Luna meremas rok yang dipakainya saat ini, setelah makan siang yang sangat terlambat yang mereka lakukan Luna kira Laksa akan langsung kembali ke kantornya tapi ternyata dia salah, suaminya itu malah duduk berselonjor di atas karpet tebal di depan televisi besar yang ada di ruangan itu.
Luna membulatkan tekad, menekan gengsi dan rasa malunya yang setinggi gunung itu, dia sadar jika ingin hubungan mereka berhasil bukan hanya Laksa yang harus berjuang, dia juga tak boleh pasif dan hanya bisa menerima saja, dan salah satu cara untuk semakin meningkatkan hubungan mereka yang diajarkan guru besarnya -VIRA- adalah dengan menjalin komunikasi yang baik dengan Laksa, hal kecil yang sejak dulu adalah penyakit Luna yang sangat sulit dicari obatnya.Luna berjalan pelan mendekati Laksa, dengan sedikit canggung dia duduk tepat di samping Laksa, tapi laki-laki itu rupanya cepat tanggap tangan kirinya yang sedang tidak memegang remot televisi merengkuh tubuh Luna hingga tak ada jarak"Mungkin lusa, entahlah dia belum memberikan waktu yang pasti, entah kenapa aku merasa dia bahkan tak ingin memberitahu keluarganya." "Lalu?" "Tidak ada, aku akan mengikuti kemauannya," jawab Laksa enteng. "Apa aku perlu ikut?" Laksa mengedikkan bahunya tapi kemudian berkata. "Terserah saja, tapi aku harap kamu menyiapkan hati untuk semua kemungkinan yang terjadi. Sore harinya Dirga muncul di rumah keluarga Sanjaya dengan wajah kusut dan lelah, tapi terlihat senyum bahagia menghiasi wajah tampannya. "Selamat sore." "Sore, apa ada berita baru?" tanya Laksa langsung. "Akhirnya kita berhasil," kata Laki-laki itu dengan senyum lebar dibibirnya. "Benarkah?" "Kamu bisa lihat sendiri." Dirga lalu membuka laptopnya dan memperlihatkan sistem yang baru saja dia bangun dan memberikan demo di beberapa b
“Mau kemana?” tanya Laksa saat Luna berusaha melepaskan belitan tangannya di pinggang sang istri. Luna menghentikan gerakannya dan menoleh menatap sang suami yang masih terlihat sangat mengantuk. “Mau bangun, ini sudah pagi.” Laksa menoleh pada jam dinding yang masih menunjukkan angka empat pagi. “Ini masih terlalu pagi, nanti saja aku masih mengantuk.” “Kakak boleh tidur lagi, aku mau bantu bibi siapkan sarapan dulu.” “Mana enak tidur sendiri tanpa guling hidup.” dengan kata itu Laksa kembali menarik sang istri untuk tidur kembali tak peduli dengan Luna yang masih menggerutu tak terima tapi mana mau Laksa peduli, sampai tangisan keras Dio membuat Laksa mau tak mau melepaskan pelukan di pinggang istrinya. “Kakak tidur saja lagi biar aku lihat Dio dulu.” Laksa hanya menjawab dengan gumamam lalu kembali melanjutkan tidurnya, Luna hanya bisa
“Apa om seorang polisi atau semacamnya?” tanya Laksa kembali menelisik penampilan laki-laki di depannya ini. “Bukan, Om hanya pegawai negeri di kantor kecamatan.” Pantas terlihat rapi. Sebenarnya banyak hal yang ingin ditanyakan Laksa tapi dia bigung mulai dari mana, sang kakek juga hanya mengatakan waktu itu menyuruh ornag kepercayaannya mengawasi sang ibu, dia bahkan tidak tahu perkembangannya akan sejauh ini. “Apa ibu yang meminta om kemari?” Laki-laki itu menggeleng. “Ibumu tidak tahu kalau Om kemari, tapi om juga tidka masalah kalau dia tahu.” “Begitu,” Laki-laki itu berdehem dan memandang Laksa dengan penuh tekad, membuat laki-laki itu mengerutkan keningnya bingung. “Om hanya ingin minta ijin padamu untuk menikahi ibumu, karena bagaimanapun kamulah yang memiliki kekerabatan paling dekat dengannya salain saudara-saudaranya,.” “Om mungkin sudah tahu sej
Suara ketukan pintu membuyarkan konsentrasi Laksa, dengan menghela napas kesal dia meletakkan penanya dan melirik Dio yang sedang tertidur pulas di box bayinya, dia memang sengaja melakukan itu supaya bisa memantau anaknya. Laksa ingat komnetar Dirga saat mengunjunginya beberapa hari yang lalu ejekan bapak rumah tangga, sering dilontarkan sepupunya itu, tapi Laksa tidak tersinggung sama sekali dia memang ingin dekat dengan anaknya dan tidka ingin mengulangi kesalahan sang papa yang bersikap sangat dingin padanya. “Masuk!” teriak Laksa. Kepala Tuti menyembul dari celah pintu. “Ada apa?” tanya Laksa langsung. “Itu Mas, ada tamu di bawah.” “Tamu? Mencariku?” “Iya.” “Siapa? Aku tidak ada janji dengan seseorang?” Tuti berdiri di sana dengan bingung, mungkin Laksa lupa kalau dia di rumah bukan di kantornya yang setiap tamu harus membuat janji dulu
“Makanannya tidak enak? Apa aku pesankan yang lain?” tanya Luna lagi, tapi Laksa tetap diam, seolah tak mendengar ucapan Luna, seolah mereka terpisah tempat yang jauh. Luna menghela napas dan berdiri dari duduknya, menarik piring di hadapan Laksa dan mencuil sedikit ayam bakar di piring itu, dengan tangannya Luna menyuapkan makan itu ke mulut Laksa. “Aku bisa makan sendiri, tanganku baik-baik saja.” “Aku tahu, buka mulut kakak sekarang,” kata Luna garang dengan mata melotot, tapi bukannya takut Laksa malah tersenyum dan membuka mulutnya. “Nah pinter, papanya Dio mau makan.” “Berasa jadi anak kecil aku.” “kakak memang bukan anak kecil, kan sudah bikin anak kecil, tapi hari ini tidka mau makan seperti anak kecil,” omel Luna. “Bukan tidak mau makan hanya saja-“ “Galau.” “Eh?” “Iya kakak lagi galau karena pernikahan ibu, aku buk
“Mas Hardi ingin pernikahan kami sederhana saja asal sah,” kata sang ibu. Pagi ini memang Laksa secara khusus mengunjungi rumah ibu kandungnya ini, letak rumah yang ada di pinggiran kota membuat mereka harus berangkat lebih awal. Yah mereka karena Luna juga ikut serta, bukan tanpa alasan juga Luna melakukannya, di samping tak pantas membiarkan Laksa pergi sendiri, juga karena masih ada rasa kecewa dan amarah yang membuat Laksa bisa saja melakukan hal yang mungkin saja mereka sesali. Saat ini mereka sedang berkumpul di ruang tamu, hanya ada mereka bertiga, karena orang yang disebut sebagai Mas Hardi, calon suami sang ibu memang sedang pergi bekerja. Luna menoleh pada suaminya dan mendapati wajah itu masih saja datar. “Sederhana bagaimana maksudnya?” tanya Luna memperjelas. Sang ibu mertua memandang Luna dengan wajah masam, entah karena pertanyaan Luna atau karena hal lainnya. “Hanya hajatan kampung, deng