“Apa yang kau lihat dari lelaki itu, Lail? Dia bahkan lebih tua dari ayah kita.”“Memangnya kenapa? Apa cinta butuh alasan?” Lail dengan kurang ajarnya malah baik bertanya, gadis kecilku yang sepertinya sudah mulai beranjak dewasa itu masih terlihat santai meski matanya yang memerah seperti menahan marah dan tangis. Aku mendadak menunduk, menghela napas, berusaha menahan emosi sebelum akhirnya memilih diam, dan beberapa saat kemudian baru kembali mengajaknya berbicara setelah suasana agak reda.“Kau masih ingat saat pertama kali kita bertemu Pak Andro?”“Di hotel.”“Bukan, Lail, tapi di rumah ini dan di mana dia mengenalkan diri.”“Itu bukan pertama kalinya bertemu Pak Andro, Kak, itu sudah hari kedua.”“Ya ya, ya.”Aku mengiyakan dan mencoba mengalah. “Dia datang dengan keadaan mabuk, kan?”“Lalu?"Lalu dia bilang? Apa ia tidak bisa berpikir sedikitpun bahwa itu petanda tidak baik? Bisa jadi lelaki itu bukan lelaki baik-baik, atau setidaknya apa Lail tidak tertarik untuk bertanya ad
Pukul 11.00 malam Ray masih belum pulang setelah pagi buta laki-laki itu pergi mendadak. Ia tak memberi kabar sama sekali. Ibu bahkan sudah berkali-kali menanyakan keberadannya padaku. Meski berat hati, aku akhirnya mengatakan saja lelaki itu ada urusan penting dan terpaksa menginap di rumah adiknya.Yah, aku benar, bukan? Adik Ray, adik selingkuhan! Rasa panas itu lagi-lagi seperti membuatku dibakar api cemburu tiap kali mengingat hubungan mereka. Ah, ini pasti karena selama ini aku terlalu menikmati peran itu. Aku sampai tak tahu lagi mana yang harusnya berpura-pura merasa cemburu, atau mana yang harusnya bersikap biasa saja.“Tolong ... Tuan, tolong jangan bawa anak kami.” Suara-suara tidak jelas itu membuatku mendadak menoleh ke arah bawah, tepatnya saat tadi aku berdiri di sisi loteng dan melihat keributan di bawah sana, ada bapak-bapak dan ibu-ibu yang terlihat seperti memohon-mohon pada pelayan.Tak jarang aku malah melihat pelayan-pelayan itu seperti mengusir. Entah apa yang s
“Ka-kamu siapa ….?”Gadis itu mundur, seperti takut aku mencelakainya saat sedikit saja aku mendekat. Pipinya sembap dengan tubuh bergetar, aku hanya menarik napas sejenak sebelum memberi senyum sedikit.“Jangan takut, Dik, saya Rahma. Istrinya Mas Rayhan.”Matanya mendelik, memandangiku dari atas sampai bawah sebelum akhirnya tertunduk dan kembali menangis, bahkan kali ini lebih keras. Aku tidak tahu apakah karena fakta yang mungkin mengejutkan baginya itu, bagaimanapun ia sedikit banyak bisa jadi memiliki hubungan dengan Flo, bahkan bisa jadi ia adiknya, bukan?“Ka-Kakak terjebak hutang juga?” tanyanya setelah tangisnya agak reda, tetapi ia bahkan tak memandang ke arahku, sibuk mengelap ingus yang ikut keluar di sela-sela tangisnya. “Maksud kamu---”“Kak Flo juga dulu seperti itu, Kak ….”Ia memotomg pembicaraanku sebelum akhirnya mengalirlah ceritanya yang sesaat membuatku mendelik tak menduga sekaligus bersimpati dalam satu waktu.Celia Amanda, gadis berdarah Eropa-Indo itu, entah
"Astaga, apa lelaki itu benar-benar berniat menemuiku?"Aku mau tak mau merutuk kesal saat jam sudah menunjukkan sebelas malam, tetapi Ray masih juga tak menunjukkan tanda-tanda kedatangannya. Aku bahkan harus ekstra sabar menghadapi beberapa lelaki yang datang merayu, sementara itu Mami Berta sebagai mucikari diam-diam mengawasi sembari sesekali melihat keluar dan memencet telepon."Sudahlah, Nona, lebih baik kau temani kami. Kau tau 'kan kami orang berduit juga, tak akan kukecewakan kau dengan bayaran."Mereka masih berusaha merayu, beberapa di antara mereka bahkan berjanji akan memberikanku perhiasan bila sekali aku berbagi ranjang dengan salah satu di antara mereka, tetapi aku hanya diam, melihat keluar. Perasaan ragu itu bahkan membuatku mendadak bangkit, mendekat pada Mami Berta setelah wanita itu mengisyaratkan padaku untuk maju."Ray sepertinya tak akan datang, Nona. Mungkin dia harus menyelesaikan pekerjaannya."Ia menatap padaku, menjeda sebentar."Kau akan menerima satu di a
Apa dia Ray? Mataku melebar mendapati lelaki tinggi atletis tengah membelakangiku sembari menggandeng wanita berkemeja toska. Mereka memasuki bank BRI sambil sesekali bercakap-cakap. Sepatu hells-ku yang baru saja menginjak lantai mendadak terhenti. Pakaian lelaki itu kemeja abu-abu dengan lengan pendek dipadukan celana bahan hitam yang senada dengan warna sepatunya. Aku yakin itu Ray, kulit mulusnya yang berciri khas kuning langsat itu makin membuatku kenal. Yah, itu dia yang selalu bergelut dengan tubuhku tiap malam. Meski yakin, untuk beberapa saat aku hanya berdiri saja sambil menyaksikan mereka. Tubuhku sendiri sudah berbalut kaus putih dengan bagian luar blazer maroon, sudah tidak lagi memperlihatkan bagian dada, sementara kepalaku tertutupi Hijab Saudia yang cukup aku ikat bagian ujungnya. Ini penampilan yang mungkin tak akan membuat Ray kenal.Aku memilih berjalan lalu masuk dan duduk di kursi antrean. Sebelum ke tempat kerja, aku ingin mampir dan menabung dulu. Ada banyak
Apa dia Ray? Mataku melebar mendapati lelaki tinggi atletis tengah membelakangiku sembari menggandeng wanita berkemeja toska. Mereka memasuki bank BRI sambil sesekali bercakap-cakap. Sepatu hells-ku yang baru saja menginjak lantai mendadak terhenti.Pakaian lelaki itu kemeja abu-abu dengan lengan pendek dipadukan celana bahan hitam yang senada dengan warna sepatunya. Aku yakin itu Ray, kulit mulusnya yang berciri khas kuning langsat itu makin membuatku kenal. Yah, itu dia yang selalu bergelut dengan tubuhku tiap malam. Meski yakin, untuk beberapa saat aku hanya berdiri saja sambil menyaksikan mereka.Tubuhku sendiri sudah berbalut kaus putih dengan bagian luar blazer maroon, sudah tidak lagi memperlihatkan bagian dada, sementara kepalaku tertutupi Hijab Saudia yang cukup aku ikat bagian ujungnya. Ini penampilan yang mungkin tak akan membuat Ray kenal.Aku memilih berjalan lalu masuk dan duduk di kursi antrean. Sebelum ke tempat kerja, aku ingin mampir dan menabung dulu. Ada banyak oran
[Layani dia, lagi pun ini pertama kalinya Ray mengajakmu, Nona.]Mami Berta sampai ikut campur, mau tidak mau aku akhirnya izin sama Ibu Helni dan segera pulang kos. Aku harus ganti pakaian. Wanita itu bosku dan yang berusaha melindungi identitasku saat bekerja. Menolaknya sama saja mencari masalah. Ini semuanya gara-gara Ray! Dia benar-benar kurang ajar, bagaimana mungkin dia memintaku menemuinya saat Nona Bintang tidak pernah ada jika belum malam? Aku masih Rahma![Assalamualaikum, Kak, jangan lupa sholat dhuhur. Sehat selalu]Lail malah mengirimiku SMS itu, jilbabku sudah dilepas, pakaianku juga. Meski kesal aku balas juga.[Ya, Laila, Kakak sudah tau, tak perlu kamu ingatkan terus]Kuhapus lantas mengetik lagi.[Kakak baru mau sholat,] ketikku akhirnya lalu menekan kata send dan menyegerakan sholat sebelum melipat mukena. Warnanya sudah agak kusut, ada bunga-bunga berwarnah hijau toskah di bagian samping dan sedikit ber-renda. Ini pemberian Ibu dulu, katanya aku diminta menjagan
Mataku melebar melihat benda kecil berbungkus plastik yang ikut terkumpul di antara kosmetik. Masih utuh dan tak ada tanda-tanda bahwa aku baru saja menyentuhnya, itu artinya aku sama sekali tidak memakainya saat tadi bersama Ray? Entah dari mana pergulatan tubuhku dengan Ray yang baru saja berlangsung, seperti menjelma kembali menutup kesadaranku dengan sesaat, diikuti bayang-bayang benih yang akan tumbuh dalam rahimku. Aku yang harus mendapat ocehan dari banyak orang, aku yang harus merawat si kecil dan mengecewakan Ibu, aku yang harus melihat Ibu menangis dan ikut dihina, dikucilkan dan .... Tenagaku merosot, bersimpuh dengan dada ngilu seketika. Apa yang bisa aku lakukan? Kebingungan itu menjalar seiring bayangan buruk yang mengantarkanku pada ketakutan. Ini belum nyata, tetapi kenapa Tuhan seolah menumpukiku dengan ribuan ton beban? Aku meniti langkah, mengangkat telepon begitu deringnya mengalihkan perhatian. Kuusap wajah yang barangkali sudah kusut. Dari Ibu ternyata.“Iya, B