Luna langsung merasakan kegugupan yang luar biasa saat melihat keluarga besar suaminya berkumpul di ruang tengah yang sanga luas itu, pantas tadi Laksa memilihkan gaun ini untuk Luna, dia pasti tak ingin penampilan Luna yang memang jauh berbeda dengan orang-orang di sekitar Laksa semakin mencolok. Sampai sekarang dia bahkan masih kesulitan mencari warna lipstik yang sesuai untuk kulitnya, yang tidak pucat tapi juga tidak terlalu mencolok mata. Laksa memang bilang dia menyukai Luna yang tidak memakai make up tebal, tapi dia juga bukan orang bego yang sama sekali buta kalau Laksa pasti menginginkan dia bisa berdandan dengan baik dan tidak mempermalukan laki-laki itu saat menentengnya ke kondangan misalnya, mengingat mantan kekasih Laksa yang seorang model internasional. Luna menghela napas dalam, dia celingukan mencari suaminya yang tadi digeret Dirga entah kemana meninggalkan dia sendiri. Sekarang apa yang harus dia lakukan, dia tak mengena
Hari ini Luna bangun kesiangan lagi, sudah menjadi kebiasaannya sejak berhenti bekerja, dia menjadi istri super pemalas yang pernah ada di muka bumi ini, padahal tadi malam dia selalu berniat untuk bangun lebih awal dan menyiapkan semua kebutuhan Laksa seperti dulu. Dengan sedikit tergesa dia bangun dari tidurnya dan memperbaiki penampilannya, setidaknya dia tidak membiarkan rambutnya megar seperti rambut singa. Bunyi notifikasi ponsel menghentikan gerakan Luna yang akan membuka lemari pakaian. Akan tetapi Luna mengabaikannya, mungkin pesan dari Vira atau ayahnya, dia bisa melihatnya sebentar lagi. Hidup ini memang selalu berputar seperti roda kadang ada di atas kadang ada di bawah, begitulah yang kata pepatah yang pernah Luna dengar. Dan sepertinya itu memang benar, baru saja kemarin dia merasakan kebahagiaan bertambah dekat dengan sang suami dan juga kebahagiaannya bertambah dengan rencana keluarga suaminya yang akan mengadakan pesta untuk pernikah
Keterangan Luna tadi pagi langsung ditanggapi Laksa dengan serius, sebagai pimpinan dia merasa kecolongan, dia bahkan melupakan detail siapa perusahaan yang biasa bekerja sama dengan hotel tempatnya bekerja. Pengadaan makanan dan minuman kemasan memang mereka lakukan sebagai suprt untuk orang-orang yang menyewa hotel mereka untuk acara tertentu, memang bukan hal yang krusial tentu saja, tapi cukup membuat Laksa was-was, apalagi sejarah panjang mereka yang buruk di masa lalu. Laksa memasuki kantor divisi pembelian yang terletak di sebelah selatan kantornya sendiri, para pegawai yang baru saja bersiap-siap untuk melakukan rutinitas pagi mereka tentu saja terkejut, biasanya Laksa hanya melihat sepintas lalu pada divisi mereka, karena divisi ini sendiri sudah dipimpin oleh orang lama dari jaman kakeknya. “Apa Pak Bagja sudah datang?” tanya Laksa pada sekretaris yang terlihat masih muda itu, gadis itu memandang Laksa dengan melongo. “Mbak,” pan
Luna dulu sering tak mengerti kenapa para sepupunya yang akan menikah terlihat sangat khawatir dan tegang, padahal sebagai perempuan dia hanya perlu duduk manis sambil cengar cengir menyalami tamu yang datang, tapi sekarang dia merasakan sendiri perasaan tegang dan khawatir itu. Bahkan dia sampai ditegur oleh penata rias yang mendandaninya karena tak bisa dia saat dirias. “Kamu kenapa, gelisah gitu? Jangan bilang kamu takut Laksa kabur dari acara? Ya ampun Lun, kalain itu sudah suami istri dan ini hanya pesta yang tertunda, dia tak mungkin sebego itu mempermalukan dirinya dan keluarganya dengan kabur saat resepsi pernikahan,” cerocos Vira yang hari ini memang sengaja datang pagi-pagi untuk menemani Luna dirias. Luna menatap sahabatnya yang sok tahu itu dengan sebal. “Aku bukan takut hal itu.” “Lalu?” “Nggak tahu, rasanya deg degan terus dari tadi, khawatir ada yang tidak beres.” “Ckkk itu hanya perasaanmu saja, jadi t
Malam itu Luna akhirnya bisa kembali tidur dalam pelukan Laksa, suaminya, pelukan hangat yang selama seminggu ini sangat dia rindukan, Luna dengan rakus menghirup aroma suaminya ini. dalam hati dia sangat tak rela jika harus kehilangan pelukan hangat ini. Laksa mengeratkan pelukannya pada tubuh sang istri, dia sangat bersyukur hari ini bisa kembali memeluk Luna setelah satu minggu hanya memeluk guling. “Senangnya bisa peluk kamu lagi,” bisik Laksa lembut. Luna hanya mampu membalas dengan semakin membenamkan keplanya di dada sang suami. “Apa semuanya akan baik-baik saja, maksudku dengan keterangan yang kita berikan tadi?” Laksa hanya mengangkat bahu. “Setidaknya kita sudah berusaha menjelaskan semuanya, lagipula aku sebenarnya tidak peduli orang lain percaya atau tidak, aku hanya ingin kamu nyaman di sisiku.” “Terima kasih.” “Untuk apa?” “Untuk semuanya, mau membersihkan namaku dan juga mau menjad
Laksa tahu kedatangan ibunya ke rumah ini bukan karena merindukannya atau memperbaiki hubungan mereka, tapi Laksa tidak punya gambaran apa yang diinginkan ibu kandungnya itu. Wanita yang melahirkannya itu tampil dengan pakaian sopan dibandingkan terakhir kali mereka bertemu, kulot panjang berwarna hitam serta blus lengan pendek berwarna krem, sederhana memang tapi wajah sang ibu yang cantik meskipun usianya tak muda lagi, dalam hati Laksa mengakui kalau sang ibu memang sangat menarik pantas saja ayahnya dulu sempat tergila-gila padanya, meskipun pada akhirnya membuangnya begitu tahu sifatnya yang tidak secantik wajahnya. Andai saja.... Laksa langsung menggelengkan kepalanya dia tak suka berandai-andai, apalagi untuk sesuatu yang sudah jelas duduk permasalahannya. “Saya tidak tahu anda mendengar berita itu dari mana, tapi iya kami baru mengadakan pesta pernikahan,” kata Laksa tenang. Laksa menghela Luna untuk duduk di sofa lalu mengambil te
Menjadi gadis rumahan, membuat Luna hanya memiliki sedikit pengalaman dalam berinteraksi dengan orang lain, apalagi pada dasarnya dia adalah gadis yang pendiam, teman-temannya tak begitu suka bicara dengannya. Membosankan, itu kata yang sering Luna dengar dulu. Pertama kali mendengar itu secara langsung saat masih duduk di bangku SMP, Luna langsung pulang dengan menangis tersedu, membuat ayah dan bundanya khawatir, tapi lambat laun Luna mulai terbiasa dengan itu. bukannya dia tak mau mengakrabkan diri dengan teman-temannya, tapi apa yang mereka bicarakan kadang tak dimengerti oleh Luna, begitupun sebaliknya saat Luna berbicara tentang tarian yang menjadi hobinya mereka malah tidak nyambung. Jadi Luna hanya bisa duduk pasrah saja, telinganya sudah cukup kebal dengan itu. Teman dekatnya hanya bisa dihitung dengan jari dan yang masih sering berhubungan dengannya sekarang adalah Vira, si cerewet yang memang sangat senang di dengarkan itu tentu saja meras
Laki-laki tua itu menjalankan kursi rodanya dengan tenang di lobi hotel, sesekali ada satu dua pengunjung yang menatap ke arahnya, tapi dia seperti tak peduli, tujuannya jelas, meja resepsionis. “Selamat siang, apa seminar kesehatan di hotel ini sudah mulai?” tanya laki-laki tua itu pada dua resepsionis yang cantik dan wangi itu. “Iya, sudah mulai lima belas menit yang lalu, apa bapak salah satu peserta di sana?” tanya sang resepsionis ramah. “Iya, bisakah anda mengantar saya ke sana?” tanya laki-laki itu. Resepsionis itu saling berpandangan sejenak, lalu salah satu dari mereka mendorong kursi roda laki-laki itu untuk menuju ke tempat seminar berlangsung. “Oh tunggu sebentar, Mbak, tolong bookingkan kamar sekalian untuk saya.” Laksa memandang laki-laki tua itu dengan wajah datar. “Apa yang dia lakukan di sini?” tanya Dirga yang tiba-tiba ada di belakang Laksa.” Laki-laki itu memang sepeperti jelangkung saja datang tak
“Apa mama dan opa baik-baik saja? Kenapa mereka tidak dibawa ke rumah sakit?” tanya Luna yang baru ngeh tentang keadaan mertuanya itu, sungguh bukannya Luna melupakan dua keluarga suaminya itu, tapi masalah yang menderanya akhir-akhir ini membuat otaknya penuh sesak. “Mereka baik-baik saja, kemarin papa juga sudah menghubungi dokter keluarga, dan dokter hanya menyarankan mereka untuk tenang dan beristirahat.” Luna mendongak tak menatap mata sang suami, mencari kebenaran di sana, dan saat kebenaran itu dia dapatkan,Luna bisa menarik napas lega, berarti tak ada yang perlu dikhawatirkan bukan. Malam ini kedua insan itu tidur dengan saling berpelukan erat seolah mereka sudah tak bertemu bertahun-tahun lamanya, tidur lelap yang sangat mereka butuhkan untuk menghadapi hari esok yang penuh dengan aral rintangan yang menghadang. Pukul enam pagi baik Luna maupun Laksa sudah berpakaian rapi, tentu saja Laksa akan berangkat kerja, akan tetapi sebelu
Luna merasakan usapan tangan di pipinya, dia memandang pemilik tangan itu.“Jangan menangis, aku tidak ingin melihat air matamu,” kata Laksa dengan lembut. Ternyata dia menangis, Luna bahkan tak menyadari itu semua, pikirannya terlalu kalut sampai dia tak bisa merasakan apapun. Luna berusaha tersenyum, meski siapapun tahu kalau senyum itu terpaksa bertengger di wajahnya sekedar supaya tidak menjadi tambahan beban untuk suaminya “Semuanya akan baik-baik saja, aku tidak tahu apa yang sudah kamu dengar, tapi percayalah semuanya akan teratasi dengan baik, Kemarin aku bekerja keras bersama opa dan papa juga Dirga untuk membongkar semuanya,” kata Laksa lebih kepada untuk meyakinkan dirinya sendiri dari pada sang istri. Pandangan laki-laki itu sedikit menerawang, masalah kali ini memang cukup rumit untuknya, hotel yang dipimpinnya bisa saja dianggap melakukan kelalaian pajak yang harusnya dibayar oleh semua warga negara yang baik, meski
"Kemana semua orang?" "Mereka ada, mungkin sedang beristirahat di kamar."Luna menatap jam dinding yang masih menunjukkan pukul delapan malam, waktu makan malam memang baru saja terlewat, biasanya keluarga ini masih sibuk mondar-mandir melakukan beberapa hal, tapi sekarang tak ada satu pun yang muncul bahkan para asisten rumah tangga juga tak kelihatan batang hidungnya. "Sudah nyaman?" tanya Laksa saat membantu Luna bersandar pada beberapa bantal yang telah disusun oleh suaminya itu."Iya, terima kasih, Kak."Laksa tersenyum dan berniat akan meninggalkan kamar tapi cepat-cepat Luna mencegahnya."Kakak mau kemana? Kenapa dari tadi menghindar terus, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Raya sampai mengamuk seperti orang gila begitu, kakak tidak berjanji aneh-anehkan padanya?""Istriku sayang, lancar banget ngomelnya kayak kenek metromini," kata Laksa yang terdengar geli dengan omelan sang istri. "Kenapa tidak di
Beberapa kali Luna melirik pada suaminya yang sedang serius untuk mengemudikan mobil yang mereka tumpangi untuk keluar dari halaman parkir rumah sakit ini. "Jangan lirik-lirik terus nanti kamu tambah cinta sama aku." Luna langsung cemberut, Suaminya ini memang sangat suka membuatnya penasaran, apa susah coba langsung bicara di rumah sakit tadi, bukannya tidak ada orang lain selain mereka di sana, kenapa harus nanti sampai di rumah coba. "Jangan cemberut juga, nanti kalau ada yang lihat dikira aku nggak kasih kamu makanan, padahal tadi aku sudah bawakan makanan kesukaanmu." Luna hanya bisa mencebik dengan kesal, lihatlah Laksa terlihat begitu santai menanggapi kemarahan. Hah! Jangan bilang suaminya ini sedang mengumpulkan alasan untuk membohonginya. "Kakak sedang menyusun kata untuk mencari alasan ya." Laksa langsung menyemburkan tawanya begitu mendengar kalimat sang istri.
"Luna sudah diperbolehkan pulang, tepatnya karena dia tidak tenang ada di rumah sakit ini." jarang-jarang bukan Vira mau berbaik hati memberi penjelasan untuk orang lain, meski hatinya geram bukan main.Laksa memandang sahabat istrinya yang menampakkan wajah tidak bersahabat padanya, bukan hal yang aneh memang sejak awal memang sahabat istrinya ini terlalu protektif pada istrinya, satu hal yang tidak tahu harus dia syukuri atau tidak. "Terima kasih sudah menjaga Luna." "Tidak perlu, aku memang harus menjaganya apalagi di sini dia sendirian menghadapi nenek lampir," Vira segera menghadap Luna, memandang sahabatnya itu yang terdiam tak tahu harus berbuat apa."Kamu mau aku antar pulang atau bersama suamimu?" "Lebih baik dia pulang bersamaku saja," bukan Luna yang menjawab tapi Laksa.Vira mendelik pada Laksa seolah ingin berkata kalau dia tidak bertanya pada Laksa, dan tentu saja itu membuat Laksa mati gaya. Dasar sahabat istri
“Aku sudah diperbolehkan dokter pulang.” Begitu pesan yang dikirim Luna untuk suaminya, dan pesan itu sudah dia kirim lebih dari satu jam yang lalu, tapi nasibnya sama dengan pesan-pesan Luna yang lain pada suaminya, tetap saja centang dua abu-abu itu tak berubah menjadi biru. Luna menggigit bibirnya dengan resah, bunyi gemericik air dari kamar mandi masih terdengar, tentu saja Vira yang ada di sana, dia sampai tak enak hati pada Luna yang harus menemaninya dari tadi siang. Meski Vira bilang bahwa dia tidak masalah menemani Luna sampai malam. Tapi tetap saja, dia tidak enak hati, Vira pasti juga punya keperluan lain yang harus dia lakukan. Sanggar memang berada di bawah kendali Vira sepenuhnya, sedangkan kakaknya hanya memantau saja. Ayahnya juga sedang banyak pekerjaan dan Luna tidak tega untuk menghubunginya, jadi dia hanya mengatakan supaya sang ayah istirahat di rumah saja. Orang yang seharusnya bertanggung jawab menjaganya malah tidak ad
“Bisa dibilang begitu, kalau saja bukan dia sendiri yang menjebak kami.” “Eh? Dia pelakunya.” “Memang aku nggak pernah bilang ya?” tanya Luna polos, memang seingatnya dia belum memberi tahu Vira, dia bercerita sekarang karena kesal dengan Raya yang terus saja membuat ulah, lagipula dia tak sudi kalau orang mengira dialah yang menjadi orang ketiga rusaknya hubungan Raya dan Laksa, dia nggak ngerebut kok, bahkan Luna sudah berusaha menjauh waktu itu.Vira hanya menggeleng, dan memajukan tubuhnya dengan wajah sangat kepo. Dasar Vira. Luna lalu menceritakan semua yang dia ketahui tentang Raya dan juga hubungannya dengan sang suami yang kandas karena Laksa yang berkeinginan untuk tetap bersama Luna, tapi tidak disangka, Laksa malah melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau Raya berselingkuh dengan banyak laki-laki.“Wow...” komentar Vira sambil memandang Luna dengan tatapan mata membulat, wajah cantik dan dari keluarga terpandang memang
“Kenapa tidak ada adegan saling menjambak?” Luna menoleh pada Vira yang masih saja melipat tangannya dengan tenang menatap kepergian Raya. “Kamu kecewa?” Vira mengangkat bahu dengan acuh, gadis itu lalu melangkah menghampiri kursi roda Luna dan meminta sahabatnya itu untuk duduk kembali di atas kursi roda. “Mau jalan saja atau duduk di kursi roda.” Luna mengerucutkan bibirnya dengan kesal, lalu duduk di atas kursi roda, dia tidak ingin terlalu memaksakan diri dan berakibat fatal, meski emosi masih menguasai dirinya. Laksa sedang dalam masalah.Luna sedikit kecewa dengan suaminya yang tidak mengatakan padanya, tapi Raya yang notabene mantan kekasih suaminya malah tahu terlebih dahulu, juga kalimat Raya tadi yang menurutnya sangat ambigu. “Apa wanita itu dirawat di sini karena sakit jiwa?” Luna menoleh pada Vira dengan kening berkerut. “Kenapa kamu berpikir begitu?” tanya Luna heran.
"Aku di sini saja," kata Vira sambil tersenyum semanis racun. "Tidak tahu diri," desis Raya gusar. "Kamu yakin, tidak akan muntah atau ikut marah-marah," goda Luna pada sahabatnya itu."Tenang saja aku akan duduk manis di sini sebagai penonton." Raya bertambah geram mendengar perkataan Vira yang terdengar sangat meremehkannya. "Kampungan." Vira hanya mengangkat alis, dan memandang Luna."Jadi apa yang kamu inginkan, aku tidak tahu kalau kamu sangat sibuk mengurusi urusan kami." "Jaga bicaramu, kamulah yang harusnya tahu diri, kamu hany benalu di hidup Laksa.""Kalau maksudmu itu karena aku tidak bekerja dan hanya mengandalkan hidup pada suami itu benar, tapi kenapa kamu yang marah, suamiku sendiri baik-baik saja, bahkan dia memaksaku untuk membeli apapun yang aku pinta." Luna bukan orang yang sombong memang, tapi menghadapi orang seperti Raya, yang sombong luar biasa, rasanya sah-sah saja menyombo