”Kak Charless! Kakak liat Arthur!” panggil Aloria terbangun mendengar teriakan kesakitan dan genggaman tangan Arthur semakin erat.
”Astaga! Ada apa ini? Ibu lihat kemari cepat!” teriak Charless melihat tingkah aneh Arthur. Disekelilingnya dibanjiri cairan hitam bercampur merah pekat yang segar. Menyembur di setiap pori-pori kulit. ”Hua ...! Panas! Sakit-sakit!” raung Arthur dan mengerang kesakitan sampai menggapai-gapai sesuatu. Aloria menenangkan dengan memeluk tubuh Arthur yang terus meronta-ronta. "Arthur! Kendalikan tubuhmu. Kalau seperti ini akan lebih menyiksamu, hai! Berhenti!" jerit Aloria mencengkram rahang Arthur hingga saling bertatapan dalam. Arthur masih setengah sadar. ”Anakku! Astaga, ada apa ini?” lirih Serenity menutup mulut yang mulai gemetar dan menangis histeris. Saat dia melihat perlahan semua kulit Arthur mengelupas hingga terlihat daging merah dan kuning. Angellia dan Julie terduduk lemas tidak percaya hal itu terjadi.”Tapi, kalian harus tetap melakukan perlawanan ini! Kalian mau menyerah begitu saja? Apa lupa dengan janji terhadap mendiang Edward O’neil? Inikah usaha kalian?” cecar Aroon memandang tajam begitu marah terhadap perkataan Eleanor yang terkesan putus asa itu. ”Tolong! Jangan menyerah, apa pun yang akan terjadi pengorbanan kita tidak akan sia-sia. Entah, selanjutnya salah satu dari kita mengikuti pengorbanan Edward atau tidak. Tetap tuntaskan semua sampai akhir!” sahut Serenity dan menggenggam erat tangan Eleanor hingga menatap dalam dengan semangat berapi-api. "Kalian juga ingat, kan? Kejadian yang merenggut nyawa Edward? Pertemuan pertama dan terakhir kita, berpencar setelah pernikahan kalian." Lanjut Aroon mengenang masa lalu yang menyakitkan. "Yah, semua keluarga berkumpul di Villaku. Dan tragedi mengenaskan yang merubah segalanya. Benar, pengorbanan kita baru seujung jari." Barlder memijat dahinya. Eleanor dan Barlder saling bertatapan, tid
“Tante, ada yang ingin dibicarakan? Tante, terima kasih lagi atas semuanya. Maaf, kami hanya bisa menyusahkan saja,“ ucap Leo sambil mengenggam tangan Eleanor. “Sama-sama, Nak. Jangan berbicara seperti itu! Entahlah, Aku sedikit resah saja. Ada satu pertanyaan yang harus kamu jawab jujur!“ tanya Eleanor dengan tatapan sendu. “Hmm ... baik, akan aku jawab jujur. Kalau itu membantu, Tante. Tidak jadi masalah,“ sahut Leo yang meyakinkan Eleanor. “Apa kamu sudah memikirkan hal ini matang-matang? Semua resikonya?“ tanya Eleanor, Leo sangat terkejut. “Soal menghadapi takdir ini, Tante? Sudahku pikirkan, tahu semua resikonya sampai hal terburuk pun. Aku siap menghadapi ini! dari kejadian hari ini. Menyadarkanku, bahwa kita harus benar-benar memusnahkan iblis itu!“ tegas Leo dengan menatap tajam Eleanor. “Bagus, kalau kamu siap! Kuatkan mentalmu, karena iblis-iblis itu akan melakukan hal paling gila. Berhati-hatilah jaga semuanya! Hubungi a
“Julie, baik-baik saja? Tubuhmu berkeringat semua! nanti bisa sakit, diam di situ. Lebih baik Kamu bersih-bersih, iya!“ perintah Angellia lalu memberikan handuk walau direspon sangat lambat oleh Julie. “I-ya, Kak ... tapi, Kak Leo di mana? Dan semua sudah pergi?“ tanya Julie dengan raut wajah kelelahan. “Iya, sudah pulang. Kak Leo sedang ada urusan di luar, nanti pun pulang,“ jelas Angellia berlalu pergi mencoba beristirahat satu tempat tidur dengan Jasmine. Julie pun bergegas membersihkan diri, tapi hatinya begitu resah. Sosok itu terus mengikutinya, ketika bercermin pun sosok itu ada di belakang. Tetap mendekatkan senjata itu di leher Julie. “Apa takdirku sudah dekat dengan kematian?“ suara batinnya. Dia berusaha berpikir positif, mengalihkan semua pikirannya dengan beristirahat total. Leo berusaha menenangkan diri, duduk di sebuah kursi tua ke dalam hutan dan dekat dengan rumahnya. Begitu sunyi sangat cocok untuk mendingingkan susana hati. Cahaya mat
“Kak! Kak Arthur! Kenapa melamun, Kak? Bantu aku, ambilkan air dan kain lagi!“ panggil Angellia berusaha menyadarkan Arthur yang hanya diam dengan tatapan kosong. “Apa? Angel, maaf ta-tadi aku me-melihat De-Dewa!“ gagap Arthur yang terkejut. “Apa? mana mungkin? Dewa siapa, Kak?“ tanya Angellia yang tidak percaya dengan perkataanya. “De-Dewa Penca-cabut Nyawa, Angel!“ jawab Arthur dengan bibir gemetar hebat merasakan ketakutan. “Hah!“ teriak Angellia lalu menoleh dan menjatuhkan mangkuk aluminium berisi air itu. Suara pun menggema. “Ada apa? Aku ada di mana? Aww! mataku. Angel?“ tanya Jasmine yang terusik mendengar mangkuk itu jatuh dan meraba-raba tangan Angellia. “Iya, ini aku! Tenang, kamu ada di ruang UKS ko.k Sudah bisa duduk?“ jelas Angellia. “Jasmine, ada apa? Sampai kamu seperti ini?“ tanya Arthur yang memastikan akan sesuatu hal. “Tadi, ada yang datang! Aku tidak, mengerti. Dia bilang soal takdir
“Si-siapa? Aku di mana? Jauhi keluargaku! Lakukan sesuka hatimu! Cepat lakukan!” jerit Julie yang menangis terus meronta-ronta ingin menyerang Meliai. “Diam! Aku tidak peduli dengan keluargamu! Kamu tidak usah tahu diriku. Ingat saja mukaku ini, sampai ke alam baka!” seru Meliai yang tertawa riang dan menampar pipi Julie hingga tersungkur ke lantai. Meliai menjentikkan jari, hingga tubuh Julie terangkat tinggi. Julie dihempaskan ke bawah dan ke atas berulang-ulang. Sampai terdengar suara retakan tulang di mana-mana dan mulut memuntahkan banyak darah. Tangan Julie dibentangkan dan paku besar menancap tembus hingga ke tembok membuatnya tergantung. Meliai mengabaikan suara raungan kesakitan Julie. Suara menggema yang mengisi ruangan itu. Tubuh Meliai sedikit melayang-layang, mendekatkan wajahnya dengan senyum sinis. Dia menatap Julie yang mulai kelelahan, setiap tarikan napasnya membuat beberapa tulang iga retak lagi. Wanita iblis itu menjulurkan lidah, p
“Selain manusia? Memang siapa? Roh atau iblis?” ucap Jasmine secara spontan dengan raut wajah kesal sampai membuat semua menatap Jasmine. Semua terdiam tak menjawab. “Maaf, mengganggu percakapan kalian. Saya detektif D, ingin meminta kesaksian yang terakhir kali bersama dengan korban. Dan pada jam berapa tidak kembali,” potong detektif D yang melirik satu per satu begitu penuh pertanyaan. Leo dengan sigap maju dan menjawab semua pertanyaan dari detektif itu. Dari raut wajah detektif D, terlihat beberapa kejangalan yang terjadi. Tapi, dia tidak bertanya lebih jauh dan memanggil rekannya untuk berdiskusi. Jasmine hanya menunduk lemah, membuka ponselnya melihat pesan-pesan terdahulu dengan Julie. Dia pun melihat foto terakhir kalinya bersama Sang adik. Jasmine merasakan perih sekali, dulu kehilangan Edward sekarang Julie. Dia menunduk dan memeluk erat lutut. Terdengar tangis pilu Jasmine. Leo hanya bisa menatap kosong dan bingung. Semua rasa berkecambuk di hati, tid
Jasmine mengetuk pintu dengan pelan, sesekali menghapus air matanya. Dia menunggu cukup lama, tangannya terus mengetuk pintu. Pintu pun terbuka, Jasmine mencium aroma rokok yang menyengat. Dia pun terbatuk-batuk dan mengibas kepulan asap itu. Dia merasa cemas melihat keadaan Leo yang sangat kacau. Apa lagi kondisi kamar yang berantakan. Mata kakaknya yang sama-sama bengkak dan merah. "Apa kakakku menderita seperti ini? Kenapa aku hanya diam, tidak bisa bertindak apa pun?" gumam Jasmine ada rasa bersalah pada Leo. Leo hanya menatap kosong, raut wajah kusam memikirkan banyak hal. Di bahunya memikul beban terlalu berat menjadi lebih frustasi. Jasmine hanya bisa diam beradu tatap, perlahan menarik badan yang tegap itu. Mereka berpelukkan dan menangis tersedu-sedu bersama lagi. Leo mempererat pelukannya sambil mengecup kening adiknya. Kasih sayang yang tulus dan penuh rasa syukur. Memiliki ikatan saudara yang tidak tergoyahkan. Walau penuh rahasia dibelakang Sang k
Tiba-tiba Aloria terdiam, merasakan sensasi yang aneh. Dia merasa rohnya terpisah dengan tubuh. Tubuhnya mulai bergetar hebat dan ketakutan. Aloria melihat seseorang muncul dibalik tembok. Sosok dengan gaun berwarna putih khas dengan aroma mawar. Wanita itu membentangkan tangan ke depan kilatan api menyerang Aloria. Perempuan mungil itu terpental jauh ke belakang. Hingga menghantam keras benda apa pun. Aloria berakhir tergantung di tembok dan meronta-ronta kesakitan. Napasnya terengah-engah sebab dicekik. Barlder dan Eleanor syok berat, sampai tidak bisa berkutik sedikit pun. Mereka menajamkan penglihatan ada sebuah tulisan yang terukir berwarna hitam seperti hangus terbakar. "Waktunya sudah dimulai!" Tulisan yang sangat jelas di samping Aloria. Afrodit melayang-layang sambil menyeringai, tapi tubuh anak bungsunya itu kejang-kejang hebat. Tangan Aloria mencoba meraih sesuatu di mulutnya. Perlahan terbuka lebar, terdengar suara rahang yang retak memaksakan benda besar untuk