cuma pembantu disini!" Ucap Ibunya Adel sinis seraya mengibaskan tangannya.

Tak lama Adel dan Bang Azlan datang dengan wajah berantakan, sepertinya bangun tidur. 

"Adel, anakkuuuu!" Teriak Ibunya seraya memeluk Adel yang mematung.

Bang Azlan wajahnya terlihat pucat pasi, apalagi saat ini aku menatap mereka dengan tatapan tajam siap mengibarkan bendera perang. 

"Siapa yang bilang ke mereka berdua kalau aku disini pembantu?!" Tanyaku tegas. 

Membuat Bang Azlan dan Adel salah tingkah, Ibunya Adel mendelik menatapku. 

"Kamu nyari pembantu dimana sih, Zlan gak ada adabnya begitu!" Cerocos mertuanya Bang Azlan. 

Aku mendengkus kesal. "Saya ini pemilik rumah ini, yang pembantu disini itu ya anak dan menantu Ibu!" Sahutku kesal. 

Bang Azlan dan Adel membelalak mendengar ucapanku. Sedangkan Ibu itu beserta temannya tampak terkejut, seolah tak percaya dengan ucapanku. 

"Gak mungkin lah, mereka ini nikahnya mewah, noh di gedong! Hampir 1 M biaya resepsinya!" Sahut temannya mertua Bang Azlan. 

Seketika tawaku pecah. "Satu ember kali, bu, biaya nikah mereka aja ngutang sama saya!  Saya punya buktinya!" Ucapku. 

Wajah Bang Azlan dan Adel semakin pucat, kutinggalkan mereka kekamar mengambil nota hutang piutang Bang Azlan selama bersama Adelia. 

"Nih, baca sendiri!" Ucapku seraya melemparkan nota kearah mereka. 

Dengan cepat ibu itu mengambilnya, matanya membelalak apalagi disana sudah jelas tanda tangan Bang Azlan diatas materai. Sewaktu-waktu mereka bisa kutuntut jika kabur. 

Bang Azlan menunduk, sementara Adel matanya sudah berkaca-kaca. Sungguh kasihan, nasibmu Adelia. 

Setelahnya kubiarkan mereka mematung disana, aku kembali masuk kekamar. Sebelum tidur aku memikirkan apalagi rencanaku besok untuk menghukum Adel. Rasanya tak sabar menunggu hari esok, melihat mereka menderita membuat hatiku lega. 

Mataku menjelajahi seisi kamar yang menjadi saksi bisu pernikahanku dengan Bang Azlan. Mendadak dadaku terasa sesak mengingat pengkhianatan Bang Azlan. Disaat sudah  berharta, dia bertindak semaunya. Memperlakukanku dengan baik jika ada maunya saja, ketika keinginannya sudah di dapatkan sikapnya berubah menjadi kasar dan tempramental. 

Seringkali Bang Azlan pulang larut malam dalam keadaan mabuk, alasannya menemani klien yang ngajak minum-minum, tak enak jika menolak. Tapi hampir setiap hari Bang Azlan pulang dalam keadaan seperti itu, seringkali kudapati bercak merah didada dan leher Bang Azlan. Aroma alkohol dan parfume wanita bercampur menjadi satu, apalagi noda lipstik dipipinya. Membuat hatiku hancur lebur, setiap kutanya baik-baik dia selalu mengelak tak jarang membentakku setelah itu pergi lagi seolah tak betah jika berada di rumah. 

Padahal selama menjadi istrinya aku selalu memberikan yang terbaik, aku selalu memakai pakaian seksi jika hanya berdua dengannya, bahkan sebelum dia pulang kerja aku sudah berdandan rapi dan wangi. Tapi tetap saja dia merasa kurang denganku. 

Sampai pada akhirnya dia meminta izin menikah lagi, dengan dalih poligami itu sunnah dan berjanji akan adil dalam membagi waktu dan nafkah. Tanpa dia sadari uang nafkah yang sering dia berikan adalah uang perusahaanku sendiri. Yang membuatku sakit hati, saat kepala keuangan perusahaanku mengabariku jika Bang Azlan dalam waktu dua bulan mengambil uang perusahaan hampir 1,3 milyar untuk memanjakan gundiknya. 

Aku memilih bertahan bukan karena aku bodoh, tapi aku ingin membalaskan dendamku pada mereka. 

Ah, mengingat kebusukan Bang Azlan membuat dadaku semakin sesak. 

_______

Usai sholat subuh aku keluar kamar, rumah masih terlihat sepi. Kulihat, Ibunya Adel dan temannya yang tertidur di ruang keluarga. Mereka meringkuk kedinginan karna tak memakai selimut. 

Aku melangkah kedapur mengambil panci dan spatula, lalu kembali keruang keluarga.  Kupukulkan spatula kepantat panci dengan keras sehingga menghasilkan suara yang cukup memekakkan telinga. 

"Berisiiiiikkk!!!" Teriak Ibunya Adel.

"Bangun! Rumah saya bukan penampungan gembel!" Ketusku. 

Ibunya Adel dan temannya menatap penampilanku dari atas sampai bawah dengan mulut terbuka. Kagum sepertinya melihat pakaianku sudah rapi dan wangi, ditambah anting berlianku berkilauan. Aku juga memakai cincin berlian mungil tapi tetap terlihat berkelas. Pakaianku sudah rapi untuk berangkat  ke kantor. 

"Biasa aja ngeliatnya!" Tegurku. 

Tak lama Adel datang bersama Bang Azlan, matanya terlihat merah seperti habis menangis. Sedangkan Bang Azlan menekuk wajahnya kesal sambil merapikan baju seragamnya. 

"Dik, kenapa kamu tega nurunin jabatan abang jadi cleaning service?!" Gerutunya.

Aku mendengkus kesal. "Kamu aja tega jahat sama aku, masa aku gak tega jahatin kamu!" Jawabku santai. 

Ya, Bang Azlan kuturunkan jadi cleaning service. Supaya dia jera dan sadar kalau cari uang itu sulit tak segampang menghamburkannya. Apalagi selama menikah denganku, hanya aku yang mencari nafkah sampai punya usaha yang sukses, makanya dia terlihat santai mengambil uang perusahaan sampai satu milyar, karena dia tak tahu bagaimana susahnya aku merintis perusahaan itu dari nol. 

"Hei pembokat! Kok masih plonga plongo disitu! Cepat masak, saya mau sarapan!" Bentakku pada Adelia yang masih mematung menatap penampilanku. 

Dengan langkah tergesa dia menuju dapur, aku tersenyum sinis melihat penampilannya sudah persis seperti pembantu. Daster belel bekasku dulu yang tersimpan di gudang dipakainya walaupun sedikit kebesaran.

Baju-baju Adel sudah habis kuambil, semua baju dikopernya kemarin masih baru dan itu semua dibelikan oleh Bang Azlan. Yang kusisakan hanya pakaian dalamnya saja.

Adel yang kemarin-kemarinnya bergaya bak sosialita kelas atas, kini untuk sekedar sisiran pun tak mampu. Rambutnya saja dicepol asal dengan karet getah, wajahnya juga begitu kusam dan berminyak. 

Aku duduk di meja makan seraya memainkan ponselku, setelah sekian lama tak berangkat kekantor akhirnya aku kembali lagi. Kulihat Bang Azlan dan mertuanya hendak duduk dihadapanku.  

"Bang, kamu lupa tempatmu dimana?" Tanyaku sinis.

Bang Azlan menghela nafas kasar, lalu menarik Ibu mertuanya dengan pelan kearah dapur. Lalu duduk lesehan disana, kulihat wajah mertuanya menekuk kesal. Sedangkan temannya kembali berkelana kealam mimpi. 

Tak lama Adel mengantarkan makananku, sepiring nasi dan dua potong ayam goreng. 

"Em, mbak kami hari ini makan apa? Kulkas kosong," ucapnya dengan ragu-ragu. 

"Dikulkas ada sebungkus mie instan, kalian masak lah, bagi untuk berempat ya!" Jawabku seraya melahap makananku membuat Adel teguk liur. 

Kukibaskan tanganku kearahnya. "Sana urusin suamimu, ntar telat ke kantor ku potong gajihnya!" Ketusku. 

"Serakah banget istri tuamu itu, Zlan! Semua harta dikuasai, padahal kamu yang punya!" Sindir Ibu mertua Bang Azlan. 

Sepertinya ada yang memutar balikan fakta. Sampai nenek tua itu lancang mengatakan hal buruk tentangku.

"Azlan, mertuamu tolong dididik yang benar! Numpang di rumah orang tapi gak punya etika!" Ucapku kesal seraya melirik sinis kearah mereka yang langsung menunduk. 

Sebelum berangkat kerja aku memastikan semua pintu ruangan sudah terkunci, mereka tak akan bisa membobolnya karena pintuku sudah dilengkapi alat canggih. Harus menggunakan kode dan sidik jariku jika mau masuk. Seluruh rumah juga sudah kulengkapi dengan kamera tersembunyi dan alat perekam suara. Semua itu kulakukan demi berjaga-jaga dari parasit seperti mereka yang sewaktu-waktu bisa merencanakan hal buruk untukku. 

Sempat kulihat  mereka bertiga makan mie instan dibagi tiga dengan lahap seperti  orang kelaparan. Jika dulu aku selalu tak tega melihat Bang Azlan kelaparan, entah kenapa sekarang aku bahagia melihatnya nelangsa seperti ini. 

Ini belum seberapa, Bang, masih banyak pembalasanku untukmu beserta keluargamu! 

____

Jngan lupa subscribe ya guys 😊 

Krisarnya juga jngan lupa ya mak hihi 😂

Kuhembuskan nafas kasar ketika mendengar pintu rumahku digedor dengan brutal. Tak ada sopan santunnya bertamu di rumah orang, apalagi malam-malam begini. Waktunya orang istirahat, malah datang bertamu! 

Saat kubuka pintu, ternyata dua perempuan paruh baya dengan penampilan seperti sosialita menatapku dengan sinis dari atas sampai bawah. Mungkin karena penampilanku hanya memakai daster yang sudah berlubang ini, jadi mereka menganggapku rendahan. 

"Minggir! Pembokat gak tahu sopan santun!" Ketusnya seraya menerobos masuk kedalam rumah tanpa kupersilahkan. 

Aku melongo menatap mereka yang teriak-teriak memanggil nama maduku. 

"Adelnya mati!" Celetukku asal. 

Mereka serentak menatapku dengan tatapan tajam. 

"Lancang kamu ya, nyumpahin anak saya mati!" 

Oh, jadi ini Ibunya Adel. Tapi kenapa dia tak hadir saat pernikahan kemarin.

"Kita aduin nanti sama Adel dan Azlan, biar dipecat dia!" Ucap perempuan satunya yang memakai sanggul besar. 

Aku berdecih pelan. "Apa kalian tak tahu siapa saya?" Tanyaku sinis. 

"Halah gak penting! Kamu itu cuma pembantu disini!" Ucap Ibunya Adel sinis seraya mengibaskan tangannya.

Tak lama Adel dan Bang Azlan datang dengan wajah berantakan, sepertinya bangun tidur. 

"Adel, anakkuuuu!" Teriak Ibunya seraya memeluk Adel yang mematung.

Bang Azlan wajahnya terlihat pucat pasi, apalagi saat ini aku menatap mereka dengan tatapan tajam siap mengibarkan bendera perang. 

"Siapa yang bilang ke mereka berdua kalau aku disini pembantu?!" Tanyaku tegas. 

Membuat Bang Azlan dan Adel salah tingkah, Ibunya Adel mendelik menatapku. 

"Kamu nyari pembantu dimana sih, Zlan gak ada adabnya begitu!" Cerocos mertuanya Bang Azlan. 

Aku mendengkus kesal. "Saya ini pemilik rumah ini, yang pembantu disini itu ya anak dan menantu Ibu!" Sahutku kesal. 

Bang Azlan dan Adel membelalak mendengar ucapanku. Sedangkan Ibu itu beserta temannya tampak terkejut, seolah tak percaya dengan ucapanku. 

"Gak mungkin lah, mereka ini nikahnya mewah, noh di gedong! Hampir 1 M biaya resepsinya!" Sahut temannya mertua Bang Azlan. 

Seketika tawaku pecah. "Satu ember kali, bu, biaya nikah mereka aja ngutang sama saya!  Saya punya buktinya!" Ucapku. 

Wajah Bang Azlan dan Adel semakin pucat, kutinggalkan mereka kekamar mengambil nota hutang piutang Bang Azlan selama bersama Adelia. 

"Nih, baca sendiri!" Ucapku seraya melemparkan nota kearah mereka. 

Dengan cepat ibu itu mengambilnya, matanya membelalak apalagi disana sudah jelas tanda tangan Bang Azlan diatas materai. Sewaktu-waktu mereka bisa kutuntut jika kabur. 

Bang Azlan menunduk, sementara Adel matanya sudah berkaca-kaca. Sungguh kasihan, nasibmu Adelia. 

Setelahnya kubiarkan mereka mematung disana, aku kembali masuk kekamar. Sebelum tidur aku memikirkan apalagi rencanaku besok untuk menghukum Adel. Rasanya tak sabar menunggu hari esok, melihat mereka menderita membuat hatiku lega. 

Mataku menjelajahi seisi kamar yang menjadi saksi bisu pernikahanku dengan Bang Azlan. Mendadak dadaku terasa sesak mengingat pengkhianatan Bang Azlan. Disaat sudah  berharta, dia bertindak semaunya. Memperlakukanku dengan baik jika ada maunya saja, ketika keinginannya sudah di dapatkan sikapnya berubah menjadi kasar dan tempramental. 

Seringkali Bang Azlan pulang larut malam dalam keadaan mabuk, alasannya menemani klien yang ngajak minum-minum, tak enak jika menolak. Tapi hampir setiap hari Bang Azlan pulang dalam keadaan seperti itu, seringkali kudapati bercak merah didada dan leher Bang Azlan. Aroma alkohol dan parfume wanita bercampur menjadi satu, apalagi noda lipstik dipipinya. Membuat hatiku hancur lebur, setiap kutanya baik-baik dia selalu mengelak tak jarang membentakku setelah itu pergi lagi seolah tak betah jika berada di rumah. 

Padahal selama menjadi istrinya aku selalu memberikan yang terbaik, aku selalu memakai pakaian seksi jika hanya berdua dengannya, bahkan sebelum dia pulang kerja aku sudah berdandan rapi dan wangi. Tapi tetap saja dia merasa kurang denganku. 

Sampai pada akhirnya dia meminta izin menikah lagi, dengan dalih poligami itu sunnah dan berjanji akan adil dalam membagi waktu dan nafkah. Tanpa dia sadari uang nafkah yang sering dia berikan adalah uang perusahaanku sendiri. Yang membuatku sakit hati, saat kepala keuangan perusahaanku mengabariku jika Bang Azlan dalam waktu dua bulan mengambil uang perusahaan hampir 1,3 milyar untuk memanjakan gundiknya. 

Aku memilih bertahan bukan karena aku bodoh, tapi aku ingin membalaskan dendamku pada mereka. 

Ah, mengingat kebusukan Bang Azlan membuat dadaku semakin sesak. 

_______

Usai sholat subuh aku keluar kamar, rumah masih terlihat sepi. Kulihat, Ibunya Adel dan temannya yang tertidur di ruang keluarga. Mereka meringkuk kedinginan karna tak memakai selimut. 

Aku melangkah kedapur mengambil panci dan spatula, lalu kembali keruang keluarga.  Kupukulkan spatula kepantat panci dengan keras sehingga menghasilkan suara yang cukup memekakkan telinga. 

"Berisiiiiikkk!!!" Teriak Ibunya Adel.

"Bangun! Rumah saya bukan penampungan gembel!" Ketusku. 

Ibunya Adel dan temannya menatap penampilanku dari atas sampai bawah dengan mulut terbuka. Kagum sepertinya melihat pakaianku sudah rapi dan wangi, ditambah anting berlianku berkilauan. Aku juga memakai cincin berlian mungil tapi tetap terlihat berkelas. Pakaianku sudah rapi untuk berangkat  ke kantor. 

"Biasa aja ngeliatnya!" Tegurku. 

Tak lama Adel datang bersama Bang Azlan, matanya terlihat merah seperti habis menangis. Sedangkan Bang Azlan menekuk wajahnya kesal sambil merapikan baju seragamnya. 

"Dik, kenapa kamu tega nurunin jabatan abang jadi cleaning service?!" Gerutunya.

Aku mendengkus kesal. "Kamu aja tega jahat sama aku, masa aku gak tega jahatin kamu!" Jawabku santai. 

Ya, Bang Azlan kuturunkan jadi cleaning service. Supaya dia jera dan sadar kalau cari uang itu sulit tak segampang menghamburkannya. Apalagi selama menikah denganku, hanya aku yang mencari nafkah sampai punya usaha yang sukses, makanya dia terlihat santai mengambil uang perusahaan sampai satu milyar, karena dia tak tahu bagaimana susahnya aku merintis perusahaan itu dari nol. 

"Hei pembokat! Kok masih plonga plongo disitu! Cepat masak, saya mau sarapan!" Bentakku pada Adelia yang masih mematung menatap penampilanku. 

Dengan langkah tergesa dia menuju dapur, aku tersenyum sinis melihat penampilannya sudah persis seperti pembantu. Daster belel bekasku dulu yang tersimpan di gudang dipakainya walaupun sedikit kebesaran.

Baju-baju Adel sudah habis kuambil, semua baju dikopernya kemarin masih baru dan itu semua dibelikan oleh Bang Azlan. Yang kusisakan hanya pakaian dalamnya saja.

Adel yang kemarin-kemarinnya bergaya bak sosialita kelas atas, kini untuk sekedar sisiran pun tak mampu. Rambutnya saja dicepol asal dengan karet getah, wajahnya juga begitu kusam dan berminyak. 

Aku duduk di meja makan seraya memainkan ponselku, setelah sekian lama tak berangkat kekantor akhirnya aku kembali lagi. Kulihat Bang Azlan dan mertuanya hendak duduk dihadapanku.  

"Bang, kamu lupa tempatmu dimana?" Tanyaku sinis.

Bang Azlan menghela nafas kasar, lalu menarik Ibu mertuanya dengan pelan kearah dapur. Lalu duduk lesehan disana, kulihat wajah mertuanya menekuk kesal. Sedangkan temannya kembali berkelana kealam mimpi. 

Tak lama Adel mengantarkan makananku, sepiring nasi dan dua potong ayam goreng. 

"Em, mbak kami hari ini makan apa? Kulkas kosong," ucapnya dengan ragu-ragu. 

"Dikulkas ada sebungkus mie instan, kalian masak lah, bagi untuk berempat ya!" Jawabku seraya melahap makananku membuat Adel teguk liur. 

Kukibaskan tanganku kearahnya. "Sana urusin suamimu, ntar telat ke kantor ku potong gajihnya!" Ketusku. 

"Serakah banget istri tuamu itu, Zlan! Semua harta dikuasai, padahal kamu yang punya!" Sindir Ibu mertua Bang Azlan. 

Sepertinya ada yang memutar balikan fakta. Sampai nenek tua itu lancang mengatakan hal buruk tentangku.

"Azlan, mertuamu tolong dididik yang benar! Numpang di rumah orang tapi gak punya etika!" Ucapku kesal seraya melirik sinis kearah mereka yang langsung menunduk. 

Sebelum berangkat kerja aku memastikan semua pintu ruangan sudah terkunci, mereka tak akan bisa membobolnya karena pintuku sudah dilengkapi alat canggih. Harus menggunakan kode dan sidik jariku jika mau masuk. Seluruh rumah juga sudah kulengkapi dengan kamera tersembunyi dan alat perekam suara. Semua itu kulakukan demi berjaga-jaga dari parasit seperti mereka yang sewaktu-waktu bisa merencanakan hal buruk untukku. 

Sempat kulihat  mereka bertiga makan mie instan dibagi tiga dengan lahap seperti  orang kelaparan. Jika dulu aku selalu tak tega melihat Bang Azlan kelaparan, entah kenapa sekarang aku bahagia melihatnya nelangsa seperti ini. 

Ini belum seberapa, Bang, masih banyak pembalasanku untukmu beserta keluargamu! 

____

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Isabella
ceritanya bagus sayang di bolan baleni jadinya lama
goodnovel comment avatar
Nunik Meitasari
kenapa double2 begini deh...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status