"Seperti yang saya bilang tadi, saya mengandung anak dari putra Bapak, Rafael," jelas Alenta pada orang di hadapannya.
Direktur Richard, Ayah dari Rafael yang merupakan pemilik perusahaan Number One membetulkan letak kacamata lalu menatap Alenta dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan.
Richard terlihat berpikir sejenak mendengar perkataan Alenta, "Jadi, berapa usia kandunganmu?" Tanya Richard.
Alenta membuka tas tangannya lalu mengambil foto USG yang kemarin lusa ia lakukan di tempat Jenny, "Sekitar tiga minggu," tukas Alenta singkat. Dibanding dengan Rafael, Richard terlihat lebih tenang menanggapi perkataan Alenta.
Richard menganggukkan kepalanya, ia melirik foto USG itu dengan kening berkerut, "Apa Rafa sudah mengetahuinya?"
Alenta balas mengangguk lalu kemudian menghela nafasnya berat, "Ya, tapi Rafa meminta saya untuk menggugurkannya,"
"Jadi, kau ingin mempertahankannya?" Tanya Richard memastikan.
Alenta menganggukkan kepalanya dengan yakin, "Saya meminta untuk bertemu dengan Anda berharap Bapak bisa membantu saya,"
Richard kembali terlihat menimbang-nimbang, ada hening sejenak diantara mereka kemudian ia kembali bersuara, "Kau yakin itu adalah anak Rafa?"
Alenta melebarkan matanya tersinggung dengan perkataan Richard, memangnya dia pikir Alenta wanita macam apa?
"Tentu saja, saya yakin seratus persen hanya Rafa yang pernah menyentuh saya, itu pun saat saya tidak dalam keadaan sadar," ucap Alenta dengan sinis.
Richard menyandarkan tubuhnya lalu menatap Alenta dengan tatapan lembut, "Tenanglah jangan marah, aku hanya ingin memastikan. Jika itu memang anak Rafa, aku akan membantumu."
Alenta memasang wajah sumringah mendengar perkataan Richard, "Benarkah? Anda benar-benar akan membantu saya, Pak?" tanya Alenta tidak percaya.
Richard menganggukkan kepalanya, "Tentu. Rafael harus mempertanggungjawabkan perbuatannya padamu, bukankah itu yang kau inginkan?"
Alenta menghela nafas lega mendengar perkataan Richard, ia mengangukkan kepalanya merasa bersyukur karena Richard memahami semua masalah yang tengah ia hadapi.
"Aku akan membicarakan ini dengannya, akan ku kabari lagi nanti," ujar Richard,
Alenta menganggukkan kepalanya lalu tersenyum lebar, "Terimakasih Pak," ucapnya dengan penuh rasa syukur. Akhirnya masalahnya memiliki titik terang, ia yakin Rafael pasti mendengarkan ucapan ayahnya karena kekuasaan perusahaan Number One berada di tangannya. Alenta mengusap perutnya meyakinkan anaknya bahwa setelah ini mereka akan baik-baik saja.
****
Plak! Plak! Plak!
Dengan sekuat tenaga, Richard menampar Rafael berkali-kali. Sosok tinggi itu menatap nyalang pada Rafael, tidak menghiraukan gurat kesakitan yang tergambar di wajah puteranya.
Rafael terlihat membeku di tempat, namun ia tidak bisa berbuat banyak dan membiarkan sang ayah melampiaskan amarahnya. Darah segar muncul di sudut bibirnya, tapi Richard tetap menampar wajahnya sekuat tenaga sekali lagi.
Richard terlihat mengatur nafasnya yang kelelahan lalu mengumpat pada Rafael, "Kau benar-benar bodoh!"
Richard menggelengkan kepalanya lalu menghela nafas, ia kembali menatap berang pada anaknya.
Melihat kemarahan yang ditunjukkan Richard, Rafael segera menjatuhkan dirinya, memasang posisi berlutut di depan ayahnya.
"Maafkan aku, Ayah," mohon Rafael, ia mengangkat kedua tangannya.
"Sudah ku bilang, jangan terlibat dengan wanita apalagi dari kalangan selebriti! Jika kau tidak bisa mengendalikan hawa nafsumu, bayarlah mereka, bukan malah menjalin hubungan serius dengannya!" Geram Richard, ia mengepalkan kedua tangannya, merasa sangat murka kepada Rafael. Semua rencananya akan kacau balau jika Rafael terlibat dengan wanita itu.
Rafael hanya menunduk tidak mampu mengatakan sepatah kata pun.
Richard melemparkan tubuhnya ke kursi lalu memijit keningnya yang terasa berputar, "Lalu bagaimana sekarang? Apa kau akan menikahinya?"
Rafael menggeleng keras, ia tahu ayahnya tidak akan setuju jika ia menikahi Alenta.
Alenta hanya wanita dari kalangan kasta terbawah yang memiliki nasib mujur menjadi bintang baru, ayahnya pasti akan membunuhnya jika dia melakukan keputusan itu. "Tidak Ayah, aku hanya menyukai tubuhnya, itu saja. Karena sekarang dia sudah tidak berguna, aku tidak mau apa-apa lagi darinya," ucapnya membela diri.Richard tersenyum miring mendengar pengakuan puteranya, "Bagus, kau hanya boleh menikah dengan Barbara, puteri dari keluarga Johnson, pernikahan kalian nanti akan semakin memperkuat perusahaan,"
Rafael menganggukkan kepalanya patuh, "Baik Ayah, soal Alenta aku akan mengurusnya diam-diam," ujar Rafael yakin.
Richard mengangkat sebelah tangannya, "Tidak, tidak, biar Ayah yang mengurusnya, bisa-bisa kau bertindak ceroboh lagi," sahut Richard tidak percaya.
Rafael yang tidak mampu menyanggah ucapan ayahnya lagi hanya bisa mengangguk pasrah. Dalam hati ia merutuk kesal, keputusan Alenta menghubungi ayahnya merupakan kesalahan fatal. Seharusnya wanita itu menurutinya untuk menggugurkan kandungan itu diam-diam, jika ayahnya sudah mengetahuinya maka dapat dipastikan Beliau juga akan menghabisi Alenta.
Rafael tidak bisa berbuat apapun, jika ingin selamat dan mempertahankan posisinya sekarang maka ia harus pasrah dengan semua keputusan ayahnya.
"Jangan berbuat onar lagi atau kucabut semua fasilitasmu nanti, Rafa!" Tukas Richard mengingatkan.
Rafael menganggukkan kepalanya, "Kalau begitu aku pamit, Yah," ucapnya lalu undur diri dari ruangan ayahnya.
Rafael menarik nafas lalu menghembuskannya kasar. Semua rencananya kacau balau! Sayang sekali padahal ia sudah sangat menyayangi Alenta dan enggan kehilangannya. Sial! Seharusnya ia berhati-hati malam itu dan memakai pengaman. Karena terlalu dilanda gairah yang besar, ia sampai melupakan hal sepenting itu.
Alenta, gadis itu berbeda. Gadis itu tidak ingin bersentuhan dengannya sebelum ikatan pernikahan dilakukan. Selama berbulan-bulan lamanya Rafael mencoba bersabar dan menahan hawa nafsunya karena tidak ingin kehilangan Alenta. Namun, semakin lama kewarasannya semakin terkikis, ia merasa makin penasaran dengan tubuh Alenta hingga dia terpaksa membius Alenta pada malam itu, membawa tubuh Alenta ke hotel lalu melakukan pelepasan pada milik Alenta berulang kali tanpa memikirkan akibatnya.
Rafael menjambak rambutnya keras, semuanya akan berakhir jika Richard sudah turun tangan. Rafael mendesah, kini ia hanya bisa pasrah dengan kehidupannya yang selalu dimonopoli oleh sang ayah.
****
"Saya sudah bicara dengan Rafael," ucap Richard di telepon.
Alenta menegakkan tubuhnya, mencoba mendengar perkataan Richard lebih seksama,
"Lalu bagaimana? Apa dia masih menolak?" Tanya Alenta tidak sabar."Tidak, tenang saja, dia menuruti semua perkataanku, kalian bisa menikah,"
Mendengar hal itu, mata Alenta segera berbinar, ia merasa sangat bersyukur pada Tuhan karena semua do'anya akhirnya terkabul. Status anaknya akhirnya bisa ia selesaikan dengan baik.
"Anda menyetujui pernikahan ini?" Tanya Alenta gugup.
"Tentu saja, aku senang akan memiliki menantu yang cantik sepertimu,"
Alenta mengusap bulir airmata yang keluar dari sudut matanya, terharu dengan apa yang dikatakan oleh Richard. Ada perasaan bangga karena ia akan menjadi menantu di keluarga Herenson, keluarga ternama di kota ini.
"Terimakasih, saya sangat senang karena Anda berada di pihak saya," ucap Alenta dengan senyuman tulus.
Richard terdengar mendesah di seberang telepon. Alenta mengangkat alisnya, tidak paham kenapa Richard terlihat tidak suka, apa ia salah bicara?
"Kau sebentar lagi akan menjadi menantuku, kenapa masih bersikap formal? Kau bisa memanggilku Ayah mulai sekarang,"
Sekali lagi Alenta merasa tersanjung dengan kelembutan nada bicara Richard, "Ah, maaf, Ayah," ucap Alenta terbata.
Richard terdengar terkekeh, "Baiklah, Nak, kita akan membicarakan semua persiapan pernikahanmu nanti. Kita harus sering-sering bertemu."
Meski Richard tidak bisa melihatnya, Alenta menganggukkan kepalanya semangat, "Baik, Ayah, aku akan menunggu kabarmu,"
"Kalau begitu jaga kesehatanmu dan cucuku dengan baik,"
Hati Alenta terasa hangat mendengar ucapan itu. Akhirnya tangisannya selama beberapa hari ini terbayar dengan kebahagiaan.
"Baik, Ayah,"
"Baiklah, sampai nanti,"
Telepon itu kemudian diputus oleh Richard.
Alenta meletakkan ponselnya di seberang meja lalu memasang senyuman lebar, ia tidak menyangka hati Richard lebih hangat dari yang terlihat dari luar. Awalnya Alenta merasa ragu melihat gerak gerik Richard tempo hari, namun sepertinya ia terlalu berprasangka buruk.
Alenta mengusap perutnya lalu bergumam pelan, "Kamu akan punya keluarga sayang, jangan khawatir, Kakekmu orang yang sangat baik,"
Tampak seorang pria mengamati gerak-gerik Alenta dari balik tembok. Pria itu kemudian mengambil ponselnya yang berada di saku celana lalu benda itu ia tempel ke arah telinga.
"Semua beres Bos, wanita itu tidak mencurigai apapun!"Setelah berkata seperti itu panggilannya diputus begitu saja tanpa ada jawaban apapun.
Richard tersenyum puas mendengar laporan preman yang ia bayar untuk mengawasi Alenta.Semuanya berjalan sesuai rencana, wanita itu sudah terkena jerat yang ia pasang untuknya tanpa mencurigai apapun.Ia tinggal mengeksekusi segala yang menghalangi rencananya dan semua akan kembali ke semula.****Alenta memijat kaki ibunya, Helenna, dengan penuh perhatian. Hari ini ia memutuskan menjenguk ibunya sekaligus memberikan sebuah kabar gembira.Setelah mendapat telepon dari Richard, Alenta memberanikan diri untuk berbicara dengan sang ibu, tentu saja ia tidak akan mengungkit tentang keadaan dirinya yang tengah hamil muda, bisa-bisa ibunya akan mengalami serangan kembali.Selama dua tahun terakhir, ibunya dirawat di rumah sakit karena mengalami gagal jantung, sedikit saja ibunya merasa terkejut atau stress maka itu akan mengancam jiwanya. Ayahnya telah meninggalkan Alenta saat ia masih belia dan hanya ibunya yang berjuang membesarkan d
Alenta mengerjapkan matanya, ia melihat sekelilingnya yang berwarna putih, kepalanya terasa makin berat. Samar-samar ia melihat Richard berdiri disana."Dimana ini Ayah?" Tanya Alenta dengan suara serak."Rumah sakit," jawab Richard singkat.Alenta mengerjapkan matanya, pusing di kepalanya tidak juga membaik, "Kenapa Ayah membawaku ke rumah sakit? Bukankah tadi kita sedang membicarakan pernikahan?" Tanya Alenta, ia mencoba bangkit namun pusing di kepalanya semakin menyerangnya."Siapa yang akan menikah? Tidak akan ada pernikahan, bayi itu tidak akan lahir ke dunia ini,"Alenta terperangah mendengar perkataan Richard. Ia menatap bingung pada Richard. Apa maksudnya? Rumah sakit? Sebentar, sebelum pingsan ia tadi meminum juice bersama dengannya. Mata Alenta membulat saat menyadari sesuatu."Anda menjebak saya?" Tanya Alenta saat otaknya mulai memahami kemana arah pembicaraan Richard.Richard memasang senyuman licik lalu menatap Alenta de
Alenta membuka matanya dengan susah payah, ia mengerjap memandang sekeliling lalu tatapannya berubah menjadi waspada saat ia melihat sekeliling ruangan itu berwarna putih, jelas-jelas ini adalah rumah sakit.Tidak, ternyata dia belum keluar dari neraka ini. Ia melirik pisau buah di samping nakas, Alenta segera mengambilnya lalu ia sembunyikan pisau itu dibalik selimut.Alenta mendengar derap langkah kaki mendekat ke arah kamar, ia kembali memejamkan mata, berpura-pura tidur.Pintu kamar Alenta dibuka, jantungnya berdegup kencang, bagaimanapun caranya ia harus keluar dari tempat ini."Kurasa dia akan sadar hari ini,""Baguslah kalau begitu,"Suara seorang wanita dan pria. Alenta memegang pisau itu dengan erat. Ia sudah siap.Alenta bangkit dari tidurnya, ia menarik tubuh sang wanita lalu mengancam lehernya dengan pisau."Nona, tenang," ucap si pria mengangkat sebelah tangannya. Si wanita terlihat akan menangis melihat ancaman dari
Alenta membuka matanya dengan susah payah, ia kemudian bangkit saat teringat kembali tentang ibunya. "Jangan dulu bergerak, Alenta! Kau masih belum pulih dan butuh banyak istirahat," teriak Selly saat melihat Alenta akan mencabut infusannya kembali. Selly menghampiri tubuh Alenta dan menahannya agar kembali ke tempat tidur. "Aku, aku harus menemui ibuku," jawab Alenta keras kepala. Selly menghela nafas lalu menyentuh bahu Alenta, "Alden sedang mencarinya, kau jangan khawatir. Dia akan langsung kesini dan mengabari semuanya," "Ibuku, dia...." Alenta tidak sanggup melanjutkan perkataannya, ia hanya bisa menangis tanpa bisa berbuat apapun karena keadaannya yang masih lemah. Selly menarik tubuh Alenta ke pelukannya. Ia menepuk pundak Alenta pelan, membiarkan Alenta menangis tersedu-sedu disana. "Semua akan baik-baik saja, Alenta. Semua akan baik-baik saja, jangan khawatir. Aku dan Alden akan membantumu," Alenta mengangguk, ia sanga
Alden bergegas menghampiri Alenta lalu menarik tangan gadis itu."Kita harus keluar darisini!"Alenta menatap bingung pada Alden, "Ada apa? Kenapa kau terlihat sangat panik?" Tanya Alenta dengan alis terangkat. Ia merasa heran melihat raut wajah Alden yang tegang. "Ada banyak pria yang mencari keberadaan kita di rumah sakit, kita harus pergi," jelas Alden pada Alenta. Alenta terkejut mendengar perkataan Alden, ia menatap pusara ibunya ragu lalu berkata pada Alden, "Tunggu sebentar," Alden menganggukkan kepalanya lalu melepaskan pegangan tangannya. Alenta mundur untuk kembali mengusap pusara ibunya, ia menggenggam nisan sang ibu dengan perasaan berkecamuk lalu berkata dengan nada sungguh-sungguh, "Ma, aku pasti akan membalas semua kesakitan yang Mama rasakan, aku janji," Setelah mengatakan itu, Alenta berbalik dari makam Ibunya lalu berjalan ke arah Alden. Mereka terus berjalan hingga meninggalkan area pemakaman. Alenta mengepalkan tangannya kuat
"Kita harus mengubah identitasmu, Alenta," ujar Alden pada Alenta. Selly yang hari ini mengunjungi rumah Alden melebarkan kedua matanya dengan bingung. "Ada apa ini? Apa aku ketinggalan banyak?" Tanya Selly heran karena sepertinya hanya mereka berdua yang mengerti maksud perkataan Alden. "Kalian berdua, tolong jelaskan padaku apa maksudnya?" Tuntut Selly kembali, ia menatap mereka bergantian. Alenta menatap Selly lalu berkata dengan sungguh-sungguh, "Aku akan membalas semua perbuatan mereka, Selly," ucap Alenta lalu menggemretakkan giginya penuh amarah. Selly terperangah mendengar perkataan Alenta. Selly paham betul maksud Alenta dan kepada siapa panggilan "Mereka" itu tertuju.Ia menggelengkan kepalanya tidak setuju dengan keputusan Alenta yang gegabah. "Alenta, kau tidak akan menang melawan keluarga Herenson. Mereka punya kekuasaan yang besar di negara ini. Itu hanya akan membahayakan nyawamu," tukas Selly cemas. Kejadian tempo ha
Operasi yang dijalani Alenta berjalan lancar tanpa ada hambatan apapun. Pemulihan setelah operasinya berlangsung selama satu minggu. Selama itu Alden dan Selly bergantian menjaga Alenta. Hari ini perban wajah Alenta akan dilepas. Alenta sudah menunggu-nunggu hari ini. Selama seminggu wajahnya terasa pengap dan besar karena perban yang masih melilit disana. Ada rasa takut dan gugup yang melanda hatinya tiba-tiba. Bagaimana jika wajahnya berubah menjadi buruk karena operasi ini? Alden telah datang ke ruangannya setengah jam yang lalu sedangkan Selly berhalangan hadir karena jadwal praktiknya yang bentrok hari ini. "Kau gugup hari ini?" Tanya Alden pada Alenta. Alenta mengangguk pelan, ia hanya bisa menggerakkan kepalanya sebagai isyarat untuk menjawab lawan bicaranya. "Baiklah perbannya akan saya buka. Nona Alenta, Anda sudah siap?" Tanya Dokter John, Dokter yang bertanggung jawab atas operasi plastik Alenta. Dokter John adalah teman ayah Selly
Alden memasuki hall room tempat pertunangan Rafael dan Barbara dilaksanakan. Alenta mengekori langkah Alden dari belakang. Terlihat dari jauh, Rafael Herenson telah melambaikan tangan pada mereka dengan senyuman lebar. Alden balas tersenyum, ia menarik tangan Alenta yang terlihat gugup di belakang."Jangan gugup Alenta, ingat kau adalah Kimmy Ara."Alenta menghela nafasnya pasrah saat Alden menariknya untuk menghampiri Rafael. Tidak hanya Rafael, disana juga ada Richard."Kau datang juga," ucap Rafael antusias pada Alden.Alenta berdiri dengan canggung di belakang Alden. Jantungnya berdebar dengan keras, ada rasa khawatir yang ia rasakan saat berhadapan langsung dengan Rafael. Mereka telah menjalin hubungan selama setahun lebih. Bagaimana jika Rafael mengenalinya meski ia telah berganti wajah?Alden menggamit tangan Rafael lalu menjabatnya erat, "Tentu saja aku harus datang untuk melihat pertunangan kawan baikku," sahut Alden dengan senyuman lebar.