Apa sih, Mbak?"
Ia melengos dan pergi meninggalkan kami. Ck! Ada-ada saja. Sore hari. Aku dan Mbak Ratih keliling kampung. Banyak warga baru ternyata. Kami bertemu dengan Mbok Salimah, teman dekat Ibu. Beliau menyuruh kami masuk. "Apa kabar kalian, Nduk?" "Alhamdulillah baik, Mbok. Lama nggak ketemu, masih muda aja kelihatannya," godaku. "Ah, kalian bisa saja." Kami mengobrol banyak, hingga akhirnya Mbok Salimah menanyakan kabar Ibu. Justru ini membuatku menautkan alis. Apa maksudnya? "Memang Mbok nggak pernah lihat Ibu?" "Jarang, Nduk. Sekalinya keluar rumah, paling ke warung. Pernah pagi-pagi liat dia keluar pake daster rombeng, diseret-seret sama si Helmi." Aku dan Mbak Ratih menganga tak percaya. Meskipun aku sudah mendengar lolongan kesakitan Ibu lewat video kemarin, tapi aku tak pernah melihatnya secara langsung. "Mbok sering dengar si Ambar juga maki-maki Ibu kalian. Maaf, bukannya Mbok mau ngadu-ngadu, tapi Mbok nggak tega liat Ana--nama Ibu, diperlakukan kasar begitu. Lebih baik kamu bawa pulang dia aja, Fir. Daripada suatu hari nanti kalian yang menyesal." Aku dan Mbak Ratih saling pandang. Memang, semua teka-teki tentang keadaan Ibu ini membuatku pening. Akhirnya, kami pamit dan tak melanjutkan jalan-jalannya. Sepanjang jalan, Mbak Ratih diam, entah apa yang dipikirkannya? "Fir," panggilnya. "Iya, Mbak?" "Sebenarnya, Mbak tadi melihat pergelangan tangan Ibu membiru. Apa itu karena kecapekan? Mbak mau nanya, cuma karena tadi ada Ambar, makanya nggak jadi." Mataku membeliak. Ke mana saja aku? Pantas saja, Ibu selalu menyuruhku keluar ketika beliau akan ganti pakaian. "Serius, Mbak?" "Iya, buat apa Mbak bohong?" Aku berjalan menuju ke rumah, lalu mencari Ibu di segala penjuru rumah. Nihil, hanya ada Bapak dan Mas Lian yang tengah bermain catur. Sementara keluarga Mas Helmi tak kelihatan. Mungkin tengah di kamar. "Mas, Ibu mana?" tanyaku. "Di kamar, Dek. Dari tadi, beliau nggak keluar." Aku segera masuk ke dalam rumah. Lalu melihat Ibu tengah tertidur pulas di ranjangnya. Aku menghela napas, kukira Ibu dibawa pergi lagi oleh Mas Helmi. Aku melipat lengan baju Ibu, mataku menatap nanar. Benar kata Mbak Ratih. Lengan Ibu penuh dengan memar dan kebiru-biruan. "Loh, Fira? Sudah pulang?"Air mataku menetes deras, lalu memeluk beliau. "Bu, jujur sama Fira, Mas Helmi sering menyakiti Ibu?" tanyaku. "Apa maksudmu, Nduk? Mereka sangat baik sama Ibu." "Lalu ini apa?" Ibu kehilangan kata-kata, sakit hatiku bertambah ketika Ibu menganggukkan kepala. "Kenapa Ibu merahasiakan ini dari kami, Bu?" "Untuk apa? Ibu sudah cukup malu dengan perbuatan Ibu di masa lalu. Biar saja, ini mungkin karma karena Ibu pernah membuat kalian sakit hati." Hatiku mencelos. Meskipun begitu, ini tak bisa dibenarkan dan tak bisa dibiarkan! Aku pun mengetuk pintu kamar Mas Helmi. Hingga akhirnya...."Jangan, Fira!" Ibu menghentikan tanganku yang ingin mengetuk kedua kalinya. "Lepas, Bu. Mereka harus tanggung jawab, enak saja!" "Apa, sih, ribut-ribut aja?" "Mas, keterlaluan kamu! Kenapa badan Ibu sampai begini?" Wajah Mas Helmi dan Mbak Ambar memucat. Aku sempat melirik ke dalam kamar. Tampak seprai berantakan, sementara Naura tidur di bawah. Ck, tak berperasaan! "Kalau begitu, bawa saja Ibu ke kampungmu, Fira! Kamu pikir enak, ngerawat orang yang sudah membuat kita malu, hah?" Mataku melotot mendengar ucapannya. Benar-benar! "Itu sudah jadi tanggung jawabmu, Mas!" "Salah! Ini semua harusnya ditanggung oleh Mas Cahyo!" Ia sempat melihat ke segala arah, lalu menghembuskan napas kasar mengetahui jika kakak pertam kami tak ada. "Iya, tapi kami sudah menggantinya dengan yang lain. Kamu enak cuma modal tenaga aja. Kamu pikir, cari uang susah? Imah dan Fira ngasih uang bulanan wajar, sementara aku kamu mintai sebulan dua juta! Kamu pikir, aku ngeden juga jadi duit?" ucap Mbak Ratih berapi-api. Aku sampai menganga dibuatnya. Kami sama-sama terdiam. Istri Mas Cahyo ini memang jarang marah. Sekalinya marah, kami semua akan mengatupkan mulut serentak. "Ya sudah, biar aku bawa pulang saja Ibu." "Baik, tapi kamu serahkan dulu setengah dari tanahmu itu." Mataku membelalak lebar, di saat genting seperti ini, Mas Helmi masih saja memikirkan tanah? "Gila kamu, Helmi! Jangan makan yang bukan menjadi hakmu. Dosa!" Kini Bapak ikut buka suara. "Bapak pikir, aku ngerawat Ibu ini nggak capek? Belum lagi Ambar yang harus kehilangan waktunya untuk sekedar kumpul sama temen-temennya." Aku menghela napas panjang. Memang betul kata orang, di antara banyaknya anak, pasti ada satu aja yang berbeda. Dan di sini, aku melihat Mas Helmi lah yang paling berbeda. Mbak Ratih memegangi keningnya. Ia pasti ikutan pusing juga. Apalagi, selama ini ia ikut memikul beban ini, aku jadi tak enak dengannya. Mengingat Mas Cahyo sudah tak bekerja setahun belakangan ini, hanya mengandalkan uang sewa dua ruko warisan dari Bapak. "Tapi kenapa sampai Mas tega memukul Ibu?" "Itu karena Ibu susah diatur. Kamu gak tahu rasanya, Fir. Mbak capek ngadepin ibumu yang seperti anak kecil ini," kata Mbak Ambar.b"Benar begitu, Bu? Ibu nggak disuruh macam-macam apalagi dipaksa untuk bekerja, kan?" Aku bertanya pada Ibu sekaligus melirik ke arah pasangan suami istri yang sudah kehilangan hati nurani itu. "Iya, benar. Memang Ibu saja yang kadang kayak anak kecil. Sudah, jangan diperpanjang lagi." Aku mengangguk, kemudian masuk ke dalam kamar bersama Ibu, melanjutkan makanan tadi yang sempat terabai. --Malam tiba. Mas Cahyo berencana mengadakan acara bakar-bakar di depan rumah. Mumpung sedang berkumpul, katanya. "Sayang banget Imah nggak bisa ikut ya, Dek," ucap Mbak Ratih. "Hehe, iya, Mbak. Maklum, dia masih sakit hati akan luka masa lalu. Daripada aku, Mbak Imah sampai diludahi tetangga karena memiliki Ibu tukang selingkuh. Kalau ingat itu, aku yang tak mengalaminya aja sakit hati, apalagi Ibu." Mbak Ratih mengangguk. "Kamu yang sabar, ya!" "Iya, Mbak. Lagipula itu sudah berlalu. Alasan Mbak Fatimah nggak mau ke sini, selain nggak mau ketemu sama Ibu juga kan karena males ketemu Bu Romlah." "Yang sudah jadi haji itu?" Aku mengangguk. "Dia sudah tua. Kupikir sifatnya sudah berubah, malah masih saja begitu." Mas Lian datang membawa ayam yang sudah dicabut bumbunya. Aku melumurinya dengan lada dan juga bawang putih, lalu meletakkannya di atas bara. Mbak Ratih bertugas mengipasi. Jangan tanya Mbak Ambar, karena dia sedang duduk manis sembari memvideokan kami yang sedang repot ini. Beberapa kali kudengar Mbak Ratih menggerutu. "Sudah, Mbar, biarkan saja." Mbak Ratih mengangguk, kemudian memanggil anak-anak dan yang lain karena makanan sudah matang. Aku memisahkan bagian paha untuk Ibu. Giginya sudah tak kuat lagi makan daging dada yang memang banyak seratnya, jadi aku memilihkan bagian paha dan meletakkannya di depan beliau. "Loh, kok, pahanya buat Ibu, Fir?" "Ya memang kenapa?" "Kan aku juga suka paha." "Kan itu ada sepotong lagi." Ia terdengar mencebik. Dasar rakus, aku tahu dia akan mengambil dua paha itu sekaligus!"Apa kamu tahu, Helmi masuk rumah sakit?" tanya Mbak Imah. "Apa Mbak Imah dan Fira kerja sama dengan Mas Helmi? Kemarin Fira juga ngomong gitu ... Loh." Suara Mbak Ambar menggantung saat kamera kubalik menggunakan kamera belakang. Bisa kulihat ia tertegun beberapa saat. Mungkin ia terkejut, karena sedari kemarin hanya menganggapku berbohong. "I-itu, Mas Helmi?" tanya Mbak Ambar, setelah menguasai diri. "Ya, itu suami yang kamu bilang kerja sama dengan kami. Bagaimana caranya kami kerja sama kalau keadaannya juga begitu?" tanya Mbak Imah, seraya terisak. Aku melihat air mata Mbak Ambar mengalir, lalu kuhembuskan napas yang terasa sesak. Apa ia sungguh-sungguh akan menceraikan Mas Helmi jika kenyataannya begini? "Aku akan ke sana," ucap Mbak Ambar. "Nggak perlu. Masih ada kami, keluarganya. Kamu fokus lah dulu pada kesembuhanmu sendiri. Jangan pedulikan Helmi," ucap Mbak Imah sambil mematikan ponsel. Hening. Isak tangis Mbak Imah masih terdengar. Meski ia bawel, cerewet, dan bah
"Halo, Fir? Kok diam? Mana Mas Helminya?" Aku semakin bingung saat mendengar Mbak Ambar menanyakan Mas Helmi. Tak apakah jika aku memberitahunya? "Mbak, tolong pikirkan lagi soal perceraian itu," ucapku pada akhirnya. Terdengar helaan napas panjang dari arah seberang telepon. Mungkin, ini berat bagi Mbak Ambar. "Berat, Fir. Apalagi kakakmu kasusnya sudah sampai menikahi orang lain dan tak memberitahuku. Apa kamu yakin, bakal diam saja kalau Lian nikah lagi? Apa kamu yakin, bakal menerima semuanya meski itu hanyalah masa lalu?" Lagi-lagi aku terdiam. Benar, beban setiap orang itu berbeda. Aku yakin, yang ditimpa Mbak Ambar sekarang ini begitu berat. Apalagi ini menyangkut mental. "Mana Mas Helminya? Biar Mbak suruh untuk menandatangi dan mengirimkannya sekarang juga." "Mas Helmi, ada di rumh sakit." "Rumah sakit? Apa Naura sakit? Atau, Ibu?" "Mbak, apa kamu pikir, Mas Helmi tidak bisa sakit sehingga yang kamu tanyakan hanyalah mertuamu dan anakmu sendiri. Mas Helmi, kecelakaan
"Apanya?" "Retak di bagian batok kepala, pendarahan di otak, dan juga patah kaki kiri." Mbak Imah langsung beristighfar. Benar memang, di antara satu garis keturunan, pasti ada satu yang berbeda, dan di keluarga kami adalah Mas Helmi. Entah sudah berapa kali masalah dan musibah yang menghampirinya. Kalau dulu, masih ada Bapak yang menjadi jalan mengadu kami, kalau sekarang? Kami harus bergotong-royong demi menyebabkan masalah yang ia lakan. "Setengahnya dicover bpjs katanya, Mbak. Jadi kita hanya perlu setengah lagi. Apa, kita perlu menjual rumah Mas Helmi di Bogor?" "Tapi, kalau kita ke sana nanti, bagaimana, Fir?" Aku menghela napas. Benar, di mana tempat kami akan tinggal jika suatu hari nanti kami ke sana? Karena masih banyak saudara dari Ibu, sehingga sudah pasti suatu hari nanti akan berkunjung. "Nanti, biar Fira yang atur, Mbak. Sekarang aku mau masuk dulu," ucapku pada Mbak Imah saat melihat Mas Surya keluar. Aku pun masuk, melihat berbagai selang yang dipasang di tubuh
"Apa, Mas?" "Nih." Dengan dad berdebar, segera kusaut ponsel dari Mas Lian. Setelah mengatur debar dalam dada, aku mulai berbicara. "Iya, saya Fira." "Korban bernama Pak Helmi, menjadi korban kecelakaan dengan mobil. Saat ini kondisinya kritis.""Ya Allah! Di rumah sakit mana, Bu?" Setelah mengantongi nama rumah sakitnya, segera aku menelepon Mbak Imah supaya bisa menemani ke sana. Untuk Mas Cahyo, mungkin nanti akan kuhubungi dan berangkat terpisah, mengingat jarak kami yang lumayan jauh. "Sudah siap, Fir?" tanya Mbak Imah. "Sudah, Mbak. Mas, tolong jagain Aya, ya. Kalau kamu kuajak, kasihan Ibu harus jagain dua cucunya." "Iya, beres. Sudah, sekarang kamu berangkat saja sana. Nggak usah pikirin yang di rumah, semoga Mas Helmi segera pulih. Jangan lupa kasih kabar, ya," ucap Mas Lian yang segera kuangguki. Setelah memakai jaket, kami langsung berangkat. Di sepanjang jalan tak hentinya aku beristighfar, semoga tak ada satu pun hal buruk yang menimpa kakakku itu. "Kok bisa kec
Habis magrib, Mas Helmi datang ke sini. Mas Surya pun ke sini lagi bersama Mbak Imah, karena aku kekeuh tak ingin memberikan surat itu. "Wih, ngumpul, nih." "Hel, tarik napas dulu," ucap Mas Surya. "Kenapa sih, Mas?" "Sudah, tarik napas dulu." Mas Helmi menuruti perkataan Mas Surya dan melakukannya. Saat sudah selesai, Mas Surya segera memberikan amplop tadi pagi. "Apa ini?" tanya Mas Helmi. "Buka saja." Mas Helmi pun mengambil amplop itu dengan bingung, lalu membuka isinya. Matanya membeliak saat membaca kop suratnya. "Pengadilan? Mas Surya mau menceraikan Mbak Imah?" Pletak! Mbak Imah melemparkan sendok ke kepala Mas Helmi. "Ngawur ngomongnya. Buka dulu. Lagian, nggak kamu baca itu siapa pengirimnya?" Mas Helmi tak menghiraukan ucapan Mbak Imah, lalu membuka surat itu. Matanya dua kali lebih besar dari yang tadi. Tentu saja, ia pasti amat terkejut karena itu. "I-ini, nggak benar, kan?" "Masa iya kami prank?" "Nggak mungkin, Mas. Masa iya Ambar menceraikanku?" Mas Su
"Mas!" teriakku. Mas Lian dan Ibu yang tengah menggendong Aya, segera menghampiri saat aku berteriak. Bagaimana aku tak marah, jika surat dari pengadilan ada di tanganku? "Kenapa, Dek?" "Apa ini?" "Maksudnya?" "Kamu mau menceraikan aku?" "Hahhh? Apa sih Dek? Jangan mengada-ada." "Lalu ini apa?" Mas Lian segera mengambil surat itu dari tanganku dan membacanya. Matanya membeliak, lalu menepuk jidatnya sendiri. Kenapa ia berekspresi seperti itu? "Ini, bukan untuk kam, Dek. Tapi untuk Mas Helmi." "Apa?" Kali ini giliran aku yang terkejut, hingga Athaya menangis karena mendengar teriakan kami. "Uuh, Sayang, maafkan Bunda, ya. Kaget, ya?" tanyaku sambil mengelus kepala anak yang sudah aktif itu. "Mas Helmi? Apa Mbak Ambar menceraikannya?" "Bisa jadi." "Tapi kan dia lagi hamil loh, Mas. Mana boleh cerai." "Kan perkiraan minggu depan lahiran." Aku menepuk jidat. Benar-benar telmi aku ini. Kenapa Mbak Ambar menggugat cerai Mas Helmi? Mengingat kali terakhir sebelum ia pergi, si