Share

Bab 3: Semua Mengkhianatinya

"Boleh aku masuk sekarang?" tanya Lola yang merasa pegal sudah berdiri dalam waktu yang cukup lama.

"Yeah, tentu. Masuklah." Nada bicara Max entah mengapa terlihat kurang meyakinkan.

Lola tidak banyak bertanya lebih lanjut. Dia sibuk memperhatikan sekelilingnya, sambil memeriksa apakah ada sesuatu yang mencurigakan di kamar itu. Max langsung membereskan sofa yang terlihat agak berantakan, kemudian mempersilahkan Lola untuk duduk.

"Mau jus, teh, atau kopi?" tanya Max kemudian.

Lola mengernyit bingung. "Bukankah kamu sudah tahu biasanya aku meminum apa?"

Max kali ini tertawa kikuk. "Ya ampun. Aku bertanya karena kupikir kamu ingin memilih minuman yang lainnya. Baiklah, aku buatkan dulu cappucino untukmu."

Max menghilang menuju ke dapurnya untuk menyiapkan minuman. Hal ini dimanfaatkan Lola untuk berkeliling lagi mencari bukti kecurigaannya. Kali ini, Lola menemukan adanya tas selempang kecil milik wanita tersimpan di dekat sisi tempat tidur Max.

'Tas siapa ini? Aku tahu ini bukanlah tas milikku!' batinnya.

Lola lanjut menyusuri setiap jengkal ruangan itu. Dia kembali menemukan helaian rontokan rambut panjang milik seorang wanita, banyak sekali tersebar di atas tempat tidur Max.

'Ini juga bukan rambutku. Ini rambut cokelat milik siapa?'

Max rupanya sudah kembali sambil membawa segelas cappucino panas.

"Lola, kamu sedang apa di situ?" Ekspresi Max benar-benar terlihat panik. Mungkin karena Lola berada di tempat tas itu disembunyikan.

Lola langsung menghampiri Max. Wajahnya menekuk karena amarah yang tidak dapat dibendungnya lagi.

"Katakan, siapa wanita yang datang ke kamarmu sebelum aku!" tuntut Lola menginginkan penjelasan dari kekasihnya.

"Ma... maksudmu apa?" Max mulai terbata-bata. Rupanya dia tidak bisa berbohong lagi.

"Tak usah berpura-pura! Aku tahu kamu membawa wanita lain masuk ke sini sebelum aku datang!" tambah Lola emosi. Dia langsung memperlihatkan tas yang disembunyikan oleh Max. "Ini tas milik wanita itu, 'kan?"

Max membeku sejenak sebelum dia berusaha untuk mengelak. "Itu 'kan milikmu, Sayang!"

Lola beralih memperlihatkan rontokan rambut di tempat tidur Max. "Jadi, rambut cokelat ini juga adalah rambutku?"

Kali ini Max tidak dapat menimpali perkataan Lola. Lola semakin meradang dibuatnya.

"Sejak kapan dia ada di hidupmu? Katakan padaku sekarang!"

"Sejak kau menolak tidur denganku."

Jawaban dari Max membuat Lola terhenyak. Dia tidak memperkirakan jawaban Max akan sangat melukai hatinya.

"Kau sangat munafik, Lola! Kau tidak mau aku sentuh, padahal sebelumnya kau sudah merasakan kenikmatan dari permainan ayah tirimu sendiri!"

"Itu berbeda, Max!" sanggah Lola cepat. "Jangan kau sama ratakan kasus pelecehan dengan hal ini! Kau pikir aku menikmatinya? Tidak! Sama sekali tidak ada yang aku nikmati!"

Max tersenyum mengejek. "Lantas kau melimpahkan semua kemalanganmu kepadaku? Pada batasan hubungan kita? Aku tidak bisa seperti itu. Aku ini laki-laki! Aku ingin diberikan kebahagiaan oleh seorang wanita!"

Air mata Lola mulai merebak. Rasa sesak menyeruak di dadanya. Pengap, ngilu, dan muak.

"Lalu di mana wanita itu? Aku yakin dia belum meninggalkan kamar ini!" berang Lola lagi. "Bersembunyi di mana dia? Katakan padaku!"

Lola kini mulai mengacak seluruh isi kamar Max. Dia memeriksa kolong ranjang, di kamar mandi, juga setiap tempat yang bisa dijadikan tempat persembunyian. Betapa terkejutnya ketika Lola menyingkap gorden balkon. Dia melihat ada wanita berambut pirang berpakaian minim sedang bersembunyi.

"Oh, jadi kau rupanya!"

Lola yang dipenuhi rasa emosi langsung menarik masuk wanita selingkuhan kekasihnya itu. Dia jambak rambut panjangnya dengan keras sampai si wanita berteriak kesakitan. Namun Lola merasa masih belum puas. Sebisa mungkin dia lampiaskan kekecewaan dan amarahnya dengan menyakiti wanita selingkuhan Max itu.

"Lola! Kau sudah gila! Lepaskan dia!" bentak Max yang berusaha memisahkan kedua wanita itu.

"Kau dan wanita ini yang lebih gila! Kalian gila!" teriak Lola tak terkendali.

Lola termenung ketika sebuah tamparan keras mendarat di pipinya. Air mata kembali meleleh seiring dengan panasnya bekas tamparan itu. Max tega menamparnya hanya untuk membela wanita itu.

"Sudah hentikan semuanya! Kau sudah menyakiti Helena!" Max memeluk selingkuhannya yang menangis tersedu-sedu.

"Jadi ini jawabanmu, Max? Kau lebih memilih dia daripada aku?" tanya Lola dengan mata yang kosong.

"Ya! Tentu saja! Siapa yang menginginkan menjalin hubungan dengan wanita kaku sepertimu! Selain itu, kau juga sangat gila!"

Lola terdiam. Ucapan Max sudah sangat menyakitkan untuknya. Dia memilih untuk pergi dari apartment itu tanpa sepatah kata pun. Pastinya, hubungan di antara keduanya kandas pada saat itu juga.

***

Karena hati Lola sudah sangat rapuh, dia merasa tak memiliki tenaga dan harapan hidup lagi. Selama berhari-hari ini dia hanya mendekam di dalam kamar apartmentnya seorang diri. Matanya sudah sembab karena kebanyakan menangis. Dia juga sudah tak peduli dengan kuliahnya.

Kondisi Lola diperparah dengan keadaan apartmentnya saat itu. Sangat tak terurus, berantakan dan kotor oleh sampah makanan yang berserakan. Lola duduk di atas tempat tidur, memeluk dirinya sendiri.

Tiba-tiba sebuah bunyi bel terdengar dari luar berkali-kali. Lola enggan beranjak dari tempatnya. Dia juga sudah lelah menjawab pertanyaan teman kampus maupun pemilik apartment yang bolak-balik menanyakan keadaannya.

"Ah, mungkin pemilik apartment," gumamnya malas.

Suara bel terdengar terus menerus, membuat Lola mau tak mau harus mengecek siapa yang datang. Lola mengintip dari lubang pintu. Ternyata bukan teman kampus atau pun pemilik apartment yang berkunjung saat itu. Seorang pria pengantar pizza terlihat di depan pintunya.

"Pizza delivery!" seru laki-laki dari luar sana.

"Maaf, aku tidak memesan pizza!" seru Lola dari dalam kamar.

"Tapi di sini tertera pesanan atas nama Lola Wilson. Satu buah cheese pepperoni pizza ditambah cola medium satu buah."

Lola mengangkat alisnya. Siapa yang sudah memesankan pizza untuknya? Apakah itu salah kirim? Atau Max yang sengaja memesankan untuk dia? Karena penasaran, Lola langsung membuka kunci gembok pintu apartmentnya. Dia sudah berhadapan langsung dengan pengirim pizza yang ternyata tingginya jauh melebihi dia.

"Maaf, tapi aku benar-benar tidak...."

Ucapan Lola tadi terputus ketika laki-laki pengantar pizza itu menerjangnya secara mendadak dan membungkam wajahnya dengan sebuah saputangan berbau aneh. Sebelum Lola melakukan perlawanan, dia sudah dibuat lemas dan pingsan. Pengantar pizza itu langsung menahan tubuh Lola yang sudah terkulai lemas.

"Tuan, target sudah saya lumpuhkan. Sekarang akan saya bawa ke hadapan Anda." Pengantar Pizza itu melaporkan pada tuannya.

"Bagus! Bawa dia segera. Jangan lupa bereskan semua barang-barang di sana dan segera pindahkan ke mansion ini." Seseorang di ujung telepon memerintahkan.

"Siap, laksanakan!"

Lola dibawa ke dalam mobil yang dikendarai oleh pengantar pizza tadi. Mobil itu melaju menuju ke Pacific Height, lingkungan paling eksklusif di San Francisco.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status