Sorot mata Sean Arthur seolah-olah sedang menelanjangi Salwa. Perempuan itu kian beringsut melindungi diri, merasa ada yang tidak beres dengan sang majikan."Tu-an, apa yang Anda lakukan di kamar saya?" Salwa terlihat ketakutan begitu Sean menutup pintu kamarnya, kemudian mengunci dari dalam.Malam ini Salwa terlupa mengunci pintu kamar lagi sehingga membuat lelaki itu lebih leluasa masuk ke dalam. Karena terlampau lelah, ia langsung tidur tanpa mengecek pintu, apakah sudah terkunci atau belum.Sean Arthur melangkah mendekat. Lelaki bertubuh jangkung tak ubahnya seperti predator kelaparan yang hendak memangsa kelinci kecil tak berdaya. Perasaan Salwa semakin tidak enak di saat melihat lelaki itu mulai melepaskan kancing-kancing kemejanya."Tuan, apa ... yang Anda lakukan?" Tangan Salwa mencengkeram selimut yang membalut tubuhnya, seolah selimut itu mampu menamenginya dari bahaya yang mengintai seorang Sean Arthur.Lelaki itu tak menjawab. Ia melemparkan kemejanya ke lantai, lantas men
Salwa mundur satu langkah ke belakang, menggelengkan kepala menanggapi perkataan mesum Sean Arthur. Mengapa pria kaya dan dewasa justru menganggap rendah kaum rakyat jelata sepertinya?"Saya tidak mau."Dia menunduk lagi. Air mata yang sebelumnya sempat diseka, kini berderai kembali. Sesak, itulah yang ia rasakan saat ini. Kehormatan dan harga diri adalah hal terpenting baginya. Ia memang bukanlah seorang agamis yang suci dan tidak berlumur dosa, tetapi ia cukup paham jika memberikan tubuh kepada seseorang yang bukan mahramnya adalah hal yang salah, dosa besar. Bahkan, agama memberikan hukuman cambuk seratus kali bagi wanita dan pria single yang nekat melakukannya."Uang pun tidak ada. Kau bisa keluar sekarang. Aku tidak akan menahanmu lagi. Jika terjadi sesuatu terhadap ayahmu, maka ... kau yang akan disalahkan."Sean menyeringai tatkala melihat gurat ketakutan di wajah Salwa. Perempuan itu mendadak ragu setelah mendapatkan jawaban dingin dari Sean Arthur. Nyawa ayahnya benar-benar d
"Apa kau sebenarnya ingin mengikatku secara diam-diam?" Sorot mata lelaki itu mengisyaratkan tuntutan akan jawaban. Dia telah terbiasa menjadi seseorang yang dipuja. Banyak wanita terpedaya dengan fisik serta kekayaannya. Pasti wanita di depannya ini tak berbeda jauh dengan wanita kebanyakan. Dia pura-pura menolak, tetapi menginginkan hal lebih, yaitu menginginkan tangkapan yang lebih besar dari sekadar cinta satu malam."Tidak, Tuan. Saya tidak memikirkan hal itu. Saya hanya ingin membayar pengobatan operasi ayah saya. Tidak lebih. Tuan bisa menceraikan saya jika Tuan sudah tidak menginginkan saya." Salwa menunduk, merasakan sakit di relung hatinya, membayangkan bagaimana sebuah pernikahan didasari oleh keputusan satu orang saja, sementara dirinya harus pasrah bagaimana Sean Arthur memperlakukannya. "Saya berjanji tidak akan mengganggu kehidupan Tuan setelah perceraian itu."Setetes air mata telah meluncur dengan lancar membasahi pipi. Salwa merasa sudah tidak berhak atas hidupnya la
Angin malam itu berdesik, mengembuskan dedaunan di jalanan yang tampak sepi itu. Dingin malam terasa menusuk kulit, menggigilkan tubuh yang sudah keras kepala datang menentangnya. Di atas balkon kamar hotel nomor 101, Salwa menatap bangunan-bangunan di bawah sana yang berderet memanjang serta rapi. Jalanan yang sebelumnya ramai, sudah tak sepadat beberapa jam lalu, hanya terlihat beberapa kendaraan yang berlalu-lalang dengan pendaran lampu yang benderang menerangi.Tiupan angin menerpa wajah Salwa, mengibarkan helai demi helai rambut panjangnya yang menjuntai sebatas punggung. Malam ini adalah malam pertama di mana ia berstatus menjadi seorang istri. Istri rahasia orang berpengaruh dan entah apa lagi yang Salwa ketahui tentang suaminya itu. Salwa buta akan jati diri seorang Sean Arthur. Yang perempuan itu ketahui, Sean Arthur adalah manusia jahat dan tidak berperikemanusiaan. Dia terpaksa harus menjalani pernikahan yang tidak jelas bagaimana masa depannya. Ia hanya bisa pasrah menjala
Entah sudah berapa kali lelaki itu melakukan malam panasnya bersama Salwa. Seolah tidak ada kata puas dan lelah, Sean tak mengizinkan Salwa beristirahat sedikit pun. Perempuan itu terlalu letih, hingga akhirnya tepat ketika waktu menunjukkan pukul tiga pagi, dia sudah tidak tahan lagi. "Salwa, Salwa." Sean mengguncang bahu perempuan itu, berniat membangunkan Salwa yang telah tertidur karena terlalu lelah. "Ehhmm." Salwa hanya menjawab dengan gumaman, matanya sangat sulit terbuka karena lelaki itu menyiksanya semalam suntuk. "Bangun! Hei, ayo bangun!" Kembali guncangan dilakukan oleh Sean Arhur, tetapi Salwa mengempaskan tangan yang menyentuh bahunya yang tak berpenghalang itu. Sean mengeram. Berani sekali perempuan itu mengibaskan tangannya? Dengan gemas, lelaki itu menggigit kecil bahu Salwa. "Aaarhggh!" Salwa sangat kesal. Dengan mata terkatup dia membentak Sean Arthur. "Tuan, tolong biarkan saya tidur!" Salwa mendorong kepala Sean yang sedang menunduk di bahunya. "Saya sangat
"Me-rayu?" Salwa bertanya dengan gugup. Saran dari Alan sama sekali tidak pernah terpikirkan olehnya. Sampai saat ini, Salwa belum bisa menerima kenyataan bahwa statusnya adalah istri dari Sean Arthur. Apalagi dia masih diperlakukan layaknya pembantu, bukan seperti seorang istri dari pengusaha kaya dengan menikmati segala aset dan kemewahan yang dimiliki suaminya. Dia tahu diri, karena pernikahan yang ia lakukan hanyalah sebuah kesepakatan belaka. Bukan atas dasar cinta dan saling menginginkan. Salwa tak ubahnya property yang telah Sean beli setelah kesepakatan itu dibuat. Ya, mana mungkin Salwa bisa meminta hak lebih sementara dirinya lah yang menjual diri kepada Sean Arthur. Dia merasa sudah tidak memiliki harga diri di depan lelaki itu. "Ya, kau bisa mencobanya dengan ... memeluk dan menciumnya tanpa diminta." Alan meletakkan tangannya, memosisikan sedikit menutupi bibirnya dari arah samping, lantas ia berkata, "Sean sepertinya tertarik kepadamu, tetapi jangan mengharap ia akan m
"Aku bilang jangan datang. Kenapa kau masih datang juga?"Sean terus saja memprotes kehadiran Alan. Lelaki itu paling tidak suka jika ada orang lain tahu ketika dirinya sakit. Lelaki yang selalu menjaga kesehatan, rajin berolahraga, dan menjaga pola makan tersebut sangat jarang atau bahkan hampir tidak pernah sakit."Salwa yang menghubungiku. Aku tidak mungkin mengabaikan panggilan wanita cantik."Perkataan Alan yang terkesan bercanda itu justru memantik kemarahan Sean. Lelaki itu menatap tajam ke arah Alan sehingga teman sekaligus dokter pribadinya itu meringis agar Sean tak marah kepadanya."Apa kau mulai menyukainya?" Alan berkata setelah selesai memeriksa kondisi Sean. Lelaki itu duduk di atas ranjang dengan Sean masih berselonjor bersandar di punggung ranjang."Tidak mungkin. Kau mengenalku. Aku hanya penasaran dengannya. Tidak lebih.""Kau yakin? Ini sudah dua minggu lebih kau mengurungnya di penthouse. Kau tak mengizinkannya keluar untuk menatap dunia luar. Aku merasa sikap pos
Di tengah meja makan, Salwa telah menyiapkan sarapan seperti biasanya. Perempuan itu tak sempat merapikan rambutnya lantaran bangun kesiangan. Rambut masih basah dan tergerai di punggung. Ia hanya mengenakan kain penutup seperti bando yang merupakan bagian dari seragam kerjanya.Sean menuruni tangga, menatap lurus ke arah meja makan yang sudah tersedia menu makan pagi di atasnya. Tentu saja rasanya begitu lezat, setidaknya itulah yang Sean rasakan. Apa pun yang Salwa masakkan, ia bisa menghabiskannya meskipun terkadang perempuan itu tak mengikuti prosedur yang ada di buku resep. Bahkan, Sean tak rela membaginya dengan Leon ketika lelaki itu membawa masakan Salwa sebagai bekal. Sikap posesifnya merambah ke makanan."Tuan."Salwa mundur selangkah begitu melihat Sean menuju meja makan. Seharusnya ia langsung pergi dari tempat itu karena menurut peraturan yang tertulis, pelayan wajib meninggalkan area meja makan ketika sang majikan sedang menimati makanannya. Namun, alih-alih pergi menjau