Aku terbangun, ku lihat di sebelahku sudah ada suamiku tengah terbaring sambil memelukku. ‘Ah, manisnya wajahnya,’ gumamku.
Tapi, kenapa tiba-tiba aku ada di kamar bersama dia? Bukankah tadi aku tengah berbaring di sofa ruang keluarga sambil menonton drakor? ‘Hmm ... mungkin saja aku ketiduran, dan dia mengangkatku,’ tebakku dalam hati.Pelan-pelan aku menggoyangkan badannya untuk membangunkannya.“Mas, bangun, Mas ... “ ujarku padanya.“Hmm ... “ Ia menggeliat sambil mengucek mata.“Selamat pagi, Sayang,” sapanya padaku sambil mengusap lembut pipiku.Aku yang tak bisa menahan hati, dengan rasa penasaranku yang menggebu-gebu langsung memperlihatkan foto mereka yang sempat ku foto pakai HP tadi.“Mas, sepertinya foto ini keren, yah, Mas. Keluarga bahagia,” sindirku padanya.Seketika wajahnya memucat. Terlihat jelas rasa kaget di air mukanya. Namun, dia berusaha menguasai diri dan bersikap biasa aja.“Ya, namanya juga foto bareng keponakan,” jawabnya pendek padaku.“Tapi romantis, ya, sama mamanya ponakan,” tukasku padanya.“Sudahlah, Dek. Gak usah mikir macam-macam. Mas mau mandi, hari ini harus ke kantor, ada kerjaan yang harus diselesaikan,” katanya mengelak padaku, sambil berlalu menuju kamar mandi.
Tak kubalas ucapannya, aku segera menelepon sahabatku, Vika, untuk menemaniku menuju ke Desa Sukajadi, ke rumahnya Bik Ijah.“Halo Vik, nanti jam 11 temani aku ya ke rumah Bik Ijah. Ada hal penting yang harus kita selidiki tentang suamiku dan Desi,” ucapku padanya dengan suara setengah berbisik.Vika yang masih belum tahu menahu tentang permasalahanku, dan ingin hendak bertanya jauh padaku, akan tetapi telefon segera ku matikan, saat suamiku itu keluar dari kamar mandi.“Mas, nanti aku keluar ya. Mau main ke rumah Vika,” ucapku padanya berbohong.“Hmm ... baiklah, kamu jaga diri, jangan lama-lama, nanti jangan lupa kabar-kabari mas kalau sudah sampai,” ucapnya sok perhatian.‘Aihhh ... dasar akting,’ batinku. “Mas pergi dulu, ya, sekalian bareng Jay, anterin dia ke sekolah,” pamitnya padaku.Aku mengambil tangannya , lalu salim padanya. Aku tak mengantarnya karena aku harus siap-siap pergi dengan Vika.Saat hendak ke Kamar mandi, aku tak sengaja melihat lewat jendela kamar, bagaimana kemanjaan Desi padanya yang mengantar dia dan Jay ke carport dengan menggandeng mesra lengannya.
Ku remas geram handuk yang melilit tubuhku. ‘Awas kamu, Mas, hari ini kamu harus jelaskan padaku semuanya.’
****
Usai mandi, aku siap-siap, berdandan seadanya. Segera ku ambil ponselku, aku memesan taxi online untuk mengantarku menjemput Vika di kosannya.
Ku raih tas selempang coklatku, dan berjalan menuju pintu rumah. Aku berpapasan dengan Desi yang juga sudah rapi dan tampil cantik. Sepertinya dia juga mau keluar rumah.
“Heh, kamu mau ke mana?” tanyanya ketus padaku.
“Suka-suka akulah mau ke mana. Oiya, namaku, Alena. Sekali lagi panggil Alena. Biasakan sopan sedikit bila bicara dengan orang,” kataku sambil berlalu menuju taxi yang sudah berhenti depan rumah.Taxi kami melaju dengan kecepatan sedang menuju kosan Vika. Sesampainya di sana ku lihat Vika sudah bersiap-siap. Tak menunggu lama, dia langsung naik dan duduk di sebelahku.
“Emang kita mau ke mana, sih, Lena,” tanyanya bingung padaku.
“Ke rumah Bik Ijah, mantan pembantu suamiku,” jawabku.“Loh, ngapain?”“Mengorek info."“Info? Hmm ... info apaan?”“Cerewet banget, sih, kamu. Nanti bakal tau sendiri,” ucapku padanya kesal.Kulihat wajahnya cemberut padaku, tapi tak lama kemudian tersenyum kembali sambil menampakkan gingsulnya padaku. “Oke, deh,” ucapnya sambil mengedipkan sebelah matanya.
Vika ini adalah sahabat lamaku, dia sudah mengenal dan mengerti karakterku. Bahwa ketika ada masalah, aku paling tidak bisa bercerita tentang perasaanku dan masalahku pada orang lain, terkecuali dengan turut serta membawa orang tersebut untuk melihat ataupun ketika harus menyelesaikannya langsung di lapangan, seperti saat ini.Sepanjang perjalanan, kami lebih banyak diam, sambil menikmati lantunan lagu yang diputar di mobil. Sementara ku lihat Vika di sampingku sudah terlelap dalam buaian lantunan lagu covernya Felix Irawan.Satu jam dalam perjalanan, akhirnya kami tiba juga. Setelah bertanya sana-sini, akhirnya kami sampai juga di alamat yang tertulis di kertas yang ku dapati dalam lemari kamar Bik Ijah.Setelah mengetok pintu dan mengucapkan salam beberapa kali, akhirnya pintu dibuka oleh seorang wanita paruh baya. Wanita ini terlihat anggun meski dengan berpakaian sederhana. Meski kepalanya telah dipenuhi sebagian uban, tetapi dengan gaya rambutnya yang ia gulung kebelakang itu membuat wanita ini tampak anggun dan berwibawa.“Ya, Neng. Neng-neng ini siapa, ya, dan hendak apa?” tanyanya menyelidik pada kami. “Ayo, silakan masuk dulu, silakan duduk,” ajaknya pada kami dan mempersilakan kami duduk.Setelah duduk, aku mulai berbasa-basi dan memperkenalkan diri. Ku lihat rasa kaget di wajahnya ketika aku memberitahu bahwa aku istrinya Mas Rafael, majikannya dulu di kota. Ia manggut-manggut, sebelum akhirnya menanyakan maksud kedatangan kami padanya.&ldq
“Pak, stop ... stop dulu,” kataku pada supir grab yang kami tumpangi.Mendadak mobil kami berhenti.“Ada apa, Mbak?” tanyanya bingung.“Mundur, Pak. Mundur dikit mobilnya,” perintahku padanya.Tanpa banyak tanya ia menuruti. Mobil bergerak mundur perlahan. Lalu, aku menyuruhnya menghentikan mobil, ketika sampai di dekat tempat di mana aku melihat wanita yang mirip Desi tadi.“Kenapa, sih, Lena?” Tanya Vika penasaran.Tanpa menjawab, aku mengeluarkan ponsel, lalu memfoto wanita itu yang tengah bersama dengan seorang pria, tetapi pria itu bukan suamiku.Vika melongokkan kepalanya untuk melihat apa yang sedang ku foto. Spontan aku menariknya, dan menutup jendela mobil, agar kami tak terlihat oleh Desi.“Itu sepertinya Desi, baju yang dia pakai sama dengan yang dikenakannya tadi pagi saat berangkat dari rumah,” terangku padanya.Vika hanya manggut-manggut, sambil me
“ Toloongg ... “ jeritku meronta sambil memalingkan wajah darinya.Dia semakin mendekatkan bibirnya ke arahku, dan mendaratkan sebuah ciuman di bibirku. Semakin aku mencoba bergerak untuk melepaskan diri dengan menggoyang-goyangkan kepalaku, dia malah semakin memepetku dan melumat bibirku. Antara terbuai oleh perasaan menikmati dan juga seketika merasa jijik membayangkan bahwa hal yang sama pasti pernah dia lakukan dengan Desi.Dengan sekuat tenaga aku mendorongnya dan menjerit, “Lepaassskannn!!!” Refleks ia melepasku.Sementara aku mengusap kasar bibirku yang ku rasa najis karena telah ternoda oleh lelaki yang telah menghianatiku ini.Sesaat ia mematung menatapku, seperti yang sedang pulih kesadaran. “Maaf, Alena,” ujarnya menarik napas berat.“Aku terbawa perasaan. Tolong jangan pernah ucapkan lagi kalimat perceraian padaku, jika kamu tak ingin aku berbuat macam-macam padamu,” tekannya padaku.
Aku memilih untuk mengunci pintu kamar, tak berniat untuk melihat wajah Mas Rafael, apalagi bila harus sekamar dengannya malam ini. Kejadian tadi sungguh sangat membuatku malu bila mengingatnya. Jujur saja, selama mengenalnya, ia belum pernah mengecup bibirku, apalagi berbuat macam-macam padaku.Menenggelamkan wajah ke kasur dan menutup kepala dengan bantal adalah hal yang kulakukan agar tak terpengaruh oleh perdebatan dan adu mulut mereka berdua di luar yang masih terdengar samar-samar di telingaku. Ku coba menutup mata, berharap bisa tidur nyenyak, meski pikiranku sedang menyusun rencana agar bisa menjebak keduanya. ‘Sepertinya aku harus berpura-pura pulang ke rumah orang tuaku saja,’ pikirku.Esoknya, kala mentari sudah mulai menampakkan sinar dan kehangatannya, aku gegas mempersiapkan diri dan beberapa keperluan pribadi yang ku butuhkan saja selama pergi seminggu itu yang akan ku bawa. Tak lupa juga aku meletakkan beberapa CCTV yang ku sambung di HP yan
Melihatku mengkerutkan kening sambil menatap layar ponselku, membuat Vika mendekatiku dan turut nimbrung. “Kenapa, Len?” tanyanya sambil melihat ponselku, lalu aku kembali memutar rekaman CCTV yang barusan kulihat tadi. “Halah, dasar ganjen! Cowok mana aja diembat!” lontar Vika padaku. “Kamu kenal cowo ini gak, Vik?” tanyaku penasaran. “Gak,” jawabnya. “Kayaknya kita harus cari tahu siapa lelaki itu,” ucapku. “Oke, mari kita came on!” ajak Vika sambil meraih kunci motor dan helmnya. “Loh, ke mana?” tanyaku bingung. “Lakukan penyamaran!” ujarnya sambil menarik kaca helmnya kebawah. “Penyamaran apa?” “Lah, untuk menyelidiki siapa itu si gondrong!” tukas Vika berlalu menuju motornya. Aku menurut saja. Gegas kumasukkan ponselku dalam saku celana, memakai jaket hoodie pinkku dan menutupi kepala dengan topi jaket tersebut, serta tak lupa memakai masker agar penyamaran ini tak ketahuan. Kusodork
Segera kugeser logo telepon hijau ke atas. “Halo, Vik. Apa sudah dapat informasi?” tanyaku tak sabar.Terdengar suara berisik di seberang sana, tidak jelas apa yang sedang Vika katakan. Hanya suara grasa-grusu dan terdengar suara Vika seperti menjerit meminta pertolongan. Perasaanku tak enak, tiba-tiba sebuah pesan masuk dari nomor Vika yang isinya [SOS! Saya memerlukan bantuan darurat. (Dikirim dari jam saya)], disusul dengan pesan lain yang menunjukkan lokasi keberadaannya.Tak berpikir lama, kunyalakan starter motor vespa bututnya. Tangan kanan di handle gas sambil menjalankan motor, sementara tangan kiri memegang HP membuka alamat di mana dia berada dengan memakai aplikasi google map.Berkali-kali aku mencoba menghubunginya. Namun tidak terhubung. Pikiranku makin kacau, belum selesai masalah yang satu malah masalah lain muncul lagi. Kulajukan vespa butut milik Vika dengan kecepatan tinggi. Ketika hendak membelok di pertigaan jalan, motor ya
Untung saja vespanya tidak rusak. Segera ku naiki motor tersebut dan tancap gas, tanpa menghiraukan suamiku yang berteriak memanggilku. Ku biarkan rasa perih di kakiku, yang ada di pikiranku sekarang adalah menemukan keberadaan Desi. Kembali ku periksa pesan masuk di gawaiku tersebut. Mengecek kembali pesan S.O.S dari Desi, dengan mencari titik lokasi keberadaannya lewat maps. Ku coba menelepon nomornya, tetapi tak juga diangkat. Pikiranku makin galau dibuatnya. Setelah 30 menit mengendarai motor menuju lokasi terakhir tempat Vika berada yang dikirim lewat pesan S.O.S tadi, akhirnya aplikasi peta digital yang sedang ku gunakan juga menunjukkan titik posisi keberadaan Vika yang hanya berjarak 300m lagi. Namun, aku bingung, perasaan sekitar lokasi ini padat rumah dan ramai orangnya. Tak mungkin jika tak ada satu orang pun yang tak bisa menolong atau menyelamatkan Vika jika benar ia dalam bahaya. Mencoba bertanya pada beberapa orang yang lalu lalang di sekitarku, dengan
POV Rafael Pertama sekali aku bertemu Alena ketika mobilnya tiba-tiba berhenti mendadak di depan mobilku. Nyaris saja mobilku menabrak mobilnya dari belakang, beruntung aku mendadak merem mobilku. Aku turun dari mobil dan mengetuk pintu mobilnya, ternyata pengemudinya seorang wanita. Yah, pantas saja tak ada aksinya saat tahu bannya bocor. Dengan tulus, ku tawarkan jasaku dan membantunya mengganti ban yang bocor tersebut dengan ban cadangannya. Beberapa kali aku menangkapnya mencuri pandang padaku. Saat aku meliriknya atau sekedar mengajaknya berbicara, hal itu membuatnya gugup dan salah tingkah padaku. Aku hanya tersenyum lucu melihat reaksinya padaku. Setelah pertemuan pertama dengannya, jujur aku tak ada lagi memikirkan tentang dia. Bagiku, menolong orang saat butuh bantuan adalah hal yang wajar. Sama halnya ketika aku membantu Alena mengganti ban mobilnya, tak ada harapan atau perasaan lebih untuk mengenalnya lebih jauh. Meski ku akui Alena adalah gadis y