Baru juga selesai mandi. Bersantai di kamar sambil mengeringkan rambut. Laura memanggil Aster keluar kamar.
Aster pun buru - buru berganti baju pantas dan menyisir rambut. Wajahnya dirias tipis - tipis. Kemudian keluar dengan penasaran. Pasalnya dia mendengar ada suara asing. Tidak bisa menebak siapa yang datang malam - malam begini ke rumah orang tuanya. Mungkin tetangga yang juga penasaran Aster pulang ke rumah. Dia berdiri kaget melihat seorang pria paruh baya duduk di ruang tamu bersama Huda. Mereka berbincang santai. Begitu akrab. "Aster, sini. Ada om Bisma, teman papa yang punya pabrik kain," kata Huda. "Selamat malam, om Bisma. Saya Aster," ucap Aster seraya menyalami Bisma. Bisma menyambut tangan Aster dan membalas salamannya. Dia kembali berbincang dengan Huda. Tentang pekerjaan yang tidak dimengerti Aster. Aster hendak beralih ke ruang keluarga. Namun Huda mencegahnya. Putrinya disuruh ke depan. Ada yang perlu dibantu. "Ada apa, Pa?" tanya Aster keheranan. "Ah, Nak Aster, tolong bantu anakku yang duduk di depan," kata Bisma. Malah dia yang menjawab. "Oh, iya, Om. Saya periksa ke luar," ujar Aster seraya menuju pintu. Dia menggaruk tengkuk. Aneh benar bapak - bapak ini. Aster menuju teras depan. Sepi tidak tampak seseorang pun. Dia merasa aneh. Apa dia sudah ditipu oleh kedua bapak tadi. Namun dia baru melihat ada yang berjongkok di pojok halaman. Di depannya sebuah keranjang. Dia tampak memegang pita panjang. "Apa yang kamu lakukan?" tanya Aster mendekati cowok yang tak dikenal itu. Cowok itu mendongak kaget. Dia berdiri tiba - tiba. Tampak menatap lebar pada Aster, lalu melirik ke keranjang. Dia meringis canggung. "Hai! Apa aku mengganggu?" tanya cowok tersebut. Aster menaikkan alis. Sebenarnya dia tidak terganggu. Namun cowok asing ini ada di halaman rumah orang tuanya. Entah sedang berbuat apa pula. Aster menoleh ke keranjang. Dia agak terkejut melihat isinya. Bunga bunga potong beraneka rupa dan dedaunan kering. "Nggak sih. Tapi, kamu siapa? Kenapa di sini?" sahut Aster. Cowok itu mengusap tengkuk. Dia mengangsurkan tangan. Seraya mengucapkan permintaan maaf. Aster tidak segera menjawab angsuran tangan tersebut. Dia masih memperhatikan cowok itu tanpa jeda. Lalu menjabat tangannya secara kilat. "Aku Alfian, anak pak Bisma yang baru di dalam rumahmu. Aku mengantar papaku dan sedang mendapat masalah dengan bunga - bunga ini," ungkap cowok asing tersebut. "Oh, anak om Bisma. Memang masalah apa dengan bunga ini?" sahut Aster. Alfian mengangkat keranjang lewat gagangnya. "PR dari adikku. Disuruh membuat karangan bunga. Sampai harus kubawa ke sini," balas Alfian. "Bawa ke teras saja. Biar aku bantu kalau kamu tidak keberatan," kata Aster menawarkan. Alfian mengangguk setuju. Dia pun mengikuti Aster menuju teras. Dia menjinjing keranjang. "Tugas? Adikmu sekolah apa?" tanya Aster. "Dia masih sekolah SMA, mau beri buket untuk wali kelas," jawab Alfian. Dia mendorong keranjang ke arah Aster. Aster mengambil bunga. Di dalam keranjang sudah ada busa khusus bunga dan peralatan lain. Maka kemudian keduanya sibuk menata bunga bunga di keranjang. Alfian canggung membantu. Dia beberapa kali tertusuk gagang bunga. Salah mengikat pita. Aster pun mengambil alih. Dia menyelesaikan buket tersebut. Barulah menyerahkan kepada Alfian. "Aku tidak tahu agar bunganya tetap segar sampai besok. Mungkin kamu bisa sama cari di internet," kata Aster. "Iya, Aster. Terima kasih ya. Biar aku kirim ke adikku sekarang. Tolong nanti beritahu papaku untuk menunggu," sahut Alfian. "Apa tidak repot? Bolak - balik begitu," heran Aster. "Tidak, tidak. Ah, adikku, adik sepupu. Dia tinggal di dekat sini. Sebentar ya," terang Alfian. Dia pun mengangkat keranjang berhati - hati. Dia berlari kecil meninggalkan teras. Dia keluar pagar. Kemudian suara deru mobil terdengar. Suara mobil yang melaju cepat. Sepertinya tergesa - gesa. Aster menggeleng. Entah mengapa dia merasa janggal. Dia berpikir ada yang aneh dari adik sepupu Alfian. Namun itu bukan urusan Aster kan. Dia pun masuk ke rumah. Tidak ada lagi yang perlu dia lakukan. Tugas dari teman papa sudah dilaksanakan. "Lho, kok sudah masuk lagi?" kata Huda. Aster berhenti. Dia menebar senyum. Lantas mendekat ke sebelah papanya. "Maaf, om Bisma. Barusan Alfian pergi. Katanya mau antar buket ke adik sepupu. Sama minta tolong untuk menyampaikan ke Om kalau diminta menunggu dia kembali menjemput Om nanti," beritahu Aster. "Kok pergi? Adik sepupu siapa?" balas Bisma. Aster tertegun. "Saya tidak tahu, Om. Dia tidak bilang hal lain selain itu tadi." "Aduh, dasar anak itu. Ya, Nak Aster. Terima kasih sudah membantu. Maafkan dia tidak sopan padamu," ujar Bisma. Air muka Bisma keruh. Rasa ketidaksukaan terlihat cukup jelas. Pipinya juga memerah gelap. "Iya, Om. Saya tidak apa - apa. Saya permisi dulu ke kamar ya, Om," pamit Aster. Aster pun mendapat ijin. Dia menuju kamarnya. Tiba - tiba menjadi lelah setelah pertemuan yang aneh. Pukul sebelas malam, Bisma baru terdengar berpamitan pergi. Juga terdengar suara Alfian yang menyapa Huda. Suara percakapan singkat berangsur mengecil. Tok! Tok! Pintu kamar Aster diketuk tak lama kemudian. Huda mengayunkan daun pintu terbuka. Dia berdiri di ambang pintu. Kedua tangan bertolak pinggang. "Gimana menurut kamu?" tanya Huda. Aster duduk seketika. Dia mengerutkan dahi. Tidak tahu maksud dari pertanyaan papanya. Huda mencebik. "Alfian lah. Anak Bisma tadi lho. Gimana menurutmu?" "Oh, si Alfian. Aneh dia. Ganteng sih. Wangi juga. Tapi, agak janggal sikapnya." "Janggal gimana?" "Coba menurut papa, adik sepupu itu fiktif atau nyata?" "Hus! Kamu jangan berprasangka, As. Tidak baik. Biarlah dia mau apa. Nanti kalau penting, juga akan dijelaskan." "Iya, Pa. Lagi pula apa tujuannya kemari? Selain mengantarkan om Bisma tentunya." "Bertemu kamu lah." "Tapi kenapa nggak langsung ikut masuk? Malah membuat buket bunga. Terus pergi ke adik sepupu." "Kamu sudah mencurigai dia?" "Yaa..., begitulah, Pa. Memangnya Papa tidak curiga? Bukan berprasangka buruk kan. Apa om Bisma tidak mengatakan apa pun?" "Kami membicarakan pekerjaan saja. Dia malah terlihat marah. Ya, kalau itu, papa juga menjadi curiga. Tapi, kamu jangan - jangan karena masih sakit hati pada mantanmu itu." "Ih, nggak lah, Pa. Tapi, ya, memang aku belum bisa kan melupakan Reno secepat ini, Pa. Baru sehari lho. Apa aku sedingin itu sampai dengan mudah menghapus segala kenangan." "Dia sudah mencampakkanmu. Apa lagi yang mau diharapkan. Malah membuatmu galau kan." "Tapi, Pa, tidak begitu juga. Maksud Aster, Aster juga butuh waktu untuk berdamai dengan keadaan kan, Pa." "Baiklah. Baiklah. Setidaknya coba pertimbangkan mengenal Alfian. Papa lihat dia tidak terlalu buruk. Kecuali adik sepupu itu nyata." Aster menepuk dahi. Papa juga memiliki kecurigaan pada Alfian kan. Lagi pula apa baik mengenal pria baru secepat ini. Bagaimana kalau dia merasa dimanfaatkan. Tidak kah hal itu akan menyakiti lebih banyak orang. Belum lagi Aster akan tidak nyaman. Dia memiliki rasa bersalah yang akan terus menggelanyuti. "Ya, sudah. Kamu istirahat saja dulu. Tidak memikirkan Alfian dan adik sepupu yang entah benar atau tidak. Tapi, pokoknya kamu tinggal di rumah lagi. 3 hari cuti." "Tiga hari termasuk hari ini, Pa. Tidak lebih. Dini dan Fuad bakal menggantungku kalau aku terlalu lama di sini." "Apa sih anak - anak itu. Ya, oke. Kamu tidur. Besok bangun lagi, ikut papa jogging. Jam setengah enam ya." "Ya, Pa. Selamat malam, Pa." ~bersambung"Aster," sebut Brian. Dia maju meraih tangan Aster, yang langsung ditampik oleh David. Keduanya lantas beradu pandang. Aster ditarik mendekat oleh David. Lengan David melingkar di pundaknya. "Jaga tanganmu dari istriku!" desis David penuh ancaman. Brian menyeringai. "Sebentar lagi dia akan meninggalkanmu karena tempramen labilmu, Dav. Aku sih mau saja menerima anakmu juga." Gerakan David begitu cepat. Dia mendorong Brian sampai terhempas menabrak dinding. Lekas Jimmy menahan Brian. Menariknya menjauh dari David yang berdiri dengan nafas menderu. Tanpa takut Aster menyentuh tangan suaminya. "Mas... sudah." Seketika David menoleh. Nafasnya melembut. "Sayang, maaf. Aku... ayo kita masuk saja. Tidak perlu bicara dengan pria konyol ini." Brian tertawa. Dia berusaha melepaskan diri dari kuncian Jimmy. "Aster, kembalilah padaku saja. David tidak pantas mendapat dirimu. Aku bisa menyayangimu dan anakmu." David sudah hampir merangsek maju. Namun cengkeraman kuat tangan Aster
Aster mencubit tangan David. "Mengaku saja! Aku menemukan buku harian mas David di sini." David menegakkan diri. Dia mengusap leher Aster yang berdenyut lembut. "Wah... ternyata istriku. Kamu penasaran ya?" Aster mencubit makin sering. Dia jadi jengkel kalau digoda begitu. Dia menarik diri dari suaminya. Tanpa mengindahkan David yang membujuk, Aster berbaring. Dia memejamkan mata tidak mau mendengar David. Sang suaminya turut berbaring di sebelahnya. Tangannya melingkar di pinggang Aster yang berbaring miring. "Jangan marah, Sayang. Aku bercanda." Aster menggumam. Dia menyuruh David bergeser. "Anakku bilang ruangannya sempit." David tertawa pelan. Dengan rela bergeser sejengkal di belakang Aster. Sebentar lagi akan berubah keinginan istrinya. "Sayang... sudah tidur?" bisik David. Dia mendekat lagi. Namun Aster menggeram pelan. * David memegang tangan dan menyangga punggung Aster. Telaten membantu istrinya berjalan. "Awas lantainya tidak rata, Sayang." Mereka tengah
David berkacak pinggang. Dia mengerutkan dahi ke arah Jimmy. Asisten kepercayaannya tidak berani mengarahkan pandang pada David. Hanya ke arah leher David, yang sayangnya malah membuat Jimmy salah tingkah. Dia memutar mata ke pundak David saja. David memicingkan mata. "Kenapa kamu? Ada kesalahan yang tengah terjadi?" "Tidak, Bos. Semua berjalan lancar. Hanya saja... Anda yakin berangkat ke kantor hari ini?" Jimmy mengulas senyum hormat. "Memang kenapa? Aku sudah siap kembali menjadi David seperti sebelum hilang. Kamu mulai meragukanku, Jim? Apa Tomy semakin baik dan kamu mau beralih pada adikku?" Jimmy menggeleng cepat. "Tidak, Bos! Bos Tomy sudah punya asisten sendiri. Lagi pula beliau masih staf." "Kau sudah memanggilnya bos." David menerima tas yang Aster serahkan. Istrinya memberi senyum paling manis yang membuat David bersemangat. Namun tiba - tiba Aster berubah membelalak. Wajahnya memerah. "Mas, ke kamar sebentar." David mengerutkan dahi. Tapi dia mengikuti Aste
Aster duduk lemas di bawah tempat tidur. Bersandar ke kasur dengan kaki diluruskan. Suaminya turut duduk di sebelah Aster. Dengan telaten menyeka keringat yang membasahi muka. "Masih mual?" Kepalanya diangguk pelan. Itu pun tetap terasa tidak nyaman. Dia menarik tangan David dan digenggam kuat. "Mas... apa aku hamil ya? Harusnya sudah datang bulan. Rasanya juga enggak nyaman mau apa - apa." David melebarkan mata. Raut riang menyeruak. "Kita ke dokter langsung ya, Sayang? Kita pastikan ke ahlinya langsung. Karena ini pertama buat kita." Aster mendekat ke suaminya, menyandar manja. "Mas daftar dulu ke dokternya, aku masih lemah." David mengecup dahi Aster. Dia terkekeh pelan. Tangannya agak gemetaran karena begitu antusias. Selesai bersiap dan Aster sudah merasa lebih baik, mereka pun berangkat ke rumah sakit. David sudah mendaftar ke dokter kandungan yang ternyata adalah temannya. Aster menggamit lengan David saat memasuki rumah sakit. Dia memandang ke sekeliling dengan c
Dari David yang segera memberi perintah pada Jimmy untuk mencari informasi, Aster jadi tahu kalau selama ini Ari lebih sering tinggal di luar negeri. Di sana dia tinggal bersama seorang wanita yang sekarang sudah diceraikan. Karena itu dia kembali. Aster harap dia tidak mencoba mendekati Aster lagi. Dalam lubuk hatinya Aster tak memiliki rasa rindu. Sama sekali tak tergerak untuk mengetahui lebih soal sosok ayah kandung. Seakan ruang dalam hati Aster telah hampa. Dia tak lagi mau tahu. Tak mau bertemu pula. David yang baru pulang kerja selesai mandi. Sambil mengeringkan rambut dia duduk di sebelah istrinya. "Ayo kita pergi bulan madu saja." Istrinya malah menggeleng pelan. "Di rumah saja. Atau ke hotel." David meringis. Handuk ditaruh sebelum merangkul pinggang istrinya. "Kau perlu melihat dunia luar yang lain, Aster sayang." "Belum ingin. Di sini saja." Aster menaruh kepala ke dada David. "Aku mau datang ke persidangan." "Kamu yakin, Sayang?" David mengusap kepala
Aster merapat ke David. Dia tidak berani menyentuh kue yang diberikan. Pikiran ada orang di sana yang tengah memperhatikan membuatnya merinding. Dingin tengkuknya terasa. David melingkarkan tangan ke pinggang Aster. Memberinya tekanan lembut menenangkan. "Kita tunggu sebentar." "Apa ya, Mas? Kenapa aku merasa tidak nyaman." Aster menautkan jari - jemari dengan gelisah. Senyum hangat David sedikit menenangkan Aster. Dia pun tak malu mengecup pelipis Aster di tempat umum. Sampai suara langkah kaki berhenti di dekat meja mereka. Pegawai restoran datang dan mengangguk sopan. "Maaf, Bapak dan Ibu sudah menunggu. Saya Edwin manager restoran," ujar pria itu mengulurkan tangan. David melepas Aster. Dia menjabat kuat tangan Edwin. "Terima kasih sudah berkenan menemui kami, pak Edwin. Saya David, dan ini istrinya Aster." Tanpa berbasa - basi manager restoran itu mempersilakan David dan Aster mengikuti dirinya. Mereka diajak ke ruang meeting kecil. Seseorang sudah ada di sana.