Richard tersenyum puas mendengar laporan preman yang ia bayar untuk mengawasi Alenta.
Semuanya berjalan sesuai rencana, wanita itu sudah terkena jerat yang ia pasang untuknya tanpa mencurigai apapun.
Ia tinggal mengeksekusi segala yang menghalangi rencananya dan semua akan kembali ke semula.
****
Alenta memijat kaki ibunya, Helenna, dengan penuh perhatian. Hari ini ia memutuskan menjenguk ibunya sekaligus memberikan sebuah kabar gembira.
Setelah mendapat telepon dari Richard, Alenta memberanikan diri untuk berbicara dengan sang ibu, tentu saja ia tidak akan mengungkit tentang keadaan dirinya yang tengah hamil muda, bisa-bisa ibunya akan mengalami serangan kembali.
Selama dua tahun terakhir, ibunya dirawat di rumah sakit karena mengalami gagal jantung, sedikit saja ibunya merasa terkejut atau stress maka itu akan mengancam jiwanya. Ayahnya telah meninggalkan Alenta saat ia masih belia dan hanya ibunya yang berjuang membesarkan dirinya seorang diri. Kini, sudah saatnya ia membalas jasa ibunya.
"Sudahlah tidak usah, kamu pasti lelah," tukas Ibunya lalu menepis tangan Alenta dari kedua kakinya.
Alenta tidak mengindahkan perkataan ibunya, ia menjangkau kaki ibunya lalu memijatnya kembali.
"Gapapa Ma, mumpung aku libur hari ini, aku akan memanjakanmu," seloroh Alenta pada ibunya.
Helenna tersenyum, ia menyerah dan membiarkan Alenta memijat kakinya yang terasa kaku karena terlalu lama berbaring.
"Bagaimana keadaan Mama?" Tanya Alenta.
"Sejauh ini Mama baik-baik saja,"
"Apa ada serangan lagi?" Tanya Alenta lagi, kali ini dengan nada cemas. Jika mengalami serangan, ibunya akan merasa sangat sakit di bagian dada. Alenta sudah melihatnya berkali-kali dan itu membuat seluruh hatinya ikut sakit.
Helenna mengusap tangan Alenta, "Mama baik-baik saja sayang, jangan khawatir,"
Alenta menganggukkan kepalanya lalu tersenyum, syukurlah jika keadaan ibunya membaik hari ini.
"Ada yang ingin aku beritahukan pada Mama," ucap Alenta membuka pembicaraan.
Melihat raut wajah Alenta yang serius, Helenna mencondongkan tubuhnya ke depan, "Ada apa Sayang?" Tanya Helenna lembut.
"Ma, aku akan menikah,"
Helenna terperangah mendengar ucapan Alenta, "Menikah? Dengan siapa? Kamu tidak pernah terlihat dekat dengan siapapun," tanya Helenna bingung.
Ia tidak pernah mendengar Alenta membicarakan seorang pria di hadapannya, ia pikir Alenta hanya memikirkan karier dan kesehatan dirinya, tapi menikah? Ini sebuah kejutan.
Alenta menghela nafasnya, "Ada pria yang sangat mencintaiku dan dia ingin menikahiku," gumam Alenta pelan, ia memutar jari jemarinya dengan gugup, berbohong pada ibunya tidak semudah yang ia pikirkan.
"Benarkah? Siapa?"
"Rafael Herenson," sahut Alenta singkat.
Helenna menganggukkan kepalanya, "Herenson? Sepertinya Mama pernah dengar marga itu,"
"Dia putera pemilik perusahaan Number One,"
Helenna semakin terkejut mendengar ucapan Alenta, perusahaan Number One adalah perusahaan yang sangat terkenal dalam pembuatan produk pangan di kota ini. Alenta memang cantik, tapi ia tidak menyangka anaknya bisa dekat dengan putera keluarga Herenson. "Astaga, Sayang, kamu serius? Apa dia sangat tergila-gila padamu?" Tanya Helenna kembali tidak percaya.
Alenta menganggukkan kepalanya dengan yakin, "Tentu saja, aku adalah anak Mama yang paling cantik, akan ku kenalkan kalian nanti," tutur Alenta dengan senyum lebar.
Melihat Alenta bersungguh-sungguh dengan perkataannya, Helenna ikut tersenyum. "Kamu harus segera mengenalkan Mama padanya,"
"Mama akan merestuinya?" Tanya Alenta hati-hati.
"Tentu saja, jika dia membuatmu bahagia maka Mama akan merestuinya. Sekalipun dia bukan dari kalangan orang berada, Mama tetap akan menerimanya," tukas Helenna.
Alenta merasa sangat bersalah karena telah berbohong pada Helenna, ia kemudian memeluk sang ibu erat untuk menyembunyikan kegugupannya.
"Aku akan menggelar pernikahan kami setelah Mama selesai operasi, maka dari itu Mama harus sembuh," ucap Alenta penuh harap,
Operasi Helenna akan dilakukan minggu ini, Alenta yakin operasinya akan berhasil dan Helenna akan menghadiri pernikahannya.
Helenna membalas pelukan Alenta lalu menganggukkan kepalanya yakin, "Mama akan berusaha sekuat tenaga untuk itu, Mama akan menyaksikan kebahagiaanmu,"
Alenta berharap semoga hal itu benar-benar terjadi, semoga nanti ibunya tidak merasakan sakit lagi setelah ini.
****
"Selamat siang, Ayah," salam Alenta pada Richard, ia merasa kagok saat memanggil Richard dengan sebutan 'ayah', namun karena ini permintaan dari Richard maka ia harus terbiasa melakukannya sekarang.
Ia merasa sangat senang karena Richard ingin bertemu kembali dengannya hari ini, apalagi Richard mengundangnya ke ruangan pribadinya di kantor membuat ia merasa bahwa ia benar-benar telah diterima oleh Richard.
"Ah, aku senang kau datang, duduklah," ujar Richard ramah, ia menunjuk kursi sofa di hadapannya.
Alenta masuk lebih dalam ke ruangan itu dengan ragu.
"Mana Rafa?" Tanya Alenta bingung, ia melihat sekeliling, tapi tidak ada kehadiran Rafael disana. Tadi Alenta sudah memberitahu Rafael soal undangan ayahnya, namun Rafael tidak membalas pesannya. Mungkin dia masih sibuk.
Hubungan mereka kembali membaik setelah Richard menerimanya. Alenta berusaha mengembalikan cinta yang hilang itu kembali karena bagaimanapun Rafael adalah calon suaminya. Ia ingin meluruskan semua kesalahpahaman diantara mereka sebelum mereka menikah. Ia akan berusaha menjalani kehidupan pernikahan dengan Rafael sebaik mungkin.
"Rafa sedang ada urusan kantor sebentar, nanti dia akan menyusul kesini. Apa kau sudah merindukannya sekarang? Kalian akan segera menikah dan kau akan menemui dia setiap hari sampai kau bosan," seloroh Richard lalu terkekeh.
Alenta mengangkat sebelah tangannya, "Ah tidak, saya hanya ingin tahu," ujar Alenta merasa malu.
Richard menghentikan tawanya lalu bertanya, "Kau mau minum apa?"
Alenta merasa tidak enak mendengar tawaran Richard, "Ah, tidak apa-apa, tidak perlu repot-repot Ayah,"
"Jangan begitu, kau adalah calon menantuku, ini pertama kalinya kau datang kemari tentu saja aku harus menyambut kedatanganmu dengan baik," desak Richard.
Alenta kembali merasa terharu dengan sikap baik yang ditunjukkan oleh Richard padanya. Ia merasa sangat beruntung mendapatkan calon mertua yang baik. Richard seperti sosok ayah yang telah hilang di dalam kehidupannya, "Baiklah, apapun yang disediakan, aku akan meminumnya, Ayah," ujar Alenta dengan sopan.
Richard tersenyum mendengar ucapan Alenta, ia kemudian keluar dari ruangan kantornya untuk meminta minuman pada sekertarisnya.
Alenta menunggu disana dengan gugup, ia memandangi interior ruangan itu dengan takjub. Untuk sekedar ruangan kantor, interiornya terlihat sangat mewah. Kursi sofanya juga terasa sangat empuk, selera orang kalangan atas memang beda.
Richard kembali ke ruangan itu beberapa menit kemudian, di belakangnya terlihat sekertaris kantornya membawa minuman dan cemilan dengan nampan. Sekertaris itu segera meletakkan nampan di meja lalu berlalu dari sana.
"Cobalah," ucap Richard menunjuk cemilan dan minuman itu.
Alenta menatap piring kecil berisi biskuit juga juice berwarna kuning di sampingnya. Ia mengambil sekeping biskuit dari piring lalu memakannya perlahan. Biskuit itu terasa sangat renyah dan gurih, ia sendiri tidak tahu apa namanya, tapi ini terasa enak.
"Ini enak," ucap Alenta jujur, ia mengunyah biskuit itu hingga habis.
Richard tersenyum mendengar ucapan Alenta, "Baguslah, jika kau menyukainya,"
Setelah memakan biskuit, tenggorokan Alenta terasa sedikit kering, ia mengambil gelas berisi juice lalu meminumnya seteguk.
"Jadi kapan pernikahan saya dan Rafa...."
Kata-kata Alenta menggantung di udara, ia mengerjapkan matanya, kenapa kepalanya tiba-tiba terasa sangat pusing?
"Kau baik-baik saja?" Tanya Richard.
Alenta mengerjapkan matanya berkali-kali lalu menggelengkan kepalanya, pandangannya terasa kabur, bayangan Richard di hadapannya menjadi samar-samar.
Alenta memegangi kepalanya yang semakin terasa berat lalu pandangannya semakin lama semakin gelap dan hal terakhir yang ia lihat adalah Richard terlihat tersenyum menyeringai lalu bergumam pelan dihadapannya, "Dasar gadis bodoh,"
Alenta mengerjapkan matanya, ia melihat sekelilingnya yang berwarna putih, kepalanya terasa makin berat. Samar-samar ia melihat Richard berdiri disana."Dimana ini Ayah?" Tanya Alenta dengan suara serak."Rumah sakit," jawab Richard singkat.Alenta mengerjapkan matanya, pusing di kepalanya tidak juga membaik, "Kenapa Ayah membawaku ke rumah sakit? Bukankah tadi kita sedang membicarakan pernikahan?" Tanya Alenta, ia mencoba bangkit namun pusing di kepalanya semakin menyerangnya."Siapa yang akan menikah? Tidak akan ada pernikahan, bayi itu tidak akan lahir ke dunia ini,"Alenta terperangah mendengar perkataan Richard. Ia menatap bingung pada Richard. Apa maksudnya? Rumah sakit? Sebentar, sebelum pingsan ia tadi meminum juice bersama dengannya. Mata Alenta membulat saat menyadari sesuatu."Anda menjebak saya?" Tanya Alenta saat otaknya mulai memahami kemana arah pembicaraan Richard.Richard memasang senyuman licik lalu menatap Alenta de
Alenta membuka matanya dengan susah payah, ia mengerjap memandang sekeliling lalu tatapannya berubah menjadi waspada saat ia melihat sekeliling ruangan itu berwarna putih, jelas-jelas ini adalah rumah sakit.Tidak, ternyata dia belum keluar dari neraka ini. Ia melirik pisau buah di samping nakas, Alenta segera mengambilnya lalu ia sembunyikan pisau itu dibalik selimut.Alenta mendengar derap langkah kaki mendekat ke arah kamar, ia kembali memejamkan mata, berpura-pura tidur.Pintu kamar Alenta dibuka, jantungnya berdegup kencang, bagaimanapun caranya ia harus keluar dari tempat ini."Kurasa dia akan sadar hari ini,""Baguslah kalau begitu,"Suara seorang wanita dan pria. Alenta memegang pisau itu dengan erat. Ia sudah siap.Alenta bangkit dari tidurnya, ia menarik tubuh sang wanita lalu mengancam lehernya dengan pisau."Nona, tenang," ucap si pria mengangkat sebelah tangannya. Si wanita terlihat akan menangis melihat ancaman dari
Alenta membuka matanya dengan susah payah, ia kemudian bangkit saat teringat kembali tentang ibunya. "Jangan dulu bergerak, Alenta! Kau masih belum pulih dan butuh banyak istirahat," teriak Selly saat melihat Alenta akan mencabut infusannya kembali. Selly menghampiri tubuh Alenta dan menahannya agar kembali ke tempat tidur. "Aku, aku harus menemui ibuku," jawab Alenta keras kepala. Selly menghela nafas lalu menyentuh bahu Alenta, "Alden sedang mencarinya, kau jangan khawatir. Dia akan langsung kesini dan mengabari semuanya," "Ibuku, dia...." Alenta tidak sanggup melanjutkan perkataannya, ia hanya bisa menangis tanpa bisa berbuat apapun karena keadaannya yang masih lemah. Selly menarik tubuh Alenta ke pelukannya. Ia menepuk pundak Alenta pelan, membiarkan Alenta menangis tersedu-sedu disana. "Semua akan baik-baik saja, Alenta. Semua akan baik-baik saja, jangan khawatir. Aku dan Alden akan membantumu," Alenta mengangguk, ia sanga
Alden bergegas menghampiri Alenta lalu menarik tangan gadis itu."Kita harus keluar darisini!"Alenta menatap bingung pada Alden, "Ada apa? Kenapa kau terlihat sangat panik?" Tanya Alenta dengan alis terangkat. Ia merasa heran melihat raut wajah Alden yang tegang. "Ada banyak pria yang mencari keberadaan kita di rumah sakit, kita harus pergi," jelas Alden pada Alenta. Alenta terkejut mendengar perkataan Alden, ia menatap pusara ibunya ragu lalu berkata pada Alden, "Tunggu sebentar," Alden menganggukkan kepalanya lalu melepaskan pegangan tangannya. Alenta mundur untuk kembali mengusap pusara ibunya, ia menggenggam nisan sang ibu dengan perasaan berkecamuk lalu berkata dengan nada sungguh-sungguh, "Ma, aku pasti akan membalas semua kesakitan yang Mama rasakan, aku janji," Setelah mengatakan itu, Alenta berbalik dari makam Ibunya lalu berjalan ke arah Alden. Mereka terus berjalan hingga meninggalkan area pemakaman. Alenta mengepalkan tangannya kuat
"Kita harus mengubah identitasmu, Alenta," ujar Alden pada Alenta. Selly yang hari ini mengunjungi rumah Alden melebarkan kedua matanya dengan bingung. "Ada apa ini? Apa aku ketinggalan banyak?" Tanya Selly heran karena sepertinya hanya mereka berdua yang mengerti maksud perkataan Alden. "Kalian berdua, tolong jelaskan padaku apa maksudnya?" Tuntut Selly kembali, ia menatap mereka bergantian. Alenta menatap Selly lalu berkata dengan sungguh-sungguh, "Aku akan membalas semua perbuatan mereka, Selly," ucap Alenta lalu menggemretakkan giginya penuh amarah. Selly terperangah mendengar perkataan Alenta. Selly paham betul maksud Alenta dan kepada siapa panggilan "Mereka" itu tertuju.Ia menggelengkan kepalanya tidak setuju dengan keputusan Alenta yang gegabah. "Alenta, kau tidak akan menang melawan keluarga Herenson. Mereka punya kekuasaan yang besar di negara ini. Itu hanya akan membahayakan nyawamu," tukas Selly cemas. Kejadian tempo ha
Operasi yang dijalani Alenta berjalan lancar tanpa ada hambatan apapun. Pemulihan setelah operasinya berlangsung selama satu minggu. Selama itu Alden dan Selly bergantian menjaga Alenta. Hari ini perban wajah Alenta akan dilepas. Alenta sudah menunggu-nunggu hari ini. Selama seminggu wajahnya terasa pengap dan besar karena perban yang masih melilit disana. Ada rasa takut dan gugup yang melanda hatinya tiba-tiba. Bagaimana jika wajahnya berubah menjadi buruk karena operasi ini? Alden telah datang ke ruangannya setengah jam yang lalu sedangkan Selly berhalangan hadir karena jadwal praktiknya yang bentrok hari ini. "Kau gugup hari ini?" Tanya Alden pada Alenta. Alenta mengangguk pelan, ia hanya bisa menggerakkan kepalanya sebagai isyarat untuk menjawab lawan bicaranya. "Baiklah perbannya akan saya buka. Nona Alenta, Anda sudah siap?" Tanya Dokter John, Dokter yang bertanggung jawab atas operasi plastik Alenta. Dokter John adalah teman ayah Selly
Alden memasuki hall room tempat pertunangan Rafael dan Barbara dilaksanakan. Alenta mengekori langkah Alden dari belakang. Terlihat dari jauh, Rafael Herenson telah melambaikan tangan pada mereka dengan senyuman lebar. Alden balas tersenyum, ia menarik tangan Alenta yang terlihat gugup di belakang."Jangan gugup Alenta, ingat kau adalah Kimmy Ara."Alenta menghela nafasnya pasrah saat Alden menariknya untuk menghampiri Rafael. Tidak hanya Rafael, disana juga ada Richard."Kau datang juga," ucap Rafael antusias pada Alden.Alenta berdiri dengan canggung di belakang Alden. Jantungnya berdebar dengan keras, ada rasa khawatir yang ia rasakan saat berhadapan langsung dengan Rafael. Mereka telah menjalin hubungan selama setahun lebih. Bagaimana jika Rafael mengenalinya meski ia telah berganti wajah?Alden menggamit tangan Rafael lalu menjabatnya erat, "Tentu saja aku harus datang untuk melihat pertunangan kawan baikku," sahut Alden dengan senyuman lebar.
"Jadi, Rafael sudah mengundangmu kesana?" Alenta menganggukkan kepalanya penuh tekad mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Alden. Hari ini Alenta akan pergi ke kantor perusahaan Number One. Seperti yang ia dan Alden perkirakan, tanpa butuh usaha lebih dengan sendirinya Rafael pasti akan mengundangnya untuk bekerja di perusahaan itu. Terima kasih untuk wajah operasi plastiknya yang sangat membantu. "Aku tidak yakin jika dia menerimamu hanya karena ingin membalas budi padaku," ucap Alden sambil tertawa. Ia teringat ucapan Rafael kemarin malam. Pria itu berkata akan menerima adiknya untuk bekerja disana sebagai ungkapan balas budi karena telah membantu bisnisnya dengan baik. Alenta ikut terkekeh kecil, "Tampaknya kau sudah mengenal Rafael dengan baik," "Dia pria yang mudah tergoda. Kecantikan wajah Kimmy Ara berhasil menjeratnya. Dia tidak sadar bahwa ia sudah tergoda pada malaikat kematiannya," timpal Alden pada Alenta yang masih sibuk merias penam