Veronica mendorong Gio agar menjauh. Dengan cepat Veronica bangun dan turun dari ranjang besar itu. Veronica merapikan rambut dan baju yang dia kenakan. “Papa!!” Terdengar lagi teriakan Maureen. “Ah, aku salah strategi. Kenapa aku suruh mereka nyusul ke sini sekarang?” Kesal, Gio berkata. Veronica tersenyum mendengar kalimat itu. Dia mendekati Gio, mengecup pipinya, lalu cepat bergerak menuju ke pintu dan membukanya. Di depan pintu, Maureen berdiri memandang dengan cemas. Di belakangnya Felipe dan Reggy berdiri sama cemasnya, menatap Veronica. “Mama. Mama ga apa-apa?” Maureen mencermati Veronica dengan mata bergerak cepat melihat dari atas ke bawah. “Nggak apa-apa,” kata Veronica. “Papa mana?” tanya Felipe. “Ada di dalam. Masuklah,” jawab Veronica sambil membuka lebih lebar pintu kamar itu. Ketiga anak itu semakin bingung. Veronica terlihat baik-baik saja. Dia tampak tenang dan tidak ada lagi marah meluap seperti yang dia tunjukkan saat masih di rumah. Veronica mendah
“Terima kasih, Bu Veronica. Veronica Astrid Prawira. Proposal ini cukup menarik, tetapi tetap keputusan akan kami serahkan kepada pimpinan untuk menyetujuinya atau tidak.” Wanita setengah baya berkacamata itu bicara dengan senyum manis. Veronica tidak mengira akan mendapat jawaban normatif setelah panjang lebar dia paparkan proposal bisnis yang dia akan lakukan. “Oh, baik, Bu Ranintya. Kira-kira bisa saya bertemu dengan pimpinan hari ini juga?” Sambil membaca papan nama di meja, Veronica memandang wanita di depannya. Yang ada di kepala Veronica, begitu proposal dia paparkan, segera akan mendapat sambutan baik dan usaha yang dia rintis pun bisa cepat punya rekan untuk berkembang. Sayang sekali, jawaban itu yang dia terima. Dan Veronica tidak bisa menunggu. Dia harus mendapat kepastian. “Maaf, Bu, kalau hari ini pimpinan kami sudah punya jadwal. Saya akan sampaikan perihal pengajuan ini dan beliau akan mengatur pertemuan dengan Bu Veronica. Saya kira paling lama tiga hari sampai lim
Veronica menatap Gio dengan mulut sedikit terbuka. Wajah Gio makin dekat. Ketampanannya makin tak terelakkan. Kedua manik tajam itu menghujam hingga ke ulu hati. Debaran kuat pun melanda dada Veronica. “Saya … Pak, saya yakin …” Veronica masih berusaha menjawab, tidak ingin dia akan pulang tanpa hasil. Gio kembali tersenyum sinis. Dia berdiri bersiap meninggalkan ruangan itu. “Anda membuang waktu saya, Nona,” ucap Gio. Lalu pria itu melangkah menuju ke arah pintu. Veronica mengepalkan kedua tangannya. Tidak, ini belum berakhir. “Pak Gio, percaya saya, ini bukan a-“ “Dua hari lagi, jam sepuluh. Temui saya di sini, dengan jawaban yang saya tahu, itu menjadi alasan kuat kita bisa bekerja sama,” sela Gio. Rasa penasarannya pada kegigihan wanita muda itu membuat Gio ingin memberinya kesempatan. “Baik. Saya akan bawakan beberapa contoh. Terima kasih, Pak. Saya pastikan Bapak tidak akan kecewa.” Veronica menatap Gio dengan mata lebar. Semangatnya bangkit mendengar yang Gio sampaikan.
Veronica berdiri dengan tote bag besar di tangannya. Outfit yang dia kenakan sangat berbeda dengan dua hari sebelumnya saat dia datang ke kantor itu. Jika yang lalu dia mengenakan pakaian resmi seorang wanita karir, yaitu setelan berwarna coklat gelap yang manis, kali ini sangat lain. Kostum yang menempel di tubuhnya pagi itu, kaos cerah berwarna biru tosca dengan lengan sedikit lebar dan panjang sampai di pinggang. Lalu celana 7/8 berwarna hitam dengan model unik ada pita di sisi kiri dan kanan kaki, lengkap dengan Sepatu kets putih. Dengan penampilan itu, Veronica tampak beberapa tahun lebih muda. Apalagi dengan rambut tebal coklat miliknya dikuncir tinggi di belakang kepalanya. “Bu Veronica? Mari, silakan masuk!” Ranintya yang sama terkejutnya akhirnya bergerak menyambut Veronica. “Selamat pagi, Pak Gio, Bu Ranintya. Terima kasih,” sapa Veronica. Dia melempar senyum lebar, agar merasa lebih tenang dan tidak terlalu tegang. Dengan tote bag besar di tangan Veronica masuk dan dudu
Biarkan Veronica menikmati kegembiraan karena berhasil melewati satu tahap dari rencananya. Ada baiknya mengintip kehidupan CEO tampan dan dingin, Gio Hendrick. "Congratulations, Pak Gio Hendrick! Ini lebih dari espektasi. Rencana Bapak berjalan sempurna." Senyum manis dengan mata biru berbinar menatap Georgio Leonard Hendrick.Pria berusia empat puluh empat tahun itu tersenyum dengan tatapan tenang. Auranya yang selalu memunculkan kesan seorang pemimpin yang berkharisma, hadir lagi."Ya, aku juga tidak menduga yang tercapai bahkan lebih baik dari yang direncanakan. Melegakan, semua yang terlibat bekerja luar biasa." Gio kembali mengurai senyum tipis khas miliknya. Dia memandangi wajah ayu di depannya."Tidak berlebihan kalau keberhasilan ini dirayakan, bukan?" Wanita dengan rambut coklat terang itu mencondongkan tubuhnya merapat pada meja, menatap lebih dalam pada mata tegas Gio."Ah, aku tidak memikirkan itu, Bu Shiany," ujar Gio. Dia agak kaget tiba-tiba Shiany mengatakan itu."Se
Mata indah berlensa biru itu menatap tajam tapi manja dan penuh harap pada Gio. Sementara tangan Shiany menggelayut erat di leher Gio. Posisi seperti itu, tak bisa dipungkiri, sisi kejantanan Gio bangkit. Meskipun sekian lama dia tidak menyentuh wanita, dia masih normal dan punya hasrat."Malam ini akan jadi spesial banget. I promise." Shiany memandangi lebih lekat pada Gio.Gio sangat kaget dengan keberanian Shiany. Selama bekerja sama dalam event yang baru mereka sukseskan, sikap Shiany wajar-wajar saja. Tetapi memang tatapan kekaguman sekali waktu Gio lihat jelas dari Shiany. "Bu Shiany, ini di kantor. Jaga sikap Anda." Gio makin memasang wajah dingin. Dia pegang dua tangan Shiany dan menurunkannya."Pak Gio, aku hanya mau membuat Bapak happy. Aku mau happy sama Pak Gio." Tangan Shiany kembali terulur ingin memegang lengan Gio.Gio mundur dua langkah. Wanita cantik ini ternyata lebih dari berani. Usianya masih tergolong muda jika dibandingkan Gio yang tak lama lagi akan masuk kepa
Gio melangkah masuk ke dalam ruangan IGD menuju ranjang di mana anak keduanya berbaring. Di sampingnya, Maureen memegang lengannya dengan kuat. Gadis itu sangat gugup dan juga dipenuhi rasa takut bercampur rasa bersalah.Tinggal beberapa langkah dari ranjang mereka berhenti. Di depan mereka Felipe terbaring lemah di atas kasur. Kepalanya dibalut perban putih. Ada memar dan luka di wajahnya. Kedua tangan dan kakinya juga banyak luka-luka akibat yang dia alami. Tangan kirinya diinfus, entah obat apa yang dia perlukan.Mata Felipe memandang lurus pada Gio dan Maureen. Tetapi tatapan Felipe terlihat aneh. Dia memandang ke sekelilingnya seolah-olah mencoba memahami apa yang terjadi."Hai, Fel. Apa yang kamu rasa?" Gio maju lagi dua langkah. Maureen terus memegang kuat lengan Gio."Aku? Aku, kenapa?" Pandangan Felipe tampak bingung."Fel!""Kak?!" Gio dan Maureen berseru bareng. Pertanyaan Felipe membuat mereka kaget."Kak, beneran kamu ga ingat apa yang terjadi?" Maureen maju selangkah, t
"Aku bawakan sarapan, Pak. Masih hangat." Shiany menyodorkan kotak berwarna coklat di depan Gio. Gio mengusap-usap mata dan wajahnya. Dia masih harus memaksa dirinya segera dapat kesadaran lagi. Ya, dia tidak sedang bermimpi. Shiany memang datang menemuinya di rumah sakit. "Dari mana kamu tahu aku di sini?" Gio tidak bisa basa-basi. Dia tidak menerima kotak yang masih terulur di depannya. Dia menatap Shiany dengan pandangan tidak suka. "Itu gampang sekali, Pak Gio. Media sosial bisa menjawab apapun yang kita tanya dan menunjukkan apapun yang kita perlu," jawab Shiany. Ya, kenapa tidak terpikir oleh Gio? Anak-anaknya bisa saja meng-up load yang terjadi pada Felipe. Mudah saja mencari jejak digital.Dia duduk di samping Gio sambil memegang kotak yang ditolak Gio. Gio berdiri, mendekati Felipe. Anak muda itu masih lelap dengan posisi kepalanya miring. Perlahan-lahan Gio membetulkan posisinya agar lebih nyaman. "Hhmmm ..." Felipe bergumam. Sepertinya dia merasa ada yang mengganggu ti