Share

Disuruh membabu

Aku terbangun ketika cahaya mentari pagi menilisik di antara celah-celah kamar yang baru kutempati ini. Tak berselang lama, terdengar gedoran di pintu kamarku, disertai teriakan suara perempuan, ya, siapa lagi kalau bukan Desi.

Aku meraba dan menoleh ke samping, tak ada suamiku di sebelahku. Apa mungkin ia sudah berangkat ke kantor? Ah, tak mungkin. 'Bukankah saat ini dia masih cuti,' batinku dalam hati.

Dengan malas aku berjalan mengambil sisir di meja riasku yang baru itu. Menyisir rambutku yang terasa kusut ini. Ide di pikiranku seketika menyuruhku untuk mengerjain Desi saja. Aku mengacak-acak rambutku, me-makeup-in pipiku dan leherku, membuat tanda menyerupai cupang, biar saja dia kira aku dan Mas Rafael sudah bercumbu malam ini, dan berprasangka bahwa ini tanda ini adalah kissmark dari Mas Rafael.

Aku membuka pintu kamar, dan Desi tengah melintas di hadapanku. "Mengapa Des ..?" tanyaku sambil berakting dengan memegang-megang leherku yang telah kubuati kissmark palsu itu.

Wajahnya seketika masam padaku. “Mbak!! situnya tau ini jam berapa, hah? Jangan mentang-mentang pengantin baru, jadi malasnya kelewatan," ujarnya bernada marah padaku.

Aneh juga kupikir iparku ini, macam mertua jahat kali lah lagaknya padaku, udah kayak di sinetron-sinetron ikan terbang yang sering ditonton Mpok Surti di rumahku dulu.

Aku hanya tersenyum saja ke arahnya, sambil melipat kedua tangan di dada, tak merespon ocehannya, karna itu hanya membuang-buang waktu dan tenagaku saja.

"Ada yang bisa dibantu, Nona?" tanyaku tersenyum dengan menaikan sudut bibir kiriku.

Desi menyerahkan sapu dan kain pel padaku, tepatnya dengan gaya sedikit melempar kedua benda itu ke arahku. Untung saja dengan sigap aku menerima kedua peralatan tempur tersebut.

"Baik, Nyonya," ucapku mengejek seraya membungkuk padanya, sambil memegang sapu dan kain pel tersebut.

Dia menatapku nyalang, sepertinya hatinya panas membara, melihat sikapku yang memanas-manasinya barusan.

***

Aku mulai melakukan aktivitasku menyapu dan mengepel semua ruangan di rumah ini tanpa terkecuali, dengan harapan dapat menemukan sesuatu yang bisa menjadi secercah bukti untuk mempertanyakan hubungan mereka selama ini yang telah membuatku penasaran berjilid-jilid.

Saat diri ini tengah membersihkan kamar Desi, aku menemukan di laci lemari Desi, sebuah foto Desi memeluk mesra pinggang Mas Rafael yang tengah menggendong seorang batita, dan sepertinya anak itu adalah Jay. Kemesraan mereka di foto membuat dada ini terasa panas melihatnya, rasanya ingin sekali merobek-robek foto tersebut depan wajah kedua manusia itu. Namun, apa daya, foto ini masih belum menjadi penunjuk jalan, untuk mencaritahu hubungan kedua insan tersebut.

Buru-buru aku menyimpan foto tersebut ke dalam saku celanaku. Dan melanjutkan aktivitasku sambil mencaritahu bukti-bukti yang lain yang memperkuat dugaanku akan status hubungan kedua insan itu.

***

Setelah 2 jam membabu, akhirnya kelar juga. Aku melihat jam di dinding ruang tamu minimalis ini. ‘Sudah jam 10 pagi, tapi Mas Rafael masih belum juga kelihatan batang hidungnya. Kemanakah ia pergi?' tanyaku dalam hati.

Aku melangkahkan kakiku keluar menuju ke taman samping rumah. Desir semilir angin seakan menyejukkan hatiku yang gundah gulana ini. Aku duduk di bangku taman yang berwarna hitam legam dan tanpa sandaran tangan ini.  

Sejenak menghela nafas, dan membuangnya bersamaan dengan lelah dan rasa laparku yang sedari tadi belum diisi apa-apa.

Ku keluarkan ponsel dengan logo gigitan apel di belakangnya. Aku mengirim pesan ke WA Mas Rafael, menanyakan di manakah dirinya saat ini.

[Mas lagi di mana?] WA-ku padanya. Centang satu. 15 menit kemudian centang dua dan tak lama kemudian centangnya berubah biru.

 HP-ku bergetar, Mas Rafael membalas WA-ku, [Maaf, Dek, tadi Mas lupa ngabarin kamu. Ini Mas lagi di luar sama Desi membeli krayon warna untuk keperluan sekolah Jay.] balasnya.

 [Ooh. Uda makan belum, Mas?] balasku.

 [Udah, Alena. Kamu makan ya, nanti masuk angin. Kami kesorean pulangnya, karena Jay minta main ke Dufan dulu,] balasnya lagi.

 [Ooh, gitu,] balasku singkat.

10 menit, 30 menit, bahkan hampir sejam, tak ada balasan darinya. Membuat hati ini bertanya-tanya, sebegitukah dirimu padaku mas, saat tengah bersama Desi kamu bahkan abai padaku. Seharusnya kamu ngerti kegalauan hatiku ini.

 Aku menuju dapur, mau masak telur ceplok saja pikirku, mudah dan cepat, daripada harus pesan online dulu.

Tak lama setelah aku makan dan mencuci piringku, mataku tertuju pada selembar kertas yang sudah tergulung di atas kulkas. Aku mengambil dan membuka gulungan kertas tersebut. Hmm ... ternyata kartu keluarganya mas Rafael, di situ terdaftar nama hanya 2 orang, Rosmery dan Rafael Ananta. Dalam kertas itu, aku tak menemukan sama sekali nama Desi dan Jay.

 Berdasarkan pengakuan mas Rafael dulu padaku, bahwa ibu kandungnya telah lama mati. Dan dia hidup dengan seorang janda yang telah mengangkatnya menjadi anak dan memperlakukannya layaknya anak kandung sendiri. Aku segera mengambil kertas tersebut, melipatnya, dan memasukkannya kedalam saku celanaku, dan mencari waktu yang tepat untuk mencaritahu keberadaan wanita yang bernama Rosmeri tersebut. Lantas, siapakah wanita itu? Mungkinkah ibu angkat yang dia maksud? Aku harus menyelidikinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status