Share

Bab 6

Author: Takasa
Di saat itu juga, Charin hampir saja menangis.

Namun, dia menekan kuat-kuat rasa sesak di tenggorokannya, lalu dengan kasar melepaskan pergelangan tangannya dari genggaman Adrian. Tanpa pikir panjang, dia langsung memeluk tubuh dokter yang berdiri di dekatnya.

Charin bertanya dengan suara tenang, "Menjagamu? Memangnya aku masih kekurangan pria di kapal ini?"

Dokter itu terkejut, dia hendak mengatakan sesuatu, tetapi tiba-tiba mendengar bentakan Adrian, "Keluar!"

Dokter itu segera lari meninggalkan ruangan. Sebelum dia pergi, dia sempat melihat Adrian melemparkan Charin dengan kasar ke atas ranjang.

Adrian bertanya, "Charin, sehaus itukah kamu?"

"Ya! Karena kamu nggak pernah bisa memuaskanku. Saat di luar negeri, aku bisa berganti pasangan setiap hari. Kamu terlalu membosankan," jawab Charin.

Emosi terakhir yang masih tersisa di mata Adrian lenyap seketika. Dia menekan tubuh Charin dengan kasar, lalu berkata dengan marah, "Kalau begitu, rasakan saja sepuasnya!"

Badai pun pecah, brutal bagaikan cambukan yang tidak terlihat. Charin teringat akan hari-harinya disetrum listrik, dicekik, dan dicambuk di rumah sakit jiwa. Pikirannya kacau sampai tidak tahu lagi di mana dia berada.

Adrian hanya ingin menyiksanya. Usai melampiaskan amarahnya, dia pun membanting pintu dan pergi tanpa menoleh.

Dalam kamar yang gelap, Charin meringkuk dalam kondisi yang menyedihkan. Tubuhnya mulai kejang, dia muntah-muntah tanpa henti, air matanya mengalir deras.

Inikah yang Charin inginkan? Merendahkan diri di hadapan Adrian hingga dia benar-benar benci padanya?

Namun, dia benar-benar sakit.

Seperti ada yang merobeknya hidup-hidup, membuatnya ingin mati sekarang juga dan lenyap dari dunia ini.

Setelah mandi, Charin menerima pesan dari Adrian. Dia meminta Charin datang ke ruang depan kapal pesiar.

Begitu Charin tiba, Adrian hanya menatapnya dengan dingin, lalu menunjuk ke arah meja penuh makanan sisa.

"Makan semua itu," ujar Adrian.

Charin tidak langsung bergerak. Sudah lama dia tidak sanggup menelan makanan. Penyakitnya membuat tenggorokannya kerap kejang, membuat setiap suap justru dimuntahkan kembali.

Sebab itu juga, tubuhnya makin kurus.

Adrian melemparkan setumpuk uang ke wajah Charin dengan dingin. Charin akhirnya mengangkat sumpit dengan tangan gemetar.

Celine yang bersandar di pelukan Adrian, berkata dengan suara manja, "Adrian, lepaskan Charin saja."

Adrian tersenyum sinis, lalu berkata, "Kamu nggak tega lihat makanan terbuang, biar dia yang menghabiskannya saja."

Charin mengunyah makanan perlahan. Adrian tahu tidak ada satu pun makanan di meja yang Charin suka. Dulu, Charin benci makanan itu sampai menolak untuk makan. Namun, selama di rumah sakit jiwa, Charin tidak bisa pilih makanan. Ada makanan saja dia sudah bersyukur.

Charin makan satu per satu, kejang di tenggorokannya mulai menyerang. Charin berusaha menahan, tetapi gagal dan akhirnya memuntahkan makanan itu kembali.

Wajah Adrian berubah muram, dia berkata, "Charin, kamu menjijikkan!"

"Habiskan semuanya! Kalau nggak, kamu nggak boleh pergi!" lanjut Adrian.

Setelah mengatakan itu, dia dan Celine pun pergi dengan wajah penuh jijik.

Charin muntah berulang kali. Tak lama kemudian, darah mulai terasa di kerongkongan.

Rasa pusing menyerang kepalanya lagi. Charin terpaksa keluar mencari udara dingin di dek.

Celine sudah menunggunya di sana.

Dia menatap Charin dari atas ke bawah, lalu tersenyum sambil berkata, "Kamu benar-benar menyedihkan, Charin. Adrian jauh lebih kejam daripada saat aku merundungmu dulu."

Tubuh Charin menegang. Rasa perih kembali mengoyak jiwanya.

"Kamu memang seharusnya menghilang selamanya," ujar Celine.

Setelah mengatakan itu, Celine tiba-tiba meraih tangan Charin, lalu dengan sengaja mendorong bahunya sendiri, membuat tubuhnya sendiri terlempar melewati pagar dek.

Charin langsung terpaku.

"Celine!" teriak Adrian sambil buru-buru berlari. Dia melihat Celine terjatuh ke laut.

Adegan itu begitu familier. Dulu, kakaknya mati juga mati karena didorong ke dalam api oleh Charin dengan cara yang sama.

Mata Adrian memerah, urat-uratnya menegang seperti ada sesuatu yang muncul di benaknya. Dia berteriak keras seperti binatang buas yang terperangkap.

"Charin, kenapa kamu sekejam ini?" bentak Adrian.

Dia lanjut bertanya, "Kenapa bukan kamu yang mati?"

Kata-kata itu bagai petir yang menghantam jiwa Charin. Sebelum dia sempat bereaksi, tubuhnya langsung didorong ke laut oleh Adrian.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Waktu adalah Maut   Bab 25

    Saat video diputar, hal pertama yang dilihat Adrian adalah wajah Charin yang sudah tidak dapat dikenali.Air mata Adrian langsung mulai mengalir. Dia mengulurkan tangannya yang gemetar untuk menyentuh Charin, tetapi terhalang oleh layar.Tubuh Charin terbaring diam di dalam sebuah alat khusus. Kabut obat yang tidak dikenal menyembur ke sekujur tubuh Charin dan melelehkan tubuh wanita itu ....Daging dan darah Charin menguap tanpa jejak. Semacam ramuan ditaburkan dan tulang-belulang Charin mulai hancur sebelum perlahan-lahan berubah menjadi genangan air.Suhu yang tinggi menguapkan air itu dan tidak meninggalkan apa pun.Video pun berhenti dan layar menjadi hitam. Mata Adrian terlihat begitu merah."Dia benar-benar ... nggak meninggalkan apa pun untukku ...."Suara Adrian terdengar seperti tangisan sekaligus tawa, begitu gila dan panik. Sekretaris itu pun segera melangkah maju dan berkata, "Pak Adrian ....""Aku turut berduka cita," kata si pria berkacamata dengan lembut.Adrian mendong

  • Waktu adalah Maut   Bab 24

    Mulut Celine dan Charles disumpal, lalu mereka diikat di ranjang rumah sakit dengan alat pengekang. Sorot tatapan mereka tampak sangat takut dan marah, tetapi makin mereka melawan, makin erat ikatan itu.Sorot tatapan Adrian sama sekali tidak terlihat berbelas kasihan. Dia berjalan tertatih kembali ke kasurnya menggunakan kruknya, lalu berbaring dan berkata dengan dingin, "Setrum."Si sekretaris yang menyusul tampak ragu-ragu dan enggan."Jangan begini, Pak Adrian .... Pak Adrian juga masih terluka."Adrian hanya mengulang dengan dingin, "Setrum."Intimidasi dalam diam ini membuat si sekretaris bergidik ketakutan. Dia akhirnya menggertakkan gigi dan menyambungkan alat setrum.Saat tombol ditekan, ketiga orang yang berada di atas ranjang rumah sakit langsung mengejang dengan kompak.Rasa sakit yang luar biasa menjalar ke sekujur tubuh. Adrian menggertakkan giginya, tetapi tetap saja terdengar erangan kesakitannya.Sakit, sakit sekali ....Charin juga merasa kesakitan seperti ini waktu i

  • Waktu adalah Maut   Bab 23

    Bunyi alarm mesin pun berbunyi dengan kencang, para dokter dan perawat bergegas masuk."Kondisi pasien memburuk! Cepat berikan pertolongan pertama!""Cepatlah!"Sekretaris itu didorong keluar pintu dan hanya bisa menatap pintu kamar rawat dengan tidak berdaya.Tepat pada saat itu, Arya melangkah mendekat dan bertanya dengan tegas, "Ada apa ini?"Setelah mendengar laporan dari bawahannya, ekspresinya pun berubah menjadi dingin. "Apa-apaan wanita itu! Kok bisa orang seperti itu belum dapat karma!"Sekretaris itu berdiri di samping, lalu menarik napas dalam-dalam dan berbalik menatap Arya."Pak Arya, ada kisah lama yang berhasil kutemukan kebenarannya. Kuharap Pak Arya mau mendengarnya."Sekretaris itu kembali menceritakan apa sebenarnya terjadi waktu itu secara mendetail. Ekspresi berubah dari terkejut menjadi marah, lalu menjadi termangu ....Arya yang semula garang pun mendadak tampak seperti menua 12 tahun. Dia mulai membungkuk, matanya memerah."Mira .... Mira ...."Arya tiba-tiba me

  • Waktu adalah Maut   Bab 22

    "Pip … pip … pip …."Terdengar bunyi yang sangat kencang di telinga. Saat siuman kembali, sekujur tubuh Adrian terasa nyeri seolah-olah semua tulangnya patah.Ada bau darah dalam mulut Adrian, setiap tarikan napasnya disertai rasa sakit yang menusuk.Suara terputus-putus terdengar di telinganya."Apa tanda-tanda vital pasien hari ini normal?""Normal, tapi kenapa pasien belum bangun juga? Pasien sudah nggak sadar selama tiga hari tiga malam, dia sudah dibantu dengan segala peralatan terbaik.""Katanya pasien tertabrak mobil dan langsung dilarikan ke ICU. Dia beberapa kali kritis dan nyaris meninggal ....""Ya ampun, padahal pasien masih sangat muda. Kurasa kaki kirinya nggak bisa diselamatkan ...."Adrian membuka matanya dengan linglung dan refleks mengerang saat melihat cahaya putih menyilaukan di atas kepalanya.Perawat yang berbicara segera melangkah maju. "Pak Adrian! Pak Adrian sudah siuman!""Cepat panggil pihak keluarganya!"Pikiran Adrian yang kacau berangsur-angsur menjadi jer

  • Waktu adalah Maut   Bab 21

    Kepala Adrian mulai merasa berputar, tetapi gema di telinganya masih terdengar jelas."Rumah sakit itu adalah investasi pribadiku. Di dalam sana ada lebih banyak hal daripada yang dapat terbayangkan.""Awalnya, dia cukup patuh. Aku menyetrumnya, mencekik dan menyiksanya sedemikian rupa. Hihihi, bahkan orang paling tangguh sekalipun pada akhirnya berlutut dan memohon belas kasihan.""Dia ternyata diam-diam menyembunyikan ponselnya dan mencoba meminta bantuan, tapi aku memergokinya dan membuang ponselnya itu.""Lalu, aku mengikat wanita nakal itu ke atas kasur setiap hari. Aku menyetrumnya kalau dia membantah, mencekiknya kalau dia berbuat salah dan mencambuknya kalau aku lagi nggak suka melihatnya!""Kalau kamu menonton video saat dia berlutut di atas lantai dan menangis, kamu juga pasti akan merasa puas. Hahaha ....""Lalu, tebak deh. Aku memergokinya menato namamu di tubuhnya! Berani sekali jalang satu itu menginginimu! Coba lihat foto ini, keterlaluan sekali!"Ponsel dibuka dan sebua

  • Waktu adalah Maut   Bab 20

    Mata Adrian merah karena marah. Akan tetapi, saat ini dia tidak ingin memedulikan tubuh Celine yang sedang tergeletak di tanah.Adrian harus menemukan Charin! Dia harus menanyakan dengan jelas, sebenarnya apa yang sedang terjadi!Keyakinan yang sebelumnya tertanam kuat akhirnya menjadi goyah. Adrian sudah terlambat untuk menyadari semuanya.Charin yang dicintainya ternyata bukanlah wanita yang sekejam itu ....Tangan Adrian gemetar saat mengeluarkan ponselnya. Dia ingin mencari Charin, tetapi kemudian menyadari bahwa dia tidak bisa menghubungi wanita itu. Karena itu, Adrian segera menelepon sekretaris Charin."Pak Adrian? Ada yang bisa aku ....""Di mana Charin?"Mendengar Adrian hampir naik pitam, tubuh sekretaris itu langsung menegang. Kulit kepalanya terasa kesemutan. Kemudian dia menyahut dengan nada panik, "Aku juga nggak tahu!"Adrian menarik napas dalam-dalam, menyadari bahwa dirinya sudah terlalu cemas. Dia segera menjawab dengan suara berat, "Sekarang juga, kerahkan semua kone

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status