"Raya."Wanita itu menengadah, menatap tidak berkedip pria yang berdiri di depannya."Raya," lirih Marcel. Perasaan rindu tiba-tiba saja membuncah di dadanya.Tangis Raya semakin pecah. Terdengar begitu pilu dan menyayat hati. Wanita itu perlahan berdiri, dengan tubuh yang semakin gemetar.Wajah rapuh dan penuh luka itu membuat Marcel ingin segera membawanya ke dalam pelukannya.Pria itu perlahan mendekat dengan tubuh yang juga gemetar, memberanikan diri memangkas jarak di antara mereka."Raya, apa kau baik-baik saja?"Raya menegakkan kepalanya, menatap dalam manik mata pria di depannya. Wanita itu diam seribu bahasa, hanya sorot matanya yang seolah ingin menyampaikan kepedihan hatinya kepada Marcel.Marcel mengulurkan tangannya, mencoba meraih pundak gadis itu, namun Raya segera menepisnya."Biarkan aku mati!"Nada putus asa itu begitu terdengar jelas di telinga Marcel, menghadirkan rasa bersalah yang kembali merajam hatinya."Kau tidak boleh mati, kau harus tetap hidup.""Apa perdu
Tangis pilu itu kembali terdengar nyaring di telinga Marcel. Membuat hati pria itu kembali di rundung rasa sesal.Namun, sesal itu tidak akan cukup mengobati luka dan penderitaan Raya selama ini.Marcel merengkuh tubuh wanita muda itu ke dalam pelukannya. Mengusap punggungnya dengan lembut, membiarkan Raya terus memukul punggungnya hingga merasa lelah sendiri."Kita akan menikah," kata Marcel dengan lembut. Jemarinya bergerak lembut, menyusut air mata pada wajah rapuh di hadapannya.Namun Raya menggeleng lemah."Aku datang bukan untuk meminta tanggung jawabmu. Aku hanya ingin kau tau jika aku ... a-aku ...."Raya berbicara terbata-bata, hingga tidak sanggup untuk melanjutkan ucapannya."Aku tau. Dia tumbuh di sini," kata Marcel. Tangannya bergerak lembut mengusap perut yang masih rata itu.Tanpa di duga, Raya menghambur ke dalam pelukan Marcel. Bahkan wanita itu melingkarkan tanganny di pinggang pria yang kemarin sangat di bencinya itu.Kemarin? Lalu sekarang?"Kau membuat hidupku ha
Marcel menunggu dengan perasaan gelisah di depan pintu ruang kerja ayahnya.Tidak hanya gelisah karna memikirkan apa yang sedang dikatakan ayahnya kepada Raya, tapi juga gelisah karena sebentar lagi acara resepsi pernikahannya akan dimulai dan Celina sudah berulang kali menelponnya sejak tadi. Untung saja ponselnya di pegang oleh Peter, dan sang asisten tentu sangat pandai memberikan alasan kepada wanita itu.CeklekSuara pintu dibuka dari dalam dan muncullah Raya dari balik pintu dengan wajah menunduk.Marcel bergegas menghampiri wanita itu dengan wajah cemas."Apa kau baik-baik saja? Apa ayahku mengatakan sesuatu yang menyakiti perasaanmu?" tanya Marcel dengan harap-harap cemas."Aku baik-baik saja. Tidak ada hal penting yang dibicarakan oleh ayah beliau hanya memberiku hadiah kalung ini," jawab Raya sambil menunjukkan kalung yang dipakainya.Marcel menyipitkan kedua matanya, mengamati kalung itu dengan seksama. Dalam hati pria itu bertanya seorang diri, "Bukankah itu kalung penin
"Apa dia belum datang juga?" Celina kembali bertanya pada asistennya yang baru saja memeriksa ke bawah.Malam ini dirinya sungguh di buat cemas oleh Marcel. Tamu undangan sudah berdatangan termasuk para wartawan yang secara kusus di undang olehnya, namun Marcel belum muncul juga."Tuan Marcel sudah datang, Nona. Beliau sedang menuju kemari."HuufftCelina bernafas lega. Ia kembali meminta tim penata rias untuk merapikan riasan dan penampilannya."Maaf, aku terlambat."Marcel muncul di ambang pintu dengan senyum di wajahnya.Semua orang yang ada di kamar hotel itu segera pergi dan memilih menunggu luar."30 menit!" kata Celina dengan wajah cemberut."Maaf, Celina. Ada sedikit masalah yang harus aku selesaikan, dan itu sangat penting," kilah Marcel.Pria itu menghampiri Celina, memeluk pinggang ramping istrinya dengan mesra."Lalu resepsi pernikahan kita ini kau anggap tidak penting?" cecar Celina.Marcel terkekeh pelan. Di belainya wajah cantik Celina dengan lembut. Dalam hatinya ia me
"Ma-mas Marcel mau apa?" tanya Raya dengan wajah panik.'Mas Marcel?' Seulas senyum terukir di wajah Marcel mendengar panggilan tersebut."Sssttt--tenanglah.""Menjauhlah! Jangan menyentuhku!" ketus Raya, seraya menatap tajam ke arah Marcel yang sedang menatap ke arahnya."Aku suamimu, sayang. Aku hanya ingin membuatmu hangat agar kau bisa beristirahat," ucap Marcel dengan lembut.'Suami? Sayang?'Marcel menyisir rambut Raya. Merapikan anak rambut yang berantakan di wajahnya."Aku bisa beristirahat sendiri," ujar Raya."Tenanglah. Aku tidak akan menyentuhmu," bisik Marcel.Tubuh Raya menegang, darahnya berdesir, jatungnya seolah berhenti berdetak tatkala Marcel menelusupkan tangannya ke bawah baju, mengusap perutnya yang masih rata dengan lembut."Tidak menyentuh? Lalu apa ini?" protes Raya.Marcel terkekeh pelan. Pria itu kemudian mencium kening Raya sekilas."Apa dia baik-baik saja?" tanya Marcel dengan lembut.Raya menelan ludahnya kasar, lantas mengangguk pelan, tanpa berani memb
"Kenapa sudah longgar begini?" pikir Marcel.Marcel tentu terkejut mendapati milik Celina yang sudah longgar, seperti sudah sering di pakai keluar masuk.Berbeda jauh dengan milik Raya.Marcel masih ingat jika malam itu ia harus bekerja ekstra keras untuk dapat membobol gawang wanita itu. Bahkan dirinya harus bertindak kasar untuk dapat mencapai keinginannya."Sayang, ada apa?" tanya Celina dengan lembut, wajah wanita itu terlihat cemas.Marcel menggeleng samar. Ia tidak pernah meniduri wanita lain selain Raya, dan sekarang Celina. Tapi ia bukan lelaki bodoh yang tidak bisa membedakan mana yang masih terjaga mana yang sudah terlepas.Pria itu ragu hendak mengambil keputusan. Sudah terlanjur masuk, mau di cabut lagi--tanggung. Mau lanjut di goyang--takut kecewa.Tapi Celina terus menggoyang-goyangkan pinggulnya di bawah sana dengan gerakan erotis, menghadirkan sensasi rasa yang menggugah hasrat kelakiannya."Sayang," panggil Celina dengan suara mendesah, membuat Marcel menatap ke arah
Wanita itu memakai kemeja putih miliknya, tanpa bawahan. Terlihat kebesaran tapi juga terlihat seksi.Begitu juga dengan kakinya yang ramping, terlihat sangat seksi. Rambut panjang yang di cepol ke atas sembarangan, meski berantakan namun justru terlihat indah.Leher jenjang itu ... terlihat begitu menggoda di mata Marcel.Tanpa bersuara, Marcel terus mendekat hingga berdiri tepat di belakangnya, begitu dekat.Rupanya wanita muda itu sedang mencuci tangannya. "Raya."Wanita itu berjengit kaget. Begitu menoleh ia mendapati wajah Marcel yang begitu dekat dengan wajahnya-- nyaris bersentuhan."Mas Marcel," cicit Raya dengan jantung berdebar.Bahkan hembusan nafas hangat Marcel menerpa wajahnya.Raya buru-buru memalingkan wajahnya, namun ia kembali terkejut saat mendapati kedua tangannya sudah di pegang oleh Marcel.Pria itu melanjutkan mencuci kedua tangannya dengan lembut, bahkan sampai mengusap satu persatu jari-jarinya yang lentik, sampai selesai.Marcel meraih handuk di atas lemari
Marcel bergerak naik ke atas tubuh Raya, mengungkung tubuh wanita itu di bawahnya."Ma-mas Marcel ...."Suara Raya seperti tercekat di tenggorokan. Wanita itu benar-benar tidak berdaya menolak Marcel.Namun, bayang-bayang peristiwa di malam itu membuat Raya kembali di landa ketakutan. Rasa sakit itu masih begitu terasa di tubuhnya."Aku menginginkanmu, sayang. Malam ini." Suara Marcel terdengar begitu berat, kedua matanya semakin berkabut menatap Raya.Ia begitu ingin segera memasuki tubuh wanita itu, hanya saja ia menginginkan Raya yang menyerahkan diri kepadanya, ia tidak ingin membuat wanita itu semakin terluka karna keinginannya.Tangan Marcel mulai bergerak membelai wajah cantik itu, lalu perlahan turun ke bawah mengusap bibir ranum yang begitu menggoda."A-aku takut, Mas," cicit Raya dengan bibir gemetar."Aku tidak akan menyakitimu, sayang. Aku janji, hem," bujuk Marcel dengan lembut.Tidak melukai? Bukankah sebelumnya ia sudah melukai Raya terlebih dahulu?Sekuat apa pun Raya