Aku terbangun dari tidur seorang diri, kemana perginya suamiku. Tadi setelah makan siang, kami beristirahat dan tidur siang. Mas Bagas yang kelelahan langsung tertidur pulas begitu tubuhnya bersentuhan dengan bantal. Sedangkan aku perlu waktu lebih lama hingga akhirnya mataku bisa terpejam. Aku segera bangkit dari tempat tidur dan keluar dari kamar, mencari dimana suamiku berada atau mungkin bisa membantu kesibukan mertuaku dan mengakrabkan diri dengan wanita yang sudah melahirkan suamiku. "Dia anak tunggal, kamu anak tunggal. Bagiamana jika kalian susah punya anak?" terdengar suara ibu mertuaku berbicara dengan Mas Bagas. Suara itu terdengar dari arah ruang tamu. Aku yang sudah keluar dari kamar akhirnya urung untuk mendekat pada mereka karena mendengar perkataan itu. Aku lebih memilih untuk berdiri di tempatku, entah untuk menguping atau karena kakiku enggan melangkah meninggalkan tempat ini. "Mana ada hubungannya Bu," sahut Mas Bagas. "Buktinya, sampai sekarang dia belum hamil
Seminggu sudah berlalu dari kepergian bapak mertuaku, Mas Bagas terlihat masih belum bisa menerima kenyataan itu. Aku tahu rasanya kehilangan orang yang kita sayangi, meskipun saat itu aku masih kecil, tapi rasa sakitnya masih bisa aku rasakan hingga sekarang. "Mas, kalau kamu masih mau disini bersama ibu, disinilah dulu. Aku akan kembali ke kota sendiri. Nanti aku yang akan melihat dan mengecek keadaan cafe di sana sepulang kerja." Aku berkata sambil membereskan baju-baju kami. Melihat Mas Bagas tidak bersemangat saat bekemas, membuatku mengatakan hal tersebut.Bukan tanpa alasan aku harus segera kembali ke kota. Aku sudah menambah masa cuti dengan alasan kematian mertuaku. Rasanya aku tidak bisa lagi menambah liburan di sini, apalagi hingga menunggu empat puluh hari wafatnya mertuaku. "Nggak apa-apa, mas akan pulang juga. Mana mungkin aku tega membiarkan dirimu pergi sendirian?" Tolak Mas Bagas, tidak setuju dengan ideku."Aku dulu terbiasa kemana-mana sendiri jadi tidak masalah.
Wanita yang Merindukan SurgaPOV Bagas"Mas, aku hari ini nggak usah dijemput, aku akan ke cafe sendirian baru kita pulang bareng," Begitulah yang di katakan Mentari saat menelponku tadi siang saat jam makan dan istirahat. Aku sebenarnya tidak mau istriku itu jalan sendirian pulang kerja, kebiasaan mengantar dan menjemputnya, bagiku seperti sebuah pekerja, seperti sebuah rutinitas. Aku melakukannya dengan senang hati, tapi sepertinya kali ini dia ingin pulang sendiri. Katanya ingin menikmati kendaraan umum lagi. Ada-ada saja, biasanya orang menikmati kemudahan, ini malah ingin mengulang masa-masa sulitnya dulu. Ketukan pintu membuyar lamunanku. "Masuk!" Seruku dari dalam.Seorang karyawan wanita masuk ke dalam ruanganku."Pak, ada tamu yang mencari Bapak. Namanya Pak Galang." Galang, untuk apa dia ke sini menemuiku. Aku sudah memutuskan hubungan dengannya saat dia melakukan hal yang tidak seharusnya dilakukan pada istriku. Bahkan aku memutuskan hubungan bisnis, aku mengambil alih
Setelah mendapat apa yang kunginkan, aku segera kembali ke cafe, tidak mau membuat Mentari menunggu terlalu lama. Dua buah alat perekam suara dengan ukuran sangat kecil telah aku dapatkan, aku akan menyimpannya di dalam tas kerja istriku. "Apa aku terlalu lama meninggalkan dirimu?" tanyaku pada Mentari yang dengan setia masih menungguku di dalam ruanganku. "Tidak, Mas. Mau pulang sekarang?" "Ayo!" Tanpa beristirahat lagi, aku dan Mentari keluar dari ruanganku dan berjalan beriringan keluar cafe. Tujuan kami adalah pulang ke rumah. Seperti biasanya, sesampainya di rumah kami akan membersihkan diri secara bergantian di kamar mandi. Namun jika sedang ingin, kami akan menghabiskan waktu cukup lama di dalam kamar mandi berdua. "Mentari, tolong ambilkan handuk. Ketinggian," teriakku dari dalam kamar mandi. Tadi aku lihat istriku itu sudah menyiapkan handuk di atas tempat tidur, namun aku sengaja tidak membawanya. Untuk apa lagi coba, tentu saja agak aku bisa memanggilnya dari dalam k
"Mbak, kenapa harus aku yang jadi sekretaris pribadinya?" tanyaku pada Mbak Aira. "Lalu siapa lagi, masa aku? kalaupun mencari orang baru butuh waktu, jadi lebih baik kamu saja. Kamu ini gimana sih, orang-orang senang naik jabatan, kamu malah pakai bertanya," tutur Mbak Aira panjang lebar. Entah kenapa, aku merasa tidak nyaman saja menyandang status itu. Padahal semua orang di kantor ini juga baik-baik semua. "Orangnya baik gak, Mbak?" tanyaku pada temanku itu. "Baik, bule lagi."Memangnya kenapa kalau bule, ada-ada saja Mbak Aira ini. Aku memang belum pernah bertemu dengannya, hanya saja namanya sama seperti orang yang pernah ada dalam masa laluku. Ah mungkin nama itu termasuk nama pasaran. Saat atasan baru kami itu datang pertama kali untuk mengenalkan diri, saat itu aku sedang mengambil cuti karena kematian ayah mertuaku. Harapanku yang menginginkan agar atasanku tersebut adalah bukan orang yang aku kenal ternyata hanyalah sebuah harapan. Satu hari sebelum aku bertemu dengan
Aku tersentak kaget, terbangun dari tidurku saat merasakan sebuah sentuhan terasa di bagian dadaku. Reflek aku menepisnya sekuat tenaga. "Layani aku dengan tenang jika tidak mau pisau ini meng0r0k lehermu," suara berat itu terdengar mengintimidasi diriku. Dalam remang cahaya lampu kamarku, aku melihat sosok yang sedang menindih tubuhku adalah bapak sambungku. Pria yang berapa bulan lalu menikah dengan ibuku. "Ibumu sedang tidak ada di rumah kan, jadi percuma kamu berteriak. Selain itu kamu juga akan kehilangan nyawamu jika berteriak," bisiknya lagi. Aku merasakan benda dingin menempel di leherku, membuat tubuhku semakin ketakutan. Harusnya tadi aku ikut ibu pergi ke rumah simbah yang sedang sakit, daripada aku harus tinggal sendirian di rumah ini dengan lelaki yang tidak ada hubungan darah denganku. Tangan kasar itu mulai menjamah tubuhku kembali, aku hanya bisa diam ketakutan dibawah tekanannya. Bagaimanapun juga aku yang masih belia ini takut jika harus menghadapi kematian den
Nay, aku hari ini gak pulang ya. Harus menemani Alex hingga besok. Hari ini kontrakku dengannya berakhir," ucapku pada Nayla teman kosanku sekaligus orang yang tahu segalanya tentang diriku.Karena dari dirinya lah semua pekerjaan dan aktivitas yang aku lakukan saat ini berasal. Kami bekerja di tempat yang sama, pekerjaan yang dijadikan sampingan dari pekerjaan kami sesungguhnya. Agar kami terlihat bekerja normal seperti orang pada umumnya. "Wow, akhirnya berakhir juga kontrakmu dengan bule tampan itu. Setelah itu kamu bebas mau ngapain saja, tapi kalau aku lebih memilih hidup nyaman bersamanya. Terjamin materi dan segalanya," ujar Nayla sambil berbisik dan tertawaSaat ini kami sedang makan siang di kantin kampus. Aku dan Nayla sama-sama kuliah di kampus yang sama meskipun beda angkatan dan jurusan. Nayla lebih dulu masuk ke kampus ini, dan aku satu tahun setelahnya. Dia semester empat sedangkan aku baru semester dua. Kami sama-sama mengambil kuliah di hari Sabtu dan Minggu saat ka
"Masuklah," titahnya. Aku yang sejak tadi hanya bengong didepan pintu langsung masuk kedalam kamar mengikuti perintahnya. "Kamu masih saja terkesima saat melihatku, apa aku begitu menawan," ucapnya sambil memelukku dari belakang begitu aku sudah berada di dalam kamar tersebut. "Tentu saja tuan Alex, siapa yang tidak akan terkesima saat melihatmu. Kamu terlihat sempurna di mata wanita Indonesia." Pria yang sedang memeluk erat tubuhku itu hanya tertawa menanggapi ucapanku. Bibirnya memberikan kecupan ringan di pundakku."Aku bilang tidak suka di panggil tuan, itu tampak seperti aku sudah tua," protesnya. Aku hanya tertawa mendengar ucapannya. Dia seperti tidak sadar diri jika memang usianya jauh lebih tua dariku meskipun wajahnya tetap tampan dan rupawan. Tentu saja, usia tiga puluh tujuh tahun memang bukan usia orang tua. "Mandilah, dan berganti pakaian. Aku sudah menyiapkan baju ganti untukmu di dalam lemari," titahnya sambil mengurai pelukannya. "Apa tubuhku bau keringat?" tan