Rumah di ujung jalan itu tampak sepi. Tapi suasananya lebih segar dan rapi. Taman kecil di depannya lebih terurus. Saat Felipe dan Wuri sampai, tampak seorang wanita sedang menyirami tanaman yang ada di teras. “Hai! Kalian sudah pulang?” Senyum ramah muncul di bibir wanita itu, menyambut Wuri dan Felipe. “Iya, Bu. Semua list belanja ada, lengkap.” Wuri menaruh belanjaan di meja di teras. Ratu mematikan kran air, lalu mendekati Wuri dan Felipe. Dia ikut melihat dan mengecek belanjaan yang Wuri bawa. “Hmm, salad buah. Yuk, kita santap langsung. Ini segar sekali.” Ratu mengeluarkan salad buah dan langsung membukan penutupnya. “Mau, dong, Bu. Aku suka anggur sama pir,” kata Felipe. Tidak pakai malu, dia segera menusuk potongan anggur dan pir, lalu memasukkan dalam mulutnya. “Aku bawa belanjaan masuk.” Wuri mengangkat lagi tas belanjaannya. “Sini, aku bantu.” Felipe bergerak sigap. Dia meminta tas belanjaan dari Wuri. Keduanya masuk ke dalam rumah. Felipe sudah beberapa ka
"Tidak bisa begitu, Gio. Proyek ini harus dikerjakan oleh tangan yang tepat. Sudah hampir satu bulan berjalan, gimana ceritanya kamu mau mundur?" Nelson menatap galak pada Gio. Dia sangat kaget Gio minta diganti posisinya sebagai wakil dari perusahaan menjadi tim dalam proyek bersama di kota. Proyek yang adalah tindak lanjut dari pertemuan di Surabaya yang lalu. "Kali ini aku tidak akan terbujuk untuk mengalah. Situasiku sedang baik dan tidak baik. Tentu aku akan memilih yang baik dan menyingkirkan yang tidak baik." Gio mencoba memberi Nelson pengertian. "Kamu bisa tidak ngomong yang lebih simple? Kayak mau kasih teka teki saja." Nelson mengerutkan kening sambil melipat kedua tangannya. Sepertinya Gio memang harus blak-blakan mengatakan apa yang terjadi. Mudah-mudahan dengan begitu Nelson akan menerima permintaan Gio. "Aku sudah punya pasangan, Pak Nelson. Aku serius dengan dia. Aku tidak mau ada gangguan apapun." Gio mulai menjelaskan. "Pak Nelson kenal Bu Shiany, bukan? Dia men
Tangan Veronica masih gemetar. Dia mencoba mengetik pesan pada Gio untuk mengakhiri hubungan mereka. Tetapi karena marah, kecewa, dan panik, tangan Veronica beberapa kali salah memencet huruf. Beberapa kali Veronica harus memperbaiki lagi kata-kata yang sudah dia ketik. Lalu Veronica membaca ulang pesan yang siap dikirim itu. Hati Veronica berdebar-debar tidak karuan. Nafasnya pun naik turun karena belum bisa mengontrol emosi. "Apa ini sudah oke? Apa kalimat ini tepat?" Sekali lagi Veronica membacanya. Hatinya terasa berat. Tidak bisa dia pungkiri, dia memang cinta Gio. Dia juga cinta anak-anak Gio. Bersama mereka, Veronica menemukan keluarga yang sudah tidak dia miliki lagi. Di tengah-tengah anak-anak itu, Veronica merasa sangat berarti sebagai seorang wanita dan seorang ibu. Apalagi mengingat dirinya yang tidak mungkin bisa memiliki anak, bersama Gio, tiga anak yang luar biasa hadir dalam hidupnya. "Tapi ... aku ga bisa. Kalau hanya dimanfaatkan untuk anak-anaknya, tapi aku, di
Felipe sudah bisa tidur nyenyak. Suhu tubuhnya mulai normal. Gio lega. Rencananya menemui Veronica tidak boleh ditunda. Dia berpamitan pada Reggy dan Maureen jika dia ada urusan dan mungkin agak lama. Tetapi jika ada apa-apa dengan Felipe harus cepat memberi kabar. Lalu Gio bergegas menuju distro. Hari sudah lewat jam tujuh malam dan distro tampak ramai. Gio masuk dan mendekati Lusi yang ada di kasir, sedang Titin tengah melayani pengunjung yang datang. "Pak Gio? Mbak Vero ga di rumah. Aku kira keluar dengan Pak Gio." Lusi bicara dengan wajah sedikit heran. "Oh? Dia bilang ke mana?" tanya Gio. "Ngga, Pak. Cuma bilang ada perlu keluar. Ga bilang juga kapan balik," jawab Lusi. "Oke. Thanks, Lusi." Gio berbalik lalu keluar distro. Gio masuk ke dalam mobil, tapi tidak segera meninggalkan tempat. Dia berpikir apa yang terjadi. Aneh sekali tiba-tiba Veronica meminta putus. Pahadal persiapan pernikahan sudah dimulai. Gio sudah bertemu keluarga Veronica dan semua mendukung, siap hadir
Gio meninggalkan mal. Marah dan kecewa membalut seluruh hatinya. Dia ternyata salah mengira pada Veronica. Wanita itu tidak sungguh-sungguh sayang padanya. Selama ini mungkin karena dia lebih dulu mendekat, makanya Veronica membuka hati. Begitu ada yang lain datang, dia punya pilihan yang berbeda. Bisa jadi Jodi lebih menarik dan muda. Lebih bisa memahami Veronica. "It:s fine. Tidak apa-apa. Semua selesai. Aku akan fokus pada anak-anak. Mereka kebahagiaanku. Keinginan bersama yang lain, kurasa hanya sesaat. Aku pasti akan baik-baik saja." Gio memutuskan dia tidak akan menanyakan apapun tentang urusan hati pada Veronica. Setelah ini, urusan kerja sama dengan distro pun akan Gio serahkan penuh pada pegawainya, tidak perlu Gio ikut campur. "Maafkan aku, Vicky. Aku ingin menggantikan kamu dengan yang lain. Ternyata tidak ada yang seperti kamu, tulus sayang padaku." Hati Gio berbisik. Gio terus membawa kendaraannya kembali pulang. Dia akan melihat seperti apa kondisi Felipe. Dia berha
Naik ke lantai 3, duduk di sofa, tangis Veronica meledak. Dia tengkurap di atas sofa dengan kepala menelungkup pada bantal. Sedih, sangat sedih. Tidak terbayang, sebuah hubungan yang manis, pernikahan yang akan segera dia lewati, dan keluarga bahagia yang akan dia rengkuh, lenyap begitu saja. Gio mempermainkannya, sebaliknya Gio pun menilai yang sama. "Tuhan ... kenapa begini? Aku ... aku ..." Veronica bahkan tidak bisa berkata-kata. Hanya menangis dan menangis, entah berapa lama. Dalam hati dia tidak rela melepas kebahagiaan yang harusnya segera jadi bagian hidupnya. Anak-anak Gio sangat erat mengikat dirinya. Mendengar Felipe sakit, Veronica tidak bisa menunda, dia mau melihat dan merawatnya. Tetapi, saat bertemu Gio, dia hanya menjadi pengganggu. Gio kembali memakai sisi dirinya sebagai CEO dingin seperti kulkas lagi. Dia sama sekali tidak mau mendengar Veronica. Tanpa Gio sadari, justru dia yang lebih dulu menyakiti Veronica dengan diam-diam. Mengapa keadaan malah sebaliknya
"Tunggu dulu! Ini waktunya aku pergi. Adegan selanjutnya ga perlu pemain figuran, kan?" Maureen berdiri dan langsung berjalan keluar kamar. "Hee ... hee ..." Felipe terkekeh mendengar kata-kata adiknya. Maureen tidak menutup pintu, dia biarkan terbuka. "Biasanya papa ga kasih teman lawan jenis masuk kamar. Tapi kali ini terpaksa, Wuri. Soalnya aku ga boleh ngapa-ngapain. Harus bedrest," kata Felipe. "Om Gio ga akan marah? Tante Ve?" tanya Wuri. "Udah diijinkan. Ini kasus khusus," jawab Felipe. Wuri tersenyum. Masih canggung rasanya hanya berdua dengan Felipe di dalam kamar seperti itu. Felipe memandang Wuri. Semakin hari Wuri semakin berbeda. Percaya diri dan terlihat berani dengan orang lain. "Kamu cantik." Felipe spontan mengucapkan itu. Tapi dia serius. Wuri tersenyum dengan hati berdebar mendapat pujian dari Felipe dan tidak tahu harus bereaksi bagaimana. "Apa yang terasa sakit?" tanya Wuri. Dia mengalihkan situasi, tidak mau Felipe fokus dengan dirinya. "Peru
“Sekarang waktunya makan.” Maureen berkata dengan mata setengah melotot pada kakaknya. "Suapin," jawab Felipe dengan gaya dibuat-buat. "Ih, manja!" Maureen gemes rasanya dengan tingkah Felipe. "Katanya ga boleh ngapa-ngapain," ujar Felipe beralasan. "Pintar memanfaatkan suasana," Maureen menggeleng-geleng. "Biar aku yang suapin, Reen," kata Randy. "Oya, bagus. Terima kasih banyak mau membantu kakakku." Maureen minggir dan mempersilan Randy yang membantu Felipe. “Yaaa, Reen …” Felipe pura-pura kecewa. “Aku ada urusan lain. Selamat makan!” Maureen berjalan keluar kamar. Randy dan Felipe tertawa. "Kamu tega ya, sama adikmu." Randy geleng-geleng. Felipe kembali tertawa. “Dia gemesin kalau kesal. Hehehe …” ujar Felipe. Lalu dia melihat pada nampan di atas meja. "Sini, piringnya, aku makan sendiri," pinta Felipe. Randy mengambil nampan dengan piring di atasnya dan memberikannya pada Felipe. Felipe menerimanya dan dia taruh di pangkuannya. Lalu dia mulai makan. “