Share

Malam yang Menyakitkan

Sekar menggelengkan kepala. Kini raut wajahnya memucat. Barangkali ia tak menyangka aku akan berkata demikian.

Kata-kata itu, adalah kata-kata yang sering bergema dalam pikiranku selama ini. Akhirnya kumuntahkan pula kepada biangnya. Seseorang yang mengancam keharmonisan rumah tanggaku. Seandainya harus kalah, aku ingin kalah setelah ikhtiar maksimal. Aku tak akan menyerah begitu saja, apalagi jika ada hak-hak anakku yang terbawa.

Aku berjuang bukan hanya untuk hatiku yang selalu merindu, namun juga untuk hati putra putriku yang membutuhkan orangtuanya bersatu.

Sekar pamit pulang dengan wajah tertekan. Tampak air mata menggantung di wajahnya yang mendung. Mungkin dia datang untuk menakuti, memancingku agar marah dan meminta cerai dari Mas Danu. Padahal perceraian adalah hal yang paling kubenci. Tak akan terjadi, meski untuk itu aku harus terbakar api.

***

Mas Danu pulang dengan raut kusut. Bajunya semrawut. Ada beban menggumpal di dadanya yang tidak bisa ia curahkan padaku, istrinya. Ia menatap ponselnya yang tak berdering seperti biasa. Lalu membanting kesal ketika mencoba larut dalam tayangan televisi. Sementara dua anak kami telah lelap. Begitu pun bapak mertua yang tidur di lantai bawah bersama para pembantu, sementara kami menghuni lantai dua.

“Mas, wedang jahe,” kataku sembari melangkah pelan mendekatinya dengan memakai daster tipis yang menutup tubuh dengan sempurna. Mas Danu melarangku mengenakan lingerie. Ia memintaku berhenti memakai baju seksi agar tidak memancing hasratnya. Seolah dengan begitu, ia bisa menjadi biksu yang terkunci bersama seorang wanita tanpa menyentuhnya.

“Kenapa belum tidur?” sahutnya sambil melihat ke arah jarum jam yang menunjukkan pukul 01.34 dini hari.

“Sudah, tapi bangun untuk salat tahajud. Kulihat mas gelisah dan sulit tidur, jadi aku buatkan wedang jahe barangkali bisa mengendurkan syaraf-syaraf mas yang tegang karena beban pekerjaan seharian,” ujarku lembut menghadapi sikapnya yang kasar.

Aku berprasangka Mas Danu telah bertengkar dengan Sekar. Kuharap wanita itu memutuskannya.

Mas Danu pulang sebelum Isya hari ini, tidak selarut biasanya. Ia juga sempat mengajak anak-anak bermain. Menidurkan mereka dan sempat ketiduran pula. Melihat ia tidur di kamar anak-anak sambil memeluk si bungsu, menerbitkan tekad di hatiku untuk mempertahan pernikahan ini, meski harus berjuang mati-matian.

“Akan kuminum nanti. Sana kalau mau salat. Aku masih mau nonton TV.”

Aku mengangguk takzim. Lalu tiba-tiba sebuah ide melintas. Aku berhenti melangkah dan berbalik menatapnya lagi untuk sesaat. Menyadari mata ini tertuju padanya, Mas Danu menoleh. “Ada apa?” tanyanya dengan nada kesal. Seolah ia menghendaki aku segera menghilang.

Aku menundukkan kepala, tak berani membalas tatapannya. Lalu menggeleng.

“Ya sudah, sana pergi!” perintahnya.

Aku menurut. Mulanya, kuingin memintanya menjadi imam salatku. Barangkali itu bisa meredakan kekesalannya. Niat itu urung terlaksana karena ia tak suka melakukan sesuatu bersama denganku jika tidak terpaksa, atau butuh pencitraan di depan orang.

Kamar kecil yang disulap jadi Musholla adalah bilik ternyaman bagiku tuk mengadu. Duka mengucur saat bermunajat kepada-Nya di atas sajadah warna biru, yang jadi mas kawin pernikahanku. Sajadah itu membuat hati bukan saja terpaut pada Illahi Rabbi, namun juga pada si pemberi. Danu Wicaksono. Kupanggil berulang namanya dalam doa, kuminta segenap jiwa agar ia bisa mencintaiku sebagaimana kumencintainya. Kuminta berkali-kali dalam asa ini, berharap hatinya terbuka. Dengan air mata yang tak kunjung kering saat kumenengadahkan tangan, hingga terlelapku dalam zikirku yang panjang.

Kurasakan sepasang tangan kokoh mengangkat tubuh ini. Dengan pandangan yang belum sempurna karena gelapnya, bisa kurasakan aroma tubuh yang belum terbasuh. Aroma yang membuatku ingin tenggelam. Menyesap indahnya hingga puncak tertinggi, di mana aku bisa melihat matahari terbit untuk ke sekian kali. Bagaimana aku bisa membuang cita-cita menua bersamanya?

Mas Danu membopong tubuhku. Memindahkannya ke kamar kami. Perlahan ia baringkan tubuhku ke ranjang. Aku masih diam, meski tak bisa pura-pura memejamkan mata lagi. Ia melepas mukenaku. Kutahu, malam ini waktunya tugas sebagai istri kutunaikan. Tugas yang langka, padahal sangat kusuka.

Ia membawaku melayang hingga ke pucuk-pucuk dahan yang nyiur melambai. Aku menikmati setiap momennya dengan pasrah karena tak ingin merusak apa pun yang bisa mematikan hasratnya. Hingga kami bisa terbang ke langit yang sama. Sebelum sebuah nama ia ucap. Nama yang menuntaskan ibadah ini tanpa senyuman, melainkan butir bening yang menyakitkan.

“Oh, Sekar... sayangku,” ujarnya sebelum menutup malam dengan kepahitan.

Blug, aku terhempas dari ketinggian. Sementara Mas Danu berguling dari tubuhku, telentang di sampingku setelah puas menyalurkan hasratnya. Ia tak pernah menyentuhku di bawah naungan cahaya. Selalu berselimut kegelapan, mungkin untuk menyamarkan raut wajahku yang tak seindah purnama.

Lagi... air mata bergulir dalam senyap, menetes bersama gelap pekat. Baru kali ini, Mas Danu menyebut nama lain saat bersamaku. Mungkinkah ia sengaja melakukannya agar aku berhenti mencintainya?

Hati ini koyak. Menanggung sakit yang menggigit. Lebih sakit dari semua sakit yang pernah mendera.

Mengapa ia tega? Padahal telah kupersembahkan seluruh jiwa dan raga hanya untuknya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status