*** "Menangislah sekarang. Sepuasnya, seberapa banyak pun kamu ingin membuang air mata. Menangislah!" Helena semakin tergugu. Dia tidak menyangka jika selama ini Hazel justru selalu memantaunya dari jauh. "Andai saja dulu aku menikah denganmu, aku yakin Papa pasti masih hidup, Zel," lirih Helena sembari memanggil Hazel dengan sebutan masa kecil mereka. Hazel menoleh. Dadanya berdegup kencang, lebih kencang dari biasanya. Bibirnya tersenyum tipis kemudian membuang muka perlahan. Dia tidak mau Helena melihat wajahnya yang memerah karena bahagia wanita yang dia cintai memanggilnya dengan panggilan masa lalu mereka. "Bagaimana kalau kita menikah saja sekarang?" Helena menghembuskan napas kasar. Dia melengos dan mencebik. "Aku bahkan tidak berselera bercanda kali ini. Hatiku benar-benar hancur. Orang-orang yang aku anggap baik ternyata tidak ubahnya ular dalam hidupku," papar Helena mengurai pedihnya takdir yang menyapa. "Aku pikir menikah dengan laki-laki yang kucintai akan berakhir
*** "Len ... Helena!" Aku menutup telinga dengan bantal saat suara Mas Andra menggelegar di depan pintu pagar. "Keluar kamu, Helena!" Dadaku berdegup kencang. Untuk area Perumahan yang tidak banyak penghuni, suara Mas Andra cukup terdengar sampai ke lantai atas rumahku. Beruntung Hazel segera membawa dua orang satpam dan satu ART untuk menemaniku malam ini. Prediksinya benar, Mas Andra akan datang ke rumah ini karena sore tadi anak buah yang aku sewa sudah mengusir keluarganya dari rumah. "Bangsat kamu, Len!" Aku meremas tangan dengan gusar. Untuk pertama kalinya, setelah bertahun-tahun kami menjadi suami istri, aku bisa mendengar umpatan yang akhirnya keluar juga dari mulut suamiku. Ah, calon mantan suami. Tiba-tiba mataku menyapu ruangan. Di dalam kamar ini dulu kita selalu memadu kasih, berbagi cerita tentang kegiatan sehari-hari, juga menyusun rencana masa depan yang ternyata semua itu hanyalah pemanis saja. Mas Andra benar-benar membuat duniaku hancur. "Lepaskan! Aku sua
PoV Helena *** "Cukup! Diam kalian berdua!" Aku berteriak lantang. Kesal sekali melihat Mama dan Kamila bersikap seolah begitu tertindas dengan perilakuku, padahal sebenarnya mereka lah yang bersalah. "Pergi dari sini atau kulaporkan tindakan Mas Andra yang sudah menguras keuangan perusahaan!" Mama Desinta dan Kamila sontak menoleh ke arah laki-laki di samping mereka. Aku bisa melihat wajah Mas Andra yang pucat mendapat tatajam tajam dari dua wanita dalam hidupnya. "Pergi! Kalian benar-benar keluarga tidak tau malu!" Setelah mengatakan demikian, aku berjalan dengan langkah lebar memasuki rumah dan menutup pintunya dengan keras. Suara panggilan Mas Andra masih terdengar, bahkan Mama dan Kamila juga tidak putus asa memanggil namaku. Hampir kurang lebih sepuluh menit lamanya kedua satpam pilihan Hazel akhirnya bisa membuat kutu-kutu itu pergi dari rumahku. Rasa lega tentu saja menyeruak di dalam dada meskipun sebenarnya hatiku masih saja merasakan sakit karena penghianatan mereka.
*** "Helena!" Aku tersentak. Kepalaku mendadak berputar dan tanganku bergetar menyadari ada sebuah gunting menganga yang siap menggores pergelangan tangan. Prak .... Jantungku berdebar hebat membayangkan bagaimana jadinya jika gunting tajam tadi berhasil mengoyak pergelangan tanganku. Ya Tuhan .... Plak .... Perih! Panas! Pipiku terasa begitu kebas mendapat tamparan yang begitu kuat dari tangan ... "Hazel?" lirihku terkejut. "Jangan bodoh! Kamu mau bunuh diri hanya karena laki-laki seperti Andra, hah?" "Aku ...." Bibirku bergetar hebat. Baru kali ini aku melihat kemarahan di wajah Hazel. Mengerikan! "Aku ... aku hanya ...." Hazel mencengkeram bahuku dengan kuat. Dia menatapku tajam dan berkata. "Sadarlah, Helen! Andra bukan laki-laki yang pantas buatmu, kamu wanita berharga yang berhak mendapatkan kebahagiaan meskipun bukan dari suamimu. Mengerti?" Aku menangis. Tidak bisa lagi menahan semuanya sendiri. Sekuat apapun aku berusaha untuk tegar dan kuat menghadapi semua yang
*** "Tenang! Tenang semuanya!" Suara lantang Pak RT membuat dua wanita di belakang Mas Andra mencebik. Aku bisa melihatnya dengan jelas meskipun suasana depan rumah sedikit redup karena cahaya lampu yang berpendar tidak cukup terang. "Saya sangat mengenal Mbak Helena dengan baik, sepertinya apa yang dia katakan memang benar. Isi video ini, biar saya yang berhak tau, karena ...." "Pak RT tidak becus! Pasti dia dan laki-laki brengsek itu sudah menyuap anda kan?" Sorot mata Mama menyiratkan kebencian yang teramat dalam. "Kita semua berhak tau kalau Helena dan laki-laki itu sudah berbuat zinah! Kenapa pula harus ditutup-tutupi begini?" Aku terkekeh getir. Melihat kemarahan di wajah Mama membuatku semakin menyadari jika betapa bodohnya aku yang hampir saja membuang nyawa karena merasa lelah menghadapi mereka. "Jangan samakan aku dengan anakmu, Ma! Sekarang silahkan kalian pergi, tidak ada gunanya membawa warga kesini karena semua tuduhan kalian hanyalah omong kosong!" Mas Andra terli
*** "Wow, ada angin apa seorang titisan pelakor datang ke kantorku? Ah, sepertinya aku harus membuat brifing pada para satpam agar wanita ular sepertimu tidak bisa masuk ke sini." Helena berdiri. Dia berjalan anggun mendekati Anita yang terpaku di depan pintu ruangannya. "Ada urusan apa mendatangi perusahaan saya, Nona Anita?" Anita membuang muka. Kedatangannya kali ini bukan tanpa alasan. Bagaimana tidak, tadi malam Andra dan Mamanya serta Kamila datang ke rumahnya tanpa diundang. Meminta tinggal sementara disana dengan dalih menyusun rencana untuk menghancurkan Helena yang sudah berbuat semena-mena pada keluarganya. Begitulah benalu! "Kamu keterlaluan, Len! Bisa-bisanya mengusir suami sendiri dari rumah mereka!" "Rumah mereka?" Ulang Helena terkekeh. "Sejak kapan mereka punya rumah, Dewi Anita? Bahkan rumah yang kamu tempati jika mau pun bisa merebutnya." Kedua tangan Anita mengepal kuat. Rahangnya mengatup rapat mendengar ancaman dari mulut Helena. "Rumah yang kalian tempat m
*** "Bagaimana, Nit? Apa kamu berhasil membujuk Helena agar aku bisa kembali pulang ke rumah? Ck, rumahmu panas sekali ... Mama dan Kamila nggak bisa tidur nyenyak disini." Anita mencebik saat Andra mencecarnya dengan banyak keluhan. Sungguh, kini hatinya benar-benar menyesal karena sudah merebut Andra dari tangan Helena. Dia pikir Andra pasti bisa menguasai semua harta peninggalan Bagas-- Ayah Helena. Tapi nyatanya ... laki-laki itu menjelma benalu di rumahnya. "Kenapa diam saja, jangan-jangan kamu gagal?" tanya Desinta sengit. "Enggak berguna! Bagaimana bisa kamu kalah dari wanita yatim piatu itu, Anita?" "Diam!" teriak Anita sengit. "Jangan banyak bicara kalau kalian masih ingin tinggal disini!" Wajah Desinta memerah. Untuk pertama kalinya ia mendengar suara Anita yang meninggi. Sementara Andra terlihat mengusap wajahnya kasar sembari mengumpat lantang. "Brengsek, Helena! Berani-beraninya dia ... aku yakin ini pasti gara-gara laki-laki sialan! Hazel brengsek!" Anita membuang
*** "Bermain-main? Sepertinya itu lumayan seru, Zel. Tapi ...." "Kamu tidak ingin mencari tahu siapa dalang di balik kecelakaan yang menimpa Papamu?" Helena nampak berpikir. Bermain-main dengan Andra dan Anita bukan hal yang mudah. Sedikit saja dia lemah, maka dua orang laknat itu pasti berhasil menguasai semua yang Helena miliki. "Jangan khawatir! Pasang CCTV paling kecil di setiap sudut rumah." "Apa rencana kamu, Hazel?" Helena menatap penuh selidik pada sosok pria yang belakangan ini selalu berada di sisinya. "Jangan bilang kalau kamu menyarankan aku membawa Mas Andra kembali ...." "Betul!" sahut Hazel cepat. "Hanya itu satu-satunya cara agar kamu bisa mendapatkan banyak bukti, Helena." Helena menggeleng cepat. Dia tidak akan setuju dengan apa yang Hazel sarankan. Satu-satunya pilihan yang ingin dia realisasikan saat ini adalah menendang Andra dari rumahnya dan memenjarakan suaminya karena sudah memanipulasi data-data perusahaan. "Terlalu beresiko, Hazel. Lagipula aku sudah