Home / Rumah Tangga / Wanita Berhati Baja / Malam yang Menyakitkan

Share

Malam yang Menyakitkan

Author: Nailin RA
last update Last Updated: 2022-12-30 18:53:15

Sekar menggelengkan kepala. Kini raut wajahnya memucat. Barangkali ia tak menyangka aku akan berkata demikian.

Kata-kata itu, adalah kata-kata yang sering bergema dalam pikiranku selama ini. Akhirnya kumuntahkan pula kepada biangnya. Seseorang yang mengancam keharmonisan rumah tanggaku. Seandainya harus kalah, aku ingin kalah setelah ikhtiar maksimal. Aku tak akan menyerah begitu saja, apalagi jika ada hak-hak anakku yang terbawa.

Aku berjuang bukan hanya untuk hatiku yang selalu merindu, namun juga untuk hati putra putriku yang membutuhkan orangtuanya bersatu.

Sekar pamit pulang dengan wajah tertekan. Tampak air mata menggantung di wajahnya yang mendung. Mungkin dia datang untuk menakuti, memancingku agar marah dan meminta cerai dari Mas Danu. Padahal perceraian adalah hal yang paling kubenci. Tak akan terjadi, meski untuk itu aku harus terbakar api.

***

Mas Danu pulang dengan raut kusut. Bajunya semrawut. Ada beban menggumpal di dadanya yang tidak bisa ia curahkan padaku, istrinya. Ia menatap ponselnya yang tak berdering seperti biasa. Lalu membanting kesal ketika mencoba larut dalam tayangan televisi. Sementara dua anak kami telah lelap. Begitu pun bapak mertua yang tidur di lantai bawah bersama para pembantu, sementara kami menghuni lantai dua.

“Mas, wedang jahe,” kataku sembari melangkah pelan mendekatinya dengan memakai daster tipis yang menutup tubuh dengan sempurna. Mas Danu melarangku mengenakan lingerie. Ia memintaku berhenti memakai baju seksi agar tidak memancing hasratnya. Seolah dengan begitu, ia bisa menjadi biksu yang terkunci bersama seorang wanita tanpa menyentuhnya.

“Kenapa belum tidur?” sahutnya sambil melihat ke arah jarum jam yang menunjukkan pukul 01.34 dini hari.

“Sudah, tapi bangun untuk salat tahajud. Kulihat mas gelisah dan sulit tidur, jadi aku buatkan wedang jahe barangkali bisa mengendurkan syaraf-syaraf mas yang tegang karena beban pekerjaan seharian,” ujarku lembut menghadapi sikapnya yang kasar.

Aku berprasangka Mas Danu telah bertengkar dengan Sekar. Kuharap wanita itu memutuskannya.

Mas Danu pulang sebelum Isya hari ini, tidak selarut biasanya. Ia juga sempat mengajak anak-anak bermain. Menidurkan mereka dan sempat ketiduran pula. Melihat ia tidur di kamar anak-anak sambil memeluk si bungsu, menerbitkan tekad di hatiku untuk mempertahan pernikahan ini, meski harus berjuang mati-matian.

“Akan kuminum nanti. Sana kalau mau salat. Aku masih mau nonton TV.”

Aku mengangguk takzim. Lalu tiba-tiba sebuah ide melintas. Aku berhenti melangkah dan berbalik menatapnya lagi untuk sesaat. Menyadari mata ini tertuju padanya, Mas Danu menoleh. “Ada apa?” tanyanya dengan nada kesal. Seolah ia menghendaki aku segera menghilang.

Aku menundukkan kepala, tak berani membalas tatapannya. Lalu menggeleng.

“Ya sudah, sana pergi!” perintahnya.

Aku menurut. Mulanya, kuingin memintanya menjadi imam salatku. Barangkali itu bisa meredakan kekesalannya. Niat itu urung terlaksana karena ia tak suka melakukan sesuatu bersama denganku jika tidak terpaksa, atau butuh pencitraan di depan orang.

Kamar kecil yang disulap jadi Musholla adalah bilik ternyaman bagiku tuk mengadu. Duka mengucur saat bermunajat kepada-Nya di atas sajadah warna biru, yang jadi mas kawin pernikahanku. Sajadah itu membuat hati bukan saja terpaut pada Illahi Rabbi, namun juga pada si pemberi. Danu Wicaksono. Kupanggil berulang namanya dalam doa, kuminta segenap jiwa agar ia bisa mencintaiku sebagaimana kumencintainya. Kuminta berkali-kali dalam asa ini, berharap hatinya terbuka. Dengan air mata yang tak kunjung kering saat kumenengadahkan tangan, hingga terlelapku dalam zikirku yang panjang.

Kurasakan sepasang tangan kokoh mengangkat tubuh ini. Dengan pandangan yang belum sempurna karena gelapnya, bisa kurasakan aroma tubuh yang belum terbasuh. Aroma yang membuatku ingin tenggelam. Menyesap indahnya hingga puncak tertinggi, di mana aku bisa melihat matahari terbit untuk ke sekian kali. Bagaimana aku bisa membuang cita-cita menua bersamanya?

Mas Danu membopong tubuhku. Memindahkannya ke kamar kami. Perlahan ia baringkan tubuhku ke ranjang. Aku masih diam, meski tak bisa pura-pura memejamkan mata lagi. Ia melepas mukenaku. Kutahu, malam ini waktunya tugas sebagai istri kutunaikan. Tugas yang langka, padahal sangat kusuka.

Ia membawaku melayang hingga ke pucuk-pucuk dahan yang nyiur melambai. Aku menikmati setiap momennya dengan pasrah karena tak ingin merusak apa pun yang bisa mematikan hasratnya. Hingga kami bisa terbang ke langit yang sama. Sebelum sebuah nama ia ucap. Nama yang menuntaskan ibadah ini tanpa senyuman, melainkan butir bening yang menyakitkan.

“Oh, Sekar... sayangku,” ujarnya sebelum menutup malam dengan kepahitan.

Blug, aku terhempas dari ketinggian. Sementara Mas Danu berguling dari tubuhku, telentang di sampingku setelah puas menyalurkan hasratnya. Ia tak pernah menyentuhku di bawah naungan cahaya. Selalu berselimut kegelapan, mungkin untuk menyamarkan raut wajahku yang tak seindah purnama.

Lagi... air mata bergulir dalam senyap, menetes bersama gelap pekat. Baru kali ini, Mas Danu menyebut nama lain saat bersamaku. Mungkinkah ia sengaja melakukannya agar aku berhenti mencintainya?

Hati ini koyak. Menanggung sakit yang menggigit. Lebih sakit dari semua sakit yang pernah mendera.

Mengapa ia tega? Padahal telah kupersembahkan seluruh jiwa dan raga hanya untuknya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Wanita Berhati Baja   WBB 122

    “Usahamu ‘kan masih bisa berjalan dengan baik, Mas. Dulu, Mas tak mau bekerja di perusahaan Bapak. Memilih berdikari di atas kaki sendiri. Mengapa sekarang harus mengandalkan harta Bapak untuk sukses?”“Dulu aku punya Sekar yang membantuku memenangkan banyak tender. Dia pintar melobi orang. Sekarang aku sering tak beruntung.”Hatiku retak mendengar jawabannya. Mengapa harus mengungkit jasa wanita itu dalam hidupnya. Itu seperti menyindirku yang tak bisa melakukan apa-apa untuk membantunya, kecuali berdoa.“Maaf, Sayang. Aku tidak bermaksud membuatmu cemburu dengan ceritaku. Aku hanya ....”“Sudahlah, Mas. Tak perlu kaujelaskan. Semua terang bagiku. Dia adalah batu berlian, sementara aku batu kerikil.”“Bukan begitu ... bukan begitu maksudku. Maafkan aku salah bicara. Seharusnya tak kusebut-sebut namanya saat bersamamu.”Senyum tipis kuberikan. Sekadar menenangkan. Sekalipun aku tak tenang, merasa tak berguna sebagai pasangannya.Dia memandangku dengan tatapan yang aneh. Tatapan yang m

  • Wanita Berhati Baja   WBB 121

    Ini cinta yang berat, juga rumit. Di sisi hati, aku benci. Di sisi lain begitu mencintai. Di satu waktu, aku ragu. Di lain waktu, begitu menggebu. Adakah aku akan tetap berdiri di sisinya sekuat baja?___Kugandeng tangan Mas Danu. Membawanya menjauh dari rubah betina itu. Namun, kaki suamiku seolah terpaku. Tak bergerak dari tempatnya berdiri. Mungkinkah, dia jatuh cinta lagi?Mas Danu melepas pegangan tanganku, berjalan mengejar wanita itu, lalu memegang tangan Sekar hingga wanita itu berbalik. Menatapnya dengan pandangan penuh kebahagiaan. Ia menang. Sekali lagi ... dia menang dan menempatkan diriku sebagai pecundang. Rasa sakit melihat itu, membunuhku. Aku tak mampu bertahan lagi dengan siksa batin ini.Sekar langsung bergerak hendak memeluk Mas Danu, hingga aku tak sanggup memandang dan memilih memejamkan mata. Terkatup bersama bulir kristal bening yang merembes, membasahi pipi.“Jangan! Hubungan kita sudah berakhir.” Suara Mas Danu terdengar jelas. Segera kubuka mata untuk melih

  • Wanita Berhati Baja   WBB 120

    Biarlah yang lalu terbawa angin, agar yang sekarang bisa hidup dengan tenang, tanpa beban, ataupun penyesalan.___“Siapa, Mas?”Masih bergeming. Mas Danu mendadak beku. Tak dihiraukannya lagi ponsel yang terjatuh ke lantai. Apalagi menjawab pertanyaanku.Kuputuskan menghampiri dan menggoyang tubuhnya. Ia pun tersentak kaget. Kedua tangannya mencengkeram tubuhku erat.“Kamu tidak akan percaya ini, Laras. Dia ....”Aku melihatnya kebingungan. Sebenarnya apa yang terjadi?Apakah ini tentang Caca? Mas Danu tak tahu bahwa aku sudah memegang separuh rahasia Bapak.“Pemilik rumah ini adalah ....” Mas Danu sulit sekali berkata-kata. Mengusap wajahnya berulang-ulang. Lalu memegang dadanya dengan pandangan nanar. Siapa?“Dia ... Sekar.” Lirih suaranya, tapi dahsyat akibatnya.“Sekar, Mas?” Tanganku mencengkeram sisi meja agar tidak jatuh pingsan. Dia, wanita itu kembali setelah sekian lama. Tak mungkin rumah ini menarik baginya. Pasti ada hal lain yang hendak dia rebut dariku. Mas Danu.Kugele

  • Wanita Berhati Baja   WBB 119

    Aku pernah menentang niat baik istriku yang hendak menjadikan kamu menantu. Keberadaanmu menyiksaku. Namun, kamu tahu apa yang dikatakan istriku? Dia bilang, “Justru aku harus berada di dekatnya, sebab jalan takdir kalian tak akan jadi serumit ini jika malam itu aku tidak menemuimu.”Di situ aku terenyak. Menyadari istriku sengaja datang. Dia membaca surat-suratku untuk ibumu. Ia bilang, “Aku jatuh cinta padamu, lewat kata yang kau untai untuk sahabatku.” Jadi dia sengaja datang ke tempat seharusnya aku bertemu ibumu. Dia ingin menghiburku. Tanpa tahu aku sudah memilih alkohol untuk menemaniku.Dia merasa, dirinya yang membuat hidup kita berantakan. Pernahkah kamu melihat cinta sebodoh itu? Cobalah bercermin. Karena cinta yang bodoh itu, juga pernah kamu rasakan untuk anakku. Juga pernah kurasakan pada ibumu. Juga pernah dirasakan Danu pada Sekar. Hampir dari kita semua, pernah menjadi bodoh karena cinta. Merasa cinta adalah segalanya. Padahal, itu hanya ilusi. Hanya sebuah perasaan y

  • Wanita Berhati Baja   WBB 118

    “Sebaiknya kita kembali ke rumah kita, Mas. Di sini banyak duka yang membayang.” Setelah Mas Danu pulih sempurna, aku segera mengajukan keinginan yang lama terpendam. Rasanya tak betah terus berada di rumah ini. Penuh foto Bapak yang membuatku muak.“Duka itu ada di hati, terbawa ke mana pun kita pergi.” Ia duduk di balkon favoritnya untuk membaca koran. Secangkir wedang jahe—kesukaan Bapak—tersaji. Padahal, dulu Mas Danu tak suka minum wedang jahe. Ia lebih suka minum teh atau kopi. Semakin hari, ia semakin mirip dengan Bapak mertuaku itu. Mungkinkah ini hanya bayanganku saja?“Aku sudah menghubungi pihak bank. Rumah ini masuk daftar lelang. Jadi, bukan sehari dua hari ini terjadi. Semua sudah dijalankan diam-diam sejak lama oleh Caca. Aku akan merebut kembali semua milikku.” Dingin dalam suara itu membuatku kembali teringat almarhum Bapak. Akankah suamiku berubah menjadi pria ambisius yang mencintai bisnis dibanding keluarga?“Tak bisakah Mas relakan? Kita masih punya banyak hal ber

  • Wanita Berhati Baja   WBB 117

    Kuambil tisu dan menyeka beberapa keringat di wajahnya. Padahal AC mobil menyala, tapi bisa-bisanya ia berkeringat.“Jangan pikirkan hal-hal berat dulu, Mas. Kamu baru keluar dari rumah sakit. Sebaiknya kita pulang dan istirahat. Apa gunanya banyak harta jika tubuh sakit?”Dia diam, tak bersuara. Masih memijat kepalanya dengan wajah meringis menahan sakit. Segera kupasangkan seatbelt ke tubuhnya dan menyetir pulang.Meski dipaksa beristirahat, Mas Danu tetap gelisah dalam tidurnya. Ini memang tak mudah bagi kami. Tiba-tiba saja, kemewahan yang kami nikmati selama ini direnggut paksa. Bagai penduduk pribumi yang didepak kompeni. Kami tertipu oleh serigala berbulu domba.“Tidak, Bapak ... Bapak ... kembali. Kembalilah! Jangan pergi!” Mas Danu mengigau dalam tidurnya. Kusentuh keningnya, panas. Dia kembali demam. Kepanikan melanda diriku yang bingung harus bagaimana dalam situasi semacam ini. Suamiku yang kuharapkan bisa berdiri tegak, justru berulang kali jatuh sakit. Masalah bertubi-tu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status