Share

Bab 5

Apa sih, Mbak?" 

Ia melengos dan pergi meninggalkan kami. Ck! Ada-ada saja. 

Sore hari. 

Aku dan Mbak Ratih keliling kampung. Banyak warga baru ternyata. Kami bertemu dengan Mbok Salimah, teman dekat Ibu. Beliau menyuruh kami masuk. 

"Apa kabar kalian, Nduk?" 

"Alhamdulillah baik, Mbok. Lama nggak ketemu, masih muda aja kelihatannya," godaku. 

"Ah, kalian bisa saja." 

Kami mengobrol banyak, hingga akhirnya Mbok Salimah menanyakan kabar Ibu. Justru ini membuatku menautkan alis. Apa maksudnya? 

"Memang Mbok nggak pernah lihat Ibu?" 

"Jarang, Nduk. Sekalinya keluar rumah, paling ke warung. Pernah pagi-pagi liat dia keluar pake daster rombeng, diseret-seret sama si Helmi." 

Aku dan Mbak Ratih menganga tak percaya. Meskipun aku sudah mendengar lolongan kesakitan Ibu lewat video kemarin, tapi aku tak pernah melihatnya secara langsung. 

"Mbok sering dengar si Ambar juga maki-maki Ibu kalian. Maaf, bukannya Mbok mau ngadu-ngadu, tapi Mbok nggak tega liat Ana--nama Ibu, diperlakukan kasar begitu. Lebih baik kamu bawa pulang dia aja, Fir. Daripada suatu hari nanti kalian yang menyesal." 

Aku dan Mbak Ratih saling pandang. Memang, semua teka-teki tentang keadaan Ibu ini membuatku pening. 

Akhirnya, kami pamit dan tak melanjutkan jalan-jalannya. Sepanjang jalan, Mbak Ratih diam, entah apa yang dipikirkannya? 

"Fir," panggilnya. 

"Iya, Mbak?" 

"Sebenarnya, Mbak tadi melihat pergelangan tangan Ibu membiru. Apa itu karena kecapekan? Mbak mau nanya, cuma karena tadi ada Ambar, makanya nggak jadi." 

Mataku membeliak. Ke mana saja aku? Pantas saja, Ibu selalu menyuruhku keluar ketika beliau akan ganti pakaian. 

"Serius, Mbak?" 

"Iya, buat apa Mbak bohong?" 

Aku berjalan menuju ke rumah, lalu mencari Ibu di segala penjuru rumah. Nihil, hanya ada Bapak dan Mas Lian yang tengah bermain catur. Sementara keluarga Mas Helmi tak kelihatan. Mungkin tengah di kamar. 

"Mas, Ibu mana?" tanyaku. 

"Di kamar, Dek. Dari tadi, beliau nggak keluar." 

Aku segera masuk ke dalam rumah. Lalu melihat Ibu tengah tertidur pulas di ranjangnya. Aku menghela napas, kukira Ibu dibawa pergi lagi oleh Mas Helmi. 

Aku melipat lengan baju Ibu, mataku menatap nanar. Benar kata Mbak Ratih. Lengan Ibu penuh dengan memar dan kebiru-biruan. 

"Loh, Fira? Sudah pulang?"

Air mataku menetes deras, lalu memeluk beliau. 

"Bu, jujur sama Fira, Mas Helmi sering menyakiti Ibu?" tanyaku. 

"Apa maksudmu, Nduk? Mereka sangat baik sama Ibu." 

"Lalu ini apa?" 

Ibu kehilangan kata-kata, sakit hatiku bertambah ketika Ibu menganggukkan kepala. 

"Kenapa Ibu merahasiakan ini dari kami, Bu?" 

"Untuk apa? Ibu sudah cukup malu dengan perbuatan Ibu di masa lalu. Biar saja, ini mungkin karma karena Ibu pernah membuat kalian sakit hati." 

Hatiku mencelos. Meskipun begitu, ini tak bisa dibenarkan dan tak bisa dibiarkan! 

Aku pun mengetuk pintu kamar Mas Helmi. Hingga akhirnya....

"Jangan, Fira!" Ibu menghentikan tanganku yang ingin mengetuk kedua kalinya. 

"Lepas, Bu. Mereka harus tanggung jawab, enak saja!" 

"Apa, sih, ribut-ribut aja?" 

"Mas, keterlaluan kamu! Kenapa badan Ibu sampai begini?" 

Wajah Mas Helmi dan Mbak Ambar memucat. Aku sempat melirik ke dalam kamar. Tampak seprai berantakan, sementara Naura tidur di bawah. Ck, tak berperasaan! 

"Kalau begitu, bawa saja Ibu ke kampungmu, Fira! Kamu pikir enak, ngerawat orang yang sudah membuat kita malu, hah?" 

Mataku melotot mendengar ucapannya. Benar-benar! 

"Itu sudah jadi tanggung jawabmu, Mas!" 

"Salah! Ini semua harusnya ditanggung oleh Mas Cahyo!" 

Ia sempat melihat ke segala arah, lalu menghembuskan napas kasar mengetahui jika kakak pertam kami tak ada. 

"Iya, tapi kami sudah menggantinya dengan yang lain. Kamu enak cuma modal tenaga aja. Kamu pikir, cari uang susah? Imah dan Fira ngasih uang bulanan wajar, sementara aku kamu mintai sebulan dua juta! Kamu pikir, aku ngeden juga jadi duit?" ucap Mbak Ratih berapi-api. Aku sampai menganga dibuatnya. 

Kami sama-sama terdiam. Istri Mas Cahyo ini memang jarang marah. Sekalinya marah, kami semua akan mengatupkan mulut serentak. 

"Ya sudah, biar aku bawa pulang saja Ibu." 

"Baik, tapi kamu serahkan dulu setengah dari tanahmu itu." 

Mataku membelalak lebar, di saat genting seperti ini, Mas Helmi masih saja memikirkan tanah? 

"Gila kamu, Helmi! Jangan makan yang bukan menjadi hakmu. Dosa!" Kini Bapak ikut buka suara. 

"Bapak pikir, aku ngerawat Ibu ini nggak capek? Belum lagi Ambar yang harus kehilangan waktunya untuk sekedar kumpul sama temen-temennya." 

Aku menghela napas panjang. Memang betul kata orang, di antara banyaknya anak, pasti ada satu aja yang berbeda. Dan di sini, aku melihat Mas Helmi lah yang paling berbeda. 

Mbak Ratih memegangi keningnya. Ia pasti ikutan pusing juga. Apalagi, selama ini ia ikut memikul beban ini, aku jadi tak enak dengannya. Mengingat Mas Cahyo sudah tak bekerja setahun belakangan ini, hanya mengandalkan uang sewa dua ruko warisan dari Bapak. 

"Tapi kenapa sampai Mas tega memukul Ibu?" 

"Itu karena Ibu susah diatur. Kamu gak tahu rasanya, Fir. Mbak capek ngadepin ibumu yang seperti anak kecil ini," kata Mbak Ambar.b

"Benar begitu, Bu? Ibu nggak disuruh macam-macam apalagi dipaksa untuk bekerja, kan?" Aku bertanya pada Ibu sekaligus melirik ke arah pasangan suami istri yang sudah kehilangan hati nurani itu. 

"Iya, benar. Memang Ibu saja yang kadang kayak anak kecil. Sudah, jangan diperpanjang lagi." 

Aku mengangguk, kemudian masuk ke dalam kamar bersama Ibu, melanjutkan makanan tadi yang sempat terabai. 

--

Malam tiba. 

Mas Cahyo berencana mengadakan acara bakar-bakar di depan rumah. Mumpung sedang berkumpul, katanya. 

"Sayang banget Imah nggak bisa ikut ya, Dek," ucap Mbak Ratih. 

"Hehe, iya, Mbak. Maklum, dia masih sakit hati akan luka masa lalu. Daripada aku, Mbak Imah sampai diludahi tetangga karena memiliki Ibu tukang selingkuh. Kalau ingat itu, aku yang tak mengalaminya aja sakit hati, apalagi Ibu." 

Mbak Ratih mengangguk. 

"Kamu yang sabar, ya!" 

"Iya, Mbak. Lagipula itu sudah berlalu. Alasan Mbak Fatimah nggak mau ke sini, selain nggak mau ketemu sama Ibu juga kan karena males ketemu Bu Romlah." 

"Yang sudah jadi haji itu?" 

Aku mengangguk. 

"Dia sudah tua. Kupikir sifatnya sudah berubah, malah masih saja begitu." 

Mas Lian datang membawa ayam yang sudah dicabut bumbunya. Aku melumurinya dengan lada dan juga bawang putih, lalu meletakkannya di atas bara. Mbak Ratih bertugas mengipasi. 

Jangan tanya Mbak Ambar, karena dia sedang duduk manis sembari memvideokan kami yang sedang repot ini. Beberapa kali kudengar Mbak Ratih menggerutu. 

"Sudah, Mbar, biarkan saja." 

Mbak Ratih mengangguk, kemudian memanggil anak-anak dan yang lain karena makanan sudah matang. 

Aku memisahkan bagian paha untuk Ibu. Giginya sudah tak kuat lagi makan daging dada yang memang banyak seratnya, jadi aku memilihkan bagian paha dan meletakkannya di depan beliau. 

"Loh, kok, pahanya buat Ibu, Fir?" 

"Ya memang kenapa?" 

"Kan aku juga suka paha." 

"Kan itu ada sepotong lagi." 

Ia terdengar mencebik. Dasar rakus, aku tahu dia akan mengambil dua paha itu sekaligus! 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status