Luna baru saja mengeringkan rambutnya yang basah dengan hairdryer di tangannya, saat ponselnya menjerit-jerit minta perhatian, dengan heran dia mematikn hair dryer di tangannya.
“Apa mungkin Kak Laksa melupakan sesuatu?” gumamnya pelan, Laksa memang baru saja berangkat bekerja, sedangkan Luna yang memang setelah jalan-jalan yang mereka lakukan merasa tubuhnya sangat capek dan kepalanya pusing memilih untuk tidur terlebih dahulu, tapi sialnya Luna yang tidak biasanya tidur ngebo itu, malah matanya seperti dilem, bahkan saat alarm di kepalanya meneriakannya untuk bangun dia masih enggan. Alhasil dia baru bangun saat Laksa sudah selesai mandi dan mencari bajunya sendiri di dalam almari besar di kamar mereka. Seketika Luna buru-buru bangun dan mencuci muka, saat dia protes pada sang suami kenapa dia tak dibangunkan, Laksa hanya menjawab “Memangnya kamu mau ngapain, kamu harus banyak istirahat supaya lekas sehat.” Jawaban penuh perhatEntah dengan pertimbangan apa, Luna lalu memutar langkahnya menghindari tempat itu lebih tepatnya wanita itu, setidaknya sampai jam sebelas nanti, atau mungkin lebih, bukankah dia harus maklum kalau Luna akan terlambat dari waktu yang dia tentukan. Bukan dia bermaksud kurang ajar, yah setidaknya dia ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana sebenarnya karakter wanita itu, bukan hanya dari cerita suaminya. Luna sengaja menghampiri penjual cilok dan memesan makanan berbahan tepung itu, dengan tenang dia menikmati ciloknya sambil matanya tak lepas dari sosok wanita yang akan dia temui, dia hanya berharap semoga saja wanita itu memang benar-benar tak melihat dirinya. “Sampai malam, Pak kalau jualan di sini?” tanya Luna yang pura-pura sibuk bercakap-cakap dengan penjual cilok di depannya. Sang penjual itu pun menjawab pertanyaan Luna dengan ramah, tanpa di tanya dia menceritakan suka dukanya waktu berjualan cilok sampai tempat anak-
Dering ponsel di tangannya membuat Luna terkejut, dia pikir Laksalah yang menghubunginya setelah dari tadi dia tidak bisa menghubungi laki-laki itu tapi ternyata Viralah yang menghubunginya. Sahabatnya itu memang sering meneleponnya saat senggang, sama seperti waktu Vira masih tinggal di yogya dulu, kesibukan membuat Vira tak bisa sering bertemu dengan Luna lagi, apalagi Laksa yang melarangnya untuk bekerja, karena kondisinya yang sedang hamil. Luna menoleh sekilas pada arah di mana ibu kandung Laksa tadi pergi, wanita itu memang langsung pergi setelah meminta Luna memikirkan semua yang dia katakan tadi. Tapi tentu saja Luna tidak akan melakukan itu, bukan hanya karena dia tidak suka berbelanja berlebihan tapi dia juga menyadari kalau ibu kandung Laksa begitu licik, ingin memanfaatkannya untuk membuat Laksa jauh dari wanita yang sudah membesarkannya. “Iya, Vir,” sapa Luna. “Kamu kemana saja, lama sekali menjawab teleponku, ini masih siang
Laksa memesan sebuah ruangan privat untuk mereka berdua. Terlalu berlebihan kalau kata Luna. Tapi semau Laksa saja, ini duit-duit dia juga, lagi pula uangnya yang tak berseri itu untuk apa kalau bukan untuk dihambur-hamburkan, pikirnya sebal. Luna meremas ujung bajunya sambil menatap dua orang di depannya dengan sebal. Laksa terlihat bercanda dengan pelayan yang mengantar buku menu untuk mereka. Sesekali di lihatnya pelayan wanita itu memandang Laksa dengan tersipu malu sedangkan suaminya itu masih saja bertanya ini itu tentang menu yang akan mereka pesan. Ingin sekali Luna mengambil buku menu terkutuk itu dari tangan mereka berdua dan melemparkannya ke wajah sang pelayan, rasanya dada Luna seperti terbakar. Jika memang ingin tebar pesona pada semua gadis kenapa juga mengajak dirinya? Apa supaya dia tahu kalau masih banyak yang menginginkannya? Kalau itu tujuannya, Laksa tidak perlu melakukan itu, Luna sudah tahu, sangat tahu malahan.
Luna meletakkan sampurnya dia atas ranjang, dia baru saja menari, hal yang sangat dia rindukan saat dokter memintanya untuk lebih banyak istirahat. Dan Luna yang sayang dengan anaknya tentu saja tidak ingin melanggar larangan itu, tapi kemarin setelah dokter mengatakan kandungannya lebih kuat, hal pertama yang ingin dia lakukan adalah menari. Sekarang pikirannya lebih tenang, entah karena dia suka atau karena kekuatan magis tertentu. Pikiran Luna kembali melayang pada pembicaraan mereka tadi nama itu seolah sangat familiar di telinganya, tapi dimana dia melihat nama itu. Luna berguling-guling di atas karpet tebal di kamarnya, mencoba untuk fokus mengingat nama itu. “Aish entahlah,” katanya kesal karena tak dapat mengingat dimana dia melihat nama itu. Luna lalu turun ke bawah, dia akan mengecek kondisi mama mertuanya, semoga saja lebih baik. Ada rasa bersalah di hati Luna saat tadi tak mengatakan yang sebenarnya pada wanita yang telah dia a
“Wah, ibu benar-benar terkejut kamu mau repot-repot datang ke sini menemui ibu,” sura terkejut bercampur bahagia itu langsung menyambut Laksa yang berdiri diam, bahkan setelah pintu apartemen itu di buka. “Ehm, sebentar ibu rapikan dulu rumah ibu.” Wanita itu lalu menghilang di balik pintu meninggalkan Laksa yang masih berdiri di sana dengan tatapan datar dan tidak pedulinya. Mungkin dia sudah gila dengan datang menemui wanita ini di apartemennya, apartemen yang entah tak tahu apa saja yang sudah dilakukan ibunya di dalam sana. Laksa bukan orang suci, yang tidak memiliki dosa, dia bahkan mengakui pernah melakukan hubungan terlarang dengan pacar-pacarnya, tapi tindakan ibunya yang lebih memilih laki-laki lain dari pada dirinya anak kandungnya sendiri, tak pernah mampu dia terima, apalagi sang ibu yang berniat mengganggu keharmonisan kehidupan orang tuanya hanya demi harga keluarga yang nantinya akan diwariskan padanya. Sebentar kemudian pin
Luna memalingkan mukanya, dia sibuk memperbaiki sprei yang sudah sangat rapi, dia sadar kalau dirinya tak akan sanggup menghadapi godaan dari Laksamana Sanjaya, suaminya. Salahkan saja hatinya yang memang tak tahu malu itu, Padahal saat ini Laksa hanya sedang bertelanjang dada karena lupa membawa baju ganti yang telah disiapkan Luna. Dadanya berdetak dengan kencang, meski pernikahan mereka sudah berlangsung hampir empat bulan lamanya dan hubungan mereka juga sudah seperti suami istri pada umumnya, dalam artian mereka sudah melakukan hubungan fisik sebagaimana mestinya. “Kamu kenapa?” tanya Laksa mendekati Luna yang terlihat gelisah di samping tempat tidur. Tangan Laksa bahkan sudah merangkum kedua pipi Luna, terasa dingin dan membuat Luna seketika bergidik, dingin tangan Laksa yang baru saja mandi, juga aroma aftersave dan juga sabun mandi membuat Luna menginginkan lebih dari sentuhan seperti ini. Haduh! Suaminya ini kenapa mendekati Luna dengan masih bertelanjang dada sih,
Luna langsung merasakan kegugupan yang luar biasa saat melihat keluarga besar suaminya berkumpul di ruang tengah yang sanga luas itu, pantas tadi Laksa memilihkan gaun ini untuk Luna, dia pasti tak ingin penampilan Luna yang memang jauh berbeda dengan orang-orang di sekitar Laksa semakin mencolok. Sampai sekarang dia bahkan masih kesulitan mencari warna lipstik yang sesuai untuk kulitnya, yang tidak pucat tapi juga tidak terlalu mencolok mata. Laksa memang bilang dia menyukai Luna yang tidak memakai make up tebal, tapi dia juga bukan orang bego yang sama sekali buta kalau Laksa pasti menginginkan dia bisa berdandan dengan baik dan tidak mempermalukan laki-laki itu saat menentengnya ke kondangan misalnya, mengingat mantan kekasih Laksa yang seorang model internasional. Luna menghela napas dalam, dia celingukan mencari suaminya yang tadi digeret Dirga entah kemana meninggalkan dia sendiri. Sekarang apa yang harus dia lakukan, dia tak mengena
Hari ini Luna bangun kesiangan lagi, sudah menjadi kebiasaannya sejak berhenti bekerja, dia menjadi istri super pemalas yang pernah ada di muka bumi ini, padahal tadi malam dia selalu berniat untuk bangun lebih awal dan menyiapkan semua kebutuhan Laksa seperti dulu. Dengan sedikit tergesa dia bangun dari tidurnya dan memperbaiki penampilannya, setidaknya dia tidak membiarkan rambutnya megar seperti rambut singa. Bunyi notifikasi ponsel menghentikan gerakan Luna yang akan membuka lemari pakaian. Akan tetapi Luna mengabaikannya, mungkin pesan dari Vira atau ayahnya, dia bisa melihatnya sebentar lagi. Hidup ini memang selalu berputar seperti roda kadang ada di atas kadang ada di bawah, begitulah yang kata pepatah yang pernah Luna dengar. Dan sepertinya itu memang benar, baru saja kemarin dia merasakan kebahagiaan bertambah dekat dengan sang suami dan juga kebahagiaannya bertambah dengan rencana keluarga suaminya yang akan mengadakan pesta untuk pernikah
“Apa mama dan opa baik-baik saja? Kenapa mereka tidak dibawa ke rumah sakit?” tanya Luna yang baru ngeh tentang keadaan mertuanya itu, sungguh bukannya Luna melupakan dua keluarga suaminya itu, tapi masalah yang menderanya akhir-akhir ini membuat otaknya penuh sesak. “Mereka baik-baik saja, kemarin papa juga sudah menghubungi dokter keluarga, dan dokter hanya menyarankan mereka untuk tenang dan beristirahat.” Luna mendongak tak menatap mata sang suami, mencari kebenaran di sana, dan saat kebenaran itu dia dapatkan,Luna bisa menarik napas lega, berarti tak ada yang perlu dikhawatirkan bukan. Malam ini kedua insan itu tidur dengan saling berpelukan erat seolah mereka sudah tak bertemu bertahun-tahun lamanya, tidur lelap yang sangat mereka butuhkan untuk menghadapi hari esok yang penuh dengan aral rintangan yang menghadang. Pukul enam pagi baik Luna maupun Laksa sudah berpakaian rapi, tentu saja Laksa akan berangkat kerja, akan tetapi sebelu
Luna merasakan usapan tangan di pipinya, dia memandang pemilik tangan itu.“Jangan menangis, aku tidak ingin melihat air matamu,” kata Laksa dengan lembut. Ternyata dia menangis, Luna bahkan tak menyadari itu semua, pikirannya terlalu kalut sampai dia tak bisa merasakan apapun. Luna berusaha tersenyum, meski siapapun tahu kalau senyum itu terpaksa bertengger di wajahnya sekedar supaya tidak menjadi tambahan beban untuk suaminya “Semuanya akan baik-baik saja, aku tidak tahu apa yang sudah kamu dengar, tapi percayalah semuanya akan teratasi dengan baik, Kemarin aku bekerja keras bersama opa dan papa juga Dirga untuk membongkar semuanya,” kata Laksa lebih kepada untuk meyakinkan dirinya sendiri dari pada sang istri. Pandangan laki-laki itu sedikit menerawang, masalah kali ini memang cukup rumit untuknya, hotel yang dipimpinnya bisa saja dianggap melakukan kelalaian pajak yang harusnya dibayar oleh semua warga negara yang baik, meski
"Kemana semua orang?" "Mereka ada, mungkin sedang beristirahat di kamar."Luna menatap jam dinding yang masih menunjukkan pukul delapan malam, waktu makan malam memang baru saja terlewat, biasanya keluarga ini masih sibuk mondar-mandir melakukan beberapa hal, tapi sekarang tak ada satu pun yang muncul bahkan para asisten rumah tangga juga tak kelihatan batang hidungnya. "Sudah nyaman?" tanya Laksa saat membantu Luna bersandar pada beberapa bantal yang telah disusun oleh suaminya itu."Iya, terima kasih, Kak."Laksa tersenyum dan berniat akan meninggalkan kamar tapi cepat-cepat Luna mencegahnya."Kakak mau kemana? Kenapa dari tadi menghindar terus, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Raya sampai mengamuk seperti orang gila begitu, kakak tidak berjanji aneh-anehkan padanya?""Istriku sayang, lancar banget ngomelnya kayak kenek metromini," kata Laksa yang terdengar geli dengan omelan sang istri. "Kenapa tidak di
Beberapa kali Luna melirik pada suaminya yang sedang serius untuk mengemudikan mobil yang mereka tumpangi untuk keluar dari halaman parkir rumah sakit ini. "Jangan lirik-lirik terus nanti kamu tambah cinta sama aku." Luna langsung cemberut, Suaminya ini memang sangat suka membuatnya penasaran, apa susah coba langsung bicara di rumah sakit tadi, bukannya tidak ada orang lain selain mereka di sana, kenapa harus nanti sampai di rumah coba. "Jangan cemberut juga, nanti kalau ada yang lihat dikira aku nggak kasih kamu makanan, padahal tadi aku sudah bawakan makanan kesukaanmu." Luna hanya bisa mencebik dengan kesal, lihatlah Laksa terlihat begitu santai menanggapi kemarahan. Hah! Jangan bilang suaminya ini sedang mengumpulkan alasan untuk membohonginya. "Kakak sedang menyusun kata untuk mencari alasan ya." Laksa langsung menyemburkan tawanya begitu mendengar kalimat sang istri.
"Luna sudah diperbolehkan pulang, tepatnya karena dia tidak tenang ada di rumah sakit ini." jarang-jarang bukan Vira mau berbaik hati memberi penjelasan untuk orang lain, meski hatinya geram bukan main.Laksa memandang sahabat istrinya yang menampakkan wajah tidak bersahabat padanya, bukan hal yang aneh memang sejak awal memang sahabat istrinya ini terlalu protektif pada istrinya, satu hal yang tidak tahu harus dia syukuri atau tidak. "Terima kasih sudah menjaga Luna." "Tidak perlu, aku memang harus menjaganya apalagi di sini dia sendirian menghadapi nenek lampir," Vira segera menghadap Luna, memandang sahabatnya itu yang terdiam tak tahu harus berbuat apa."Kamu mau aku antar pulang atau bersama suamimu?" "Lebih baik dia pulang bersamaku saja," bukan Luna yang menjawab tapi Laksa.Vira mendelik pada Laksa seolah ingin berkata kalau dia tidak bertanya pada Laksa, dan tentu saja itu membuat Laksa mati gaya. Dasar sahabat istri
“Aku sudah diperbolehkan dokter pulang.” Begitu pesan yang dikirim Luna untuk suaminya, dan pesan itu sudah dia kirim lebih dari satu jam yang lalu, tapi nasibnya sama dengan pesan-pesan Luna yang lain pada suaminya, tetap saja centang dua abu-abu itu tak berubah menjadi biru. Luna menggigit bibirnya dengan resah, bunyi gemericik air dari kamar mandi masih terdengar, tentu saja Vira yang ada di sana, dia sampai tak enak hati pada Luna yang harus menemaninya dari tadi siang. Meski Vira bilang bahwa dia tidak masalah menemani Luna sampai malam. Tapi tetap saja, dia tidak enak hati, Vira pasti juga punya keperluan lain yang harus dia lakukan. Sanggar memang berada di bawah kendali Vira sepenuhnya, sedangkan kakaknya hanya memantau saja. Ayahnya juga sedang banyak pekerjaan dan Luna tidak tega untuk menghubunginya, jadi dia hanya mengatakan supaya sang ayah istirahat di rumah saja. Orang yang seharusnya bertanggung jawab menjaganya malah tidak ad
“Bisa dibilang begitu, kalau saja bukan dia sendiri yang menjebak kami.” “Eh? Dia pelakunya.” “Memang aku nggak pernah bilang ya?” tanya Luna polos, memang seingatnya dia belum memberi tahu Vira, dia bercerita sekarang karena kesal dengan Raya yang terus saja membuat ulah, lagipula dia tak sudi kalau orang mengira dialah yang menjadi orang ketiga rusaknya hubungan Raya dan Laksa, dia nggak ngerebut kok, bahkan Luna sudah berusaha menjauh waktu itu.Vira hanya menggeleng, dan memajukan tubuhnya dengan wajah sangat kepo. Dasar Vira. Luna lalu menceritakan semua yang dia ketahui tentang Raya dan juga hubungannya dengan sang suami yang kandas karena Laksa yang berkeinginan untuk tetap bersama Luna, tapi tidak disangka, Laksa malah melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau Raya berselingkuh dengan banyak laki-laki.“Wow...” komentar Vira sambil memandang Luna dengan tatapan mata membulat, wajah cantik dan dari keluarga terpandang memang
“Kenapa tidak ada adegan saling menjambak?” Luna menoleh pada Vira yang masih saja melipat tangannya dengan tenang menatap kepergian Raya. “Kamu kecewa?” Vira mengangkat bahu dengan acuh, gadis itu lalu melangkah menghampiri kursi roda Luna dan meminta sahabatnya itu untuk duduk kembali di atas kursi roda. “Mau jalan saja atau duduk di kursi roda.” Luna mengerucutkan bibirnya dengan kesal, lalu duduk di atas kursi roda, dia tidak ingin terlalu memaksakan diri dan berakibat fatal, meski emosi masih menguasai dirinya. Laksa sedang dalam masalah.Luna sedikit kecewa dengan suaminya yang tidak mengatakan padanya, tapi Raya yang notabene mantan kekasih suaminya malah tahu terlebih dahulu, juga kalimat Raya tadi yang menurutnya sangat ambigu. “Apa wanita itu dirawat di sini karena sakit jiwa?” Luna menoleh pada Vira dengan kening berkerut. “Kenapa kamu berpikir begitu?” tanya Luna heran.
"Aku di sini saja," kata Vira sambil tersenyum semanis racun. "Tidak tahu diri," desis Raya gusar. "Kamu yakin, tidak akan muntah atau ikut marah-marah," goda Luna pada sahabatnya itu."Tenang saja aku akan duduk manis di sini sebagai penonton." Raya bertambah geram mendengar perkataan Vira yang terdengar sangat meremehkannya. "Kampungan." Vira hanya mengangkat alis, dan memandang Luna."Jadi apa yang kamu inginkan, aku tidak tahu kalau kamu sangat sibuk mengurusi urusan kami." "Jaga bicaramu, kamulah yang harusnya tahu diri, kamu hany benalu di hidup Laksa.""Kalau maksudmu itu karena aku tidak bekerja dan hanya mengandalkan hidup pada suami itu benar, tapi kenapa kamu yang marah, suamiku sendiri baik-baik saja, bahkan dia memaksaku untuk membeli apapun yang aku pinta." Luna bukan orang yang sombong memang, tapi menghadapi orang seperti Raya, yang sombong luar biasa, rasanya sah-sah saja menyombo