Share

Perhatian Bapak

Mentari pagi ini, seolah enggan bersinar. Berganti pekatnya tetesan air mata yang terpaksa kusembunyikan di balik senyuman.

Mas Danu masih terlelap. Di hari libur, ia banyak menghabiskan waktu di rumah bersama anak-anak. Mengukir kenangan bagi dua balita yang menjadi tumpuan harapan, pewaris masa depan.

“Bu, dipanggil Tuan Besar.”

Bapak mertuaku bukan tipikal orang yang banyak bicara. Selama menjadi menantunya, tak banyak kata yang ia lontarkan untuk menyapa atau menasihati dengan aneka hikmah kehidupan. Hubungan bapak dengan Mas Danu, juga tak semesra hubungan Mas Danu dengan kedua anak kami. Bapak adalah orang yang banyak merenung, banyak berpikir, serta banyak berkegiatan di luar rumah. Mungkinkah, bapak merasa kurang enak badan sehingga membutuhkanku untuk merawatnya? Mengapa beliau memanggilku?

Perlahan, kupenuhi panggilan bapak mertua di teras samping rumah. Tempat di mana ia melihat ikan-ikan piaraannya di kolam. Berenang lincah menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Secangkir wedang jahe merah masih utuh tersaji di sisinya. Sepiring jajanan tradisional turut menemani hening di pagi hari.

“Bapak memanggil saya?” dengan suara lirih berusaha mengabarkan kedatangan, tanpa bermaksud merusak renungannya.

“Duduklah!” perintah pria sepuh dengan uban di kepala. Ia masih sangat berwibawa meski tak lagi muda. Seolah usia hanya berguna menambah kharismanya.

 Tanpa banyak bertanya, kujalankan instruksinya. Duduk di kursi taman, menghadap kolam, terdiam di sampingnya.

Sejenak ia melepas kacamata, menyeka embun yang melekat di bingkai kaca berbentuk persegi panjang. Diminumnya jahe perlahan. Pastilah, ia akan berbicara hal serius padaku kali ini.

“Bagaimana Danu?”

Itulah dia. Tak suka berbasa-basi menyusun kata pembuka.

“Alhamdulillah baik, Pak.” Apapun yang terjadi di antara kami, tak perlu kubeberkan padanya. Hanya akan menambah rasa iba yang membebani dada.

“Baik ... sebaik itu hingga Sekar berani datang untuk memperkenalkan dirinya?” tanyanya, sinis.

Kian kutundukkan kepala. Tak ada guna berdusta padanya. Rumah ini miliknya. Pembantu di rumah ini, dia pula yang menggajinya. Satpam dan sopir adalah orang-orang pilihannya. Semua mata ikut melihat, saat aku menangis ataupun tertawa.

“Jika ingin mempertahankan pernikahan, seorang wanita juga harus punya ilmunya. Melihat seringnya Danu pulang larut malam, tentu sebentar lagi kamu hanya akan jadi cangkang kosong yang teronggok di barisan paling belakang. Itukah yang kamu inginkan?”

Tentu saja aku menggeleng. Bibir terasa berat sekedar menjawab, tidak!

Meski kata-katanya terasa pedas, tetapi tak membuatku sakit hati. Melainkan merasa bersalah, karena menyadari betapa fakir diri ini dengan ilmu. Strata sosial kami berbeda. Sebagai anak yatim piatu yang hidup di jalanan, dipungut seorang kaya raya untuk dijadikan menantu adalah anugerah Sang Kuasa. Bagai kisah Cinderella. Bagaimana aku bisa merasa sakit hati meski berkali-kali dilukai? Aku hanya bisa bertahan. Tak sanggup melawan.

“Menjaga pernikahan itu butuh perjuangan. Bukan sekedar penantian. Mungkin ujung bahagia itu tak akan pernah kamu lihat jika kamu terpaku di tempat! Alihkan pandangan Danu, hingga tertuju hanya padamu.”

Kupandang mertua penuh kebingungan. Bukan tak mengerti apa yang ia katakan, tapi tak mengerti bagaimana cara melakukan. Mengalihkan pandangan Mas Danu? Oh, itu juga yang kumau. Tapi bagaimana bisa, jika ia selalu membuang muka saat kita hanya berdua. Pasti bapak mertuaku tidak tahu itu.

“Temui Caca. Dia akan membantumu.” Akhirnya, ia berikan jawaban. Caca, sekretaris mertuaku yang dipercaya mengurus bisnis keluarga, sekaligus keponakannya yang cerdas dan tangkas. Ia jarang ke rumah ini. Namun jika ia berkunjung, suasana langsung hidup seketika. Seolah membawa bahagia di manapun ia berada.   

“Bukankah seharusnya kamu meminta tolong pada seseorang yang ahli menaklukkan pria sejak lama? Sehingga lebih cepat kamu mengakhiri penderitaan yang mendera. Bagaimana rasanya melewati musim demi musim dalam kebekuan yang menyiksa?”

Kukira selama ini, beliau tak pernah memperhatikan kami. Beliau sering ke luar kota untuk urusan bisnis. Pun saat di rumah, kami jarang mengobrol. Bapak mertua memiliki tumpukan buku berat yang gemar ia baca sambil menyeruput wedang jahe di ruang kerjanya. Wibawa yang ia punya, membuatku tak berani mendekat karena grogi dan takut berbuat salah di depannya.

“Keputusan di tanganmu. Tetapi satu yang harus kamu tahu, Laras. Saat ini, Danu terlibat proyek dengan Sekar. Jadi interaksi di antara mereka dalam sehari, lebih banyak dibanding interaksimu dengan Danu dalam 24 jam. Mereka tidak hanya berhubungan di kantor. Namun juga di luar jam kantor. Kamu harus bergegas jika memang ingin menyelamatkan sekoci ini. Atau kamu akan tenggelam bersama tsunami di kemudian hari.”

***

“Mas, sarapan sudah siap.”

Meski di kepala penuh tanya dan duga, aku belum lupa peristiwa semalam. Kala mas danu terang-terangan menyebut nama kekasihnya di ujung klimaks. Ah, kugeleng-gelengkan kepala. menghalau perih yang mendera. Terasa sekali bagaimana diri ini tak diingini suami. Hanya hasrat yang mendorongnya berbuat. Tanpa cinta mewarnainya.

Ia berjalan menuruni anak tangga. Berhenti sesaat untuk menoleh. Tep. Tep. Tep. Berbalik mendekatiku. Di dekatnya bibir ke telingaku. Gejolak dalam dadaku bergetar hebat. Aroma maskulin menguar tajam. Aroma yang selalu membuatku mabuk kerinduan.

“Jangan lupa minum pil KB. Aku enggak mau kamu hamil lagi kali ini.” Bisiknya halus, kejam, penuh penekanan.

Setelah tubuh Mas Danu menghilang dari anak tangga, giliran aku yang merosot ke lantai. Mencengkeram dada oleh sakit yang mendera. Dengan jemawa kusampaikan pada Sekar, mungkin aku akan segera mengandung anaknya yang ketiga. Namun dengan bengis, suamiku melarangku hamil lagi. Inikah pertanda?

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Muda Wamah
KL wanita sekuat baja.bukan wanita lemah.sedikit2 nangis.keringkan air mata thor
goodnovel comment avatar
Siska Nayla
ok good, saya suka sekali
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status