Share

Kertas Buram

Seluruh pandangan satu kelas tiba-tiba berpusat pada bangku paling belakang pojokan. Sosok siswi dengan rambut kuncir kuda itu masih tetap berani menatap Pak Budi dengan keberanian yang dimilikinya.

Pak Budi diam di tempatnya, sementara Neyza masih belum juga melanjutkan kalimatnya.

"Pendidikan di Indonesia, belum juga bisa berkembang karena semua tokohnya. Mulai dari siswa sendiri, masyarakat, pemerintah, dan yang paling penting adalah guru." Ulyn berbicara tanpa bangkit dari tempat duduknya. "Bapak nggak bisa menyalahkan siswa, seolah nggak ada faktor lain yang lebih berpengaruh."

Neyza menolehkan wajahnya ke arah Ulyn yang duduk di sebelahnya. Ia mengembangkan senyum, cukup merasa senang karena Ulyn menguatkan argumennya.

"Kalian benar. Tetapi kedisiplinan siswa juga penting sebagai upaya kecil untuk membangun pendidikan yang layak."

Neyza mengangguk dengan tenang, baru setelah itu keluar dari bangkunya dan melangkah maju menghampiri satu guru dengan dua siswa laki-laki di depan sana.

"Saya setuju dengan Bapak, upaya kecil seperti itu juga perlu diperhatikan. Tapi saya nggak setuju, kalau cara Bapak memperingatkan mereka dengan membentak keras seolah siswa yang selalu salah." Neyza mengalihkan pandangannya dari Pak Budi, ke arah dua siswa laki-laki yang mengaku baru saja membeli mie ayam karena disuruh seseorang.

"Jadi siapa yang nyuruh kalian beli mie ayam itu?" tanya Neyza pada Eno dan Abi sebagai tersangka di tengah adu argumen ini.

"Willy," balas Eno dengan tangan yang masih membawa semangkuk mie ayam.

Willy masih duduk di bangkunya, dengan sedikit membuang muka. Di depannya juga ada Dinda yang menunduk pasrah, karena takut namanya disebut oleh dua laki-laki di depan sana.

Neyza menautkan kedua alisnya. "Ya, Willy itu siapa? Yang mana anaknya?"

Abi segera mengarahkan telunjuknya pada Willy, diikuti Eno yang memainkan dagunya karena tangannya sibuk dengan mangkuk mie ayam. Neyza buru-buru menoleh, mendapati wajah tengil Willy di bangku nomor dua dari depan sebelah kanan.

"Willy Rafardhan?"

Dalam sekali pandang, Neyza langsung bisa menebak sosok Willy Rafardhan yang ternyata teman satu kelasnya di kelas 10F dua tahun lalu.

"Apa lo inget, kita pernah satu kelas?"

Ingin rasanya Willy menghentikan waktu dan pulang ke rumah saat ini juga. 

"Kenapa diem aja? Oh, mungkin gue salah orang."

Willy buru-buru berdiri dari duduknya, membuat Neyza menatapnya dengan senyum yang lega.

"Lo benar. Gue Willy Rafardhan yang pernah satu kelas sama lo di kelas 10F."

Neyza hanya diam saja mendengar bagaimana Willy menjawab pertanyaan dengan yakin setelah pura-pura salah orang. Sudah hafal betul, sikap Willy yang selalu sombong dan penyuruh teman-temannya dengan imbalan traktir makan.

"Maafkan saya, Pak. Saya nyuruh mereka membeli mie ayam, karena itu adalah perintah Dinda."

Dinda segera mengangkat wajah dari bangkunya. "Willy! Gue minta mie ayam sama lo, karena lo kalah taruhan. Gue nggak minta Eno sama Abi yang harus beli, dan juga nggak nyuruh mereka buat beli mie ayam sampai telat masuk kelas."

...

"Boleh aku pinjam pensil?"

Vano takut-takut menatap wajah galak Ulyn sepenuhnya. Jadi ia tidak menengok ke belakang lurus-lurus, karena bisa saja Ulyn melahapnya secara tiba-tiba.

"Lo nggak ada niat sekolah, ya?"

Aktivitas menulis Neyza terhenti seketika, matanya langsung mencari suara Ulyn yang nyaris membuatnya terkejut. Hingga pulpennya jatuh di bawah meja, baru ia sadar jika sikap Ulyn masih sama seperti dua tahun lalu saat keduanya berada di kelas yang sama.

"Maaf, tapi..."

Ulyn menghela napasnya dengan sedikit rasa kesal. "Nggak usah minta maaf. Gue cuma nanya, lo sebenarnya ada niat sekolah atau nggak?"

Vano terlihat terus menunduk, bahkan semakin menunduk dari sebelumnya. Jangankan menjawab pertanyaan Ulyn, menatap wajah gadis itu dengan sepenuhnya saja rasanya sangat menakutkan baginya.

"Ck! Butuh berapa pensil?"

Vano mengangkat jari telunjuknya lurus ke atas. Sementara Ulyn mengeluarkan satu lusin pensil dan melemparkannya pada Vano dengan cuma-cuma.

"Ambil saja."

Vano menerima dengan bingung. "Kenapa banyak banget? Aku cuma butuh satu."

Sekali lagi, Vano tidak berani menatap Ulyn. Namun karena terlalu lama ia menunduk, akhirnya mengangkat wajah dengan sendirinya.

Ulyn menaikkan satu alis, menunggu kata apalagi yang akan keluar dari bibir Vano. Sayangnya, laki-laki penakut itu justru segera berbalik menatap depan.

Neyza merasa perutnya sedikit geli, melihat bagaimana sikap galak Ulyn terhadap Vano si siswa laki-laki cupu dan penakut. Ternyata cukup banyak juga kisah yang bisa ia lihat dari kelas ini, bahkan sebelum satu hari pelajaran penuh.

"Vaneyza!"

Sebuah laki-laki bertubuh tinggi dari ambang pintu kelas, bersama dua laki-laki lain dan satu perempuan memanggil Neyza yang masih duduk di bangkunya.

"Makasih ya!"

Neyza mengerutkan dahinya. "Buat apa?"

"Buat argumen lo di kelas tadi pagi," ucap Willy.

Neyza sama sekali tidak mengerti, kemana sebenarnya arah pembicaraan Willy.

"Maksud lo?"

Willy mengembangkan senyum manisnya. Sementara tangan kanannya buru-buru menarik sebuah snack dan susu kotak dari Dinda juga Eno. Baru setelah itu, membiarkan langkahnya pergi berjalan ke arah bangku belakang sana, lalu menarik sebuah kursi dan duduk di depan Neyza.

Neyza merasa tambah bingung, beberapa kali mengedipkan kelopak matanya.

"Nggak usah terlalu dipikirin tentang ucapan terima kasih gue tadi." Willy menaruh makanan bawaannya tadi di atas meja bangku Neyza. "Makan sama minum aja snack dan susu kotak ini."

Neyza tidak langsung menurut. Ia mendekatkan snack dan susu kotak itu pada Willy, membuat pemberinya mengerutkan dahi.

"Gue nggak suka susu sama snack. Apalagi yang ngasih, adalah anak paling ngeselin di kelas 10F dulu."

Dinda, Eno, Abi, menahan tawanya yang hampir meledak. Sementara Ulyn yang duduk di dekat Neyza dan Willy hanya geleng-geleng heran. Willy sendiri, merasa posisinya sudah skakmat.

Dari kelas 10, satu sekolah juga tahu kalau laki-laki bernama lengkap Willy Rafardhan itu banyak dikenal karena sering tidur di kelas, menyontek saat ujian, juga menyalin pekerjaan temannya. Neyza sudah wanti-wanti dirinya sendiri, tidak ingin berurusan dengan laki-laki pemalas itu. Karena kalau tidak, kemungkinan besar sifat malas itu akan menular.

Willy mengembangkan senyum hambar. "Kalau gitu.. Apa yang lo suka?"

Neyza pun ikut tersenyum hambar. "Gue suka, kalo nggak ada siapapun yang ganggu gue waktu gue pengen nulis di kelas." Neyza mengucapkannya dengan sedikit tekanan kesal di tenggorokannya, sementara ia beranjak bangkit dari kursi dan keluar kelas tanpa mempedulikan Willy.

Sejak tahu bagaimana sikap Willy di kelas 10, selanjutnya Neyza benar-benar tidak ingin mengenal laki-laki itu lagi. Selain pemalas, Neyza juga membenci sikap Willy yang terlalu sombong. Meski untuk sekarang, Neyza tidak tahu pasti bagaimana sikap Willy, namun prinsipnya tidak akan berubah kalau Willy tidak akan pernah dibiarkan mendekatinya.

"Awas kalian!"

Willy melewati ketiga temannya, mengikuti Neyza sebelum jauh pergi dari kelas.

"Neyza! Tunggu gue!"

Kepala Neyza ditolehkan ke arah suara yang memanggilnya. Helaan napas panjang ia lakukan, sementara langkah kaki ia percepat.

"Bukan satu atau dua kali, Alfa!" Suara Bu Asti menggema sampai luar kelas 12I, bahkan telinga Neyza yang baru saja melewatinya. "Sebenarnya kamu ada niat untuk sekolah nggak sih? Ibu jenuh selalu memarahi kamu setiap hari. Apa kamu sendiri nggak merasa bosan dengan semua perkataan kasar Ibu?"

Neyza merasa badannya tertarik ke belakang, seolah semesta menginginkannya untuk menolong siswa yang harga dirinya sedang dipermainkan. Di depan ruang kelas 12I itu, ia berhenti melangkah dan berbalik menuju ambang pintu.

"Nilaimu selalu tidak menyentuh KKM, tugas-tugas yang Ibu berikan, juga sama sekali tidak kamu kerjakan." Ucapan itu kembali Neyza dengar dengan begitu jelas, ketika tepat di depannya Bu Asti sedang memarahi Alfa. "Mau jadi apa kamu nak? Huh! Ibu bahkan nggak yakin kamu akan lulus atau tidak tahun ini."

"Kenapa Ibu ngomongnya gitu?"

Suara Neyza mendominasi ruangan. Di dalam kelas 12I itu, hanya ada satu siswa dan satu guru yang tidak lain adalah Bu Asti dan Alfa.

"Kenapa nggak?" balas Bu Asti suara tegasnya. "Alfa pantas mendapat peringatan seperti itu. Dia sepertinya sudah nggak ada lagi minat untuk bersekolah. Ibu sendiri bingung harus bagaimana dalam memberi Alfa pengertian."

"Kenapa bingung?" Neyza kembali menanyakan alasan pada Bu Asti. "Bukannya tugas guru adalah mengajar, melatih, memberi penilaian dan mendidik siswanya? Kalau Alfa bisa jadi seperti ini, berarti 99% Ibu yang bertanggung jawab."

"Kenapa saya?"

"Selama ini, bukannya Ibu yang mendidik Alfa? Ada sedikit melesetnya, bukan cuma Alfa yang harus disalahkan."

Bu Asti diam sejenak mendengarkan bagaimana Neyza selalu menyudutkannya dengan kenyataan. Sementara Alfa di hadapannya, hanya menunduk tanpa mengatakan apapun sama sekali.

"Bu Asti, saya berbicara seperti ini karena jujur sebagai murid saya nggak terima selalu disalahkan." Neyza melangkahkan kakinya untuk lebih dekat dengan Bu Asti. "Tolong sedikit berikan harga diri untuk siswa, agar kita bisa merasa nyaman untuk sekolah."

Willy baru sampai di tempat Neyza awalnya berhenti. Telinganya langsung bisa mendengar suara Neyza yang sedang berbicara dengan Bu Asti di dalam kelas 12I. Ada sebuah rasa kagum, ketika ia mendengar bagaimana suara Neyza mengungkapkan perasaannya.

Kepalanya ditolehkan ke arah pintu kelas 12I. Didapatinya Neyza yang sedang berdiri tegak dan berbicara tegas pada Bu Asti di depan Algo.

"Apakah kau dari kelas 12A?"

Neyza tidak yakin untuk secepatnya menjawab pertanyaan itu. Perlu berpikir setidaknya lebih dari dua kali, untuk menjawab dengan jawaban yang tepat. Jangan sampai terjebak, karena jelas guru-guru banyak respect pada anak-anak kelas atas yang diunggulkan karena nilai-nilai semesternya.

"Memangnya kenapa kalau Neyza dari kelas 12A?"

Bu Asti merasa suara tertahan ketika Willy membalikkan pertanyaannya. Bagaimana laki-laki itu membela, seolah memberikan keyakinan tersendiri kalau Willy memang sudah berubah.

"Kenapa diam saja, Bu?"

Neyza kurang nyaman dengan kehadiran Willy yang asal srobot sok membelanya. "Lo apaan sih? Ngapain ngikut gue ke sini?"

Willy memberikan senyuman jahil. "Kan gue udah bilang, kemana pun lo mau pergi gue ikut. Ya jadi sekarang gue ikut lo sampe ke sini."

Neyza mengeraskan rahang.

"Tapi kan nggak harus sok bela gue, caper banget."

Alfa dan Bu Asti saling pandang. Keadaan mencair tidak setegang tadi, karena Bu Asti meminta Alfa untuk segera mengerjakan tugas tambahannya.

Malas berurusan terlalu lama dengan Willy, Neyza kembali ingin speak up. Sayangnya orang yang akan diajaknya berdebat sedang menunggu Alfa mengerjakan tugas tambahannya. Jadi mau tidak mau, ia harus keluar secepat mungkin fair kelas 12I itu.

Willy masih menyisakan senyuman jahilnya ketika Neyza sudah pergi meninggalkannya. Baru setelah itu laki-laki itu keluar dengan berlari.

"Kamu sadar diri Alfa, kamu bukan anak-anak kelas atas seperti mereka."

Setidaknya kalimat pendek itu terdengar begitu kedua siswa dari kelas 12A sudah benar-benar pergi.

...

Sudah menjadi budaya setiap kali pergantian kelas, selalu ada pergantian kamar. Siswa-siswi cerdas yang dimulai dari kelas A, selalu diutamakan tentang kualitas kamar yang layak. Sangat tidak rugi, jika dulu Neyza sangat menginginkan naik di kelas yang lebih tinggi tingkatannya.

Saat sudah tidak ada kegiatan pembelajaran, siswa-siswi dibebaskan melakukan apapun di kamar asrama. Asalkan tidak menganggu temannya yang lain saat istirahat. Kebanyakan dari mereka, bermain game online dengan gadget masing-masing. Namun masih tetap tersisa, siswa-siswi yang menyempatkan belajar dalam keadaan mendesak.

"Kenapa juga harus ada anak lain yang tidur di kamar gue?" Dinda menggerutu karena ia mendapat bagian kamar bersama dengan Ulyn dan Neyza. "Gue lebih suka sendiri, tetapi guru-guru tetep aja nggak ngubah keputusannya."

"Kasihan Tuan Putri Adinda," ucap Ulyn sambil menata pakaiannya di dalam lemari.

"Kenapa kasihan? Gue cuma ngeluh karena lo berdua harus satu kamar sama gue."

Neyza.baru bisa melontarkan kalimat tanya. "Kenapa ngeluh?"

Dinda tiba-tiba mengistirahatkan pantatnya di atas kursi belajar yang ada di kamar itu. Tangannya dilipat di depan dada, tatapan matanya masih terlihat kurang suka dengan Neyza dan Ulyn.

"Gue udah bilang, gue suka sendiri. Jadi nggak perlu nanya alasan gue kenapa ngeluh," balas Dinda baru saja.

Neyza hanya bisa tersenyum sedikit kesal. Ia baru kenal Dinda di kelas 12I, jadi kemungkinan ia harus belajar adaptasi dengan gadis yang cukup manja itu.

"Gue milih tidur di sini," ucap Dinda begitu menduduki sebuah ranjang khusus. "Lo berdua terserah, pengen milih tidur di mana antara atas dan bawah ranjang itu."

Neyza dan Ulyn saling tatap, baru keduanya bersamaan menoleh ke arah ranjang yang Dinda maksud.

"Lo pengen di atas atau di bawah?" tanya Ulyn pada Neyza.

Neyza menatap ranjang tinggi itu sekali lagi. "Gue takut di atas, lo aja yang di sana."

Ulyn mengembangkan senyum simpul dan mengangguk sambil menarik selimut yang ia bawa ke ranjang atas sana. Sementara Dinda sudah membuka ponselnya tanpa peduli kedua teman sekamarnya. 

"Dinda, apa lo nggak nata baju-baju lo ke lemari?"

Neyza belum juga naik ke atas ranjangnya. Ia lebih dulu bertanya pada Dinda, karena gadis itu sejak tadi tidak juga mengeluarkan tasnya dari koper ke lemari.

"Nggak usah sok peduli sama gue, kalau pun gue pengen nata baju gue ke lemari, emang harus banget gituu laporan sama lo?" Dinda sama sekali tidak menyukai, siapapun yang tidak begitu kenal dengannya, selalu ingin ikut campur urusannya. Menatap Neyza saja enggan, apalagi menjawab pertanyaan gadis itu dengan baik-baik.

Neyza sebenarnya kesal, tetapi ia menahan rasa itu dalam-dalam. Mengingat kalau setidaknya ia harus bertahan satu tahun saja sampai lulus sekolah.

"Ya, gue kan cuma nanya."

"Ya udah, kan gue juga udah bales pertanyaan lo." Dinda masih terus fokus pada ponselnya, entah apa yang sebenarnya ia lihat di dalam benda pipih itu. Rasanya sedikit haus, tangannya bergerak membuka koper dan mengambil satu botol yogurt kesukaannya.

Neyza sendiri hanya geleng-geleng, baru setelahnya mulai duduk di ranjangnya untuk meregangkan otot-ototnya yang hampir kaku karena pindah kamar yang cukup jauh. Tatapannya lurus ke atas, menatap bagian bawah ranjang Ulyn yang sepertinya sudah ditempati dengan nyaman. Sampai setidaknya, tanpa sengaja menatap sebuah kertas beberapa kertas buram dalam satu lipatan tebal berada di dekat koper milik Dinda.

Lipatan beberapa kertas buram itu terlihat aneh dan cukup mencurigakan. Sayang Neyza sendiri, harus curiga dengan alasan apa. Ia tidak mengenal Dinda dengan begitu jauh, jadi tidak ada alasan mendasar untuk ia mencurigai Dinda.

"Dinda."

"Apa? Gue lagi sibuk."

Neyza beranjak bangun dari ranjangnya, matanya masih terus fokus pada kertas mencurigakan itu. "Apa.. kertas buram itu milik lo?"

Dinda awalnya menertawai pertanyaan Neyza. "Ff.. ff.. kertas buram apaan sih? Kita nggak lagi sekolah apalagi ujian semester. Saran gue, lebih baik lo buruan istirahat dan molor sana. Mungkin aja, lo nggak bisa konsen karena kurang tidur."

Neyza semakin yakin, kertas buram itu bukan kertas biasa saja. "Apa lo yakin?"

"Kurang yakin gimana sih Neyza? Gue bahkan bingung, kertas buram kayak apa yang lo maksud."

Neyza buru-buru berdiri, selanjutnya mengambil lipatan beberapa kertas buram yang sejak tadi dipertanyakannya. Sementara Dinda sendiri tidak berkutik dari ponselnya dan tidak peduli dengan kertas buram yang kemungkinan miliknya kini sudah ada di tangan Neyza.

"Dokumen negara, sangat rahasi—"

Begitu mendengar beberapa kata yang berhasil dibaca Neyza, Dinda secepatnya mungkin merampas lipatan kertas buram itu dari pemegang awalnya. Hal itu langsung membuat Ulyn di ranjang atas sana, segera menengok ke bawah.

"Kenapa? Apa lo nyembunyiin sesuatu?"

Degup jantung Dinda rasanya ingin meledak. Seperti perasaan jatuh cinta, namun kali ini berbeda dengan alasannya.

"Kenapa lo ngambil barang yang bukan milik lo?"

Neyza menatap Dinda tanpa rasa bersalah. "Kenapa lo baru ngakuin kertas buram ini milik lo, setelah gue baca dikit isinya."

Dinda mengumpat dalam-dalam terhadap dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia seceroboh ini, sampai Neyza yang baru kelas dengannya tiba-tiba merasa curiga terhadapnya.

"Kenapa diem?"

Dinda menghela napasnya kasar sebelum menjawab. "Denger ya, Vaneyza Arasyta. Jangan pernah sekali lagi berani nyentuh apapun yang bukan milik lo, apalagi pemilik aslinya adalah gue. Gue paling benci, siapapun nyentuh barang-barang gue tanpa ijin."

Neyza tertawa singkat. "Sebelumnya, kayak gue udah nanya? Apa kertas buram itu, milik lo? Dan lo diem aja, gue pikir kertas buram itu bukan milik siapa-siapa."

Ulyn ikut merasa ada yang Dinda sembunyikan. Sebuah rahasia, yang ia sendiri tidak bisa menebaknya dalam sekali kecurigaan saja.

"Itu karena gue nggak tahu, kalau ternyata kertas buram yang lo maksud adalah kertas ini. Lain kali, jaga tangan lo!"

Dinda melangkah keluar kamar, memilih menghindari perdebatan yang seharusnya tidak perlu diperdebatkan. Sementara Neyza sendiri, sebenarnya sudah tahu lebih dari yang ia baca di depan Dinda. Hanya saja, gadis itu perlu berpura-pura agar Dinda merasa dirinya masih sedikit beruntung.

Neyza tahu persis, kertas buram itu.. adalah kunci jawaban soal-soal ujian.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status