Aku masih terdiam dan memainkan jari-jari tanganku."Jawab, Mentari. Mbak sudah menganggapmu seperti adik sendiri, dan tidak ingin kamu salah jalan. Jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan padamu."Mbak Aira begitu peduli padaku, dia tidak tahu seperti apa kehidupanku sebelum bekerja disini. Wanita itu selalu berpikir jika aku perempuan baik-baik dan polos. "Sebenarnya kami sudah menikah, mbak," ucapku pelan. "Hah?!"Mbak Aira tampak kaget dengan pernyataanku. Seakan-akan dia tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Iya, aku dan mas Bagas sudah menikah," ucapku lagi. Kali ini dengan suara yang lebih jelas. "Ting!" Lift berbunyi, lantas berhenti. Pintu terbuka, artinya kami sudah sampai di lantai yang kami tuju. Tempat dimana kami bekerja. "Kamu berhutang penjelasan padaku, dan harus kamu jelaskan nanti saat makan siang," ucapnya saat kami keluar dari dalam lift. Mbak Aira memang begitu perhatian padaku, seakan-akan aku memiliki kakak perempuannya yang tidak aku mi
"Sepertinya aku tidak perlu memperpanjang sewa kostan bulan ini," ucapku disela-sela kantuk yang mulai melanda. Aku sudah setengah sadar dengan tubuh berbalut gaun tidur tipis, setelah sebelumnya membersihkan diri sekedarnya dikamar mandi. Entah kapan suamiku itu membeli baju yang tidak menutup dengan sempurna bagian tubuhku ini. Lelaki itu menyuruhku menemaninya di rumah ini tapi ternyata tidak sekedar menemani, tentunya dengan melakukan hal-hal yang ingin dia lakukan. Aku lupa jika kami baru saja menikah, sah melakukan apa saja setelah berbulan-bulan lamanya Mas Bagas mungkin menahan diri. Tentu saja dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan saat ada aku di sampingnya. "Sudah pasti," sahut Mas Bagas, tangannya melingkar di pinggangku, memeluk erat tubuhku dari belakang.Kami tidur dalam satu selimut yang sama seperti layaknya pasangan suami istri. "Tapi kamar kost itu harus di perpanjang kontraknya Minggu ini," gumamku. Meskipun aku mengantuk tapi masih bisa berbicara samar-sama
"Maaf Pak, saya tidak mengingat pernah bertemu dengan anda," sahutku. "Bagaimana jika aku menyebut kota Jogja dan hotel," ucap pria yang konon katanya berusia empat puluh tahun itu. "Deg!" jantungku langsung berpacu. Ini adalah pria yang menolongku dari amukan Ibu Ayu waktu itu. Dulu aku melihatnya lebih muda dari ini, ah itu sudah berlalu bertahun-tahun lamanya. Selain itu aku juga tidak terlalu memperhatikannya, siapa sangka usianya sudah kepala empat. Lalu sekarang aku bertemu dengannya disini, ditempat kerjaku. Apa yang akan beliau pikirkan sekarang. Ah masa bodoh, anak muda yang mencinta suami orang sekarang banyak. Wanita muda yang berpacaran dengan suami orang, seperti jamur di musim hujan. Aku harap Pak Arya menganggapku saat itu juga gadis muda yang mencinta suami orang lain, bukan simpanan seorang pengusaha. "Terimakasih Pak, sudah menolong saya waktu itu." Aku berkata sambil sedikit membungkukkan badan. "Tidak masalah, waktu itu aku seperti melihat seorang gadis muda
Mataku terus menatap kearah jam dinding yang berada di kamar sambil mengeringkan rambutku, sedangkan Mas Bagas aku minta untuk membuat sarapan. Roti tawar dioles margarin dan ditaburi coklat meses, pesanku padanya tadi. Kami kesiangan, lebih tepatnya aku yang akan kesiangan karena Mas Bagas bisa kapan saja datang ke tempat kerjanya sesuka hati. Tadi setelah salat subuh, suamiku itu mengajakku melakukan begituan. Dia bilang jika tidak malam maka pagi pun jadi, dan aku tidak bisa menolaknya. "Udah selesai mas?" tanyaku.Saat ini aku sudah pergi ke dapur, melihat pekerjaan suamiku. "Sudah," sahutnya sambil memperlihatkan beberapa potong roti diatas piring. "Kamu ganti baju dulu, udah aku siapin diatas tempat tidur. Biar ini dimasukkan ke dalam kotak makan, kita sarapan sambil jalan saja." "Sarapan sambil jalan?" tanyanya mengulang perkataanku. "Iya, udah siang sayang," sahutku. "Apa tadi kamu bilang?" Mas Bagas urung pergi ke kamar malah balik dan memelukku yang sedang sibuk menca
"Tunggu ya, mas akan segera kesana." Bukan jawaban atas pertanyaanku yang keluar dari bibir lelaki yang ada di seberang telepon sana tapi perkataan lain. "Iya.""Mungkin agak lama, karena tadi Mas pikir kamu akan pulang malam lagi jadi sekarang belum siap-siap berangkat," ucapnya lagi."Iya." Aku kembali menjawabnya dengan pendek.Aku memilih untuk tetap menunggunya di depan hotel malas kembali ke dalam untuk sekedar duduk di lobinya. Tiga puluh menit berlalu menunggu, aku disapa oleh Pak Arya yang entah kenapa beliau keluar dari kamar hotelnya. Kamu belum pulang Mentari?" tanyanya."Mau saya antar?" ucapnya menawarkan diri."Tidak perlu, Pak. Terrima kasih saya sedang menunggu jemputan.""Siapa yang menjemput?""Suami saya," jawabku jujur apa adanya."Masyaallah, ternyata kamu sudah menikah saya pikir kamu belum menikah.""Saya sudah menikah, Pak. Tapi belum lama ini dan teman-teman di kantor memang hanya beberapa saja yang tahu, hanya teman dekat karena kami belum sempat mengadak
Dengan tergesa-gesa, aku segera berangkat ke stasiun untuk menjemput ibu. Ibu datang dengan menaiki kereta malam, dimana kereta itu akan sampai sebelum subuh. Tadi beliau menelponku dan mengatakan sudah sampai, tapi aku masih asyik tertidur dalam dekapan Mas Bagas. "Tunggu disana yaa Bu, jangan keluar. Riri segera datang," pesanku sebelum menutup sambungan telepon. "Mas antar aja ya, masih malam begini khawatir kalau harus jalan sendiri," ucap mas Bagas menawarkan diri."Ini udah subuh tenang saja aku akan kasih kabar jika sudah sampai."Kukecup singkat suamiku sebelum berangkat, untung saja semalam aku sempat membersihkan diri jadi tadi aku hanya cukup mencuci muka, berwudhu, salat dan berangkat. Taksi online yang aku pesan sudah menungguku di depan halaman. Aku segera naik kendaraan roda empat tersebut, lalu mobil yang aku tumpangi meluncur menuju tempat di mana ibu berada. Sesampainya di stasiun, ibu menungguku dengan setia di depan pintu keluar seperti yang aku minta. Sebelum
Pagi-pagi sekali Ibu sudah bangun seperti biasanya jika di kampung. Kepalaku sangat berat karena aku tertidur cukup malam, sehingga aku terbangun dengan kepala denyut-denyut. "Nduk, besok Ibu pulang ya. Ibu tidak betah lama-lama di sini, lagi pula besok kamu kan harus bekerja juga. Hari ini kita bisa jalan-jalan ke manapun yang kamu mau ibu akan menemanimu.""Tapi Bu ...." ucapku menggantung. Harusnya yang terjadi bukanlah hal seperti ini. Seharusnya semalam kami pergi ke tempat Mas Bagas, lalu ibu akan mengetahui segalanya, kemudian hari ini mungkin kami akan jalan-jalan bertiga. Lalu Ibu tidak akan pulang hingga minggu depan kami mengadakan acara syukuran untuk mengundang teman-temanku dan juga karyawan Mas Bagas. Kemudian setelah Ibu pulang, kami akan meminta orang untuk menyiapkan berkas-berkas dari kampung. Berkas yang diperlukan untuk mendaftarkan pernikahan kami di kantor urusan agama kota ini. Hanya mas Bagas yang memiliki kartu keluarga dan juga identitas kota ini, jadi un
POV BagaskaraHatiku bergemuruh saat melihat paper bag berisi jas seorang pria berada di dalam mobilku, yang aku tahu itu bukan milikku. Ini pasti dibawa oleh Mentari, wanita yang sudah beberapa hari ini menjadi istriku. Bagaimana bisa ada pakaian laki-laki lain di dalam mobilku. Aku yakin ini adalah baju milik atasannya yang bernama Arya itu. Selama beberapa hari ini Mentari bekerja bersamanya dan sering bersama keluar masuk hotel membuat pikiranku berkelana kemana-mana. Membayangkan tubuhnya disentuh oleh orang lain membuatku frustasi.Meskipun aku berusaha untuk menghapusnya, namun pikiran kotor itu selalu saja menghantuiku. Sebenarnya Mentari sudah menceritakannya. Isteriku itu memang sedang mengurus semua pekerjaan yang berhubungan dengan pria itu namun kenapa harus saja selalu ke hotel. Dengan perasaan malas aku akhirnya memutuskan untuk mengantarkan pakaian itu ke kantornya lagi pulang tadi dia berangkat kerja sendiri setelah menjemput ibunya. Sampai di kantornya aku tidak b