Aku mencoba memejamkan mataku, tidur dengan posisi memunggunginya, untung saja dia sudah terlelap duluan. Terdengar dengkuran halus dari hidungnya, bersahut-sahutan dengan detak jam di dinding kamar yang baru kutempati. Entah mengapa, rasa kantuk masih belum juga menghampiriku.
Tiba-tiba saja aku teringat quotes dari Benjamin Franklin yang mengatakan: "Bukalah matamu lebar-lebar sebelum pernikahan, dan setengah tertutup sesudahnya."Aku menyesal, kenapa baru sekarang aku menyadari hal tersebut.
Aku memang terlalu bodoh, karena termakan sikap baik dan tutur manisnya padaku. Sebelum menerima lamarannya dulu, semestinya aku harus mencari tahu bibit, bobot, dan bebetnya. Ya, tiga kata yang selalu papa ingatkan padaku dulu, bila waktunya tiba untuk menemukan pendamping hidup. Papa selalu mengingatkanku untuk tidak tertipu tampan dan mulut manis lelaki. Akan tetapi, besarnya rasa suka dan cintaku pada Mas Rafael kala itu, bahkan menutup mata dan telingaku untuk mendengar nasihat dari papa. Penyesalan dan rasa sakit itu kembali menyelimuti hatiku.Seketika hatiku terasa perih mengingat setiap kenangan dulu bersama Mas Rafael, moment-moment yang membuatku dimabuk asmara, sampai merasa bahwa aku adalah satu-satunya bidadari di hatinya. Bagaimana tidak, lelaki itu tuturnya begitu lembut, perhatian, dan sangat romantis padaku. Setiap kata-kata gombalan dan kalimat yang berisi rayuan yang dia ucapkan padaku, ibarat candu yang sering membuatku merindu, untuk terus berada di dekatnya. Bahkan 2 bulan setelah mengenalnya, aku menyuruhnya untuk melamarku kepada kedua orang tuaku, meski kala itu papaku sangat menentang hubungan kami, dan sangat susah mendapat restu darinya untuk menyetujui lamaran Mas Rafael. Memori di otakku kembali menayangkan bagaimana manisnya pertemuanku dulu dengan Mas Rafael. Jika dulu, saat aku mengingat-ngingatnya, membuatku sering senyum-senyum sendiri. Ibarat pertemuan cinta dua sejoli di sinetron-sinetron FTV ataupun bahkan di kisah cinta novel-novel romansa yang pernah aku baca.Pertemuan kami pertama kalinya berawal ketika ban mobilku yang tiba-tiba meletus di tengah jalan, saat aku hendak ke pesta ulangtahun temanku. Aku kaget bukan kepalang, karna mobilku nyaris ditabrak dari belakang oleh sebuah mobil rush warna hitam keluaran terbaru.Pengemudi di mobil tersebut keluar, lalu menghampiriku, sambil mengetok pintu mobilku, bersamaan dengan suara klakson yang bertubi-tubi dari kendaraan lain, yang mengantri panjang di belakang mobil Rush hitam dibelakang mobil kami.
Aku yang masih shock, mencoba mengumpulkan sisa-sisa kesadaranku, sebelum akhirnya membuka kaca mobil jendela di samping setir kemudi yang ku pegang."Mbak ... ada masalah apa dengan mobilnya, kok tiba-tiba mogok gitu di tengah jalan?" tanya Mas Rafael kala itu padaku.Ketika melihatnya, membuat perhatianku teralihkan, pada sepasang matanya yang dalam menatapku dengan tajam. Hal itu membuatku kikuk dan berdebar-debar tak biasa."Eh, ini, Mas, kayaknya ban saya meletus." jawabku asal."Hah, meletus? Balon hijau kali. Ini namanya pecah, Mbak," ujarnya padaku.Dan seketika pipi ini merah menahan malu.
"Mbak punya ban cadangan, nggak?" tanyanya padaku."Ada, Mas, cuman aku gak bisa ganti." "Ya sudah, tepikan dulu mobilnya, ntar biar Mas bantuin kamu ganti bannya," ucapnya padaku menawarkan bantuan.Aku hanya mengangguk, sambil melempar senyum padanya, sebelum akhirnya lelaki itu kembali ke mobilnya. Lalu aku menepikan mobilku di pinggir jalan, untuk menghindari amukan klakson massa yang membuat gendang telingaku nyaris sobek.Tak lama setelah aku menepikan mobil, mobil Mas Rafael juga berhenti dan parkir di belakangku. Ia mengeluarkan peralatan-peralatan yang dibutuhkan untuk mengganti ban sialan yang pecah tak lihat waktu dan tempat tersebut.Ada debar-debaran tak karuan di dada, ketika memerhatikan dia mengganti ban mobil tersebut. Dadanya yang bidang, matanya yang tajam, otot-otot lengannya yang kekar, terlihat samar-samar di lengan bajunya yang slim fit itu. Apalagi, sesekali ia melirik dan melempar senyum ke arahku, membuatnya begitu sangat mempesona di mataku.Tiga puluh menit berlalu, dan akhirnya selesai juga ban mobilku dia ganti. Tak lupa aku mengucapkan terima kasih padanya, dan menjabat tangannya sebagai tanda perkenalan dariku. "Alena Alysia. Panggil aja Alena.""Rafael," balasnya singkat memperkenalkan namanya, sambil tersenyum dan menggenggam erat tanganku.Seketika aku merasakan ada desiran halus di dadaku. Sesuatu yang mengalir di dalam darahku menuju hatiku. Apakah mungkin ia telah mentransfer signal berbentuk hati lewat tanganku? Agar aku bisa terpesona oleh tebaran senyumnya itu.Ah, tiba-tiba aku merasakan ada banyak gambar berbentuk hati berwarna maroon sedang bertebaran di kepalaku. Duh, apakah mungkin inikah yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama?
***
Sejak pertemuan hari itu, aku berharap bisa kembali lagi bertemu dengan dia, dan bisa bertukar nomor dengannya. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Baru saja aku mengkhayal bisa bertemu dengannya, eh, aku malah dikejutkan olehnya."Mikirin apa sih, Mbak. Melamun, ya? Masih ingat aku, nggak?" bisiknya ditelingaku.Seketika mataku berkedip cepat, mengikuti irama nadiku yang tak beraturan. Menarik nafas sejenak, lalu mengembuskannya, sebelum akhirnya aku menjawab obrolannya barusan.Pertemuan yang tak disengaja itu, berlokasi tepatnya di sebuah BANK milik swasta di kotaku.
"Eh, iya mikirin kamu." Kalimat yang spontan keluar dari mulutku."Masa iya?" jawabnya sambil tersenyum menatapku.Tuh, kan, jadi geer akunya dibikin begitu, jadi kesemsem. Duh, Mas, gantengnya kelewatan. Pakai pelet apa sih kamu sebegitu memikatnya di hatiku."Ehmm ... ini aku sedang mengurus berkas-berkas untuk pembukaan rekening depositoku," jawabku padanya."Sini, aku bantu biar cepat," tawarnya padaku."Emang masnya kerja di sini?" tanyaku padanya."Iya, aku kerja di sini sebagai bagian marketing," akunya padaku saat itu.Meski setelah sebulan berkenalan dengannya, barulah aku tahu bahwa ia bukanlah bagian marketing di BANK tersebut. Namun, jabatannya ialah sebagai Pimpinan Cabang di BANK tersebut. Sejak saat itu, hubungan dan komunikasiku dengan Mas Rafael semakin akrab saja.
Aku terbangun ketika cahaya mentari pagi menilisik di antara celah-celah kamar yang baru kutempati ini. Tak berselang lama, terdengar gedoran di pintu kamarku, disertai teriakan suara perempuan, ya, siapa lagi kalau bukan Desi. Aku meraba dan menoleh ke samping, tak ada suamiku di sebelahku. Apa mungkin ia sudah berangkat ke kantor? Ah, tak mungkin. 'Bukankah saat ini dia masih cuti,' batinku dalam hati. Dengan malas aku berjalan mengambil sisir di meja riasku yang baru itu. Menyisir rambutku yang terasa kusut ini. Ide di pikiranku seketika menyuruhku untuk mengerjain Desi saja. Aku mengacak-acak rambutku, me-makeup-in pipiku dan leherku, membuat tanda menyerupai cupang, biar saja dia kira aku dan Mas Rafael sudah bercumbu malam ini, dan berprasangka bahwa ini tanda ini adalah kissmark dari Mas Rafael. Aku membuka pintu kamar, dan Desi tengah melintas di hadapanku. "Mengapa Des ..?" tanyaku sambil berakting dengan memegang-megang leherku yang t
Aku terbangun, ku lihat di sebelahku sudah ada suamiku tengah terbaring sambil memelukku. ‘Ah, manisnya wajahnya,’ gumamku. Tapi, kenapa tiba-tiba aku ada di kamar bersama dia? Bukankah tadi aku tengah berbaring di sofa ruang keluarga sambil menonton drakor? ‘Hmm ... mungkin saja aku ketiduran, dan dia mengangkatku,’ tebakku dalam hati. Pelan-pelan aku menggoyangkan badannya untuk membangunkannya. “Mas, bangun, Mas ... “ ujarku padanya. “Hmm ... “ Ia menggeliat sambil mengucek mata. “Selamat pagi, Sayang,” sapanya padaku sambil mengusap lembut pipiku. Aku yang tak bisa menahan hati, dengan rasa penasaranku yang menggebu-gebu langsung memperlihatkan foto mereka yang sempat ku foto pakai HP tadi. “Mas, sepertinya foto ini keren, yah, Mas. Keluarga bahagia,” sindirku padanya. Seketika wajahnya memucat. Terlihat jelas rasa kaget di air mukanya. Namun, dia berusaha menguasai diri dan bersikap
Satu jam dalam perjalanan, akhirnya kami tiba juga. Setelah bertanya sana-sini, akhirnya kami sampai juga di alamat yang tertulis di kertas yang ku dapati dalam lemari kamar Bik Ijah.Setelah mengetok pintu dan mengucapkan salam beberapa kali, akhirnya pintu dibuka oleh seorang wanita paruh baya. Wanita ini terlihat anggun meski dengan berpakaian sederhana. Meski kepalanya telah dipenuhi sebagian uban, tetapi dengan gaya rambutnya yang ia gulung kebelakang itu membuat wanita ini tampak anggun dan berwibawa.“Ya, Neng. Neng-neng ini siapa, ya, dan hendak apa?” tanyanya menyelidik pada kami. “Ayo, silakan masuk dulu, silakan duduk,” ajaknya pada kami dan mempersilakan kami duduk.Setelah duduk, aku mulai berbasa-basi dan memperkenalkan diri. Ku lihat rasa kaget di wajahnya ketika aku memberitahu bahwa aku istrinya Mas Rafael, majikannya dulu di kota. Ia manggut-manggut, sebelum akhirnya menanyakan maksud kedatangan kami padanya.&ldq
“Pak, stop ... stop dulu,” kataku pada supir grab yang kami tumpangi.Mendadak mobil kami berhenti.“Ada apa, Mbak?” tanyanya bingung.“Mundur, Pak. Mundur dikit mobilnya,” perintahku padanya.Tanpa banyak tanya ia menuruti. Mobil bergerak mundur perlahan. Lalu, aku menyuruhnya menghentikan mobil, ketika sampai di dekat tempat di mana aku melihat wanita yang mirip Desi tadi.“Kenapa, sih, Lena?” Tanya Vika penasaran.Tanpa menjawab, aku mengeluarkan ponsel, lalu memfoto wanita itu yang tengah bersama dengan seorang pria, tetapi pria itu bukan suamiku.Vika melongokkan kepalanya untuk melihat apa yang sedang ku foto. Spontan aku menariknya, dan menutup jendela mobil, agar kami tak terlihat oleh Desi.“Itu sepertinya Desi, baju yang dia pakai sama dengan yang dikenakannya tadi pagi saat berangkat dari rumah,” terangku padanya.Vika hanya manggut-manggut, sambil me
“ Toloongg ... “ jeritku meronta sambil memalingkan wajah darinya.Dia semakin mendekatkan bibirnya ke arahku, dan mendaratkan sebuah ciuman di bibirku. Semakin aku mencoba bergerak untuk melepaskan diri dengan menggoyang-goyangkan kepalaku, dia malah semakin memepetku dan melumat bibirku. Antara terbuai oleh perasaan menikmati dan juga seketika merasa jijik membayangkan bahwa hal yang sama pasti pernah dia lakukan dengan Desi.Dengan sekuat tenaga aku mendorongnya dan menjerit, “Lepaassskannn!!!” Refleks ia melepasku.Sementara aku mengusap kasar bibirku yang ku rasa najis karena telah ternoda oleh lelaki yang telah menghianatiku ini.Sesaat ia mematung menatapku, seperti yang sedang pulih kesadaran. “Maaf, Alena,” ujarnya menarik napas berat.“Aku terbawa perasaan. Tolong jangan pernah ucapkan lagi kalimat perceraian padaku, jika kamu tak ingin aku berbuat macam-macam padamu,” tekannya padaku.
Aku memilih untuk mengunci pintu kamar, tak berniat untuk melihat wajah Mas Rafael, apalagi bila harus sekamar dengannya malam ini. Kejadian tadi sungguh sangat membuatku malu bila mengingatnya. Jujur saja, selama mengenalnya, ia belum pernah mengecup bibirku, apalagi berbuat macam-macam padaku.Menenggelamkan wajah ke kasur dan menutup kepala dengan bantal adalah hal yang kulakukan agar tak terpengaruh oleh perdebatan dan adu mulut mereka berdua di luar yang masih terdengar samar-samar di telingaku. Ku coba menutup mata, berharap bisa tidur nyenyak, meski pikiranku sedang menyusun rencana agar bisa menjebak keduanya. ‘Sepertinya aku harus berpura-pura pulang ke rumah orang tuaku saja,’ pikirku.Esoknya, kala mentari sudah mulai menampakkan sinar dan kehangatannya, aku gegas mempersiapkan diri dan beberapa keperluan pribadi yang ku butuhkan saja selama pergi seminggu itu yang akan ku bawa. Tak lupa juga aku meletakkan beberapa CCTV yang ku sambung di HP yan
Melihatku mengkerutkan kening sambil menatap layar ponselku, membuat Vika mendekatiku dan turut nimbrung. “Kenapa, Len?” tanyanya sambil melihat ponselku, lalu aku kembali memutar rekaman CCTV yang barusan kulihat tadi. “Halah, dasar ganjen! Cowok mana aja diembat!” lontar Vika padaku. “Kamu kenal cowo ini gak, Vik?” tanyaku penasaran. “Gak,” jawabnya. “Kayaknya kita harus cari tahu siapa lelaki itu,” ucapku. “Oke, mari kita came on!” ajak Vika sambil meraih kunci motor dan helmnya. “Loh, ke mana?” tanyaku bingung. “Lakukan penyamaran!” ujarnya sambil menarik kaca helmnya kebawah. “Penyamaran apa?” “Lah, untuk menyelidiki siapa itu si gondrong!” tukas Vika berlalu menuju motornya. Aku menurut saja. Gegas kumasukkan ponselku dalam saku celana, memakai jaket hoodie pinkku dan menutupi kepala dengan topi jaket tersebut, serta tak lupa memakai masker agar penyamaran ini tak ketahuan. Kusodork
Segera kugeser logo telepon hijau ke atas. “Halo, Vik. Apa sudah dapat informasi?” tanyaku tak sabar.Terdengar suara berisik di seberang sana, tidak jelas apa yang sedang Vika katakan. Hanya suara grasa-grusu dan terdengar suara Vika seperti menjerit meminta pertolongan. Perasaanku tak enak, tiba-tiba sebuah pesan masuk dari nomor Vika yang isinya [SOS! Saya memerlukan bantuan darurat. (Dikirim dari jam saya)], disusul dengan pesan lain yang menunjukkan lokasi keberadaannya.Tak berpikir lama, kunyalakan starter motor vespa bututnya. Tangan kanan di handle gas sambil menjalankan motor, sementara tangan kiri memegang HP membuka alamat di mana dia berada dengan memakai aplikasi google map.Berkali-kali aku mencoba menghubunginya. Namun tidak terhubung. Pikiranku makin kacau, belum selesai masalah yang satu malah masalah lain muncul lagi. Kulajukan vespa butut milik Vika dengan kecepatan tinggi. Ketika hendak membelok di pertigaan jalan, motor ya